Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anthrax merupakan penyakit infeksi menular akut yang termasuk
salah satu dari penyakit penyakit zoonosis atau penyakit yang dapat
menular dari hewan ke manusia. Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus
anthracis, suatu bakteri yang mempunyai kemampuan membentuk
endospora yaitu suatu

bentuk pertahanan diri suatu bakteri, sehingga

menyebabkan bakteri ini sulit dieradikasi.


Di Indonesia, anthrax pertama kali ditemukan di Teluk Betung
Propinsi Lampung pada tahun 1884. Pada tahun 1885 dilaporkan terjadi
anthrax di Buleleng (Bali), Rawas (Palembang) dan Lampung. Pada tahun
1886 anthrax dilaporkan terjadi di daerah Banten, Padang, Kalimantan Barat
dan Kalimantan Timur. Menurut Sukmanegara, seorang ahli yang
mendalami penyakit anthrax, epidemi penyakit ini pada sapi, kerbau,
kambing, domba dan babi terjadi di berbagai daerah di Indonesia seperti
Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Buktitinggi, Sibolga, Medan, Jakarta,
Purwakarta, Bogor, Priangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan,
Surakarta, Banyumas, Madiun, Bojonegoro, Sumbawa, Sumba, Lombok,
Flores, Bali, SulawesiSelatan, Menado, Donggala dan Palu.

Pada bulan April 1997 Indonesia sempat dikejutkan adanya berita


kasus anthrax pada sapi yang terjadi di Victoria dan New South Wales
(Australia), sebab sebagian daging sapi yang dijual di Jakarta dan beberapa
kota besar di Indonesia, berasal dari Australia. Maka, untuk melindungi
konsumen

di

Indonesia,

Direktorat

Jenderal

Peternakan

sempat

mengeluarkan larangan sementara impor daging sapi dan bahan-bahan asal


hewan dari Australia itu, sampai situasi benar-benar aman.
Pada tahun 2000, Indonesia di kejutkan lagi dengan munculnya
anthrax di peternakan burung unta / Struthio camelus, di Purwakarta, Jawa
Barat, bahkan satu-per satu warga yang terserang anthrax bermunculan.
Sedikitnya sudah 10 daerah propinsi yang oleh Departemen Pertanian
dinyatakan berisiko untuk usaha peternakan yaitu antara lain Jambi, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua.
Pernyataan tersebut didasarkan atas hasil survei yang dilakukan pada bulan
April 2000.
Terjangkitnya penyakit anthtrax pada ternak juga disebabkan
kurangnya pengetahuan peternak akan penyakit anthrax sehingga ikut
mempengaruhi laju penyebaran anthrax. Penyebaran dan perkembangan
penyakit anthrax dapat diamati melalui model matematika. Dalam penelitian
ini model penyebaran anthrax dibangun dengan memperhatikan penyebaran
bakteri pada populasi ternak dan populasi manusia yang diberikan vaksinasi.
Populasi manusia dipisahkan menjadi tiga kelas, yang lebih dikenal dengan

pendekatan SIRS, yaitu susceptible, infected, recovered dan susceptible.


Populasi ternak juga dipisahkan menjadi tiga kelas melalui pendekatan SIV,
yaitu susceptible, infected, dan vaccination. Pendekatan ini dipilih karena
pada populasi ternak dapat diberikan vaksinasi.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana model
matematika pada penyebaran penyakit anthrax pada ternak dan manusia
dengan vaksin.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui model matematika
tentang penyebaran anthrax pada ternak dan manusia dengan vaksin.
1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini sebagai berikut :
- Faktor penyebaran anthrax melalui udara di abaikan.
- Vaksinasi antraks pada manusia diabaikan.
- Model matematika di bangun berdasarkan penyebaran bakteri.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah :
- Meningkatkan pemahaman tentang model matematika pada penyebaran
-

penyakit anthrax.
Memberikan pemahaman tentang penyebaran penyakit anthrax dari

hewan ke manusia.
Memberikan pengetahuan tentang pengaruh vaksinasi penyakit anthrax
pada hewan dan manusia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi Penyakit Anthrax
Antraks adalah penyakit yang disebabkan Bacillusanthracis . Penyakit
ini dapat menyerang hewan domestik maupun liar, terutama hewan
herbivora, seperti sapi, domba, kambing, beberapa spesies unggas dan dapat
menyerang manusia (zoonosis) (OIE, 2000 ; ToDAR, 2002). Antraks

merupakan penyakit zoonosis penting dan strategis sehingga perlu ditangani


dengan baik. Tingkat kematian karena antraks sangat tinggi terutama pada
hewan herbivora, mengakibatkan kerugian ekonomi dan mengancam
keselamatan manusia (WHO, 1998). Untuk mewaspadai penyakit antraks di
Indonesia, perlu dikembangkan cara pengendalian penyakit yang efektif
yang perlu didukung dengan metode diagnosis cepat dan akurat sehingga
penanganan kasus penyakit dapat dilaksanakan dengan segera. Salah satu
penanganan anthrax adalah dengan vaksinasi.
2.2 Gejala Penyakit pada Hewan Ternak
Hewan dapat tertular antraks melalui pakan (rumput) atau minum
yang terkontaminasi spora. Spora yang masuk ke dalam tubuh melalui oral
dan akan mengalami germinasi, multiplikasi di sistem limfe dan limpa,
menghasilkan

toksin

sehingga

menyebabkan

kematian

(biasanya

mengandung 10 9 kuman/ml darah) (OIE, 2000) . Antraks pada hewan


dapat ditemukan dalam bentuk perakut, akut, subakut sampai dengan
kronis . Untuk ruminansia biasanya berbentuk perakut dan akut ; kuda
biasanya berbentuk akut ; sedangkan anjing, kucing dan babi biasanya
berbentuk subakut sampai dengan kronis. Gejala penyakit pada bentuk
perakut berupa demarn tinggi (42 C), gemetar, susah bernafas, kongesti
mukosa, konvulsi, kolaps dan mati . Darah yang keluar dari lubang kumlah
(anus, hidung, mulut atau vulva) berwarna gelap dan sukar membeku.
Bentuk akut biasanya menunjukan gejala depresi, anoreksia, demam, nafas
cepat, peningkatan denyut nadi, kongesti membran mukosa . Pada kuda
terjadi enteritis, kolik, demam tinggi, depresi dan kematian terjadi dalam

waktu 48 - 96 jam . Sedangkan pada bentuk sub akut sampai dengan kronis,
terlihat adanya pembengkakan pada lymphoglandula pharyngeal karena
kumnn antraks terlokalisasi di daerah itu (OIE, 2000) . Di Indonesia,
kejadian antraks biasanya perakut, yaitu : demam tinggi, gemetar, kejangkejang, konvulsi, kolaps dan mati .
2.3 Gejala Penyakit pada Manusia
Antraks pada manusia dibedakan menjadi tipe kulit, tipe pencernaan,
tipe pulmonal dan tipe meningitis. Pada tipe kulit, B. anthracis masuk
melalui kulit yang lecet, abrasi, luka atau melalui gigitan serangga dengan
masa inkubasi 2 sampai 7 hari. Gejala klinis yang terlihat adalah demam
tinggi, sakit kepala, ulcus dengan jaringan nekrotik warna hitam di tengah
dan dikelilingi oleh vesikel-vesikel dan oedema. Jika tidak diobati tingkat
kematian dapat mencapai 10 - 20% dan jika diobati kurang dari 1%
(DEPARTEMEN KESEHATAN, 2003; WHO, 1998; APIC, 2005). Pada tipe
pencernaan (gastrointestinal anthrax), B. anthracis dapat masuk melalui
makanan terkontaminasi, dan masa inkubasinya 2 sampai 5 hari. Mortalitas
tipe ini dapat mencapai 25 - 60% dan dibedakan menjadi antraks intestinal
dan antraks oropharingeal. Pada antraks intestinal, gejala utama adalah
demam tinggi, sakit perut, diare berdarah, asites, dan toksemia. Antraks
oropharingeal, gejala utamanya demam tinggi, sakit tenggorokan,
pembesaran limfoglandula regional, dan toksemia (DEPARTEMEN
KESEHATAN, 2003; WHO, 1998; APIC, 2005). Tipe pernafasan
(Pulmonary anthrax) terjadi karena terhirupnya spora B. anthracis dengan
masa inkubasi 2 - 6 hari. Jalannya penyakit perakut sulit bernafas, sianosis,

koma dan mati. Tingkat kematian bisa mencapai 86% dalam waktu 24 jam
(DEPARTEMEN KESEHATAN, 2003; WHO, 1998; APIC, 2005). Tipe
meningitis, merupakan komplikasi gejala demam tinggi, sakit kepala, sakit
otot, batuk, susah bernafas atau lanjutan dari ke-3 bentuk antraks yang telah
disebutkan di atas. Tingkat kematian dapat mencapai 100% dengan gejala
klinik pendarahan otak (WHO, 1998). Gambar I menggambarkan jumlah
kejadian antraks pada manusia baik yang meninggal maupun tidak.
Kejadian antraks pada manusia di Indonesia paling banyak adalah tipe kulit
dan beberapa tipe pencernaan (penyebab kematian).
2.4 Cara Penularan
Wilayah yang terserang antraks biasanya lebih bersifat terbatas.
Daerah-daerah yang terserang antraks biasanya memiliki tanah yang bersifat
alkalis dan kaya bahan-bahan organik (Subronto, 2003 dalam Yakin, 2010).
Sumber utama infeksi kuman adalah tanah dan air. Wabah dapat pula
menyebar melalui pakan. Padang rumput yang baru saja menerima air
berlebihan bisa juga menjadi penyebab penyakit ini. Kuman masuk ke
dalam tubuh melalui pencernaan makanan. Selain itu juga bisa masuk
melalui pernafasan. Spesies sapi biasanya yang paling banyak menderita
penyakit antraks (Subronto, 2003 dalam Yakin, 2010).
Faktor yang mempercepat penularan penyakit antraks adalah
musim panas, kekurangan makanan dan keletihan. Hewan yang mati karena
antraks menunjukkan bakteriamia yang hebat. Pada waktu bangkai dibuka
untuk pemeriksaan, oksigen yang ada diudara akan segera mengubah

kuman-kuman yang lebih tersebut menjadi spora yang memiliki ketahanan


yang tinggi. Oleh karena itu pemeriksaan bedah bangkai Antraks tidak
diperbolehkan atau dilarang (Subronto, 2003 dalam Yakin, 2010).
Penularan antraks juga terjadi dari hewan kepada manusia umumnya
secara kontak langsung dengan hewan penderita melalui luka atau hasil
hewan seperti bulu terhirup melalui pernafasan dan melalui saluran
pencernaan bagi orang yang memakan daging hewan penderita antraks.
Penularan antaks melalui kontak pada kulit yang terluka akan menimbulkan
antraks kulit (cutaneus anthrax) dengan lesi khas. Penularan penyakit
antraks pada manusia pada umumnya karena manusia mengonsumsi daging
yang berasal ternak yang mengidap penyakit tersebut. Meskipun hanya
mengonsumsi dalam jumlah kecil, Bacillus Anthracis mempunyai daya
menimbulkan penyakit sangat tinggi. Terlebih pada saat pertahanan tubuh
manusia menjadi rendah akibat: kelaparan, defisiensi vitamin A, keracunan
(alkohol), kepayahan, iklim yang jelek (sangat dingin/panas) dan cekaman
(stres). Peternak yang memiliki luka pada bagian tubuhnya seharunya tidak
masuk kandang ternak atau merawat ternak yang diduga terserang penyakit
antraks. Penularan penyakit dari manusia ke manusia jarang terjadi
meskipun ada kontak langsung dengan penderita.
2.5 Vaksinasi
Pencegahan dan pengendalian antraks di daerah endemik dilakukan
dengan cara vaksinasi. Vaksin antraks yang digunakan di Indonesia sampai
saat ini adalah vaksin aktif. Daya proteksi vaksin antraks pada ternak

ditentukan oleh respon imun terhadap protective antigen (PA), sedangkan 2


komponen toksin lainnya yaitu LF dan EF hanya berperan kecil dalam
memberikan proteksi. Antigen lainnya (kapsul dan dinding sel) belum
diidentifikasi berperan dalam proteksi (WHO, 1998). Vaksin antraks masa
mendatang harus dapat menstimulasi imun respon seluler dan imun respon
humoral (WHO, 1998). Vaksinasi pada ternak di Indonesia pada umumnya
masih menggunakan vaksin spora hidup atau live spora vaccine, yang
mengandung B. anthracis galur 34F2, bersifat toksigenik, dan tidak
berkapsul. Saat ini vaksin antraks bisa digunakan pada hewan dan manusia
sebagai pencegah penularan antraks, akan tetapi sangat beresiko jika
digunakan pada manusia. (WHO, 1998)

2.6 Model Penyebaran Antraks pada Hewan dan Manusia dengan Vaksin
Model penyakit Antraks dibangun dengan mengadaptasi model SIRS

oleh populasi hewan yang rentan terinfeksi penyakit

yang terinfeksi ( I 1)

populasi hewan yang telah sembuh

Manusia yang rentan terinfeksi penyakit

terinfeksi

( S1 ) populasi Hewan
( R1 ) , populasi

( S2 ) , populasi Manusia yang

( I 2) , populasi Manusia yang telah sembuh

( R2 ) , Model

matematika penyakit Antraks pada populasi hewan dan manusia dengan


vaksinasi adalah sebagai berikut:

Vh

1 Sh I h
Sh N h

A
1

Vm
2

3 Sh I h
N
2m
B

V hr

1
Ih

Rh
1

1
2

2 Sm I m
Sm N

Im

Rm
2

V mr
2

Pada diagram kompartemen diatas dijelaskan bahwa hewan yang


rentan dan hewan yang terinfeksi tidak saling menginfeksi. Begitu pula pada
manusia, manusia yang rentan dan manusia yang terinfeksi tidak saling
menginfeksi.

Tabel 2. Parameter-parameter yang digunakan pada model.


Paramete
Keterangan
r
Sh

Populasi hewan yang rentan

Sm

Populasi manusia yang rentan

Ih

Populasi hewan yang terinfeksi (infected)

Im

Populasi manusia yang terinfeksi (infected)

Rh

Populasi hewan yang sembuh (recovered)

Rm

Populasi manusia yang sembuh (recovered)

Vh

Populasi hewan yang rentan sudah di beri vaksin (vaccinated-h)

V hr

Populasi hewan yang sembuh sudah di beri vaksin (vaccinated-hr)

Vm

Populasi manusia yang rentan sudah di beri vaksin (vaccinated-m)

V mr

Populasi manusia yang sembuh sudah di beri vaksin (vaccinated-mr)

Nh

Jumlah total keseluruhan populasi hewan

Nm

Jumlah total keseluruhan populasi manusia

Banyaknya pertambahan populasi hewan

Banyaknya pertambahan populasi manusia

Laju kematian alami hewan

Laju kematian alami manusia

Laju penularan pada hewan

Laju penularan pada manusia

Laju penularan dari hewan ke manusia

Laju kesembuhan dari hewan terinfeksi

Laju kesembuhan dari manusia terinfeksi

Laju kematian hewan karena penyakit

Laju kematian manusia karena penyakit

Laju vaksinasi pada hewan yang rentan

Laju vaksinasi pada manusia yang rentan

Laju vaksinasi pada hewan yang sembuh

Laju vaksinasi pada manusia yang sembuh

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Komputer, Jurusan
Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Tadulako.
3.2 Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah laptop dengan
spesifikasi : processor intel core-i3, sistem operasi windows 8.1 64-bit ,
menggunakan software Android Studio dan Microsoft Word serta alat tulis
menulis. Adapun lebih detailnya adalah sebagai berikut :
Windows 8.1 64-bit sebagai sistem operasi pada komputer yang

digunakan.
Android Studio sebagai aplikasi utama pembuatan Aplikasi Android.
SDK (Software Development Kit) untuk mengembangkan aplikasi pada

platform Android .
Xampp untuk menjadikan komputer sebagai server yaitu apache,

MySQL, dan PHPMyAdmin.


MySQL sebagai perangkat penghubung dari database ke Android atau

Web.
Notepad++ sebagai aplikasi untuk membuat dan mengedit text, html,

xml, atau PHP.


Adobe Photoshop CS6 sebagai aplikasi untuk membuat bahan yang
diperlukan untuk desain aplikasi Android.

Seperangkat PC (Personal Computer) yang terhubung dengan internet.


Komputer dengan Ram 4 GB DDR3

3.3 Jenis dan Sumber Data


Secara umum jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif yang
meliputi data mahasiswa berupa KRS, KHS, Biodata, data dosen berupa
Biodata, Publikasi Jurnal, data laboratorium berupa informasi umum seputar
laboratorium. sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah website untad, aparatur akademik, dan prodi.
3.4 Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan sesuai prosedur dibawah ini :
1. Memulai penelitian.
2. Mengkaji literatur, membuat asumsi-asumsi, mendefinisikan parameter
yang digunakan pada model penyakit antraks.
3. Membangun model matematika pada penyakit antraks pada populasi
hewan dan manusia dengan vaksin.
4. Menentukan titik ekuilibrium model serta menganalisa kestabilan titiktitik ekuilibrium dari model antraks tersebut.
5. Membuat simulasi dan kesimpulan dari hasil penelitian.
3.5 Sistematika Penulisan
Pembahasan materi penelitian disusun menjadi 5 BAB. Materi tersebut
disusun dengan sistematika berikut ini :
BAB I : Pendahuluan, pada bagian ini dibahas mengenai latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan ruang lingkup
penelitian.
BAB II : Tinjauan Pustaka, Pada bagian ini berisi landasan teori dan
kerangka pikir dalam menunjang penelitian.
BAB III : Metode Penelitian, pada bagian ini dibahas mengenai lokasi
penelitian, alat penelitian, variabel penelitian, prosedur penelitian, teknik
analisa data, dan sistematika penulisan.

BAB IV : Hasil dan Pembahasan, yang berisi hasil dan pembahasan dari
model penyakit Antraks pada populasi hewan dan populasi manusia dengan
vaksin.
BAB V : Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.
3.6 Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama 4 bulan. Untuk
rincian jadwal pelaksanaan dapat dilihat pada tabel berikut:
Waktu Pelaksanaan (2015)
Januari

Kegiatan

No.
1

Persiapan
Penelitian

Studi
Literatur

Membangun
model

Menganalisis
Model

Simulasi

Penyusunuan
skripsi

3 4

Februari
1

Maret
4

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

April
4

4.1. Model Matematika Penyakit Antraks pada Hewan dan Manusia


dengan Vaksin
dSh
S I
= A 1 h h ( 1+ 1 ) S h .................................................(4.1)
dt
Nh
dI h 1 Sh I h
S I
=
( 1+ 1 + 1 ) I h 3 h h ...................................(4.2)
dt
Nh
Nm
dRh
= 1 I h 1 Rh 1 Rh ........................................................(4.3)
dt
dV h
= 1 Sh 1 V h ...................................................................(4.4)
dt
dV hr
=1 Rh 1 V hr ................................................................(4.5)
dt
dSm
S I S I
=B+ 3 h h 2 m m ( 2+ 2 ) S m ................................(4.6)
dt
Nm
Nh
dI m 2 S m I m
=
( 2+ 2 + 2) I m ...............................................(4.7)
dt
Nh
dRm
= 2 I m2 R m2 Rm ......................................................(4.8)
dt
dV m
= 2 S m2 V m ..................................................................(4.9)
dt
dV mr
= 2 Rm 2 V mr .............................................................(4.10)
dt

4.2. Titik Ekuilibrium Bebas Penyakit

DAFTAR PUSTAKA
Adji, R.S., dan Natalia L., 2006, Antraks, Pengendalian Penyakit Antraks:
Diagnosis, Vaksinasi dan Investigasi, Balai Besar Veteriner, Bogor, 16 (4).
Astiti, L.G.S., 2010, Manajemen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada
Ternak Sapi, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Nusa Tenggara Barat.
Binongko, A., 2012, Penyakit Menular,
https://adhienbinongko.wordpress.com/2012/12/01/anthrax-epidemiologipenyakit-menular/#respond (Diakses pada tanggal 2 Oktober).
Darmayanti, R.S., Saraswati, L.D., Wuryanto, M.Arie, 2012, Gambaran FaktorFaktor yang Terkait dengan Antraks pada Manusia di Desa Karangmojo
Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Tahun 2011, Jurnal Kesehatan
Masyarakat, Diponegoro, Vol.1: 454-465.
Dartini, Ni Luh., dan Narcana, I Ketut., 2011, Kasus Antraks di Kabupaten Sabu
Raiju Provinsi Nusa Teanggara Timur Tahun 2011, Balai Besar Veteriner,
Denpasar, 23(79).
Dinkes Provinsi Jawa Tengah., 2011, Penanganan Penyakit Antraks pada
Manusia di Jawa Tengah
http://mpu.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/2011/antrax_jateng.pdf
(Diakses pada tanggal 2 Oktober 2015).
Edwards, C.H. dan D.E. Penney, 2001, Differential Equation and Linear Algebra,
New Jersey: Prentice Hall Inc.

Hardiningsih, A.Y., 2010, Kajian Model Epidemk SIR Deterministik dan Stokastik
pada Waktu Diskrit, Skripsi S1 Tidak Dipublikasi Jurusan Matematika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Surabaya: Institut
Pertanian Teknologi Sepuluh November.
H.S, Gigieh. S, 2012., Pengaruh Pendididkan Kesehatan Tentang Pencegahan
Penyakt Antraks Terhadap Pengetahuan dan Sikap Peternak Sapi di Desa
Brojol Miri Sragen, Skrpsi S1 Program Studi Keperawatan Fakultas Ilmu
Kesehatan, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Martindah, E., dan S. Wahyuwardani, 1998, Pola Kasus Antraks pada Ternak di
Provinsi Nusa Tenggara Barat, Jurnal Ilmu Ternak dan Balai Penelitian
Veteriner 3(1): 39-46, Bogor.
Rahmawati, A., 2012, Antraks, Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap dengan
Upaya Pencegahan Penyakit Antraks pada Peternak Sapi di Desa Sempu
Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali, Skripsi S1 Naskah Publikasi
Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta.
S. Hardjoutomo., dan M.B. Poerwadikarta., 1996, Kajian Retrospektif Antraks di
Daerah Endemik Menggunakan Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA), Balai Penelitian Veteriner, Bogor, 2 (2): 127-131.
Tanzil Kunadi, 2013., Aspek Bakteriologi Penyakit Antraks, Bagian Mikrobiologi
Unversitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, 1(1).
Yakin, E.A., 2010, Vaksinasi Anthrax di Indonesia, Widyatama, , 19(1).

T. Pohan, H., 2005, Patogenesis, Dianosis dan Penatalaksanaan Antraks,


Departemen Ilmun Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 55 (1).

Anda mungkin juga menyukai