Anda di halaman 1dari 23

Laporan Praktikum Demostrasi Klinik

PENYAKIT KULIT DAN PARASIT DARAH PADA ANJING


(Demodecosis, Pyoderma dan Babesiosis)

OLEH:

Nama : A. Ayu Nur Ramadhani


NIM : O111 15 003
Kelompok :4
Asisten : Wulan Sari Sinaga

Bagian Bedah & Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi &Patologi


Program Studi Kedokteran Hewan
Universitas Hasanuddin
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anjing merupakan salah satu hewan kesayangan, yang dipelihara untuk berbagai tujuan,
diantaranya sebagai penjaga rumah, teman atau ajang hiburan untuk menghilangkan stres maupun
sebagai simbul status (Sendow dan Helmi, 2004). Kasus infestasi ektoparasit merupakan kasus
yang paling banyak didiagnosa dari anjing dan kucing yang dating ke klinik hewan dengan angka
sebesar 30,00% pada anjing ras dan 45,58% pada kucing ras. Kasus dermatofitosis merupakan
kasus kedua terbanyak yang dialami pasien, yaitu sebesar 25,71% pada anjing ras dan 14,28%
pada kucing ras. Kapang Dermatofita tidak ditemukan pada contoh kerokan kulit dan rambut
(Trisandi, 2016).
Anjing merupakan salah satu hewan kesayangan, yang dipelihara untuk berbagai tujuan,
diantaranya sebagai penjaga rumah, teman atau ajang hiburan untuk menghilangkan stres maupun
sebagai simbul status. Sebagian konsekuensinya, tidak sedikit orang mengeluarkan uang sangat
banyak hanya untuk membeli seekor anjing impor yang secara fisik maupun kepribadian telah
direkomendasikan baik secara nasional maupun internasional. Namun demikian ada beberapa
jenis penyakit infeksius pada anjing yang sering ditemukan dan mengancam kehidupannya,
diantaranya adalah, Distemper, Kennel cough dan Canine parvovirus (Sendow dan Helmi, 2004).
Dari berbagai macam manfaat yang dapat diperoleh dari hewan satu ini, pemilik anjing
harus mengetahui bagaimana cara merawat dan menjaga kesehatan hewan ini secara benar agar
terhindar dari berbagai macam penyakit yang dapat menjangkiti. Penyakit tersebut
dikelompokkan berdasarkan penyebab penularannya yaitu kelompok biotik dan kelompok
abiotik. Dalam kelompok biotik, penyakit anjing dibagi menjadi beberapa jenis penyebab
penularannya antara lain dikarenakan oleh bakteri, parasit, virus, jamur dan juga kutu. Untuk
kelompok abiotik, disebabkan oleh keracunan, kebakaran, kecelakaan, dan juga kondisi fisik
hewan itu sendiri (Dartawibawa, 2013). Anjing sebagai hewan kesayangan yang banyak disukai
dan dipelihara oleh banyak orang, sering mengalami gangguan penyakit kulit yang disebut
Demodikosis (Sardjana,2012).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka praktikum perlu dilakukan agar mahasiswa lebih
memahami penyebab penyakit kulit yaitu Demodecosis, Pyoderma, dan infestasi parasit darah
(Babesiosis) pada anjing dimulai dari etiologi, patogenesa, gejala klinis, predisposisi, diagnosa
banding, prognosa dan pengobatan disetiap penyakit tersebut.
1.2 Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui etiologi, patogenesa, gejala klinis, predisposisi, diagnosa, diagnosa banding,
prognosa serta pengobatan dari Demodecosis.
b. Mengetahui etiologi, patogenesa, gejala klinis, predisposisi, diagnosa, diagnosa banding,
prognosa serta pengobatan dari Babesiosis.
c. Mengetahui etiologi, patogenesa, gejala klinis, predisposisi, diagnosa, diagnosa banding,
prognosa serta pengobatan dari Pyoderma.
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
2.1. Demodecosis

Gambar 1. Demodex canis (Dash et al., 2017)


2.1.1. Etiologi
Demodekosis juga dikenal sebagai Red Mange, Follicular Mange, Acarus Mange dimana
kondisi hewan penderita akan mengalami kelainan pada kulit yang bentuknya mirip dengan
penyakit kulit lainnya. Ada tiga spesies dalam genus Demodex pada anjing, Demodex canis,
Demodex cornei, and Demodex injai. Namun spesies yang terkenal dan sering ditemukan
menyerang anjing adalah Demodex canis. Demodex canis terdapat dalam jumlah yang kecil pada
kulit dan tidak menunjukkan gejala klinis pada anjing yang sehat. Demodex canis berbentuk
cerutu dengan ukuran 250-300 μm x 400 μm. Parasit ini tinggal di folikel rambut dan kelenjar
sebaceus dan siklus hidupnya terjadi pada tubuh induk semang 20-35 hari (Sardjana, 2012).
Tungau demodex berbentuk sebagai buah lombok (Capsicum annum), langsing dan berkaki 4
pasang yang bentuknya kekar, tiap kaki terdiri dari 3 ruas, dengan bagian perut yang bergaris
melintang mirip cincin (Subronto, 2010)
2.1.2. Tanda Klinis

Gambar 2. Demodex canis yang menyerang anjing (Dash et al., 2017)


Gejala klinis dari demodekosis adalah pada kulit terjadi alopecia, berkerak, kemerahan,
disertai rasa gatal dan sakit jika ada infeksi sekunder (Sardjana, 2012). Lesi yang biasanya
ditemui pada anjing dapat dilokalisasikan pada 4 area yang berbeda yaitu bagian kepala dan
wajah, kaki depan dengan diameter lesi < 2,5 cm (Dash et al., 2017). Pada demodekosis general,
lesi terdapat hampir di seluruh tubuh dan biasanya disertai dengan infeksi sekunder. Luka atau
lesi yang terjadi bermula lokal, kemudian berkembang dengan cepat pada sebagian besar tubuh
hewan penderita dan tempat yang disukai adalah di daerah muka, sekitar mata, daerah extremitas
dan daerah dada. Bentuk yang terjadi dari demodikosis dapa t dalam bentuk lokal maupun
general. Demodikosis pada hewan penderita muda cenderung lebih sering terjadi yang dimulai
dari umur 3-18 bulan, tanda klinis ditunjukan dengan kejadian alopecia, erythema, pyoderma dan
seborrhoea. Lesi yang terjadi menimbulkan rasa sakit, dapat terjadi limfadenopati dan pada kasus
yang parah dapat terjadi septicaemia dan menyebabkan kematian (Sardjana, 2012).
2.1.3. Patogenesa
Penularan demodecosis terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari. Dalam kondisi normal,
parasit ini tidak memberikan kerugian bagi anjing, namun bila kondisi kekebalan anjing menurun
maka demodex akan berkembang menjadi lebih banyak dan menimbulkan penyakit kulit. Pada
anak anjing akan tertular oleh induknya, namun setelah sistem kekebalan tubuhnya meningkat
kira-kira pada umur 1 minggu, maka parasit ini akan menjadi flora normal dan tidak
menimbulkan penyakit kulit. Demodex yang menginfeksi kulit akan mengalami
perkembangbiakan (siklus hidup) di dalam tubuh hospes tersebut (Sardjana, 2012).
Siklus hidup lengkap demodex adalah 20-30 hari pada tubuh hospes. Ada empat tahapan
perkembangan demodex dalam tubuh hospes yaitu: telur (fusiform), larva berkaki enam (six
legged), demodex dewasa (eight lagged adult). Seluruh tahapan perkembangan ini hanya terjadi
pada satu hospes, jadi tidak ada perkembangan pada hospes lain, sebagaimana yang terjadi pada
parasit lain (Sardjana, 2012).
2.1.4. Predisposisi
Demodicosis lebih sering terjadi pada anjing yang dibiakkan murni dan keturunan yang
rentan termasuk Shar Pei, West Highland White Terrier, Scottish Terrier, English Bulldog,
staffordshire Bull Terrier, Boxer and Great Dane (Patel et al .,2008).
2.1.5. Prognosis
Prognosisnya bagus. Sebagian besar kasus sembuh dalam waktu 4 hingga 8 minggu.
Terapi sistemik atau dips badan total tidak boleh digunakan pada hewan yang sehat karena ini
dapat menutupi perkembangan demodicosis, yang dianggap sebagai penyakit yang diturunkan. D.
canis tidak dianggap menular ke anjing lain (kecuali untuk anak anjing yang baru lahir), kucing,
atau manusia (Harvey et al., 2005).
Tingkat kesembuhan yang berhasil dilaporkan untuk Demodecosis umum adalah 70%
hingga 80%. Diagnosis dan terapi dini dapat mempersingkat lamanya perawatan. Tingkat
morbiditas Demodicosis adalah 30-50 % (Horne, 2010). Tingkat mortalitas Demodecosis adalah
15 % (Samra dan Shuaib, 2014).
2.1.6. Diagnosa
Demodicosis didiagnosis dengan melakukan kerokan kulit. Untuk menemukan tungau,
perlu untuk mendapatkan beberapa kerokan kulit dalam dari area yang terkena. Teknik
pengumpulan sampel yang tepat sangat penting ketika mengikis tungau Demodex. Scalpel nomor
10 dapat digunakan untuk mengumpulkan sampel. KOH 10% harus diterapkan baik scalcpel atau
langsung ke daerah yang sedang dikeruk untuk memastikan bahwa bahan yang tergores
menempel pada instrumen gesekan. Pengikisan harus cukup dalam untuk menghasilkan
pendarahan kapiler saat meremas area yang dikeruk, ini memaksa tungau jauh di dalam folikel
rambut ke permukaan (Horne, 2010).
Kulit yang terkena harus diperas dengan kuat untuk mengeluarkan tungau dari folikel
rambut, dan kerokan kulit harus dalam dan luas. Area yang sangat rapuh harus dihindari karena
perdarahan yang dihasilkan biasanya membuat interpretasi hasil menjadi sulit. Diagnosis
dilakukan baik dengan menunjukkan sejumlah besar tungau dewasa atau dengan menemukan
peningkatan rasio bentuk yang belum matang (ovum, larva, dan nimfa) pada anjing dewasa
(Miller et al., 2013). Secara mikroskopi tampak telur fusiform, larva berkaki enam, nimfa berkaki
delapan, atau tungau dewasa berkaki delapan (mati atau hidup) dapat dilihat (Horne, 2010).
2.1.7. Diagnosa Banding
Kondisi hewan penderita demodicosis akan mengalami kelainan pada kulit yang
bentuknya mirip dengan penyakit kulit lainnya (Sardjana, 2012). Pyoderma umumnya dapat
menyerupai demodicosis, dan demodicosis harus dicurigai dalam setiap kasus folikulitis.
Dermatofik menyerupai tambalan demodikosis lokal. lecet pada anjing muda kadang mirip
dengan bercak eritematosa dari demodikosis lokal. Demodicosis juga sering disalahartikan
sebagai lecet. Moncong folikulitis atau furunkulosis (jerawat) atau lesi dini selulitis anjing muda
kadang-kadang menyerupai demodikosis pustular, dan pustula demodectic tertentu dan
permukaan dalam paha impetigo paha. Dermatitis kontak menunjukkan papula eritematosa yang
kadang menyerupai demodikosis skuamus (Miller et al., 2013).
2.1.8. Pengobatan
Adapun pengobatan untuk penangan penyakit demodicosis adalah sebagai berikut :
a) Ivermectin (Heatgard®, Cardotec®, Ivomec®, Equalan® Merial) efektif untuk mengobati
Canine Demodicosis pada dosis harian oral 0,4-0,6 mg / kg selama 10-40 minggu (rata-
rata perawatan 14 minggu). Terapi Ivermectin seharusnya memulai dosis rendah (0,2 mg /
kg) dan meningkat hingga 0,6 mg / kg (Coyner, 2005).
b) Doramectin (Dectomax, Pfizer Animal Health) adalah avermectin beraksi panjang yang
telah digunakan dengan dosis 600 ug / kg BB SC sekali seminggu. Obat ini tidak boleh
digunakan pada breed yang sensitif terhadap ivermectin yaitu, collie, Shetland sheepdog,
Australian shepherd, Old English anjing gembala, breed gembala lainnya (Horne, 2008).
c) Penggunaan Amitraz sangat dianjurkan karena Amitraz adalah formamidine dan
monoaminoxidase dalam larutan xylene sebagai bentuk ixodicide yang penggunaannya
berbentuk larutan 5%. Dosis pemberian 1 ml Amitraz dilarutkan dalam 100 ml air yang
digunakan untuk mandi pada hewan penderita. Anjing jenis berbulu panjang dianjurkan
sebaiknya dicukur untuk memudahkan pemberian Amitraz dengan cara hewan penderita
dimandikan dengan interval sekali seminggu (Sardjana, 2012).

2.2. Pyoderma
2.2.1. Etiologi
Pyoderma didefinisikan sebagai infeksi kulit bakteri. Itu berasal dari kata Yunani pyo yang
berarti "pus" dan derma yang berarti "kulit". Pyoderma juga dapat disebut sebagai impetigo,
terutama pada anak anjing muda (Ward, 2009). Pyoderma adalah dermatitis yang disebabkan
oleh infeksi bakteri dan merupakan penyakit kulit yang umum terjadi pada anjing. Berdasarkan
kedalaman kulit yang terlibat, pyoderma bisa diklasifikasikan sebagai surface, superficial, dan
deep. Kondisi ini hampir selalu merupakan sekunder dari gangguan lain yang terjadi pada tubuh
(Kristianty et al., 2017). Pyoderma disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus B
hemolyticus. Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun
dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Genus Staphylococcus sedikitnya
memiliki tiga puluh spesies. Tiga tipe Staphylococcus yang berkaitan dengan medis adalah
Staphylococcus aureus, Staphylococcus saprophyticus, Staphylococcus epidermidis. Pembeda
Staphylococcus aureus dengan spesies lain adalah sifatnya yang bersifat koagulase positif. Pada
kasus Pyoderma Staphylococcus aures adalah etiologi paling sering (Dewantoro, 2016).
2.2.2. Patoganesa
Permukaan kulit pada hewan dan manusia merupakan tempat bakteri untuk beradaptasi
dengan baik terhadap lingkungan dari lapisan stratum korneum dan folikel rambut, sehingga
menjadi flora normal pada kekebalan kulit (Carlotti, 2015). Organisme patogen dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dan memicu respon inflamasi, jika telah berhasil melakukan
penetrasi kulit. Awalnya bakteri dalam jumlah yang rendah berkolonisasi pada berbagai lapisan
kulit seperti epidermis, dermis, subkutan ,jaringan adiposa, dan otot. Peningkatan jumlah bakteri
akan terjadi saat pertahanan integument terganggu, invasi oleh bakteri tersebut menyebabkan
infeksi pada kulit atau Pyoderma. Infeksi pada pori pori epidermis menyebabkan folikulitis.
Infeksi pada lapisan superfisial kulit disebut erisepelas, sedangkan pada lapisan lebih dalam kulit
atau jaringan subkutan disebut selulitis. Infeksi pada lapisan paling dalam kulit menyebabkam
fasciitis dan miositis. Pada individu dengan jaringan adiposa yang tebal, infeksi pada jaringan
lemak menyebabkan pannikullitis. Patogenesis Pyoderma sendiri terjadi berdasarkan perlekatan
bakteri ke sel inang, invasi jaringan dengan evasi pertahanan host dan elaborasi toksin. Toksin
pada Staphyloccus adalah epidemolin dan eksofoliatin yang sangat bersifat epidermolitik dan
dapat beredar diseluruh tubuh sampai pada epidermis sehingga menyebabkan kerusakan. Hal ini
terjadi karena epidermis merupakan jaringan yang rentan terhadap toksin ini (Dewantoro, 2016).
2.2.3. Gejala Klinis

Gambar 3. Pyderma yang terdapat pada anjing ((Kelany dan Husein, 2011).
Diagnosa sebagian besar kasus pyoderma didasarkan pada tanda-tanda klinis dan adanya
karakteristik lesi; tidak ada bukti bahwa ini berbeda di antara infeksi yang disebabkan oleh
staphylococci yang berbeda. Lesi umum pyoderma adalah papula eritematosa dan pustula,
biasanya terkait dengan folikel rambut. Follicullar mungkin sulit untuk dilihat secara
makroskopik. Kerak adalah lesi umum tetapi kadang-kadang tidak ada. Alopecia, eritema dan
hipo atau hiperpigmentasi sering terjadi. Multifokal untuk menyatukan tambalan alopecia
memberikan penampilan ‘dimakan ngengat’ mungkin satu-satunya lesi yang terlihat pada
beberapa breed berselaput pendek. Kapsul epidermal dan lesi target (daerah annular alopecia,
scaling, eritema dan hiperpigmentasi mungkin merupakan lesi yang paling jelas dalam beberapa
kasus (Hilier et al.,2014). Ada banyak cara untuk mengklasifikasikan pioderma, tetapi
kedalamannya di kulit adalah klasifikasi yang sangat membantu karena dapat digunakan untuk
memprediksi jenis dan durasi terapi. Adapun beberapa gejala klinis dari jenis-jenis pyoderma
yaitu (Fadok, 2007).
a. Surface pyoderma
Surface pyoderma adalah yang permukaan kulitnya dijajah oleh cocci. Karena bakteri ini
menghasilkan racun, peradangan dapat terjadi bahkan di permukaan kulit. Bacterial overgrowth
syndrome (BOG) juga dikaitkan dengan infeksi permukaan; ini ditandai oleh sejumlah besar
bakteri, eritema, pruritus, dan bau tak sedap. Infeksi permukaan seringkali paling baik ditangani
secara topikal. Mereka tidak dianggap dapat disembuhkan karena kelembaban dan sifat oklusif
dari lipatan. Eksisi bedah dapat bersifat kuratif pada beberapa kasus pyoderma pada lipatan vulva
dan pyoderma lipatan bibir pada English bulldog.
b. Superficial pyoderma
Pyoderma superfisial termasuk impetigo dan folikulitis. Impetigo adalah penyakit pustular
subcorneal yang sering terlihat pada perut anak anjing. Penyakit ini mungkin atau mungkin tidak
pruritus, tetapi sering membatasi diri. Terapi topikal sering efektif dalam pengobatannya dan
lebih disukai daripada pemberian antibiotik sistemik. Bakteri folliculitis (infeksi dan radang
folikel rambut) adalah pioderma yang paling umum terlihat pada anjing. Pyoderma jenis ini
memiliki banyak bentuk klinis, yang ciri-cirinya mungkin unik bagi individu anjing. Bentuk
paling awal dari folikulitis adalah papula folikuler. Dengan sedikit perbesaran dan cahaya yang
baik, rambut dapat diamati muncul dari pusat lesi ini. Sangat jarang melihat pustula yang
sebenarnya pada kebanyakan pasien. Lesi berkembang ketika bakteri menyebar ke folikel rambut
di sekitarnya. Lesi klasik adalah kerah leher epidermis, ditandai dengan daerah rambut rontok
melingkar dengan warna kemerahan, krusta, dan hiperpigmentasi. Lesi ini mungkin atau tidak
mungkin gatal. Pruritus biasanya cukup mendalam pada anjing atopik, bagaimanapun, dan
pioderma adalah salah satu faktor yang meningkatkan gatal pada pasien ini. Ada sindrom spesifik
yang kita lihat dengan folikulitis pada keturunan tertentu yang tidak selalu dikenali. Lesi dapat
meletus cukup cepat, menyebabkan pemilik percaya bahwa lesi ini adalah gatal atau gigitan
serangga. Ketika lesi folikulitis berkembang, alopecia yang dimakan ngengat berkembang.
Pyoderma penyebar superfisial ditandai oleh lesi serpiginous yang sangat besar yang bisa sangat
gatal.
c. Deep pyoderma
Deep pyoderma kurang umum dan terjadi furunculosis atau selulitis. Furunkulosis adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan lesi di mana folikel rambut pecah, melepaskan
bakteri dan rambut bebas ke dalam dermis. Peradangan yang terjadi adalah nan kuat dan terlihat
adalah fitur yang bersifat bakteri. Peradangan cukup parah dan anjing sering sakit secara sistemik
ketika infeksi dalam. Anjing gembala Jerman mengalami pioderma ulseratif yang parah yang
umum dan menyakitkan. Ada bula dan borok hemoragik yang sering menyebabkan gagasan
keliru anjing memiliki penyakit autoimun. Pyoderma yang dalam selalu membutuhkan terapi
antibiotik yang berkepanjangan.
2.2.4. Predisposisi
Breed anjing yang paling sering terkena penyakit kulit dari keseluruhan anjing di
antaranya adalah Beagle dengan jumlah sekitar 11%, Shih Tzu dengan jumlah sekitar 11%, dan
Mongrel dengan jumlah sekitar 16%. Terdapat berbagai macam faktor yang bisa menyebabkan
seekor anjing terkena penyakit kulit. Breed anjing teratas yang paling sering terkena penyakit
kulit adalah Beagle, Shih Tzu, dan Mongrel (Kristianty et al., 2017). Anjing Jerman Shephers
memiliki kecendrungan terkena Pyoderma karena adanya pewarisan dari gennya sehingga
dihipotesiskan menjadi autosom resesif dan membuat imunologinya cacat (Kelany dan Husein,
2011).
Stratum korneum terdiri dari squames (atau keratinosit permukaan). Squames adalah pelat
kompak keratin yang tertanam dalam emulsi keringat dengan lipid dari epidermis dan sebum. Ini
adalah penghalang fisik yang membatasi penetrasi mikroorganisme dan produk mereka. Pada
anjing, statum korneum jauh lebih tipis dan lebih kompak dibandingkan dengan spesies lain, dan
ada kekurangan emulsi intraseluler. Lebih jauh lagi, infundibulum folikel rambut anjing terbuka,
tidak memiliki sebum penyumbat (Carlotti, 2013). Folikel rambut anjing tidak memiliki
penyumbat lipid pelindung yang menghalangi pembukaan folikel rambut. Selain itu, anjing
memiliki stratum korneum yang tipis dan relatif tidak teratur dengan lipid antar sel yang lebih
sedikit. Secara umum, pH kulit anjing lebih basa daripada kulit manusia dan hewan peliharaan
lainnya, dengan pH asam dianggap lebih antimikroba (Fadok, 2007).
2.2.5. Prognosa
Prognosis baik (fausta) jika penyebab yang mendasari dapat diidentifikasi dan
dikendalikan jika pada pyoderma superficial dan pada pyoderma deep prognosis baik (fausta)
tetapi akan bersifat kronis karena adanya fibrosis dan alopecia yang akan mengakibatkan sekuel
permanen (Hnilica, 2011). Prognosis untuk resolusi pyoderma yang lengkap dan permanen yaitu
buruk (infausta) (Craig, 2003).
2.2.6. Diagnosa
Kerokan kulit, pluck rambut, kultur jamur dan biopsi kulit diindikasikan setiap kali
diferensial ini dicuriga (Craig, 2003). Kasus pyoderma permukaan setelah pemeriksaan sitologi
nanah dan kultur bakteri positif dari pustule yang utuh. Uji bakteriologis dan kepekaan terhadap
antibiotik harus dilakukan dalam kasus pyoderma profunda, pyoderma berulang, atau jika terapi
antibiotik terbukti tidak berhasil (Sprucek et al., 2007).
Tes diagnostik untuk menunjukkan bakteri pada pyoderma (Craig, 2003):
a. Apusan noda untuk sitologi
Permukaan pustul, jika ada, dapat ditusuk dengan jarum steril finegauge (23 atau 25 gauge).
Eksudat kemudian dihapus dan menyebar tipis pada slide mikroskop, kering, bernoda dan
diperiksa secara mikroskopis. Kokus intraselular (dalam generasi neutrofil) lebih mungkin untuk
menunjukkan infeksi bakteri aktif daripada bakteri ekstraseluler bebas yang mungkin hanya
kontaminan.
b. Swab
Swab untuk kultur bakteri dan sensitivitas antibiotik. Eksudat dari pustul yang baru pecah
diterapkan ke usap steril, direndam dalam media transpor dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk kultur bakteri dan uji sensitivitas antibiotik. Fasilitas yang sesuai dan ahli
bakteriologi yang kompeten diperlukan jika sampel harus dianalisis di rumah.
c. Biopsi Kulit
Biopsi kulit dapat membantu, terutama pada kasus krom atau di mana hasil tes lain tidak
dapat disimpulkan. Lesi histopatologi karakteristik dan bakteri dapat ditunjukkan dengan
menggunakan haematoxylin dan eosin, giemsa atau Gram. Idealnya, tiga hingga empat biopsi
harus diambil. Biasanya, ukuran biopsi 6 mm akan memberikan spesimen yang memadai. Kulit
tidak harus disiapkan secara aseptik sebelum dan karena ini dapat menghilangkan patologi
permukaan dan menghasilkan hasil yang menyesatkan. Spesimen biopsi dapat diserahkan ke
laboratorium spesialis untuk kultur bakteri. Biopsi harus diambil dalam kondisi steril, permukaan
kulit diangkat dengan pisau bedah, dan spesimen dipotong secara longitudinal. Spesimen
kemudian harus ditempatkan di media transportasi dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk analisis.
2.2.7. Diangnosa Banding
Diagnosis banding meliputi dermatofitosis, demodicosis dan pemphigus. Demodicosis
atau endokrinopati dapat dicurigai tanpa adanya pruritus persisten sedangkan pada pyoderma
akan t erasa pruritus karena adanya infestasi parasit yang dapat mendasari adanya alergi (Craig,
2003).
2.2.8. Pengobatan
Antibiotik dengan efek bakteriostatik cocok untuk pioderma superfisial. Antibiotik
dengan efek bakterisida adalah obat pilihan untuk kasus pioderma dalam berulang dan untuk
individu yang lemah. Cephalexin diberi dosis 15 - 30 mg · kg-1 hal. q 12 - 24 jam memiliki efek
cepat, dan juga membunuh stafilokokus yang terletak di membran mukosa. Efek pasca
pemberian antibiotik cephalexin berlangsung selama 3 jam dan 20 menit, Cephalexin (Rilexin®)
memiliki tingkat keberhasilan 92% dari anjing yang sembuh dalam 28 hari (Sprucek et al., 2007).
Dalam kasus pyoderma yang resistan terhadap obat, terapi topikal intensif sering menguntungkan
baik sebagai pengobatan tunggal untuk pyoderma lokal, atau sebagai tambahan untuk pengobatan
sistemik dari penyakit yang lebih umum. Perawatan topikal yang dipilih untuk semua kasus
seperti Betadine® Shampoo (Povidone iodine 7.5%) dan salep Fucidin® (Fusidic acid 2%).
Pengobatan topikal diterapkan setiap 12 jam dan periode perawatan berbeda sesuai dengan
bentuk pyoderma. Pyoderma permukaan dirawat hanya pengobatan topikal selama 10 hari - 2
minggu (Kelany dan Husein, 2011).

2.3 Babesiosis
2.3.1 Etiologi
Babesia sp. adalah protozoa penyebab babesiosis pada hewan. Babesia sp.
diklasifikasikan dalam subfilum Apicomplexa, kelas Piroplasma, dan famili Babesiidae. Penyakit
babesiosis pada anjing umumnya disebabkan oleh Babesia canis (B. canis). Selain B. canis,
Babesia gibsoni (B. gibsoni) dan Babesia vogeli (B. vogeli) juga dapat menginfeksi anjing. B.
vogeli memiliki karakteristik yang sama dengan B. canis tetapi berukuran lebih besar. B. canis
mempunyai ukuran tubuh sebesar 4-5 mikron, berbentuk seperti buah pir (pyriform) yang runcing
pada ujung satu dan bulat pada ujung yang lain. B. canis akan menginfeksi eritrosit inang. Satu
eritrosit dapat mengandung lebih dari 10 B. canis. Hal ini menandakan adanya multiinfeksi dalam
eritrosit tersebut (Solihah, 2013). Penyebaran infeksi Babesia sp. diperantarai oleh vektor caplak
Rhipicephalus sanguineus yang berada ditubuh anjing. Babesia sp. yang berada dalam tubuh
caplak tidak melakukan perbanyakan secara seksual. Infeksi dari Babesia sp. menyebabkan
anemia hemolitik secara mekanis karena Babesia sp hidup di dalam sel darah merah (eritrosit).
Keparahan dari babesiosis ini bergantung pada jenis Babesia sp. yang menginfeksi (Maulida,
2014).
2.3.2 Gejala klinis
Tanda klinis yang terlihat termasuk selaput lender pucat, depresi, tachycardia, tachypnea,
anoreksia, kelemahan, splenomegali dan demam. Diperkirakan bahwa tanda-tanda klinis adalah
hasil dari hipoksia jaringan setelah anemia dan sindrom inflamatori sistemik kontaminan yang
disebabkan oleh pelepasan sitokin yang dikenali (Schoeman, 2009).
Infeksi Babesia sp. memiliki bentuk akut dan kronis. Pada infeksi kronis, B. canis sedikit
bahkan jarang ditemukan dalam darah, terjadi anemia ringan, serta limfositosis ringan akibat dari
stimulasi antigenik kronis. Pada bentuk akut dan subakut, Babesia sp. banyak ditemukan dalam
darah, anemia sedang sampai berat, retikulositosis, peningkatan polikromatik, makrositik,
hiperbilirubinemia, bilirubinuria, dan memungkinkan hemoglobinuria (Maulida, 2014).

Gambar 4. Anjing yang terinfeksi Babesia canis (Cicco dan Adam, 2012).

Gambar 5. Sel darah yang terinfeksi Babesia canis meunjukkan merozoit ganda
(Cicco dan Adam, 2012).
Gambar 6. Sel darah yang terinfeksi Babesia gibsoni meunjukkan merozoit tunggal
(Cicco dan Adam, 2012).
2.3.3 Patogenesa

Gambar 7. Siklus Hidup Babesia Canis (Irawan, 2015).


Babesia sp menyebabkan penyakit terutama pada anjing muda, meskipun anjing dari
segala usia dapat terpengaruh. Masa inkubasi babesiosis anjing bervariasi dari 10-21 hari untuk
Babesia canis dan 14-28 hari untuk Babesia gibsoni. Kutu betina memberi makan host selama
sekitar satu minggu saja dan telah meninggalkan host pada saat penyakit berkembang (Schoeman,
2009).
Siklus hidup Babesia canine pada hospes anjing dimulai saat caplak yang mengandung
Babesia menghisap darah anjing, dari saliva caplak ditularkan sporozoid yang masuk ke
peredaran darah hospes dan menginfeksi eritrosit, di dalam eritrosit, sporozoid berkembang
menjadi tropozoid, kemudian menginfeksi eritrosit lain dan menjadi merozoid serta pre-
gametosit. Apabila ada caplak yang menghisap darah anjing yang telah terinfeksi babesia,
stadium pre-gametosit dapat masuk ke dalam tubuh caplak dan berada di epitel usus caplak. Pada
usus caplak ini terjadi gametogoni (diferensiasi gamet dan pembentukan zigot). kemudian
menjadi kinate yang yang dapat ditransmisi secara trans-stadial maupun trans-ovarial.
Pembentukan stadium infektif babesia ini terjadi di glandula saliva caplak sebagai sporozoid.
Adanya infeksi babesia di peredaran darah khususnya pada eritrosit akan memacu respon imun
dari hospes seperti peningkatan sitokin yang menimbulkan demam. Selain itu, sitokin yang
berlebih dapat menyebabkan kerusakan sel dan eritrosit menjadi pecah. Perkembangan protozoa
ini di eritrosit juga menyebabkan eitrosit menjadi pecah sehingga terjadi anemia (Irawan, 2015).
2.3.4 Predisposisi
B. canis dapat menginfeksi anjing pada semua umur dan semua jenis kelamin. Anjing
dengan ras American pit bull beresiko terkena Babesia gibsoni dan untuk anjing ras Greyhounds
beresiko terkena Babesia canis vogeli (Cote, 2015). Sebuah penelitian dari OVAH
(Onderstepoort Veterinary Academic Hospital) mengatakan bahwa 77% infeksi B. canis terjadi
pada anjing yang berumur kurang dari tiga tahun (Solihah, 2013). Faktor predisposisi babesiosis
adalah infestasi caplak atau exposure, gigitan anjing ini (B. gibsoni), transfusi darah dari donor
yang terinfeksi, splenektomi, imunosupresi, transplasental transmisi (Cicco dan Adam, 2012).
2.3.5 Prognosa
Prognosis umumnya cukup baik, dengan kira-kira 85-90% dari kasus yang bertahan dari
penyakit, tergantung pada tingkat perawatan dan jenis Babesia spp. Penggunaan transfusi darah
berdampak besar pada kelangsungan hidup pada hewan anemia berat. Kasus-kasus dengan
babesiosis haemoconcentrated dan kasus gagal ginjal akut, pernapasan akut, sindrom distres atau
babesiosis serebral memiliki prognosis dan mortalitas terburuk bisa lebih besar dari 50% , dalam
beberapa kasus mendekati 100% (Schoeman, 2009). Tingkat mortalitas Babesiosis berkisar 80-
90% (Darma, 2015).
2.3.6 Diagnosa
Infeksi spesies Babesia dapat ditentukan oleh melihat eritrosit yang terinfeksi parasit
dengan cara ulas darah tipis atau tebal, selanjutnya dapat dilihat dengan mengggunakan cahaya
mikroskop. Bentuk parasit biasanya berbentuk cincin. Prosedur ini tidak mahal, tetapi
membutuhkan teknisi yang terlatih mampu membedakan parasit ini dari tahapan yang sama dari
spesies Plasmodium di eritrosit, terutama jika pasien telah mengunjungi atau tinggal di daerah
endemik untuk malaria atau telah menerima transfusi darah. Berbeda dengan infeksi oleh P.
falciparum, sel yang terinfeksi Babesia kurang pigmen hemozoin dan begitu juga sitoplasma
pucat. Pemeriksaan lain harus diambil dalam pemeriksaan ulas darah, karena apusan tipis
mungkin gagal untuk mengidentifikasi parasit jika tingkat parasitemia rendah, sementara apusan
tebal mungkin tidak memungkinkan deteksi spesies parasit yang lebih kecil. Diagnosis dapat
dikonfirmasi dengan mendeteksi antibodi spesifik parasit di darah dengan analisis indirect
imunofluoresensi atau DNA parasit oleh polymerase chain reaction (PCR). Teknik
imunofluorescent bisa tidak pasti karena mereka dapat bereaksi silang dengan protozoa parasit
serupa lainnya. Sedang diselidiki tes imunoblot yang mendeteksi keberadaan antibodi IgG
spesifik parasit dalam darah o yang terinfeksi: tes ini memiliki sensitivitas 96% dan spesifisitas
99% (Beltz, 2011).
2.3.7 Diagnosa Banding

Adapun differential diagnosis dari babesiosis adalah anemia hemolitik yang ditandai
dengan kekebalan tubuh, trombositopenia yang ditandai dengan kekebalan , toksisitas seng,
penyakit rickettsia, bartonellosis, leptospirosis, dirofilariasis dengan sindrom kavaeleri, lupus
eritematosus sistemik, dan neoplasia ( Cicco dan Adam, 2012).

2.3.7 Pengobatan

Babesia Canis dapat menggunakan Diminazene aceturate (Berenl®) dengan dosis 3.5
mg/kg secara intramuscular dan intravena, Trypan blue dengan dosis 10 mg/kg secara intavena,
atau dapat menggunakan Imidocarb dipropionate (Imizol®) dengan dosis 7 mg.kg secara
intamuscular. Pada spesies B. gibsoni, dapat menggunakan Atovaquone dan azithromycin dengan
dosis 13.3 mg/kg q 8 h, dan azithromycin dengan dosis 10 mg/kg q 24 h secara oral. Pada B.felis
dapat menggunaan Primaquin phosphate dengan dosis 0.5 mg/kg secara intramuscular
(Schoeman, 2009).
BAB III

MATERI DAN METODE

3.1 Materi
3.1.1 Alat
1. Arloji/Stopwatch
2. Baju Lab
3. Penlight
4. Reflex Hammer
5. Stetoskop
6. Thermometer
3.1.2 Bahan
a. Handskun
b. Kucing
c. Masker
3.2 Metode
a. Siapkan alat dan bahan
b. Letakkan anjing di atas meja
c. Lakukan handling agar anjing tidak terlalu banyak bergerak
d. Lakukan pemeriksaan fisik dengan metode inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi
menggunakan alat-alat yang telah disediakan
e. Lakukan pendataan dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan
f. Kemudian teguhkan diagnose berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaanberupa foto dan terlampir dalam rekam medik

Gambar 1. Melihat refleks pupil probandus

Gambar 2. Penimbangan berat badan

Gambar 3. Pemeriksaan frekuensi detak jantung


Gmbar 4. Keadaan kulit yang terkena pyoderma
4.2 Pembahasan
Hasil pemeriksaan pada praktikum kali ini pada anjing yang bernama Momo yang
dimiliki oleh Abdullah terdiagnosa pyoderma dengan hasil anamnesa yaitu anjing terlihat lesu,
tidak pernah divaksin, dan tidak pernaah diberi obat cacing. Hasil pemeriksaan status fisiologis
pada praktikum kali ini yaitu suhu tubuh yang didapatkan adalah 37,9oCelcius sehingga anjing
tersebut dapat dikategorikan normal. Frekuensi pulsus yang didapatkan adalah 80 kali per menit,
frekuensi jantung 156 kali per menit, frekuensi nafas 128 kali per menit. Berat badan anjing yaitu
3,2 kg. Terdapat lesi di kepala yang cair dan bernanah dimtabah ditemukannya caplak. Menurut
(Fadook, 2007), bahwa pyoderma memiliki lesi berbentuk papula eritematosa
dan pustula , biasanya terkait dengan folikel rambut, selain itu kebanyakan kasus ini disebabkan
ooleh infeksi sekunder, termasuk infeksi caplak yang dapat membawa agen. Kasus pyoderma
dapat didiagnosa dengan permukaan pemeriksaan sitologi nanah dan kultur bakteri positif dari
pustule yang utuh. Uji bakteriologis dan kepekaan terhadap antibiotik harus dilakukan dalam
kasus pyoderma profunda, pyoderma berulang, atau jika terapi antibiotik terbukti tidak berhasil
(Sprucek et al., 2007). Pengobatan yang dapat diberikan antibiotik dengan efek bakteriostatik
cocok untuk pioderma superfisial. Antibiotik dengan efek bakterisida adalah obat pilihan untuk
kasus pioderma dalam berulang dan untuk individu yang lemah. Cephalexin diberi dosis 15 - 30
mg · kg-1 hal. q 12 - 24 jam memiliki efek cepat, dan juga membunuh stafilokokus yang terletak
di membran mukosa. Efek pasca pemberian antibiotik cephalexin berlangsung selama 3 jam dan
20 menit, Cephalexin (Rilexin®) memiliki tingkat keberhasilan 92% dari anjing yang sembuh
dalam 28 hari (Sprucek et al., 2007).
BAB IV

KESIMPULAN

Penyakit kulit dan parasite darah pada anjing seperti Demodecosis, Pyoderma dan
Babesiosis umumnya menyerang segala jeni sanjing. Tanda-tanda klinis yang diperhatihatikan
anjing yang mengalami Demodecosis yaitu kulit terjadi alopecia, berkerak, kemerahan, disertai
rasa gatal dan sakit jika ada infeksi sekunder. Adapun tanda-tanda klinis dari yang mengalami
Pyoderma yaitu lesi umum berupa papula eritematosa dan pustula, biasanya terkait dengan
folikel rambut.. Babesiosis tanda-tanda klinis yang diperhatikan untuk anjing yang terinfeksi
yaitu selaput lender pucat, depresi, tachycardia, tachypnoea, anoreksia, kelemahan, splenomegali
dan demam
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa
probandus yang digunakan dalam praktikum ini terkena Pyoderma dilihat dari hasil pemeriksaan
klinis yaitu lesi umum berupa papula eritematosa dan pustula, biasanya terkait dengan folikel
rambut.
DAFTAR PUSTAKA

Beltz, Lisa A. 2011. Emerging Infectious Diseases. Jossey-Bass: USA.


Carlotti D.N. 2013. Canine Pyoderma. Avenue de Magudas: Spanyol.
Cicco, Michael F. D dan Adam J. Birkenheuer. 2012. Canine Babesiosis. NAVC Clinician’s
Brief. North Carolina State University.
Cote, Etienne. 2015. Veterinary Advisor Dogs and Cats. Elsevier : Canada
Coyner, Kimberly S. 2005. Dermatology Clinic for Animals. Dermatology Discourse, Vol. 3,
Issue 1, Spring 2005
Craig, Mark. 2003. Diagnosis and management of pyoderma in the dog. Companian Animal
Practice.
Darma. 2015. Deteksi Parasit Darah Babesia Sp. pada Sapi Bali di Kelurahan Lalabata Rilau
Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin: Makassar.
Dartawibawa, Ucok. 2013. Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit Anjing dengan
Menggunakan Metode Dempster-shafer Berbasis Android. [Skripsi]. Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau: Pekanbaru.
Dash, Sachin., Tushar Jyotiranjan., Laxmi Priya Das., Rashmita Sahoo., Swagat Mohapatra dan
Manoranjan Das. 2017. Management Of Demodicosis (Demodex Canis) Associated
With Secondary Bacterial Infections In Dog. The Pharma Innovation Journal. Vol. 6,
No.9.
Dewantoro, Zaki. 2016. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi
L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus Secara In Vitro. [Karya Tulis
Ilmiah]. Universitas Diponegoro: Semarang.
Fadok. 2007. Pyoderma: Case by Case. Worm Sanderg: North America.
Harvey Richard G, Joseph Harari, Agnes J Delauche. 2005. Ear Diseases of The Dog and Cat.
Manson Publishing : Francis
Hillier, Andrew, David H. Lloyd, J. Scott Weese, Joseph M. Blondeau, Dawn Boothe, Edwar
Breitschwerdt, Luca Guardabassi, Mark G. Papich, Shelley Rankin, John D. Turnidge
and Jane E. Sykes. 2014. Guidelines for the diagnosis and antimicrobial therapy of
canine superficial bacterial folliculitis (Antimicrobial Guidelines Working Group of
the International Society for Companion Animal Infectious Diseases). Vet Dermatol
DOI: 10.1111/vde.12118.
Hnilica, Keith A. 2011. Small Animal Dermatology A Color Atlas and Therapeutic Guide.
Elsevier Saunder: Canada
Horne, Kim L. 2010. Canine Demodecosis. Veterinary Techician : USA
Irawan, Vidya. 2015. Mekanisme Patogenesis Pada Babesia canis. Research Gate Universitas
Gadjah Mada: Yogyakarta.
Kelany, Wael, M and Husein, M. Galal. 2011. Diagnosis of Recurrent Pyoderma in Dogs by
Traditional and Molecular Based Diagnostic Assays and Its Therapeutic Approach.
Journal of American Science, Vol.7, No.3.
Kristianty, Tri Ayu., Zella Nofitri Efendi dan Fathia Ramadhani. 2017. Prevalensi Kejadian
Penyakit Kulit pada Anjing di My Vets Animal Clinic Bumi Serpong Damai Tahun
2016. ARSHI Vet Lett, Vol.1, No.1, Hal: 15-16.
Maulida, Yusti. 2014. Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. [Skripsi]. Institut
Pertanian Bogor; Bogor.
Miller, William H., Craig E. Griffin., dan Karen L Campbell. 2013. Muller and Kirk’s Small
Animal Dermatology. Elsevier : China
Patel Anita, Peter Forsythe, Stephen Smith.2008. Small Animal Dermatology. Saunders Elsevier
: New York
Samra, Abu M,T dan Shuaib Y. A. 2014. Bovine Demodicosis: Prevalence, Clinicopathological
and Diagnostic Study. J. Vet. Adv. 4(2): 381-397
Sardjana, I Komang Wiarsa. 2012. Pengobatan Demodekosis pada Anjing Di Rumah Sakit
Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Vet Medika J
Klin Vet. Vol.1, No.1.
Schoeman, J.P. 2009. Canine babesiosis. Onderstepoort Journal of Veterinary Research Vol.76
pp:59-66.
Schroder, Heidi. 2010. Canine Bacterial Pyoderma. Willow Park Veterinary Hospital: Pretoria.
Sendow, Indrawati dan Helmi Hamid. 2004. Isolasi Virus Penyebab Canine Parvovirus dan
Perubahan Patologik Infeksi pada Anjing. JITV , Vol.9, No.1, Hal: 46-54.
Solihah, Chanifatus. 2013. Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor; Bogor.
Sprucek, F., M. Svoboda., M. Toman., M. Faldyna Dan F. Sprucek Jr. 2007. Therapy of Canine
Deep Pyoderma with Cephalexins and Immunomodulators. ACTA VET. BRNO, Vol.76,
Hal: 469-474.
Subronto.2010. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Gadjah Mada
University Press : Yogyakarta
Trisandi , Ummi Hani . 2016. Kejadian Penyakit Kulit Pada Anjing Dan Kucing Akibat Infeksi
Cendawan Di Beberapa Klinik Hewan. [Skripsi] : Bogor.

Anda mungkin juga menyukai