Anda di halaman 1dari 8

Isolasi C.

botulinum, Penyebab Botulisme yang Berpotensi sebagai Senjata Biologis

A. Latar Belakang
Penyakit antraks merupakan penyakit radang limpa menular dan zoonosis yang
disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Hewan ruminansia besar, ruminansia kecil dan
kuda merupakan hewan yang sangat peka, sedangkan babi, kijang dan manusia tergolong
peka terhadap serangan antraks. Bogor yang merupakan daerah endemis antraks, berdasarkan
dari data yang dikumpulkan di wilayah Kabupaten Bogor telah terjadi enam kali kasus
penyakit antraks yang telah banyak menelan korban baik ternak maupun manusia.
Senjata biologis yang ideal yang mempunyai tingkat infeksi dan potensi yang tinggi,
tersedia vaksinnya dan disebarkan dalam bentuk aerosol. Spora bakteri seperti pada bakteri
penyebab antraks yaitu Bacillus anthracis merupakan salah satu senjata biologi yang banyak
dipakai karena efektif dalam melumpuhkan lawan. Antraks digunakan sebagai senjata
biologis karena beberapa alasan yaitu bakterinya mudah dikultur, biaya untuk mengkultur
bakteri antraks tergolong mudah dan penyebaran spora bakteri antraks sangat cepat. Isolasi
bakteri antraks pada kasus antraks di Bogor menarik untuk dipelajari mengenai bagaimana
cara bakteri antraks di isolasi berdasarkan kasus yang telah terjadi di lingkungan masyarakat.

B. Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menggali informasi mengenai cara
mengkultur bakteri yang menimbulkan penyakit yang berpotensi untuk bioterorisme seperti
botulisme yang disebabkan oleh bakteri Clostridium botulinum.

C. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembaca dan umumnya bagi
masyarakat tentang kultur bakteri yang menyebabkan penyakit yang berpotensi untuk senjata
bilogis seperti botulismus.

D. Tinjauan pustaka
1. Antraks
Spora bakteri penyebab antraks merupakan salah satu jenis biologi yang
banyak dipakai karena efektif dalam melumpuhkan lawan. Antraks merupakan
penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis dan termasuk
salah satu penyakit zoonosis.
Klasifikasi Ilmiah
Filum Firmicutes
Kelas Bacilli
Ordo Bacillales
Famili Bacillaceae
Genus Bacillus
Spesies Bacillus Anthracis

Sumber : Wikipedia 2019

Bacillus anthracis dapat bersifat aerob obligat (bergantung pada oksigen) atau
anaerob fakultatif (memiliki kemampuan untuk menjadi aerobic atau anaerobic). Bakteri ini
berukuran 1-6 mikrometer dan merupakan penyebab penyakit antraks. Bacillus anthracis
ialah bakteri yang pertama ditunjukkan dapat menyebabkan penyakit. Hal ini diperlihatkan
oleh Robert Koch pada tahun 1877. Nama Anthracis berasal dari bahasa Yunani anthrax yang
berarti batu bara, merujuk pada penghitaman kulit pada korban. Penyakit antraks sudah lama
digunakan sebagai senjata biologi sejak perang dunia. Bacillus anthracis mempunyai ukuran
spora yang sangat kecil dan sangat efektif sebagai senjata biologi. Penyakit antraks
kebanyakan menyerang mamalia dan beberapa spesies burung, terutama herbivora.

Gambar spora Bacillus anthracis penyebab antraks


Sumber: Pixino.com

Hewan ternak yang sering terkontaminasi yaitu sapi, kerbau, kambing, domba dan
babi. Penyakit antraks atau yang sering dikenal juga sebagai penyakit radang limpa, radang
kura, miltbrand, miltvuur atau splenic fever merupakan salah satu penyakit zoonosis utama di
seluruh negara di dunia. Pengobatan dan pencegahan antraks perlu diperhatikan guna
mencegah terjadinya wabah anthraks. Penanganan dini dari penderita dapat dilakukan dengan
diagnosis penyakit sedini mungkin melalui anamnesis. Pengobatan dan pencegahan pun
diperlukan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit zoonosis ini.
setelah memakan daging yang terkontaminasi (Barkah, 2000).

2. Botulismus

Klasifikasi Ilmiah
Domain :Bacteria
Divisi :Firmicutes
Kelas :Clostridia
Ordo :Clostridiales
Famili :Clostridiaceae
Genus :Clostridium
Spesies : Clostridium botulinum Sumber : Wikipedia 2019

Clostridium botulinum merupakan bakteri berbentuk bacill (batang), anaerobik (tidak


dapat tumbuh di lingkungan yang mengandung oksigen bebas), Gram-positif, dapat
membentuk spora, dan dapat memproduksi racun syaraf yang kuat. Sporanya tahan panas dan
dapat bertahan hidup dalam makanan dengan pemrosesan yang kurang sesuai atau tidak
benar.

Sel vegetatif C. botulinum berbentuk batang dan berukuran cukup besar untuk ukuran
bakteri. Panjangnya antara 3 μm hingga 7 – 8 μm. Lebarnya antara 0,4 μm hingga 1,2 μm.
Pada pengecatan Gram, C. botulinum yang mengandung spora bersifat Gram positif,
sedangkan C. botulinum yang tidak mengandung spora bersifat Gram negatif. Namun, C.
botulinum termasuk bakteri Gram positif. Spora yang dihasilkan oleh sel Clostridium secara
struktural sangat berbeda dengan sel pada spesies itu sendiri, tapi yang terkenal adalah spora
pada Clostridia yang bersifat patogen. Lapisan paling luar spora disebut dengan exosporium.
Exosporium ini bervariasi antara masing – masing species, terkenal pada species yang
bersifat patogen, termasuk C. botulinum.
Gambar spora C. botulinum penyebab botulisme
Sumber: Pixino.com

Spora C. botulinum dapat bertahan sampai 3 – 4 jam jika dididihkan atau pada suhu
105°C selama 100 menit. Spora dapat dibunuh oleh klorin atau larutan hipoklorit. Spora C.
botulinum dapat bergerminasi jika diaktivasi oleh panas. Pengamatan untuk C. botulinum tipe
A, menunjukkan kemampuan bergerminasi dengan perlakuan panas atau heat shocking pada
suhu 80°C selama 10 – 20 menit. Spora sangat resisten terhadap pengeringan dan bertahan
hidup dalam keadaan kering untuk waktu lebih dari 30 tahun. Demikian pula spora resisten
terhadap sinar ultraviolet, alkohol dan senyawa fenol (Natalia, 2012).

Penyebab botulismus adalah neurotoksin dari C. botulinum yang merupakan bakteri


berspora, berbentuk batang, gram positif yang sporanya tersebar dalam tanah, tumbuh-
tumbuhan, isi usus hewan mammalia, unggas dan ikan. Sel vegetatif C. botulinum dapat
menghasilkan toksin dalam kondisi anaerobic seperti pada bangkai hewan ataupun dalam
makanan kaleng (Natalia, 2012).

Toksin C. botulinum adalah toksin biologis terkuat dari semua toksin lain yang pernah
dikenal. Dosis toksik tipe A sekitar 0,001 µg/kg, sehingga dosis yang dapat membunuh
manusia dengan berat badan sekitar 70 kg dengan rute per oral adalah sekitar 70 µg, dengan
rute pernafasan: 0,7 – 0,9 µg dan secara intravenous 0,09 sampai 0,15 µg. (SOBEL, 2005;
DEMBEK et al., 2009). Karena potensinya, toksin dari C. botulinum merupakan salah satu
senjata biologis pertama yang telah dikembangkan di beberapa negara seperti Jepang,
Jerman, Amerika, Rusia dan Irak. Senjata biologis toksin botulinum biasanya disebarkan
secara aerosol atau melalui makanan.

Mekanisme masuknya C. botulinum toksigenik ke dalam tubuh dapat melalui kontaminasi


luka, mulut/makanan dan inhalasi. C. botulinum yang sudah masuk dalam tubuh dapat
memproduksi toksin dalam saluran pencernaan atau jaringan tubuh yang luka karena
lingkungannya mendukung untuk pertumbuhannya. Toksin tidak diabsorbsi melalui kulit
yang utuh. Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin masuk dalam aliran darah dan
ditransportasikan menuju synaps cholinergik perifer terutama neuromuscular junction. Pada
tempat ini, heavy chain toksin berikatan dengan membran neuronal pada bagian presynaptic
synaps perifer. Toksin kemudian memasuki sel neuronal melalui receptor-mediated
endocytosis. Light chain dari toksin menyeberangi membran vesikel endocytic dan memasuki
sitoplasma. Di dalam sitoplasma, light chain toksin (yaitu senyawa zinc-yang mengandung
endopeptidase) memecah beberapa protein yang membentuk synaptic fusion complex.
Protein synaptic ini disebut sebagai protein soluble Nethylmaleimide-sensitive factor
attachment protein receptors (SNARE), termasuk synaptobrevin (terpecah oleh toksin tipe B,
D, F dan G), syntaxin (terpecah oleh toksin tipe C), dan synaptosomal- associatedprotein
(SNAP-25; terpecah oleh toksin tipe A, C, E). Neurotoksin clostridial mula-mula tampak
terikat pada kompleks SNARE sebelum terjadi pemecahan. Kompleks synaptic fussion akan
menyatukan vesikel synaptic (yang berisi acetyl choline) dengan membran terminal neuron.
Pecahnya kompleks synaptic fussion mencegah vesikel mengalami fusi dengan membran,
yang akan mencegah pelepasan acetylcholine ke dalam celah synaptic. Tanpa pelepasan
acetylcholine neuronal, otot yang berhubungan tidak dapat berkontraksi dan menjadi lumpuh.
Blokade pelepasan acetylcholine dapat berlangsung beberapa bulan. Fungsi normal akan
kembali dengan lambat melalui kembalinya protein SNARE ke dalam sitoplasma atau
melalui produksi synaps yang baru. Kematian akibat botulismus secara akut terjadi karena
obstruksi udara pernafasan atau kelumpuhan otot-otot pernafasan. Pengaruh langsung
botulinum neurotoxin (BoNT) pada sistem syaraf pusat belum dapat diperlihatkan secara
jelas. BoNT tidak dapat melakukan penetrasi ke blood-brain barrier karena ukurannya yaitu
150kDa. Pengaruh BoNT pada neuromuscular junction dan organ otot dapat mempengaruhi
sistem syaraf pusat secara tidak langsung.

E. Metodologi
Penelitian dilakukan di laboratorium mikrobiologi IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Sampel
tanah diambil dari beberapa daerah di wilayah Ciayumajakuning yang ditemukan adanya
peternakan ungags atau ruminansia. Sampel makanan kaleng diperoleh dari industry makanan
kaleng di wilayah Ciayumajakuning. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2019.
1. Alat dan Bahan
a. Alat
Sarung tangan, labu glas Erlenmeyer 250 ml, tabung reaksi ukuran 10 ml,
magnit baar, magnetic stirer, centrifuge, alat alat gelas, rak, tabung, biohazard,
hotplate.
b. Bahan
Sampel yang digunakan yaitu tanah dan makanan kaleng. Media yang
digunakan untuk isolasi Clostridium botulinum berupa egg yolk agar, aquadest
steril, dan lyzozym enzyme.
c. Langkah Kerja
1). Uji kultur biologic
a) Sampel yaitu tanah dan makanan kaleng ditimbang sebanyak 100 gram
dan aquades sebanyak 100 ml
b) Sampel ditampung dalam labu glass erlemeyer ukuran 250 ml,
dimasukkan magnit baar steril ke dalamnya
c) Gelas erlemenmeyer berisi sampel dan magnetic baar diletakkan diatas
magnetic stirer untuk dikocok selarna 60 menit agar sampel menjadi
terkonsentrasi.
d) Setelah dikocok selama 60 menit sampel yang akan diperiksa
dipisahkan terlebih dahulu beberapa saat sampai terlihat adanya dua
cairan atau endapan yang terpisah,
e) Dari cairan yang terpisah diambil sebanyak 1 sampai 2 ml ditampung
dalam tabung reaksi untuk diputar dengan centrifuge kecepatan 3000
rpm selama 15 menit sehingga akan terlihat adanya sedimen endapan
dari cairan yang pertama.
f) Endapan atau sedimen ditampung dan cairan atau supernatan dibuang,
sedimen diproses dengan menambahkan aquadest steril sebanyak 1 ml
dan dikocok kembali beberapa saat sampai homogen.
g) Cairan yang sudah dikocok dibagi dua bagian sama banyak, satu
bagian untuk disimpan dalam suhu 4° C selama satu malam dan satu
bagian dipanaskan pada suhu 80C selama 10 menit. Perlakuan
pemanasan ini dimaksudkan agar kuman lain yang tidak berspora mati.
h) Sampel yang telah dipanaskan ditambahkan heat resistant lytic enzyme
berupa lyzozym sebanyak 5 mikrogram/ml. Perlakuan ini bertujuan
untuk mengurangi heat stressed dan meningkatkan germinasi spora.
i) Setelah diendapkan dan dinormalkan suhunya, bagian dari supernatan
ditanam di media egg yolk agar dan diinkubasikan pada suhu 37 ° C
selama 24 jam sampai 72 jam dan koloni yang tumbuh diamati.
Sedangkan sampel dari bagian yang disimpan dalam lemari es setelah
24 jam dilakukan proses yang sama seperti tersebut diatas.
j) Pertumbuhan koloni C. botulinum diamati setelah 24 sampai 72 jam,
dan koloni yang dicurigai dipisahkan dengan menggunakan kawat Ose
yang sudah dipanaskan dan dipisahkan untuk ditanam ulang pada
media egg yolk agar untuk selanjutnya dilakukan identifikasi
berdasarkan sifat biologi biokimianya.
k) Pewarnaan gram dilakukan dengan pewarnaan cepat giemsa atau
Loeffler biru methylene
l) Diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali
2) Uji Mouse Lethality Assay
a) Sebagian sisa dari supernatan yang sudah dipergunakan, dibuat enceran
sampel dalam larutan penyangga posfat
b) Enceran sampel disuntikkan secara intraperitoneal pada mencit
c) Satu hari setelah disuntikkan sampel, perilaku mencit diamati. Jika
sampel mengandung toksin botulisme, mencit akan menunjukkan
gejala botulismus seperti kelemahan otot, sulit bernafas dan rambut
menjadi kusut.

F. Hasil
Isolasi bacillus antracis pada kasus antraks di Bogor tahun 2000 yang dikerjakan di
Laboratorium bakteriologi Balai Penelitian Veteriner berhasil mendeteksi dan mengisolasi
bakteri antraks dari sampel berupa tanah bekas tempat pemotongan dari kambing yang
sakit dipotong paksa, tanah kuburan dari kambing mati diduga antraks, potongan daging,
kulit, tulang dari kambing yang mati dikubur, sisa lemak dari kambing yang dipotong dan
swab darah hidung, mulut dan anus dari domba yang mati diduga antraks. Penelitian
menggunakan metode konvensional melalui uji kultur bakteriologik dan uji biologic.
Yang berhasil diisolasi dari sampel tanah bekas hewan kambing yang dipotong paksa dan
tanah bekas kuburan kambing mati yang diperiksa secara kultur bakteriologik dan uji
biologik menunjukkan hasil positif 4 (empat) untuk uji kultur bacteriologic, hasil positif 4
(empat) untuk uji bilogik dan hasil uji ascoli positif 3 (tiga) dari tanah bekas hewan sakit
dipotong.

G. Simpulan
Dalam mengungkap kasus antraks di wilayah Kabupaten dan Kotamadya Bogor pada
ternak kambing dan domba, Balai Penelitian Veteriner telah berhasil mendeteksi dengan
tehnik secara konvensional dan cara kultur bakteriologik menggunakan agar darah domba
5% dan menyuntik hewan percobaan marmot atau mencit dalam waktu 48 jam sampai 1
minggu dapat membunuh hewan percobaan sekaligus diketahui patogenitas dari kuman
antraks tersebut, sedangkan uji ascoli merupakan teknik yang lebih cepat untuk
mendiagnosa penyakit antraks.

Rekomendasi

Disarankan ada penelitian berkelanjutan mengenai deteksi toksin penyebab botulisme


secara molekuler seperti uji Enzym Linked Immunoassay (ELISA) dan atau uji Polymerase
Chain Reaction (PCR) yang merupakan uji sensitif dan spesifik. Dan diperlukan proses
lanjutan untuk mengubah bentuk spora koloni C. botulinum menjadi bentuk lain seperti
serbuk atau aersol.

DAFTAR PUSTAKA

Barkah, K. 2000. Isolasi Bacillus anthracis pada Kasus Antraks di Bogor. Balai Penelitian
Veteriner : 176-183

Natalia, L dan Priadi, A. 2012. Botulismus: Patogenesis, Diagnosis, dan Pencegahan. Balai
Besar penelitian Veteriner: 127-140

Anda mungkin juga menyukai