Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KOASISTENSI BEDAH KASUS

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


GELOMBANG XIII E

MIASIS PADA ANJING RAS TERIER


OLEH :
KADEK DEWI PRADNYA YANTI
1809611059

KOASISTENSI KLINIK BEDAH DAN RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
Lembar Persetujuan Kasus
“Miasis Pada Anjing Ras Terier”

Dosen Pembimbing Kasus Dosen Penguji Kasus

Drh. I Gusti Agung Gde Putra Pemayun, M.P Dr. drh. I Gusti Ngurah Sudisma, M. Si
196106121989031004 196901301997021002
MYASIS PADA ANJING RAS TERIER
(Myiasis in Terier Dog)
Kadek Dewi Pradnya Yanti1, I Gusti Agung Gde Putra Pemayun2, I Gusti Ngurah Sudisma3
1
Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Hewan, 2,3Laboratorium Ilmu Bedah Veteriner,
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana
JL. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia 80232
Email: dewipradnyayanti97@gmail.com

ABSTRAK
Myasis adalah infestasi larva lalat (Diptera) ke dalam jaringan hidup manusia atau hewan
vertebrata lainnya. Larva hidup dengan cara memakan jaringan inangnya, termasuk cairan
substansi tubuh. Masyarakat Indonesia lebih mengenal penyakit ini dengan nama “belatungan”.
Sampai saat ini kasus myasis masih banyak dijumpai, tidak hanya pada ternak yang dipelihara
secara ekstensif, tapi juga ditemukan pada peternakan intensif atau semi intensif termasuk pada
hewan peliharaan. Infeksi dari penyakit ini dapat menyebabkan gangguan ringan, sedang bahkan
kematian. Anjing ras Terier berjenis kelamin jantan bernama Seizo, berumur 8 tahun dengan bobot
badan 7,5 kg dan warna rambut cokelat ikal diperiksa di Rumah Sakit Pendidikan, Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Udayana dengan keluhan adanya luka terbuka disertai adanya
belatung pada daerah pinggul sebelah kiri. Secara klinis anjing nampak lesu, nafsu makan
menurun, namun defekasi dan urinasi masih normal. Hasil pemeriksaan fisik anjing didiagnosis
menderita myasis dengan prognosis fausta. Anjing ditangani dengan pembersihan luka dengan
larutan NaCl dan pengambilan belatung dengan pinset. Anjing diobati dengan antibiotika
amoksisilin sirup (R/Amoxan), salep (R/Gentamisin), paracetamol (R/Panadol) sebagai analgesik,
dan ivermectin injeksi untuk pengobatan belatung jika masih ada yang tertinggal. Hari ke-5 luka
sudah mulai mengering dan pada hari ke-10 luka sudah sembuh dan menutup dengan baik.
Kata kunci: myasis, anjing jantan, luka terbuka

ABSTRACT
Myasis is an infestation of fly larvae (Diptera) into living tissues of humans or other
vertebrate animals. Larvae live by eating their host tissue, including body substance fluids.
Indonesian people are more familiar with this disease with the name "maggot". Until now myasis
cases are still prevalent, not only in animals that are kept extensively, but also found in intensive
or semi-intensive livestock including pets. Infection from this disease can cause mild, moderate
and even death. A male Terier race dog named Seizo, 8 years old with a body weight of 7.5 kg and
brown hair curls were examined at the Teaching Hospital, Faculty of Veterinary Medicine,
Udayana University with complaints of open wounds accompanied by maggots in the left hip area.
Clinically the dog looks lethargic, appetite decreases, but the defecation and urination is still
normal. The results of physical examination of dogs were diagnosed with myasis with a faustal
prognosis. Dogs are handled by cleaning the wound with NaCl solution and taking maggots with
tweezers. Dogs are treated with amoxicillin syrup (R / Amoxan) antibiotics, ointment (R /
Gentamicin), paracetamol (R / Panadol) as an analgesic, and ivermectin injection for the treatment
of maggots if there are still those left behind. Day 5 the wound has begun to dry up and on the 10th
day the wound has healed and closes well.
Keywords: myasis, male dog, open wound
PENDAHULUAN
Myasis adalah infestasi larva lalat (Diptera) ke dalam jaringan hidup manusia atau hewan
vertebrata lainnya. Larva hidup dengan cara memakan jaringan inangnya, termasuk cairan
substansi tubuh (Zumpt, 1965). Masyarakat Indonesia lebih mengenal penyakit ini dengan nama
“belatungan”. Sampai saat ini kasus myasis masih banyak dijumpai, tidak hanya pada ternak yang
dipelihara secara ekstensif, tapi juga ditemukan pada peternakan intensif atau semi intensif
termasuk pada hewan peliharaan. Infeksi dari penyakit ini dapat menyebabkan gangguan ringan,
sedang atau bahkan kematian (Roy and Dasgupta, 1982). Wardhana (2006) menyatakan bahwa
berdasarkan lokasi ditemukannya larva, myasis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok
yaitu, myasis dermal, subdermal, kutaneus, mata, intestinal, dan urogenital. Sedangkan secara
klinis myasis dapat digolongkan menjadi tiga yaitu, myasis fuluncular, myasis migratori dan ,
myasis traumatika.

Patogenesis myasis pada hewan awalnya terjadi ketika hewan mengalami luka alami akibat
berkelahi, tersayat benda tajam, gigitan caplak/predator dan luka pasca partus atau terputusnya tali
pusar/umbilikus. Luka lain yang ditimbulkan karena campur tangan manusia yang dapat
menyebabkan myasis seperti, pemotongan tanduk, kastrasi, pemotongan ekor, pencukuran bulu
dan lain -lain. Bau darah segar yang mengalir akan menarik lalat betina untuk meletakkan telurnya
di tepi luka tersebut. Telur lalat ini mempunyai daya rekat yang kuat sehingga tidak mudah jatuh
ke tanah oleh gerakan hewan. Dalam jangka waktu kurang dari 12 jam, telur akan menetas menjadi
larva dan bergerak masuk kedalam jaringan. Aktivitas larva dalam tubuh menyebabkan luka
semakin membesar dan kerusakan jaringan semakin parah ( Humphrey et al., 1980; Guerruni,
1988; Spradbery, 1991; Barhoom et al., 1998).

Kasus myasis paling sering ditemukan pada anjing, anjing dan hewan pengerat berperan
sebagai inang reservoir yang penting bagi lalat larva diptera ( Mc Graw and Turiansky, 2008).
Infestasi larva myasis tidak menimbulkan gejala klinis yang spesifik dan sangat bervariasi
tergantung pada lokasi luka. Gejala klini pada hewan biasanya seperti deman, radang, kurang nafsu
makan, tidak tenang sehingga mengakibatkan hewan mengalami penurunan berat badan,
mengalami kerusakan jaringan serta anemia ( Mc Graw and Turiansky, 2008). Beberapa lalat
diptera yang paling sering menyebabkan myasis pada anjing yaitu, Cordylobia anthropophaga,
Dematobia hominis, Cochliomyia hominivorax, dan Cuterebra spp. Lalat ini tersebar luas di
daerah tropis dan subtropis seperti di Afrika dan Amerika tetapi lebih jarang terjadi di wilayah lain
di dunia (Patton, 1922). Kasus myasis yang sering ditemukan pada anjing adalah kasus myasis
traumatika kutaneus atau myasis yang diakibatkan oleh luka terbuka.

Myasis traumatika atau myasis luka adalah jenis myasis yang terjadi akibat dari infeksi
larva lalat pada luka terbuka, yang hidup serta berkembang di jaringan hidup hewan yang
menyebabkan cedera trauma yang lebih parah (Hall and Farkas, 2000). Agen utama dari myasis
traumatika adalah beberapa spesies lalat seperti blow flies (Calliphoridae) dan lalat daging
(Sarcophagidae). Myasis traumatika dapat menyebabkan masalah kesehatan pada hewan,
lingkungan yang serius serta dapat menyebabkan kerugian ekonomi pada peternakan. Myasis
traumatika pada anjing biasanya disebabkan oleh larva Lucilia sericata M , Lucilia sericata L, atau
blowflies lainnya (Wetzel and Fisher, 1971; Rauchbach and Hadani, 1972; Azeredo-Espin and
Madeira, 1996; Anderson and Huitson, 2004).

Jaringan nekrosis atau luka terbuka pada anjing dapat menarik lalat betiana karena hal
tersebut merupakan lingkungan yang sangat menguntungkan untuk perkembangbiakan belatung.
Anjing yang dikurung diluar rumah paling rentan terhadap serangan lalat, terutama anjing yang
sering terkena kotoran tinja atau urin, luka basah atau jaringan yang radang ( otitis eksterna,
pyometra, atau infeksi kelenjar paraproctal). Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat dan
mengundang lalat lain untuk hinggap. Hal ini dapat memicu infeksi sekunder oleh bakteri, apabila
tidak ada pengobatan, kerusakan jaringan akan bertambah parah dan bahkan hewan dapat
mengalami kematian (Wardhana, 2006).

LAPORAN KASUS

Sinyalemen dan Anamnesis

Anjing ras Terier berjenis kelamin jantan bernama Seizo, berumur 8 tahun dengan bobot
badan 7,52 kg dan warna rambut cokelat ikal beralamat di Jalan Kamboja No. 8, Dangin Puri
Kangin, Denpasar Timur dengan keluhan mengalami luka terbuka dan terlihat ada ulat pada luka
tersebut.

Terlihat dari bentuk luka pada anjing berupa luka bekas gigitan yang berukuran kecil.
Melalui pemeriksaan fisik anjing nampak lesu, nafsu makan dan minum menurun, dengan defekasi
dan urinasi normal. Suhu anjing agak tinggi yaitu, 38,8oC anjing sudah divaksin lengkap dan
diberikan makan setiap hari berupa nasi dicampur daging ayam, hati, dan daging giling.

Pemeriksaan Fisik dan Tanda Klinis

Status present anjing Seizo adalah sebagai berikut: frekuensi detak jantung 93x/menit,
frekuensi pulsus 92x/menit, frekuensi respirasi 28x/menit, suhu tubuh 38,8oC dan nilai capillary
refill time (CRT) kurang dari 2 detik. Pemeriksaan mukosa mulut dan konjungtiva mata tidak
ditemukan adanya tanda-tanda abnormalitas, demikian juga dengan pemeriksaan kardiovaskuler
dan respirasi adalah normal.

Tanda klinis terlihat jelas adanya luka terbuka dan terlihat adanya pembengkakan serta
tampak kulit sekitar luka mengalami eritema. Luka terdapat pada daerah pinggul anjing, terlihat
lubang kecil berbentuk bulat dengan konsistensi sedikit padat, dan dibagian dalam luka terdapat
jaringan yang rusak. Setelah dilakukan pembersihan pada luka ditemukan adanya beberapa
belatung yang hidup didalam luka.

Gambar 1. Luka terbuka pada bagian pinggul Gambar 2. Luka Nampak membengkak dan
sebelah kiri. terlihat berwarna agak kemerahan.

Diagnosis dan Prognosis

Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan tanda klinis. Berdasarkan
hasil pemeriksaan tersebut anjing Seizo didiaonosis mengalami myasis dengan prognosis fausta.
Penanganan

Anjing kasus bernama Seizo yang menderita myasis ditangani dengan melakukan
pengambilan larva secara mekanik dan pembersihan area luka. Pembersihan dilakukan dengan
menggunakan larutan NaCl dan disemprotkan larutan ivermectin yang telah diencerkan dengan
NaCl kedalam luka, sehingga larva atau belatung yang tersembunyi didalam luka bisa keluar
dengan mudah dan selanjutnya dilakukan pengangkatan belatung yang terdapat didalam luka
tersebut dengan menggunakan pinset. Selanjutnya luka dijahit dengan menggunakan jahitan pola
sederhana terputus. Obat- obat yang diberikan secara oral yaitu, amoxsilin sirup (R/amoxan)
diberikan sebanyak 7,5 ml tiga kali sehari selama 5 hari. Paracetamol sirup (Panadol) diberikan
sebanyak 3,5 ml dua kali sehari selama 5 hari. Selain pemberian obat secara oral pasien juga
diberikan obat luar berupa salep (R/gentamicin) dioleskan pada luka dua kali sehari. Selain
pemberian obat, kebersihan luka pasien juga perlu diperhatikan untuk menghindari terjadinya
reinfeksi dengan cara membersihkan atau mengganti perban pasien setiap hari.

Gambar 3. Belatung yang terdapat didalam luka.

Pembahasan

Berdasarkan anamnesis dan hasil dari pemeriksaan fisik yaitu, anjing nampak lesu , nafsu
makan dan minum menurun, suhu agak tinggi, namun sistem pencernaan dan urinasi masih
normal, adanya luka yang telah berisi larva lalat, sehingga anjing didiagnosis menderita myasis .
Luka myasis tidak terlalu terlihat karena rambut anjing yang lebat. Luka terbuka terletak dibagian
pinggul sebelah kiri anjing. Berbentuk bulat seperti luka gigitan dan berdiameter kira-kira 1,5 cm
dan juga terdapat lubang pada bagian tengah luka. Luka terbuka sangat rentan terinfeksi bakteri
ataupun parasit seperti, lalat betina C. bezziana yang akan tertarik oleh bau darah yang mengalir
dan meletakkan telurnya di tepi luka. Dalam waktu 12-24 jam, telur akan menetas menjadi larva
dan bergerak masuk kedalam jaringan. Aktivitas larva di dalam jaringan tubuh mengakibatkan
luka semakin besar dan kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini menyebabkan bau yang
menyengat dan mengundang lalat yang lain hinggap (Sarcophaga sp, Chrysomya megachephalla,
Musca sp) dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri ( Humphrey et al., 1980; Guerruni,
1988; Spradbery, 1991; Barhoom et al., 1998).

Siklus hidup lalat C. bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa dan
lalat. Pada tahapan larva, perkembangan L1 sampai dengan L3 memerlukan waktu enam hingga
tuj uh hari, selanjutnya L3 akan membentuk pupa dalam waktu tujuh sampai delapan hari,
kemudian menjadi lalat yang akan bertelur setelah enam hingga tujuh hari (Spradbery, 1991). Lalat
betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka . Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat
betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata 180 telur). Telur akan menetas menjadi L1 dalam
waktu 12 - 24 jam atau sepuluh jam pada suhu 30°C, selanjutnya LI menuju ke daerah luka yang
basah . Sehari kemudian, LI akan berubah menjadi L2 dan mulai membuat terowongan yang lebih
dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk ke dalam jaringan inang (Spradbery, 1991) .
Larva II (L2) akan berkembang menjadi L3 pada hari keempat bermigrasi keluar dari daerah luka
tersebut dan jatuh ke tanah. Larva tersebut akan membuat terowongan sepanjang 2 - 3 cm untuk
menghindari sinar matahari secara langsung . Larva akan membentuk pupa dalam waktu 24 jam
pada suhu 28°C (Spradbery, 1991) . Penetasan lalat dari pupa sangat tergantung dari lingkungan .
Pupa akan menetas menjadi lalat dalam seminggu pada suhu 25 - 30°C, sedangkan pada temperatur
yang lebih rendah akan lebih lama bahkan sampai berbulan-bulan (Spradbery, 2002).

Myasis tidak menimbulkan gejala klinis yang spesifik dan sangat bervariasi tergantung
pada lokasi luka. Gejala klinis pada hewan antara lain berupa demam, radang, peningkatan suhu
tubuh, kurang nafsu makan, tidak tenang sehingga mengakibatkan ternak mengalami penurunan
bobot badan dan produksi susu, kerusakan jaringan, infertilitas, hipereosinofilia serta anemia .
Apabila tidak diobati, myasis dapat menyebabkan kematian ternak sebagai akibat keracunan kronis
amonia (Humphrey et al., 1980 ; Guerruni, 1988; Spradbery, 1991 ; Barhoom et al., 1998).
Wardhana et al (2003) menyatakan pengobatan myasis yang dilakukan di lapangan di Sumba
Timur menggunakan karbamat (MIPCIN 50WP) dan Echon. Kedua preparat ini cukup berbahaya
karena merupakan insektisida sistemik sehingga banyak dilaporkan adanya keracunan pada ternak
pascapengobatan (komunikasi pribadi dengan Dinas Peternakan) . Disamping itu, digunakan juga
obat-obat tradisional yaitu tembakau, batu baterai yang dicampur dengan oli, selanjutnya dioleskan
pada luka. Pengobatan dengan cara ini ditujukan untuk mengeluarkan larva dari luka tetapi
berakibat iritasi pada kuhit. Sedangkan menurut Orfanou et al ( 2011) penanganan kasus myasis
harus dilakukan secara berkala dan teratur. Hal ini untuk mencegah reinfeksi oleh larva lalat.
Pengobatan myasis pada kasus di salah satu penampungan di Yunani, dilakukan dengan
pengambilan larva secara mekanik, pembersihan area luka, pemberian antiparasit injeksi berupa
ivermectin sebanyak 0,4 ml dan agen antimikroba spektrum luas.

Pengamatan proses penyembuhan luka myasis pada hari pertama dan kedua pasca operasi
belum menunjukkan hasil yang signifikan. Hewan masih nampak lesu, nafsu makan turun dengan
suhu tinggi yaitu 38,9oC, kulit sekitar luka terlihat sedikit berwarna merah, hal ini dapat dikaitkan
dengan proses peradangan yang sering menyertai setelah dilakukan pengobatan.

Gambar 4. Hari ke-1 pascaoperasi, luka masih


terlihat basah, warna kulit sekitar luka masih
agak berwarna merah.

Proses kesembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan fase
remodeling (Bakkara, 2012). Fase peradangan (inflamasi) ditandai dengan tumor (kebengkakan),
dolor (rasa sakit), rubor (kemerahan), kalor (panas), dan fungsiolesa (gangguan fungsi organ yang
mengalami peradangan) (Berata et al., 2011). Pada hari ke tiga luka masih basah, hewan mulai
aktif, nafsu makan dan minum membaik, pembengkakan pada luka berkurang namun suhu tubuh
tinggi 39oC. Pada hari ke lima pascaoperasi luka operasi sudah agak mengering, warna kulit di
sekitar luka sedikit berwarna merah, nafsu makan dan minum baik dan suhu tubuh normal.
Gambar 5. Hari ke-3 pasca oprasi, luka masih
Gambar 6. Hari ke-5 pasca operasi, luka
terlihat agak basah..
jahit sudah mulai mengering.

Pada hari ke-10 luka bekas operasi sudah mengering dan kulit sudah menyatu, sehingga
benang jahitan sudah bisa dilepas. Penanganan yang dilakukan ini harus dengan berkala, luka
selalu dibersihkan setiap hari dan mengganti perban luka untuk menghindari infeksi bakteri.

Gambar 7. Hari ke-10 luka jahit telah


menyatu dan benang jahitan sudah dilepas.
SIMPULAN DAN SARAN

Anjing bernama Seizo telah didiagnosis menderita myasis pada bagian pinggul sebelah kiri
yang didukung dari hasil pemeriksaan fisik dan tanda klinis. Penangan dilakukan dengan cara
pembersihan luka menggunakan larutan NaCl, pengangkatan belatung secara mekanik dan
pengobatan dengan antibiotik amoksilin, paracetamol, salep gentamicin, dan ivermectin yang
diteteskan pada luka. Pada hari ke sepuluh setelah dilakukan pengobatan luka sudah kering dan
kulit telah menyatu dengan sempurna. Penanganan luka myasis disarankan dilakukan secepat
mungkin untuk menghindari infeksi sekunder dan bertambah parahnya luka myasis tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson , GS and Huitson , NR . ( 2004 ) Myiasis In Pet Animals In British Columbia: The
Potential Of Forensic Entomology For Determining Duration Of Possible Neglect .
Canadian Veterinary Journal , 45 , 993 – 998 .
Azeredo-Espin , AML. & Madeira , NG . ( 1996 ) Primary Myiasis in Dog Caused by Phaenicia
Eximia (Diptera: Calliphoridae) And Preliminary Mitochondrial Dna Analysis Of The
Species In Brazil . Journal Of Medical Entomology , 33 , 839 – 843.
Bakkara, JK. 2012. Pengaruh Perawatan Luka Bersih Menggunakan Sodium Clorida 0,9% Dan
Providine Iodine 10% Terhadap Penyembuhan Luka Post Appendiktomi Di RSU Kota
Tanjung Pinang Kepulauan Riau, Fak. Keperawatan Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Barhoom, SS ., AM, Khalaf and FS, Kadhim. 1998. Aetiological and Clinical Findings Of
Cutaneous Myiasis in Domestic Animals in Iraq . Iraq J . Vet. Sci. 11 : 31 -44 .
Berata, IK, Winaya, IBO, Adi AAAM, Adnyana IBW, And Kardena, IM. 2011. Patologi Veteriner
Umum. Bahan Ajar. Fakultas Kedokteran Hewan UNUD. Pp. 106-198.
Guerrini, VH. 1988 . Ammonia Toxicity and Alkalosis in Sheep Infested by Lucilia Cuprina
Larvae. Int . J .Parasitol. 18 : 79 - 81 .
Hall , MJR. and Farkas , R . ( 2000 ) Traumatic Myiasis Of Humans And Animals . Contributions
To A Manual Of Palaearctic Diptera ( Ed . By L. Papp & B. Darvas ), Pp . 751 – 768
. Science Herald , Budapest. Wetzel , H. & Fischer , P . ( 1971 ) Wound Infection In A
Dog Caused By The Blowfly Lucilia Caesar (Linnaeus, 1758) (Diptera: Calliphoridae).
Deutsche Tierärztliche Wochenschrift , 78 , 351 – 533 . [ In German .]
Humphrey, JD ., JP. Spradbery and RS . Tozer. 1980. Chrysomya Bezziana : Pathology Of Old
World Screwwormfly Infestations In Cattle . Exp . Parasitol. 49 : 381-397.
Mc Graw, TA., GW. Turiansky (2008): Cutaneous Myiasis. J. Am. Acad. Dermatol. 58, 907-926.
Patton, WS. (1922): Notes On The Myiasis Producing Diptera Of Man And Animals. Bull.
Entomol. Res. 12, 239-261.
Rauchbach , K. and Hadani , A . ( 1972 ) Myiasis Of The Skin in The Goose And Dog Due To
The Gold Fly Species Lucilia Sericata (Meigen 1826). Deutsche Tierärztliche
Wochenschrift , 79 , 565 – 566 . [ In German .]
Roy P, Dasgupta B (1982) Myiasis in Domesticated Animals in Siliguri. J Beng Nat Hist Soc
1(1):44–51
Spradbery, JP . 1991 . A Manual For The Diagnosis Of Screwworm Fly . CSIRO Division Of
Entomology. Canberra . Australia .
Spradbery, JP . 2002 . The Screwworm Fly Problem : A Background Briefing. Proc. Of
Screwworm Fly Emergency Preparedness Conference Canberra. Canbera, 12 – 15.
Wardhana AH. 2006. Chrysomya Bezziana Penyebab Myasis Pada Hewan dan Manusia:
Permasalahan dan Penanggulangannya. Wartazoa 16(3): 146-159.
Zumpt , F . ( 1965 ) Myiasis In Man And Animals In The Old World , Pp. Xv & 1 – 267 .
Butterworths , London .
LAMPIRAN

Lampiran 1. Penghitungan dosis obat yang diberikan


a. Obat premedikasi, anestesi, dan antibiotic
1. Atropin Sulfat
Anjuran: 0,02-0,04 mg/kg BB
Sediaan: 0,25 mg/ml

Jumlah pemberian: 7,52 kg X (0,02-0,04) mg/kg BB


0,25 mg/ml
= 0,6 – 1,2 ml
Jumlah yang diberikan : 0,5 ml

2. Xylazine
Anjuran : 1 – 3 mg/kg BB
Sediaan : 20 mg/ml

Jumlah pemberian : 7,52 kg X (1 – 3) mg/kg BB


20mg/ml
= 0,37 – 1 ml
Jumlah yang diberikan : 0,8 ml

3. Ketamin
Anjuran : 10 – 15 mg/kg BB
Sediaan : 100 mg/ml

Jumlah pemberian : 7,52 kg X (10 – 15) mg/kg BB


100 ml/mg
= 0,75 – 1 ml
Jumlah yang diberikan : 0, 8 ml

4. Ivermectin
Anjuran : 400 – 600 µg/kg BB
Sediaan : 1% = 10.000 µg

Jumlah pemberian : 7,52 kg X (400 - 600) µg/kg BB


10.000 µg/ml

= 0,3 – 0,45 ml
Jumlah yang diberikan : 0,4 ml.
b. Obat yang diterapikan
1. Amoxicilin syrup (R/amoxan)
Anjuran : 12,5 - 25 mg/kg BB (sekali pemberian)
Sediaan : 125 mg/5 ml =25 mg/ml

Jumlah pemberian = 7,52 kg X (10 – 20) mg/kg BB


25 mg/ml
= 3,76 – 7,52 ml
R/ Amoxam syr fls No I
S.3.dd.7,5 ml

2. Paracetamol (R/ Panadol)


Anjuran : 10 – 15 mg/kg BB (sekali pemberian)
Sediaan : 160 mg/5 ml = 32 mg/ml

Jumlah pemberian = 7,52 kg X (10 – 15)mg/kg BB


32 mg/ml
= 2,35 – 3,52 ml
R/Panadol Syr fls No I
S.2.dd.3,5 ml

Anda mungkin juga menyukai