Anda di halaman 1dari 15

HEWAN COBA KURA KURA

Disusun Oleh:
Mada Yudistira 061711133142
Ade Fini Aprilliani 061711133146
Daffa Amalia Putri 061711133147
Suwaibatul Annisa 061711133160
Ratna Wahyuning 061711133161
Sherina 061711133

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
PENDAHULUAN

Penggunanaan hewan percobaan pada penelitian kesehatan banyak dilakukan untuk uji
kelayakan atau keamanan suatu bahan obat dan juga untuk penelitian yang berkaitan dengan
suatu penyakit. Berdasarkan itu maka hewan coba yang digunakan harus sehat atau bebas dari
mikroorganisme patogen sehingga hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan.

Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan sebagai hewan
model yang berkaitan untuk pembelajaran dan pengembangan berbagai macam bidang ilmu
dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Hewan coba banyak digunakan sebagai
penunjang dalam melakukanpengujian-pengujian terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian
biologi.

Hewan bisa digunakan sebagai hewan coba apabila hewan tersebut bebas dari
mikroorganisme patogen, mempunyai kemampuan dalam memberikanreaksi imunitas yang baik,
kepekaan hewan terhadap sesuatu penyakit, dan performa atau performa atau anatomi tubuh
hewanpercobaan yang dikaitkan dengan sifat genetiknya. Hewan coba yang sering digunakan
yakni mencit (Mus musculus), tikus putih (Rattus Norvegicus),kelinci (Oryctolagus cuniculus),
dan hamster. Hewan lainya yang di gunakan sebagai hewan coba adalah babi, anjing, kelinci,
non human primata, dan kura kura. Jenis kura kura yang bisa di pakai adalah Cuora amboinensis
dan Cyclemis dentata.

Klasifikasi Cuora amboinensis

Kerajaan: Animalia

Filum: Chordata

Kelas: Reptilia

Ordo: Testudines

Upaordo: Cryptodira
Superfamili: Testudinoidea

Famili: Geoemydidae

Upafamili: Geoemydinae

Genus: Cuora

Spesies: C. Amboinensis

Berdasarkan karakter morfologi yang diamati, Cuora amboinensis mempunyai bentuk


karapas yang lonjong dan tinggi, berwarna hitam gelap dengan tiga buah lunas pada keping
vertebral serta pinggiran yang halus dan rata (Gambar 1a). Nilai rata-rata rasio panjang dan lebar
lengkung karapas Cuora amboinensis 1,02 ± 0,05 (Tabel 2). Plastron bisa ditutup rapat, berwarna
putih kotor atau krem dengan bercak berwarna hitam pada bagian tepi keping(Gambar 1b).
Kepala Cuora amboinensis berwarna hitam dengan garis kuning melingkar mengikuti tepi kepala
bagian atas dan bagian pipi. bibir berwarna kuning, dan mata mempunyai iris berwarna
kuning(Gambar 1c). Tungkai Cuora amboinensis memiliki pola khas berupa garis berwarna
kuning pada jari-jarinya (Gambar 1d). Berdasarkan bentuk ekor yang panjang dan langsing, tiga
individu Cuora amboinensis yang ditemukan pada penelitian semuanya jantan (Gambat 1e).

(a) (b) (c) (d) (e)

Klasifikasi Cyclemis dentata

Kingdom: Animalia

Filum: Chordata
Kelas: Reptilia

Ordo: Testudines

Famili: Geoemydidae

Genus: Cyclemys

Spesies: C. dentata

Karapas Cyclemys dentata berwarna kuning coklat, berbentuk bundar dan cenderung rata.
Keping marginal karapas bergerigi dan berwarna lebih gelap (Gambar 2a). Plastron dapat
digerakkan, keping gular berbentuk segitiga tidak menonjol, keping femoral lebih panjang dari
keping anal, tepi depan pasangan keping anal berbentuk busur. Pola plastron berupa garis-garis
hitam yang tersusun radial dan agak menebal (Gambar 2b). Kepala memiliki bercak-bercak atau
garis berwarna merah yang tipis dan hampir tidak terlihat (Gambar 2c). Tungkai berwarna hitam,
memiliki selaput dan cakar (Gambar 2d). Berdasarkan bentuk ekornya Cyclemys dentata yang
ditemukan pada penelitian ini adalah jantan (Gambar 2e).

(a) (b) (c) (d) (e)


MANAJEMEN KURA KURA

Penangkaran merupakan salah satu usaha pemanfaatan Satwaliar yang dibenarkan


berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 (Departemen Kehutanan dan
Perkebunan 1999a). Bentuk dan sistem penangkaran kura-kura yang dilakukan adalah
penangkaran ex-situ dan intensif, karena dilakukan di luar habitat dan pengelolaan usahanya
secara penuh diatur oleh manusia/penangkar (Masy’ud, 2001).
Sumber bibit diperoleh dari berbagai macam tempat. Bibit untuk keperluan penangkaran
diambil dari habitat alam atau sumber-sumber lain yang sah, seperti penangkaran lain atau
lembaga konservasi sebagaimana tertuang dalam PP No. 8 Tahun 1999 (Departemen Kehutanan
dan Perkebunan 1999b). Bibit kura-kura yang diperoleh dari alam harus melalui proses adaptasi
dan aklimatisasi terlebih dahulu sebelum dipelihara di penangkaran untuk membiasakan diri
kura-kura terhadap lingkungan yang baru dan mencegah masuknya penyakit dari luar melalui
kura-kura tersebut. Indikator kura-kura telah dapat menerima lingkungan baru adalah nafsu
makan normal, perilaku tidak menyimpang dan dapat bereproduksi (Payne et al., 1999).
Sistem perkandangan/kolam kurakura harus dibuat dengan memisahkan anakan dan
dewasa untuk menghindari persaingan dan perilaku kanibalisme. Keberadaan kolam yang
terpisah ini sesuai dengan persyaratan menurut Amri dan Khairuman (2002). Anakan yang baru
menetas diadaptasikan terlebih dahulu sampai kuning telur di pusarnya hilang sebelum
dimasukkan ke kolam pemeliharaan/pembesaran. Anakan/tukik yang baru menetas sementara
ditampung dengan menggunakan bak-bak plastik, karena plastik merupakan bahan yang baik
untuk memelihara kura-kura, tidak melukai karena tidak tajam, mengikuti suhu lingkungan dan
mudah dibersihkan (Rossi, 2006). Menurut Amri dan Khairuman (2002), dalam penangkaran
kura-kura idealnya ada empat tempat yang harus disediakan, yaitu kolam pemeliharaan dan
pemijahan, tempat penetasan telur (inkubator), tempat pemeliharaan tukik (pendederan) dan
tempat pembesaran. Ukuran kolam bervariasi tergantung tujuan pembuatan kolam dan kapasitas/
daya dukungnya. Menurut George dan Rose (1993), jika kura-kura ditempatkan secara
bersamaan yaitu dua atau lebih individu, maka sebagian kecil individu akan menjadi agresif dan
merusak yang lain.
Pemberian pakan kura-kura dilakukan secara rutin dengan jenis pakan yang disukai,
sebagai variasi diberikan pelet untuk memaksimalkan pertumbuhan dan produktivitas telur serta
kesehatannya. Jumlah pakan yang diberikan tergantung jenis yang ditangkarkan menurut Amri
dan Khairuman (2002). Pemberian pakan sehari satu kali untuk anakan kura-kura, kecuali kura-
kura Rote. Kura-kura Rote dan labi-labi dewasa diberikan pakan sehari sekali sedangkan kura-
kura Brazil dan labi-labi Cina sehari dua kali dengan jenis pakan yang beragam. Kekurangan
pemberian pakan dapat menyebabkan persaingan dalam mendapatkan makanan dan dapat
mengakibatkan timbulnya perilaku kanibalisme sesama individu, sehingga akan mempengaruhi
pertumbuhan dan kesehatan kura-kura. Komposisi pakan kura-kura dewasa bervariasi untuk
setiap jenisnya, namun syaratnya harus diupayakan memiliki kecukupan gizi untuk pertumbuhan
dan kesehatannya. Pakan terdiri dari jenis alami (hewan, tumbuhan) dan buatan (pelet), yang
diberikan secara bergantian/ berselang-seling. Penggunaan pakan buatan (pelet) biasanya
diberikan bagi jenis eksotik sedangkan pakan alami untuk jenis asli. Kebutuhan nutrisinya
tercukupi dengan jumlah pakan minimal 10-20% dari bobot individu kura-kura (Purwantono
dkk., 2016).
Kura air memerlukan kualitas air yang baik dan juga ada daratan, sehingga bisa
digunakannya untuk berjemur. Kura darat memerlukan suhu (20-29°C) dan kelembaban 10-50%,
juga sinar matahari yang cukup. Tempat pemeliharaan harus bersih dan cukup luas. Media yang
dipakai unutk alas harus aman dan bersih unutk kura. Jangan menggunakan pasir, batu kecil,
batu akuarium, potongan kayu, rumput plastic. Sebaiknya menggunakan kertas koran, pellet
alfafa, atau batu yang besar. Jika memakai lampu, harus diatur dengan suhu dan kelembaban
yang sesuai.

Purwantono, Mirza Dikari Kusrini, dan Burhanuddin Masy’ud. 2016. Manajemen


Penangkaran Empat Jenis Kura-Kura Peliharaan dan Konsumsi di Indonesia. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam 13(2): 119-135.
STUDI KASUS PENGGUNAAN KURA-KURA SEBAGAI HEWAN COBA

KASUS 1: Effects of opioids in the formalin test in the Speke’s hinged tortoise (Kinixy’s
spekii)

1. Tujuan dari penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginvetigasi efek dari obat opioids, NSAIDs
dan steroidal anti-inflammatory pada sistem syaraf sensori rangsangan menyakitkan yang
diinduksi dengan tes formalin pada kura-kura Speke’s hinged. Data yang didapatkan menunjukan
adanya kehadiran sistem opioidergik dan mengindikasi perannya dalam proses kimiawi rasa sakit
di kura-kura.

2. Manajemen Hewan Coba pada Penelitian

Tiga puluh tujuh Kura-kura speke’s hinged dewasa terdiri dari 17 jantan dan 20 betina
dibeli dari pemasok professional bersertifikat. Berat kura-kura 629.4 ± 21.4 g (kisaran 425-800
g) dan memiliki Panjang plastron sebesar 12.6 ± 0.3 cm (kisaran 10–14.5 cm). Hewan tersebut
tinggal pada kandang dengan ventilasi yang baik, ruangan kedap suara dengan jendela
translusen. Suhu ruangan dipertahankan pada 20 – 28 oC menggunakan thermostatic ruangan.

Kura-kura disimpan di kandang logam terbuka berukuran 125x90x60 cm dan


setengahnya diisi dengan pasir dan batu hingga kedalaman 30 cm. Setiap kandang memiliki
paling banyak 20 kura-kura. Hewan-hewan diberi makan ad libitum dengan kubis, wortel, tomat
dan rumput kikuyu (Pennisetum cladestinum). Sisa-sisa pakan dikeluarkan bersama-sama dengan
puing-puing tinja setelah 6 jam setelah pemberian makan. Air minum diberikan ad libitum dalam
piring kecil, pada dua titik di setiap tangki. Piring dibersihkan setiap hari. Untuk meningkatkan
aktivitas mereka di penangkaran, hewan-hewan dimandikan setidaknya sekali seminggu, di
baskom terpisah diisi dengan 10 L air.

Pembiasaan dengan lingkungan penangkaran selama setidaknya 1 bulan sebelum


dimulainya percobaan, di mana mereka dirawat setiap hari. Komite perawatan dan etika hewan
institusional menyetujui prosedur eksperimental, yang mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh
National Institutes of Health Guide untuk Perawatan dan Penggunaan Hewan Laboratorium
(Publikasi No. 85–23, revisi 1985). Dalam prosesnya, pengamat tidak menyadari obat yang
diberikan kepada hewan. Desain blok acak diadopsi, di mana hewan dikelompokkan berdasarkan
bobot tubuh. Selama proses percobaan, hewan-hewan itu dipilih secara acak tanpa penggantian.
Penggunaan kembali hewan dibatasi hingga 1 bulan, yang digunakan sebagai periode
pembersihan.

3. Perlakuan pada hewan coba


Morfin, pethidine dan nalokson dilarutkan dalam larutan garam fisiologis 0.9%. Hewan kontrol
disuntikkan dengan volume yang sama secara intracoelomic (ICo). Pemberian obat diberikan ICo
sebelum pengujian nosiseptif.

KASUS 2: Turtle maintain mitochondrial integrity but reduce mitochondrial

respiratory capacity in the heart after cold acclimation and anoxia

1. Tujuan dari penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki apakah penekanan pada mitokondria
berasal dari penurunan regulasi konten mitokondria atau aktivitas intrinsik dengan
membandingkan mitokondria jantung dari kura-kura di iklim hangat (25°C) normoksik, beriklim
dingin (4°C) normoksisk dan kura-kura anoksik dingin.

2. Manajemen Hewan Coba pada Penelitian

Menggunakan slider bertelinga merah dewasa dan trachemys scripta elegans. Dari kedua
jenis kelamin diizinkan untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan selama beberapa bulan
sebelum eksperimen. Kura-kura disimpan di akuarium pada suhu 25 ° C dan memiliki akses
bebas ke platform kering di bawah lampu inframerah untuk termoregulasi perilaku. Dua belas
kura-kura secara acak dibagi menjadi tiga kelompok: kelompok penyu yang diberi makan
hangat, disimpan pada suhu 25 ° C dengan akses penuh ke platform berjemur dan berjemur (rata-
rata ± massa sem = 0,63 ± 0,05 kg, n = 3) dan dua kelompok kura-kura menyesuaikan diri
sampai 5 ° C, di mana satu kelompok terpapar 9 hari anoksia, seperti yang dijelaskan secara rinci
di tempat lain

Secara singkat, kura-kura dipuasakan dan secara bertahap didinginkan hingga 5 ° C


selama 6 minggu sebelum memindahkan satu kura-kura anoksik dan satu kura-kura normoksik
ke akuarium baru per hari. Kura-kura anoksik (0,64 ± 0,07 kg, n = 4) disimpan di dalam kandang
tikus dengan tutup logam untuk menghindari permukaan dan air terus-menerus digelembungkan
dengan nitrogen. Kura-kura normoksik (0,66 ± 0,13 kg, n = 5) disimpan dalam 10 cm air di
masing-masing tangki.

3. Perlakuan pada hewan coba

Kura-kura yang telah dikeluarkan dari air dan ditidurkan pada suhu kamar dengan injeksi
50 mg kg-1 pentobarbital ke dalam sinus vena supravertebral. Ketika kura-kura tidak lagi
merespons mencubit kaki dan tidak memiliki refleks kornea, mereka dipenggal dan otak disuntik
secara intratekal dengan dosis pentobarbital yang mematikan. Plastron dibuka dengan
menggunakan tulang, jantung dibedah dan ventrikel diangkat dan dipindahkan ke cawan petri
kaca. Warna merah gelap darah dan jaringan jantung pada penyu anoksik dibandingkan dengan
yang normoksik menunjukkan tidak adanya reoksigenasi selama eutanasia. Ventrikel kemudian
dicuci dalam saline fosfat buffered (PBS) untuk menghilangkan darah dan dibagi menjadi empat
bagian yang digunakan untuk: (1) TEM, (2) respirometri resolusi tinggi dalam serat
permeabilisasi dan (3) respirometri resolusi tinggi dalam mitokondria terisolasi (di mana
produksi ROS juga diukur). Peneliti memilih untuk bekerja dengan serat permeabilisasi dan
mitokondria terisolasi, karena serat permeabilisasi diasumsikan paling relevan secara fisiologis
untuk mengukur laju respirasi mitokondria, tetapi produksi ROS tidak dapat diukur dengan andal
dalam serat permeabilisasi karena gradien oksigen yang dapat mempengaruhi pengukuran
produksi ROS. Akhirnya, (4) bagian keempat dibekukan dengan cepat dalam cairan N2 untuk
pengujian aktivitas enzim berikutnya dan western blotting.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN


Kura-kura adalah hewan bersisik berkaki empat yang termasuk golongan reptil. Bangsa hewan
yang disebut (ordo) Testudinata (atau Chelonians) ini khas dan mudah dikenali dengan adanya ‘rumah’
atau batok (bony shell) yang keras dan kaku. Batok kura-kura ini terdiri dari dua bagian. Bagian atas yang
menutupi punggung disebut karapas (carapace) dan bagian bawah (ventral, perut) disebut plastron.
Kemudian setiap bagiannya ini terdiri dari dua lapis. Lapis luar umumnya berupa sisik-sisik besar dan
keras, dan tersusun seperti genting; sementara lapis bagian dalam berupa lempeng-lempeng tulang yang
tersusun rapat seperti tempurung. Perkecualian terdapat pada kelompok labi-labi (Trionychoidea) dan
jenis penyu belimbing, yang lapis luarnya tiada bersisik dan digantikan lapisan kulit di bagian luar
tempurung tulangnya.
Tujuan penangkaran satwa liar terbagi menjadi dua, yaitu penangkaran untuk tujuan
konservasi dan penangkaran untuk tujuan sosial-ekonomi-budaya. Penangkaran untuk tujuan
konservasi adalah penangkaran yang menunjang usahausaha pelestarian jenis satwa beserta
plasma nutfahnya, sedangkan penangkaran untuk tujuan sosial-ekonomi-budaya adalah
penangkaran yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (Masy'ud 2001). Kura-
kura telah lama dimanfaatkan di Asia Timur dan Tenggara untuk makanan, obat-obatan, dan
hewan peliharaan, dan China adalah negara konsumen terbesar di dunia (Gibbons et al. 2000;
Van Dijk et al. 2000; Moll & Moll 2004). Jenis kura-kura di Indonesia yang diketahui untuk
konsumsi menurut Kemenhut (2014) terdiri dari empat spesies yaitu labi-labi ( Amyda
cartilaginea), kura ambon (Cuora amboinensis), labi-labi hutan (Dogania subplana) dan kura-kura
bergerigi (Cyclemys dentata). Spesies yang dijual sebagai peliharaan terdiri atas dua spesies yaitu
labi-labi (Amyda cartilaginea), kura-kura leher ular rote (Chelodina mccordi).

Dalam bidang penelitian, aspek – aspek yang diperlukan untuk kura – kura adalah :
- Adaptasi dan Aklimatisasi setelah pembelian
- Sistem lingkungan penampungan
- Pakan dan air
- Perawatan penyakit dan pemeliharaan
- Selanjutnya adalah prosedur penelitian yang dilakukan

Berdasarkan hasil bacaan literatur didapatkan


Kelebihan penggunaan kura - kura :
1. Kura - kura dapat bertahan hidup di darat maupun diair meskipun paling banyak hidupnya didalam air,
sehingga perawatan dirasa cukup mudah. Penggantian air secara berkala dapat membantu menjaga
kondisi kesehatan kura kura.
2. Menurut jenisnya, keunggulan kura-kura jenis eksotik adalah mudah beradaptasi dengan
perubahan lingkungan, berbiak dan tumbuh dengan cepat, serta tahan ( imun)
terhadap penyakit dibandingkan dengan kura-kura jenis asli.
3. Pakan Kura – kura umumnya adalah tumbuhan (herbivore), namun dapat diberikan daging atau
campuran keduanya (omnivora) untuk menambah asupan kebutuhan, dirasa cukup ekonomis
dibandingkan hewan coba lainnya.
4. Kura-kura tidak memiliki gigi. Akan tetapi perkerasan tulang di moncong kura-kura sanggup
memotong apa saja yang menjadi makanannya. Hal ini dapat mengurangi resiko perlukaan ketika
diserang kura – kura, selain itu kura – kura juga tidak terlalu agresif.
5. Dengan perawatan yang memadai, dan lingkungan yang tepat. Dalam kegiatan pengembangbiakan
kura-kura dapat berkembang biak dengan maksimal, sejumlah beberapa butir (pada kura-kura darat)
hingga lebih dari seratus butir telur dapat dikeluarkan dalam 1 kali siklus bertelur.
6. Penggunaan kura – kura sebagai hewan coba masih kurang dalam penelitian penelitian, sehingga
membuka peluang untuk mengembangkan penelitian dengan menggunakan kura – kura.
7. Struktur organ dari kura – kura yang cukup komplek menurut sistem fisiologi, menarik untuk
dipelajari oleh karena salah satu jenis satwa aquatic yang dapat hidup di darat atau diair.

Kekurangan kura - kura :

1. Kura kura merupakan satwa yang sensitif dan memiliki tingkat stress yang cukup tinggi, dibandingkan
satwa aquatic dan mamalia lainnya, Kontak manusia yang intensif pada pemeliharaan dapat membuat
kura-kura stres, sehingga tidak mau makan dan bertelur (Hemsworth et al., 1997). Ketika stress gejala
penyakit pun akan timbul. Menurut Amri dan Khairuman (2002), ciri-ciri kura-kura yang terkena
penyakit adalah gerakannya lemah, hilang keseimbangan, nafsu makan berkurang, menggosok-gosokkan
tubuhnya pada benda yang keras, kulit dan bagian badannya rusak, sehingga berwarna pucat dan terlihat
bintik-bintik pucat pada permukaan tubuhnya.

2. Kekurangan pemberian pakan dapat menyebabkan persaingan dalam mendapatkan makanan dan dapat
mengakibatkan timbulnya perilaku kanibalisme sesama individu,sehingga akan mempengaruhi
pertumbuhan dan kesehatan kura-kura.
3. Kura-kura lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di dalam air dibandingkan di daratan, oleh
karena itu pemantauan kesehatannya perlu dilakukan dengan mengangkat dan mengecek kura-kura
tersebut dari dalam air ke daratan secara berkala (minimal sekali dalam seminggu).

Dari aspek Bioekologi, didapatkan beberapa perbandingan manajemen pemeliharaan kura – kura
(Purwantono, 2015) :
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa jenis kura-kura hasil introduksi dari luar (labi-
labi cina dan kura-kura brazil) relatif mudah ditangkarkan karena memiliki keunggulan lebih
banyak dibandingkan jenis kura-kura asli (labilabi/bulus dan kura-kura rote), terutama dalam hal
kemudahan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan makanan, berbiak dan bertumbuh
dengan cepat, serta tahan/imun terhadap penyakit sehingga dapat diusahakan dalam jumlah
banyak dengan puluhan ribu individu yang dipelihara.
DAFTAR PUSTAKA

Anandita Eka Setiadi. 2015. Identifikasi Dan Deskripsi Karakter Morfologi Kura-kura Air Tawar
Dari Kalimantan Barat. Majalah Ilmiah Al Ribaath, Universitas Muhammadiyah Pontianak Vol
12, No. 1, Juni 2015, Hal 29 – 34 ISSN: 1412 – 7156.

Intan Tolistiawaty, Junus Widjaja, Phetisya Pamela F. Sumolang, Octaviani. 2014. Gambaran
Kesehatan pada Mencit (Mus musculus)di Instalasi Hewan Coba. Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 8
No. 1, 2014 : 27 – 32.

Joko Pamungkas, Diah Iskandriati , Maryati Surya, Dondin Sajuthi. 2014. Peran Komisi Etik
Hewan Dalam Kegiatan Penelitian, Pengujian Dan Pendidikan . Prosiding Konferensi Ilmiah
Veteriner Nasional (KIVNAS) ke-13 Palembang, 23-26 November 2014 .

Bundgaard, A., Qvortrup, K., Rasmussen, L.J. and Fago, A., 2019. Turtles maintain
mitochondrial integrity but reduce mitochondrial respiratory capacity in the heart after cold
acclimation and anoxia. Journal of Experimental Biology, 222(11), p.jeb200410.

Wambugu, S.N., Towett, P.K., Kiama, S.G., Abelson, K.S. and Kanui, T.I., 2010. Effect of
opioids in the formalin test in the Speke’s hinged tortoise (Kinixy’s spekii). Journal of veterinary
Pharmacology and Theurapeutics. 33(4), pp.347-351.

Purwantono. 2016. MANAJEMEN PENANGKARAN EMPAT JENIS KURA-KURA


PELIHARAAN DAN KONSUMSI DI INDONESIA. Balai Taman Nasional Meru Betiri
Jember, Jawa Timur , Indonesia.

Purwantono. 2015. PENANGKARAN KURA-KURA YANG BERKELANJUTAN


BERDASARKAN MODEL SISTEM DINAMIK. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Indonesia

Anda mungkin juga menyukai