Biologi, Patogenesis, Diagnosis dan Pengendalian Cacing Dirofilaria immitis pada Anjing
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing merupakan binatang peliharaan yang banyak disukai karena anjing makhluk
sosial yang dapat berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan manusia, sehingga
banyak orang memilih anjing sebagai hewan peliharaannya. Pada umumnya anjing
dikatakan hewan yang dapat mudah menyesuaikan diri dan dapat menjadi teman sejati
manusia. Seseorang yang memelihara anjing harus siap dengan tanggung jawabnya yang
tinggi. Tidak hanya dijadikan hewan peliharaan saja, namun ada beberapa hal yang harus
diperhatikan saat memelihara anjing diantaranya lingkungan yang bersih dan tempat tinggal,
jenis dan tujuan pemeliharaan, serta penampilan anjing. Selain itu juga memperhatikan
perawatan anjing, seperti pakan, kebersihan, peralatan main dan sebagainya (Sunandar,
2003).
Hewan yang mengalami cacingan dapat mengalami akibat yang ditimbulkan seperti
pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi) dan metabolisme
makanan. Secara kumulatif, hewan yang cacingan akan menimbulkan kerugian pada zat
gizi, berupa kalori dan protein serta kehilangan darah (Aninda et al. 2018). Salah satu cacing
yang dapat menginfeksi anjing yaitu cacing Dirofilaria immitis. Dirofilaria immitis merupakan
cacing jantung pada anjing dan termasuk ke dalam cacing nematoda. Gejala yang
ditimbulkan pada anjing cacingan yaitu, batuk , kondisi melemah secara bertahap,
penurunan aktifitas, dan pada stadium lanjutannya mengalami sesak, edema, dan ascites
(Taylor et al. 2007).
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui mengenai infeksi cacing Dirofilaria immitis
pada anjing, baik itu ciri morfologi, habitat, siklus hidup, patogenesis, gejala klinis, patologi,
cara diagnosis, serta treatment dan pencegahannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Dirofilaria immitis (D. Immitis) merupakan cacing dari kelas nematoda, famili
filariidae, dan genus dirofilaria. Cacing ini dapat menyebabkan penyakit parasit pada jantung
anjing atau disebut juga Canine Heartworm Disease. Cacing dewasa dapat berada pada
ventrikel kanan, atrium kanan, arteri pulmonalis, dan vena cava posterior. Dirofilaria immitis
memiliki tubuh yang ramping, berwarna putih abu-abu, dan panjang sekitar 15-30 cm.
Cacing betina dewasa berukuran 25-30 cm, sedangkan cacing dewasa jantan berukuran
setengah dari panjang cacing betina yaitu 12-20 cm. Ciri khas cacing ini pada ekor cacing
jantan ditemukan spiral longgar yang khas umum ditemukan pada filaroid, terdapat 4-6
pasang papila ovoid, spikula kiri lebih panjang dan runcing, serta pada betina vulva terletak
tepat di belakang esophagus (Taylor et.al 2007). Dirofilaria immitis berada pada ventrikel
kanan anjing mengeluarkan mikrofilaria dan berkembang menjadi larva infektif pada nyamuk
sebagai vektornya (Oriyasmi et.al 2020). Menurut Karmil (2002) dalam Assady et.al (2016),
genus nyamuk yang dapat menjadi vektor Dirofilaria immitis diantaranya adalah Aedes
aegypti, Aedes albopictus, Anopheles subalbatus, dan Culex quinquefasciatus. Anjing yang
positif terinfeksi Dirofilaria immitis ditandai dengan gejala anemia, hipokrom mikrositik,
takikardia aritmia dan hidrops asistes (Widodo dan Karmil (1995) dalam Satamrinda et.al
(2021)).
Menurut Santoro et al. (2019), D. immitis ditransmisikan oleh gigitan nyamuk
penghisap darah dari famili Culicidae. Tingkat penyebarannya dipengaruhi oleh jumlah
keberadaan nyamuk yang pada daerah tersebut. Selain itu, tingginya keberadaan anjing
yang terinfeksi cacing ini juga dapat meningkatkan kasus infeksi D. immitis, terutama bila
cacing betina aktif memproduksi microfilariae. Transmisi microfilariae dipengaruhi pula oleh
suhu dan iklim. Perkembangan larva L3 cacing ini akan terhenti pada suhu di bawah 14°C.
Gaya hidup manusia juga dapat menjadi salah satu faktor transmisi cacing ini. Manusia yang
bepergian dari wilayah endemik (pedesaan) dapat menularkan infeksi pada cacing ini,
walaupun tidak dapat menjadi inang definitif untuk cacing ini. D. immitis yang belum dewasa
dilaporkan dapat menginfeksi manusia pada arteri pulmonal dan ruang depan mata.
Cacing dewasa hidup di jantung anjing, tepatnya di dekat pembuluh darah pulmonal.
Cacing betina dewasa bersifat ovovivipar dan melepaskan larva L1 (microfilariae). Ketika
vektor nyamuk menghisap darah anjing, larva L1 akan ikut serta masuk ke tubuh nyamuk.
Larva akan menuju hemocoel nyamuk dan berganti kulit sebanyak dua kali. Selanjutnya,
larva akan berkembang menjadi stadium infektif L3. Fase di tubuh vektor ini umumnya
berjalan selama 15-17 hari. Fase ini akan berlangsung lebih cepat di daerah dengan iklim
tropis. Ketika vektor menghisap darah kembali dari individu lainnya, L3 pada tubuh nyamuk
akan dilepaskan ke dalam tubuh individu tersebut. Larva akan berkembang menjadi L4 di
submukosa dan jaringan otot. Larva dewasa akan melakukan penetrasi pembuluh darah
untuk menuju jantung (Taylor et al. 2007).
Gambar 1. Siklus hidup Dirofilaria immitis (Selvachandran dan Foley 2016)
PEMBAHASAN
Tabel 1 Prevalensi Dirofilaria immitis berdasarkan faktor risiko (Erawan et al. 2017)
Faktor risiko n (anjing) Prevalensi (%) p
total positif
Jenis kelamin
Jantan 91 13 14.29 0.903
Betina 60 9 15.00
Umur
Bangsa
Asal
Penelitian selanjutnya lebih membahas mengenai profil darah anjing penderita CHD
(Canine Heartworm Disease) atau terinfeksi Dirofilaria immitis. Berdasarkan penelitian
Nugroho (2014), dari hasil nekropsi 35 ekor anjing, 1 ekor anjing ditemukan terinfeksi
Dirofilaria immitis. Hasil pemeriksaan morfologi cacing Dirofilaria immitis yang ditemukan
berjumlah 15, yang terdiri dari 9 betina dan 6 jantan. Cacing yang ditemukan memiliki
ukuran panjang berkisar antara 12-15 cm untuk cacing jantan dan 20-26 cm untuk cacing
betina. Dirofilaria immitis pada anjing yang terinfeksi ditemukan dalam organ jantung,
tepatnya di arteri pulmonalis.
Tabel 2 Perbandingan profil darah anjing normal dan penderita CHD (Nugroho 2014)
Pemeriksaan Anjing pembanding Anjing penderita CHD
Eusinofil (%) 5 15
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah pada Tabel 2, diketahui anjing penderita CHD
mengalami anemia dan leukositosis. Anemia yang terjadi berdasarkan interpretasi hasil uji
packet cell volume (PCV) dan hasil diferensial eritrosit (DE), di mana nilai PCV yang
diperoleh yaitu 32% dan DE 3.9 juta/ml darah. Hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan
dengan nilai PCV dan DE pada anjing yang tidak terdapat infestasi Dirofilaria immitis yaitu
41% dan 7 juta/ml darah (Nugroho 2014). Hasil anjing penderita CHD mengalami anemia
juga diperkuat oleh literatur Tilley et al. (2021) yang menyebutkan ukuran hematologi anjing
normal yaitu PCV 37.0-55.0% dan DE 5.5-8.5 juta/ml darah. Menurut Atkins (2003), anemia
yang terjadi akibat adanya mikrofilaria yang menjadikan plasma darah sebagai sumber
makanannya. Adanya gangguan pada plasma darah akan berakibat terganggunya pula
kehidupan (jumlah) eritosit dalam tubuh host.
Anjing penderita CHD dari hasil pemeriksaan diferensial leukosit (DL) dan
pengamatan preparat apus darah tampak mengalami leukositosis dan eosinofilia. Kedua
kejadian tersebut sangat mempunyai korelasi. Leukositosis yang terjadi akibat adanya
peningkatan jumlah eosinofil yang merupakan bagian dari leukosit. Hasil pemeriksaan DL
pada anjing penderita CHD diperoleh 19.6 di mana nilai DL ini lebih tinggi dari anjing yang
tidak terdapat infestasi Dirofilaria immitis yaitu 12. Hasil anjing penderita CHD mengalami
leukositosis juga diperkuat oleh literatur Tilley et al. (2021) yang menyebutkan jumlah
leukosit normal anjing adalah 6.0-17. Terjadinya leukositosis dan eusinofilia merupakan
respon perlawanan tubuh anjing penderita CHD terhadap adanya mikrofilaria dan cacing
Dirofilaria immitis dewasa di dalam tubuhnya. Infeksi cacing dalam tubuh akan merangsang
tubuh untuk memproduksi antibodi IgM, IgG, dan IgA sebagai respon tanggap kebal.
Makrofag berikatan dengan larva cacing melalui jalur yang diperantarai oleh IgE untuk dapat
menghancurkannya. IgE juga memperantarai sel mast dan menginduksi pelepasan faktor
anafilaksis kemotaksis eosinofil untuk memobilisasi cadangan eosinofil dalam jumlah besar
dalam sirkulasi darah (Nugroho 2014).
Berdasarkan penelitian Assady et al. (2016), gambaran patologis anjing berumur
lima tahun yang terinfeksi Dirofilaria immitis, yaitu ruang peritonium terdapat cairan kental
berwarna hijau keruh, dalam atrium kanan dan ventrikel kanan penuh dengan cacing
dewasa, beberapa cacing ditemukan dalam aorta dan vena cava, dilatasi dan endokarditis
jantung kanan yang diikuti dengan hipertropi kompensatoar, serta pada arteri pulmonalis
terjadi endarteritis yang mengakibatkan arteriosklerosis, penebalan endotel, dan perdarahan
focal pada intima. Sedangkan gejala klinis anjing terinfeksi Dirofilaria immitis menurut Taylor
et al. (2007), yaitu kondisi tubuh yang melemah secara bertahap, intoleransi olahraga, batuk
lunak kronis dengan hemoptisis, dan pada stadium lanjutnya sesak, edema, dan ascites.
Menurut Nugroho (2014), manusia yang terinfeksi mikrofilaria dari cacing Dirofilaria immitis
akan mengakibatkan infeksi pada organ paru-paru yang sering disebut dengan penyakit
Human Pulmonary Dirofilariosis (HPD). Manusia yang mengalami HPD akan menunjukkan
manifestasi gejala klinis pada sistem respirasinya, yaitu berupa batuk, hipersensitivitas, dan
lesi pulmoner.
Anjing yang terinfeksi oleh Dirofilaria immitis dengan jumlah yang rendah dapat tidak
menunjukkan gejala. Gangguan peredaran darah hanya terjadi pada infeksi kronis berat,
terutama karena obstruksi aliran darah normal yang menyebabkan gagal jantung kanan
kongestif kronis. Adanya massa cacing aktif menyebabkan endokarditis di katup jantung dan
endarteritis paru-paru proliferatif. Hal ini kemungkinan karena respons terhadap produk
ekskresi parasit. Cacing yang mati atau sekarat dapat juga menyebabkan emboli paru-paru.
Setelah sekitar 9 bulan, efek dari hipertensi pulmonal yang berkembang dikompensasi oleh
hipertrofi ventrikel kanan. Hal ini dapat menyebabkan gagal jantung kongestif dengan tanda-
tanda edema dan asites. Pada tahap ini, anjing menunjukkan gejala klinis lesu dan lemah.
Massa cacing dapat bersarang di vena cava posterior dan obstruksi yang dihasilkannya
menyebabkan sindrom akut hingga fatal yang dikenal sebagai sindrom vena caval. Kondisi
ini ditandai dengan hemolisis, hemoglobinuria, bilirubinemia, ikterus, dispnea, anoreksia,
dan kolaps. Kematian dapat terjadi dalam 2-3 hari. Terkadang, terdapat penyumbatan
kapiler ginjal oleh mikrofilaria yang mengarah ke glomerulonefritis, kemungkinan terkait
dengan pengendapan kompleks imun (Taylor et al. 2007).
SIMPULAN
Dirofilaria immitis (D. Immitis) merupakan cacing dari kelas nematoda, famili
filariidae, dan genus dirofilaria. D. Immitis dapat menyebabkan penyakit parasit pada jantung
anjing atau disebut juga Canine Heartworm Disease, ditransmisikan oleh gigitan nyamuk
penghisap darah dari famili Culicidae. Cacing ini dapat menimbulkan infeksi yang berbahaya
pada anjing, sebab cacing dewasa dari D. Immitis akan hidup di jantung anjing. Adanya
massa cacing aktif menyebabkan endokarditis di katup jantung dan endarteritis paru-paru
proliferatif. Infeksi kronis dari cacing D. Immitis pada anjing akan menyebabkan gagal
jantung. Gejala yang ditimbulkan dari infeksi ini adalah anjing menjadi lesu dan lemah, batuk
lunak kronis dengan hemoptisis, dan pada stadium lanjutnya sesak, edema, dan ascites.
Anjing yang terinfeksi Dirofilaria immitis dapat diobati dengan thiacetarsamide. Selain itu,
pencegahan dapat dilakukan dengan pengendalian nyamuk dari vektor D. Immitis dan
perawatan pada anjing harus dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Aninda, Fakhrizal D, Juhairiyah, Hairani B. 2018. Gambaran status gizi dan faktor risiko
kecacingan pada anak cacingan di masyarakat dayak meratus, kecamatan
loksado, kabupaten hulu sungai selatan. JHECDs. 4(2): 54-64
Atkins CE. 2003. Comparison of results of three commercial heartworm antigen test kits in
dogs with low heartworm burdens. J Am Vet Med Assoc. 222(9): 1221-1223.
Erawan IGMK, Tjahajati I, Nurcahyo W, Asmara W. 2016. Prevalensi dan faktor risiko infeksi
Dirofilaria immitis pada anjing yang dipotong di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Veteriner. 18(4): 541-546.
Meriem-Hind BM, Mohamed M. 2009. Prevalence of canine Dirofilaria immitis infection in the
city of Algiers, Algeria. African J of Agri Res. 4(10): 1097-1100.
Nugroho TAE. 2014. Investigasi cacing Dirofilaria immitis pada anjing yang dinekropsi di
Kota Gorontalo dan profil darah anjing penderita canine heartworm disease
[penelitian dosen pemula]. Gorontalo (ID): Universitas Negeri Gorontalo.
Oriyasmi AN, Karmil FT, Winaruddin, Athaillah F, Hamzah A, Balqis U, Daud M. 2020.
Pengaruh jumlah mikrofilaria pada anjing penderita Dirofilaria immitis terhadap
angka kematian nyamuk Culex quinquefasciatus isolat lapang. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Veteriner. 4(3): 96-100.
Selvachandran A, Foley RJ. 2016. Subcutaneous and pulmonary dirofilariasis with evidence
of splenic involvement. Case Report on Pulmonology. 1(1): 1-4.
Simon F, Miguel JG, Diosdado A, Gomez PJ, Morchon R, Kartashev V. 2017. The
complexity of zoonotic filariasis epysistem and its consequences: a multidisciplinary
view. BioMed Research International. 2017(1): 1-10.
Song KH, Hayasaki M, Cholic C, Cho KW, Ha HR, Jeong BH, Jeon MH, Park BK, Kom DH.
2002. Immunological responses of dogs experimentally infected with Dirofilaria
immitis. J Vet Sci. 3(2): 109-114.
Sunandar A. 2003. Pravalensi Kecacingan Ancylostoma Spp. Pada Anjing (Studi Kasus Di
Rumah Sakit Hewan Jakarta Periode Januari-Desember Tahun 2000 [skripsi].
Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology 3rd Ed. Oxford (UK): Blackwell
Publishing.
Tilley LP, Smith FWK, Sleeper MM, Brainard BM. 2021. Blackwell’s Five Minute Veterinary
Consult Canine and Feline 7th Ed. Philadelphia (US): Wiley-Blackwell.
Yildirim A, Ica A, Atalay O, Duzlu O, Inci A. 2007. Prevalence and epidemiological aspects of
Dirofilaria immitis from Kayseri Province, Turkey. Res Vet Sci. 82(3): 358- 363.