Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PARASITOLOGI VETERINER: ENDOPARASIT

Biologi, Patogenesis, Diagnosis dan Pengendalian Cacing Dirofilaria immitis pada Anjing

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Anjing merupakan binatang peliharaan yang banyak disukai karena anjing makhluk
sosial yang dapat berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan manusia, sehingga
banyak orang memilih anjing sebagai hewan peliharaannya. Pada umumnya anjing
dikatakan hewan yang dapat mudah menyesuaikan diri dan dapat menjadi teman sejati
manusia. Seseorang yang memelihara anjing harus siap dengan tanggung jawabnya yang
tinggi. Tidak hanya dijadikan hewan peliharaan saja, namun ada beberapa hal yang harus
diperhatikan saat memelihara anjing diantaranya lingkungan yang bersih dan tempat tinggal,
jenis dan tujuan pemeliharaan, serta penampilan anjing. Selain itu juga memperhatikan
perawatan anjing, seperti pakan, kebersihan, peralatan main dan sebagainya (Sunandar,
2003).

Di samping anjing sebagai hewan peliharaan yang menyenangkan, anjing sebagai


makhluk hidup pasti akan terserang penyakit. Penyakit yang menyerang anjing akan bersifat
infeksius dan non infeksius. Parasit merupakan penyakit infeksius yang dapat menyerang
tubuh anjing. Parasit yang sering menyerang pada anjing berbagai jenis kutu, tungau, dan
caplak, sementara untuk penyakit yang non infeksius pada anjing berbagai jenis cacing
gelang, cacing cambuk, cacing kait, dan cacing tambang (Sunandar, 2003). Pemberian
makanan yang tidak berkualitas, dan tidak menjaga kebersihan pada anjing akan membawa
dampak buruk pada anjing seperti cacingan. Cacingan pada anjing merupakan suatu parasit
usus yang dapat menjadi masalah kesehatan yang penting. Cacingan yang ekstrim dapat
menyebabkan kematian pada anjing.

Hewan yang mengalami cacingan dapat mengalami akibat yang ditimbulkan seperti
pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi) dan metabolisme
makanan. Secara kumulatif, hewan yang cacingan akan menimbulkan kerugian pada zat
gizi, berupa kalori dan protein serta kehilangan darah (Aninda et al. 2018). Salah satu cacing
yang dapat menginfeksi anjing yaitu cacing Dirofilaria immitis. Dirofilaria immitis merupakan
cacing jantung pada anjing dan termasuk ke dalam cacing nematoda. Gejala yang
ditimbulkan pada anjing cacingan yaitu, batuk , kondisi melemah secara bertahap,
penurunan aktifitas, dan pada stadium lanjutannya mengalami sesak, edema, dan ascites
(Taylor et al. 2007).

Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui mengenai infeksi cacing Dirofilaria immitis
pada anjing, baik itu ciri morfologi, habitat, siklus hidup, patogenesis, gejala klinis, patologi,
cara diagnosis, serta treatment dan pencegahannya.

TINJAUAN PUSTAKA

Dirofilaria immitis (D. Immitis) merupakan cacing dari kelas nematoda, famili
filariidae, dan genus dirofilaria. Cacing ini dapat menyebabkan penyakit parasit pada jantung
anjing atau disebut juga Canine Heartworm Disease. Cacing dewasa dapat berada pada
ventrikel kanan, atrium kanan, arteri pulmonalis, dan vena cava posterior. Dirofilaria immitis
memiliki tubuh yang ramping, berwarna putih abu-abu, dan panjang sekitar 15-30 cm.
Cacing betina dewasa berukuran 25-30 cm, sedangkan cacing dewasa jantan berukuran
setengah dari panjang cacing betina yaitu 12-20 cm. Ciri khas cacing ini pada ekor cacing
jantan ditemukan spiral longgar yang khas umum ditemukan pada filaroid, terdapat 4-6
pasang papila ovoid, spikula kiri lebih panjang dan runcing, serta pada betina vulva terletak
tepat di belakang esophagus (Taylor et.al 2007). Dirofilaria immitis berada pada ventrikel
kanan anjing mengeluarkan mikrofilaria dan berkembang menjadi larva infektif pada nyamuk
sebagai vektornya (Oriyasmi et.al 2020). Menurut Karmil (2002) dalam Assady et.al (2016),
genus nyamuk yang dapat menjadi vektor Dirofilaria immitis diantaranya adalah Aedes
aegypti, Aedes albopictus, Anopheles subalbatus, dan Culex quinquefasciatus. Anjing yang
positif terinfeksi Dirofilaria immitis ditandai dengan gejala anemia, hipokrom mikrositik,
takikardia aritmia dan hidrops asistes (Widodo dan Karmil (1995) dalam Satamrinda et.al
(2021)).
Menurut Santoro et al. (2019), D. immitis ditransmisikan oleh gigitan nyamuk
penghisap darah dari famili Culicidae. Tingkat penyebarannya dipengaruhi oleh jumlah
keberadaan nyamuk yang pada daerah tersebut. Selain itu, tingginya keberadaan anjing
yang terinfeksi cacing ini juga dapat meningkatkan kasus infeksi D. immitis, terutama bila
cacing betina aktif memproduksi microfilariae. Transmisi microfilariae dipengaruhi pula oleh
suhu dan iklim. Perkembangan larva L3 cacing ini akan terhenti pada suhu di bawah 14°C.
Gaya hidup manusia juga dapat menjadi salah satu faktor transmisi cacing ini. Manusia yang
bepergian dari wilayah endemik (pedesaan) dapat menularkan infeksi pada cacing ini,
walaupun tidak dapat menjadi inang definitif untuk cacing ini. D. immitis yang belum dewasa
dilaporkan dapat menginfeksi manusia pada arteri pulmonal dan ruang depan mata.
Cacing dewasa hidup di jantung anjing, tepatnya di dekat pembuluh darah pulmonal.
Cacing betina dewasa bersifat ovovivipar dan melepaskan larva L1 (microfilariae). Ketika
vektor nyamuk menghisap darah anjing, larva L1 akan ikut serta masuk ke tubuh nyamuk.
Larva akan menuju hemocoel nyamuk dan berganti kulit sebanyak dua kali. Selanjutnya,
larva akan berkembang menjadi stadium infektif L3. Fase di tubuh vektor ini umumnya
berjalan selama 15-17 hari. Fase ini akan berlangsung lebih cepat di daerah dengan iklim
tropis. Ketika vektor menghisap darah kembali dari individu lainnya, L3 pada tubuh nyamuk
akan dilepaskan ke dalam tubuh individu tersebut. Larva akan berkembang menjadi L4 di
submukosa dan jaringan otot. Larva dewasa akan melakukan penetrasi pembuluh darah
untuk menuju jantung (Taylor et al. 2007).
Gambar 1. Siklus hidup Dirofilaria immitis (Selvachandran dan Foley 2016)

Gambar 2. Informasi penyebaran D. immitis (biru)


D. immitis tersebar di hampir seluruh belahan dunia. Kasus tertinggi dilaporkan
terjadi di Kepulauan Kanari, Madeira, dan negara-negara Mediterania. Di India, kasus infeksi
terhadap cacing D. immitis dikabarkan terus meningkat, namun, kasus infeksi dikabarkan
mengalami penurunan di Jepang pada tahun 2001. Kasus infeksi cacing juga ditemukan di
Portugal, Spanyol, dan Itali, dengan prevalensi kasus 3-27%. Keberadaan infeksi cacing ini
juga dikabarkan terus meningkat pada rubah, serigala liar, dan juga rakun. D. immitis
merupakan penyakit endemik dari Australia bagian Selatan. Rubah di area urban dan
dingoes di daerah dengan densitas yang rendah menjadi sumber infeksi liar. Di New
Zealand, kasus akibat infeksi cacing ini juga telah dilaporkan. Kemungkinan, infeksi tersebut
bersumber dari Australia (Simon et al. 2017).

PEMBAHASAN

Contoh kasus, patologi, gejala klinis, patogenesis


Penelitian Erawan et al. (2017) membahas mengenai prevalensi dan faktor risiko
infeksi Dirofilaria immitis pada anjing yang dipotong di beberapa daerah di Indonesia.
Penelitian tersebut menggunakan sampel sebanyak 151 ekor anjing. Sebanyak 91 ekor
anjing (60.3%) adalah anjing jantan dan 60 ekor (39.7%) adalah anjing betina; 43 ekor
(28.5%) berumur di bawah satu setengah tahun dan 108 ekor (71.5%) berumur di atas satu
setengah tahun; 14 ekor (9.3%) anjing berjenis campuran dan 137 ekor (90.7%) anjing lokal.
Berdasarkan asal anjing, 13 ekor anjing (8.6%) berasal dari Yogyakarta, 93 ekor anjing
(61.6%) berasal dari Brebes dan sekitarnya (Jawa Tengah), dan 45 ekor anjing (29.8%)
berasal dari Pangandaran dan sekitarnya (Jawa Barat).

Tabel 1 Prevalensi Dirofilaria immitis berdasarkan faktor risiko (Erawan et al. 2017)
Faktor risiko n (anjing) Prevalensi (%) p

total positif

Jenis kelamin
Jantan 91 13 14.29 0.903

Betina 60 9 15.00

Umur

< 1.5 tahun 43 0 0.00 0.001

> 1.5 tahun 108 22 20.37

Bangsa

Campuran 14 0 0.00 0.224

Lokal 137 22 16.06

Asal

Yogyakarta 13 0 0.00 0.000

Jawa Tengah 93 3 3.23

Jawa Barat 45 19 42.22

Melalui pemeriksaan secara langsung pada jantung, cacing Dirofilaria immitis


ditemukan di arteri pulmoner dan/atau ventrikel kanan pada 22 ekor anjing dengan
prevalensi 14.6%, sedangkan dengan menggunakan metode Modified Knott’s Technique,
mikrofilaria hanya ditemukan pada 12 ekor anjing dengan prevalensi 7.9%. Modified Knott’s
Technique adalah pemeriksaan untuk mengetahui ada tidaknya mikrofilaria pada darah tepi.
Perbedaan angka prevalensi ini dapat terjadi karena adanya infeksi yang bersifat samar
(occult infection atau infeksi tanpa disertai adanya mikrofilaria pada darah tepi). Menurut
Song et al. (2002), jumlah infeksi samar dapat mencapai 10-67% pada anjing yang terinfeksi
secara alami. Hal ini dapat terjadi karena anjing terinfeksi oleh satu jenis kelamin Dirofilaria
immitis, cacingnya mandul, cacingnya belum dewasa, atau telah terjadi pembersihan
mikrofilaria oleh sistem kebal induk semang.
Berdasarkan Tabel 1, prevalensi infeksi Dirofilaria immitis tidak berbeda nyata
(p>0.05) antara anjing jantan dan betina. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya
perbedaan sistem pemeliharaan anjing terutama anjing lokal antara anjing jantan dan betina.
Oleh karena itu, jenis kelamin anjing bukan merupakan faktor risiko infeksi Dirofilaria immitis
(Erawan et al. 2017). Penelitian lain yaitu menurut Meriem-Hind dan Mohamed (2009) juga
menyatakan bahwa prevalensi infeksi Dirofilaria immitis pada anjing jantan tidak berbeda
nyata dengan anjing betina.
Selanjutnya, pada Tabel 1, prevalensi berdasarkan umur menunjukkan bahwa infeksi
Dirofilaria immitis pada anjing berumur di atas 1.5 tahun sangat nyata lebih tinggi (p<0.01)
dibandingkan anjing berumur di bawah 1.5 tahun. Bahkan, anjing yang berumur di bawah
1.5 tahun tidak ada yang terinfeksi Dirofilaria immitis. Hasil penelitian Erawan et al. (2007)
sesuai dengan pendapat Bolio-Gonzales et al. (2007) yang menyatakan bahwa risiko infeksi
Dirofilaria immitis pada anjing akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur karena
meningkatnya periode kontak anjing dengan inang antara yaitu nyamuk.
Berikutnya adalah prevalensi berdasarkan faktor risiko bangsa anjing. Berdasarkan
Tabel 1, faktor bangsa anjing tidak berpengaruh secara nyata (p>0.05) terhadap prevalensi
infeksi Dirofilaria immitis. Hasil penelitian Erawan et al. (2007) ini mengindikasikan bahwa
kedua bangsa anjing, yaitu campuran dan lokal memiliki kepekaan terhadap infeksi
Dirofilaria immitis dan kesempatan kontak dengan inang antara yang tidak berbeda nyata.
Berdasarkan Tabel 1, daerah asal anjing berpengaruh sangat nyata (p<0.01)
terhadap prevalensi infeksi Dirofilaria immitis. Prevalensi infeksi Dirofilaria immitis paling
tinggi dijumpai pada anjing yang berasal dari Pangandaran dan sekitarnya (Jawa Barat),
berbeda nyata dengan prevalensi infeksi Dirofilaria immitis pada anjing yang berasal dari
Yogyakarta serta Brebes dan sekitarnya (Jawa Tengah). Menurut Yildrim et al. (2007),
perbedaan prevalensi berdasarkan daerah asal mungkin disebabkan oleh kondisi
lingkungan, populasi vektor, dan situasi infeksi Dirofilaria immitis di daerah tersebut.

Gambar 3 Jantung anjing yang terinfeksi Dirofilaria immitis (Nugroho 2014)

Penelitian selanjutnya lebih membahas mengenai profil darah anjing penderita CHD
(Canine Heartworm Disease) atau terinfeksi Dirofilaria immitis. Berdasarkan penelitian
Nugroho (2014), dari hasil nekropsi 35 ekor anjing, 1 ekor anjing ditemukan terinfeksi
Dirofilaria immitis. Hasil pemeriksaan morfologi cacing Dirofilaria immitis yang ditemukan
berjumlah 15, yang terdiri dari 9 betina dan 6 jantan. Cacing yang ditemukan memiliki
ukuran panjang berkisar antara 12-15 cm untuk cacing jantan dan 20-26 cm untuk cacing
betina. Dirofilaria immitis pada anjing yang terinfeksi ditemukan dalam organ jantung,
tepatnya di arteri pulmonalis.

Tabel 2 Perbandingan profil darah anjing normal dan penderita CHD (Nugroho 2014)
Pemeriksaan Anjing pembanding Anjing penderita CHD

Packed cell volume (%) 41 32

Diferensial eritrosit 7 3.9


(RBC 10 x 6 mm3)
Diferensial leukosit 12 19.6
(WBC 10 x 3 mm3)

Eusinofil (%) 5 15

Diagnosa 1. Normal 1. Anemia


2. Normal 2. Leukositosis

Keterangan Tidak ada infestasi parasit Terdapat infestasi cacing


Dirofilaria immitis

Berdasarkan hasil pemeriksaan darah pada Tabel 2, diketahui anjing penderita CHD
mengalami anemia dan leukositosis. Anemia yang terjadi berdasarkan interpretasi hasil uji
packet cell volume (PCV) dan hasil diferensial eritrosit (DE), di mana nilai PCV yang
diperoleh yaitu 32% dan DE 3.9 juta/ml darah. Hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan
dengan nilai PCV dan DE pada anjing yang tidak terdapat infestasi Dirofilaria immitis yaitu
41% dan 7 juta/ml darah (Nugroho 2014). Hasil anjing penderita CHD mengalami anemia
juga diperkuat oleh literatur Tilley et al. (2021) yang menyebutkan ukuran hematologi anjing
normal yaitu PCV 37.0-55.0% dan DE 5.5-8.5 juta/ml darah. Menurut Atkins (2003), anemia
yang terjadi akibat adanya mikrofilaria yang menjadikan plasma darah sebagai sumber
makanannya. Adanya gangguan pada plasma darah akan berakibat terganggunya pula
kehidupan (jumlah) eritosit dalam tubuh host.
Anjing penderita CHD dari hasil pemeriksaan diferensial leukosit (DL) dan
pengamatan preparat apus darah tampak mengalami leukositosis dan eosinofilia. Kedua
kejadian tersebut sangat mempunyai korelasi. Leukositosis yang terjadi akibat adanya
peningkatan jumlah eosinofil yang merupakan bagian dari leukosit. Hasil pemeriksaan DL
pada anjing penderita CHD diperoleh 19.6 di mana nilai DL ini lebih tinggi dari anjing yang
tidak terdapat infestasi Dirofilaria immitis yaitu 12. Hasil anjing penderita CHD mengalami
leukositosis juga diperkuat oleh literatur Tilley et al. (2021) yang menyebutkan jumlah
leukosit normal anjing adalah 6.0-17. Terjadinya leukositosis dan eusinofilia merupakan
respon perlawanan tubuh anjing penderita CHD terhadap adanya mikrofilaria dan cacing
Dirofilaria immitis dewasa di dalam tubuhnya. Infeksi cacing dalam tubuh akan merangsang
tubuh untuk memproduksi antibodi IgM, IgG, dan IgA sebagai respon tanggap kebal.
Makrofag berikatan dengan larva cacing melalui jalur yang diperantarai oleh IgE untuk dapat
menghancurkannya. IgE juga memperantarai sel mast dan menginduksi pelepasan faktor
anafilaksis kemotaksis eosinofil untuk memobilisasi cadangan eosinofil dalam jumlah besar
dalam sirkulasi darah (Nugroho 2014).
Berdasarkan penelitian Assady et al. (2016), gambaran patologis anjing berumur
lima tahun yang terinfeksi Dirofilaria immitis, yaitu ruang peritonium terdapat cairan kental
berwarna hijau keruh, dalam atrium kanan dan ventrikel kanan penuh dengan cacing
dewasa, beberapa cacing ditemukan dalam aorta dan vena cava, dilatasi dan endokarditis
jantung kanan yang diikuti dengan hipertropi kompensatoar, serta pada arteri pulmonalis
terjadi endarteritis yang mengakibatkan arteriosklerosis, penebalan endotel, dan perdarahan
focal pada intima. Sedangkan gejala klinis anjing terinfeksi Dirofilaria immitis menurut Taylor
et al. (2007), yaitu kondisi tubuh yang melemah secara bertahap, intoleransi olahraga, batuk
lunak kronis dengan hemoptisis, dan pada stadium lanjutnya sesak, edema, dan ascites.
Menurut Nugroho (2014), manusia yang terinfeksi mikrofilaria dari cacing Dirofilaria immitis
akan mengakibatkan infeksi pada organ paru-paru yang sering disebut dengan penyakit
Human Pulmonary Dirofilariosis (HPD). Manusia yang mengalami HPD akan menunjukkan
manifestasi gejala klinis pada sistem respirasinya, yaitu berupa batuk, hipersensitivitas, dan
lesi pulmoner.
Anjing yang terinfeksi oleh Dirofilaria immitis dengan jumlah yang rendah dapat tidak
menunjukkan gejala. Gangguan peredaran darah hanya terjadi pada infeksi kronis berat,
terutama karena obstruksi aliran darah normal yang menyebabkan gagal jantung kanan
kongestif kronis. Adanya massa cacing aktif menyebabkan endokarditis di katup jantung dan
endarteritis paru-paru proliferatif. Hal ini kemungkinan karena respons terhadap produk
ekskresi parasit. Cacing yang mati atau sekarat dapat juga menyebabkan emboli paru-paru.
Setelah sekitar 9 bulan, efek dari hipertensi pulmonal yang berkembang dikompensasi oleh
hipertrofi ventrikel kanan. Hal ini dapat menyebabkan gagal jantung kongestif dengan tanda-
tanda edema dan asites. Pada tahap ini, anjing menunjukkan gejala klinis lesu dan lemah.
Massa cacing dapat bersarang di vena cava posterior dan obstruksi yang dihasilkannya
menyebabkan sindrom akut hingga fatal yang dikenal sebagai sindrom vena caval. Kondisi
ini ditandai dengan hemolisis, hemoglobinuria, bilirubinemia, ikterus, dispnea, anoreksia,
dan kolaps. Kematian dapat terjadi dalam 2-3 hari. Terkadang, terdapat penyumbatan
kapiler ginjal oleh mikrofilaria yang mengarah ke glomerulonefritis, kemungkinan terkait
dengan pengendapan kompleks imun (Taylor et al. 2007).

Diagnosis, pengobatan, pencegahan


Berdasarkan gejala klinis dari disfungsi kardiovaskular dan demonstrasi mikrofilaria
dalam darah. Anjing non-mikrofilaremia dapat menampung parasit dewasa. Prevalensi
infeksi D. immitis pada anjing berumur diatas satu setengah tahun ternyata lebih tinggi
daripada anjing berumur dibawah satu tahun, bahkan anjing yang berumur dibawah satu
tahun tidak ada yang terinfeksi D. immitis. Anjing yang berumur diatas 1,5 tahun mempunyai
risiko terinfeksi D. immitis 11,63 kali lebih tinggi dibandingkan anjing berumur dibawah 1,5
tahun (Erawan et al. 2016). Dalam kasus dimana mikrofilaria tidak dapat ditunjukkan maka
dapat menggunakan radiografi toraks karena dapat menunjukkan penebalan arteri
pulmonalis dan hipertrofi ventrikel kanan. Angiografi juga dapat digunakan untuk
menunjukkan perubahan vaskular lebih jelas. Pada nekropsi, cacing dewasa sering
ditemukan di sebelah kanan ruang jantung dan pembuluh darah besar yang berdekatan. Tes
imunodiagnostik juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kasus yang tidak terdeteksi
mikrofilaremia. Misalnya sejumlah alat uji ELISA yang digunakan untuk mendeteksi antigen
cacing jantung yang bersirkulasi, atau antibodi spesifik, yang akan mengidentifikasi
sebagian besar infeksi (Taylor et al. 2007).
Identifikasi mikrofilaria dalam darah dapat dibantu dengan mengkonsentrasikan
parasit setelah lisis, filtrasi dan kemudian pewarnaan dengan metilen biru atau May-
Grunwald Giemsa. Alternatifnya adalah dengan menggunakan satu bagian darah dan
sembilan bagian formalin disentrifugasi dan endapannya dicampur dengan pewarna biru dan
diperiksa secara mikroskopis mengolesi. Mikrofilaria harus dibedakan dari Dipetalonema
reconditum, seekor filaria parasit yang biasa ditemukan di subkutis pada anjing. Diferensiasi
yang tepat dapat dicapai dengan menggunakan pewarnaan histokimia untuk aktivitas asam
fosfatase. D. immitis menunjukkan asam-fosfat merah yang berbeda positif bercak pada pori
ekskretoris dan anus, sedangkan D. reconditum berwarna merah muda secara keseluruhan.
Diagnosis banding mungkin dicapai melalui aplikasi berbasis PCR teknologi DNA
rekombinan (Taylor et al. 2007).
Pengobatan pada penyakit ini sangat rumit karena cacing hati dewasa dan
mikrofilaria memiliki perbedaan dalam kerentanannya terhadap anthelmintik. Pengobatan ini
tidak boleh dilakukan tanpa pemeriksaan fisik anjing dan juga penilaian fungsi jantung, paru-
paru, hati dan ginjal. Apabila fungsi-fungsi ini tidak normal maka diperlukan pengobatan
untuk insufisiensi jantung. Rekomendasi yang biasa diberikan pada anjing yang terinfeksi
pertama kali adalah dengan cara diobati secara intravena dengan thiacetarsamide dua kali
sehari atau secara intramuskular dengan melarsamide selama dua hari untuk
menghilangkan cacing dewasa. Reaksi toksik juga tidak jarang terjadi setelah perawatan ini
karena kematian dan disintegrasi cacing hati dan emboli yang dihasilkan dan aktivitas anjing
harus dibatasi untuk jangka waktu 2-6 minggu (Taylor et al. 2007).
Perawatan lebih lanjut diberikan dengan 6 minggu kemudian untuk menghilangkan
mikrofilaria yang tidak rentan terhadap perlakuan thiacetarsamide atau melarsamide.
Beberapa obat sekarang yang tersedia untuk ini adalah dithiazanine iodide yang diberikan
selama 7 hari, dan levamisol yang diberikan secara oral selama 10-14 hari dan telah terbukti
efektif. Avermectins juga sangat efisien terhadap mikrofilaria, seperti halnya milbemisin pada
cacing hati dengan dosis profilaksis 500 µg/kg. Hal ini dapat menginduksikan cepatnya
pembersihan mikrofilaria tetapi obat ini tidak memiliki lisensi karena dapat menimbulkan efek
beracun atau efek samping pada mikrofilarisida. Dokter hewan yang memilih untuk
menggunakan salah satu obat untuk mikrofilarisida harus menyadari bahwa ini adalah
aplikasi '‘extra-label’' dan mereka bertanggung jawab untuk pemberian dosis yang benar dan
memberikan pemantauan yang tepat dan juga perawatan setelahnya. Semua obat ini
memiliki risiko yang terhadap reaksi kematian mikrofilaria. Dalam beberapa kasus yang
parah, cacing hati diangkat melalui pembedahan daripada terlibat risiko efek samping obat.
Setelah perawatan, biasanya menempatkan anjing pada program profilaksis (Taylor et al.
2007).
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara pengendalian nyamuk akan tetapi hal ini
sangat sulit dan oleh karena itu profilaksis hampir seluruhnya didasarkan pada pengobatan.
Obat yang banyak digunakan untuk ini adalah dietilkarbamazin, di daerah endemik diberikan
secara oral kepada anak anjing setiap hari dari usia 2-3 bulan. Hal ini dapat membunuh
larva yang sedang berkembang dan mencegah masalah infeksi dan mikrofilaraemia. Di
daerah tropis obat diberikan sepanjang tahun, tetapi pada daerah yang beriklim dimulai 1
bulan sebelum musim nyamuk dan berhenti 2 bulan setelah itu berakhir. Profilaksis
diperkenalkan pada anjing yang lebih tua atau anjing yang sudah perawatan akibat
terinfeksi, perawatan harus dilakukan untuk memastikan bahwa anjing bebas dari infeksi
mikrofilaria karena reaksi anafilaktoid dapat terjadi pada anjing yang terinfeksi setelah
pengobatan dietilkarbamazin. Setelah profilaksis diperkenalkan maka pemeriksaan rutin
untuk mikrofilaria harus dilakukan setiap 6 bulan. Metode paling mutakhir untuk mencegah
infeksi cacing jantung melibatkan pemberian bulanan, sepanjang musim nyamuk, ivermectin
atau milbemycin yang diformulasikan khusus untuk penggunaan ini pada anjing (Taylor et al.
2007).

SIMPULAN
Dirofilaria immitis (D. Immitis) merupakan cacing dari kelas nematoda, famili
filariidae, dan genus dirofilaria. D. Immitis dapat menyebabkan penyakit parasit pada jantung
anjing atau disebut juga Canine Heartworm Disease, ditransmisikan oleh gigitan nyamuk
penghisap darah dari famili Culicidae. Cacing ini dapat menimbulkan infeksi yang berbahaya
pada anjing, sebab cacing dewasa dari D. Immitis akan hidup di jantung anjing. Adanya
massa cacing aktif menyebabkan endokarditis di katup jantung dan endarteritis paru-paru
proliferatif. Infeksi kronis dari cacing D. Immitis pada anjing akan menyebabkan gagal
jantung. Gejala yang ditimbulkan dari infeksi ini adalah anjing menjadi lesu dan lemah, batuk
lunak kronis dengan hemoptisis, dan pada stadium lanjutnya sesak, edema, dan ascites.
Anjing yang terinfeksi Dirofilaria immitis dapat diobati dengan thiacetarsamide. Selain itu,
pencegahan dapat dilakukan dengan pengendalian nyamuk dari vektor D. Immitis dan
perawatan pada anjing harus dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Aninda, Fakhrizal D, Juhairiyah, Hairani B. 2018. Gambaran status gizi dan faktor risiko
kecacingan pada anak cacingan di masyarakat dayak meratus, kecamatan
loksado, kabupaten hulu sungai selatan. JHECDs. 4(2): 54-64

Assady M, Nazaruddin, Aliza D, Hamdani, Aisya S, Rosmaidar. 2016. Prevalensi


dirofilariasis pada anjing lokal (Canis domestica) di Kecamatan Lhoknga Aceh
Besar secara patologi anatomis. Jurnal Medika Veteriner. 10(2): 109-111.

Atkins CE. 2003. Comparison of results of three commercial heartworm antigen test kits in
dogs with low heartworm burdens. J Am Vet Med Assoc. 222(9): 1221-1223.

Bolio-Gonzalez ME, Rodriguez-Vivas RI, Sauri- Arceo CH, Gutierrez-Blanco E, Ortega-


Pacheco A, Colin-Flores RF. 2007. Prevalence of the Dirofilaria immitis infection in
dogs from Merida, Yucatan, Mexico. Vet Parasitol. 148(2): 166-169.

Erawan IGMK, Tjahajati I, Nurcahyo W, Asmara W. 2016. Prevalensi dan faktor risiko infeksi
Dirofilaria immitis pada anjing yang dipotong di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Veteriner. 18(4): 541-546.

Meriem-Hind BM, Mohamed M. 2009. Prevalence of canine Dirofilaria immitis infection in the
city of Algiers, Algeria. African J of Agri Res. 4(10): 1097-1100.

Nugroho TAE. 2014. Investigasi cacing Dirofilaria immitis pada anjing yang dinekropsi di
Kota Gorontalo dan profil darah anjing penderita canine heartworm disease
[penelitian dosen pemula]. Gorontalo (ID): Universitas Negeri Gorontalo.

Oriyasmi AN, Karmil FT, Winaruddin, Athaillah F, Hamzah A, Balqis U, Daud M. 2020.
Pengaruh jumlah mikrofilaria pada anjing penderita Dirofilaria immitis terhadap
angka kematian nyamuk Culex quinquefasciatus isolat lapang. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Veteriner. 4(3): 96-100.

Santoro M, Miletti G, Vangine L, Spadari L, Reccia S, Fusco G. 2019. Heartworm disease


(Dirofilaria immitis) in two roaming dogs from the urban area of Castel Volturno,
Southern Italy. Frontiers Veterinary Science. 6: 270.

Satamrinda, Karmil FT, Winaruddin, Hanafiah M, Hasan M, Zainuddin. 2021. Jumlah


mikrofilaria pada anjing penderita Dirofilaria immitis terhadap angka kematian
Aedes albopictus isolat lapang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Veteriner. 5(1): 10-15.

Selvachandran A, Foley RJ. 2016. Subcutaneous and pulmonary dirofilariasis with evidence
of splenic involvement. Case Report on Pulmonology. 1(1): 1-4.
Simon F, Miguel JG, Diosdado A, Gomez PJ, Morchon R, Kartashev V. 2017. The
complexity of zoonotic filariasis epysistem and its consequences: a multidisciplinary
view. BioMed Research International. 2017(1): 1-10.

Song KH, Hayasaki M, Cholic C, Cho KW, Ha HR, Jeong BH, Jeon MH, Park BK, Kom DH.
2002. Immunological responses of dogs experimentally infected with Dirofilaria
immitis. J Vet Sci. 3(2): 109-114.

Sunandar A. 2003. Pravalensi Kecacingan Ancylostoma Spp. Pada Anjing (Studi Kasus Di
Rumah Sakit Hewan Jakarta Periode Januari-Desember Tahun 2000 [skripsi].
Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology 3rd Ed. Oxford (UK): Blackwell
Publishing.

Tilley LP, Smith FWK, Sleeper MM, Brainard BM. 2021. Blackwell’s Five Minute Veterinary
Consult Canine and Feline 7th Ed. Philadelphia (US): Wiley-Blackwell.

Yildirim A, Ica A, Atalay O, Duzlu O, Inci A. 2007. Prevalence and epidemiological aspects of
Dirofilaria immitis from Kayseri Province, Turkey. Res Vet Sci. 82(3): 358- 363.

Anda mungkin juga menyukai