Lutung pada dasarnya memiliki morfologi yang hampir sama pada tiap spesies,
yang menjadi ciri khas adalah warna rambutnya. Lutung Jawa mempunyai panjang
tubuh dari ujung kepala sampai tungging (jantan dan betina dewasa) rata-rata 517 mm
dan panjang ekornya rata-rata 742 mm. Sedangkan berat tubuhnya rata-rata 6,3 kg.
Warna rambut hitam, diselingi dengan warna keperak-perakan, sedangkan untuk anak
yang baru lahir berwarna kuning jingga. Setelah meningkat dewasa warnanya berubah
menjadi hitam kelabu.
Perbedaan antara jantan dan betina secara morfologi terletak pada
perkembangan alat kelamin sekunder, sedangkan untuk kelompok umur pada Lutung
Jawa dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan aktivitas hariannya. Pada jantan dewasa
mempunyai ukuran tubuh relatif besar sedangkan pada betina dewasa memiliki ukuran
tubuh lebih kecil atau hampir sama dengan ukuran jantan dewasa. Pada lutung betina
rambut bagian punggung lebih hitam dari pada warna punggung lutung jantan (Nugraha,
2011).
2. 1. 2 Tingkah Laku
Perilaku merupakan suatu aktivitas yang perlu melibatkan fungsi fisiologis.
Setiap macam perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera,
perubahan rangsangan-rangsangan ini menjadi aktivitas neural, aksi integrasi
susunan syaraf, dan akhirnya aktivitas berbagai organ motorik, baik internal maupun
eksternal (Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985). Perilaku satwa adalah respon
atau ekspresi satwa oleh adanya rangsangan atau stimulus atau agent yang
mempengaruhinya. Ada dua macam rangsangan yaitu rangsangan dalam dan
rangsangan luar. Rangsangan dalam antara lain adalah faktor fisiologis sekresi
hormon dan dorongan alat insentif sebagai akibat aktivititas. Rangsangan luar dapat
berbentuk suara, pandangan, tenaga mekanis dan rangsangan kimia (Mukhtar, 1986).
Satwa liar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan
kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan
persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan makanan (ingestif), perilaku
membuang kotoran (eliminatif), perilaku seksual, perilaku pemeliharaan (efimeletik),
perilaku mendekati yang memelihara (et-epimeletik), perilaku menentang/konflik
(agonistik), perilaku meniru (alelomimetik), perilaku mencari perlindungan (shelter
seeking) dan perilaku memeriksa (investigatory) (Alikodra, 1990).
Tomaszewska et al. (1991) menyatakan bahwa tingkah laku satwa dapat
diklasifikasikan dalam 10 macam :
1) Ingestif : Tingkah laku makan, minum, menyusui dan kegiatan lain yang
berhubungan dengan hal tersebut.
2) Shelter seeking : Tingkah laku pencarian tempat berteduh, berlindung dari panas
matahari atau suhu udara yang sangat dingin.
3) Investigatory : Tingkah laku ini merupakan karakteristik yang penting satwa
untuk memudahkan melihat keadaan bahaya atau menemukan temannya.
4) Alelomimetik : Tingkah laku yang mempunyai kecenderungan untuk hidup
berkelompok dan terikat. Tingkah laku ini merupakan karakteristik dari hewan
yang sudah didomestikasi.
5) Agonistik : Tingkah laku menonjolkan postur, melakukan pendekatan, menakut-
nakuti, dan berkelahi. Tingkah laku ini berhubungan dengan agresivitas.
6) Eliminatif : Tingkah laku membuang kotoran seperti urinasi dan defekasi.
Tingkah laku ini dapat dimanfaatkan untuk menandai aktivitas seksual (misalnya
ternak betina jongkok waktu kencing) dan untuk menandai daerah kekuasaannya.
7) Epimeletik (care-giving) : Tingkah laku pemeliharaan terhadap anak (maternal
behaviour).
8) Etepimeletik (care-soliciting) : Perilaku meminta dipelihara, yaitu perilaku
individu muda untuk dipelihara oleh individu yang dewasa.
9) Social or reproductive : Tingkah laku kopulasi dan yang berkaitan dengan
hubungan satwa jantan dan betina.
10) Play : Tingkah laku yang sering terlihat pada hewan yang masih muda dan sehat,
ini dapat dimanfaatkan dalam proses mempelajari beberapa kejadian yang
berguna kelak pada saat hewan tersebut dewasa.
Menurut Linburgh (1980) dalam Sumiyarni (2005), aktivitas primata
(monyet) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Makan, yaitu aktivitas pengambilan makanan, mulai dari mengumpulkan sampai
mengunyah yang dilakukan pada pohon yang sama
2. Berpindah, yaitu pergerakan dari suatu tempat ke tempat yang lain.
3. Istirahat, yaitu aktivitas diam, duduk, dan tidur. Kadang-kadang istirahat
dilakukan bersamaan dengan perilaku grooming.
4. Berkelahi (agressive), yaitu aktivitas yang ditandai dengan ancaman dan mimik
muka atau gerakan badan, menyerang dan memburunya serta baku hantam
diakhiri dengan kekalahan lawan.
5. Menyelisik (grooming), yaitu aktivitas merawat/membersihkan diri, mencari
kotoran atau ektoparasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya.
6. Kawin (reproduksi), yaitu aktivitas yang dimulai dari pengejaran terhadap betina
dan diakhiri dengan turunnya jantan dari betina setelah kopulasi.
7. Bermain (play), yaitu aktivitas yang meliputi aktivitas berayun, berkejar-kejaran,
berguling, dan latihan baku hantam dengan individu lain. Aktivitas bermain ini
biasa terjadi pada anak-anak.
Kebanyakan perilaku yang diarahkan untuk suatu tujuan (seperti makan,
minum, tidur dan seksual) terdiri dari tiga tahap yang jelas dan terjadi secara siklis.
Tiga tahap tersebut yaitu perilaku apetitif, konsumatoris dan refraktoris. Tahap
apetitif meliputi, mencari dari perilaku yang diubah, dan yang banyak dipelajari.
Tahap konsumatoris relatif cenderung untuk konsisten, memperlihatkan sedikit
perbedaan dari individu yang satu terhadap individu lain, dan sebagian besar dapat
instinktif. Tahap refraktoris mencakup hilangnya perhatian dan berhentinya aktivitas
konsumatoris, meskipun kesempatan untuk memberi respon selalu ada
(Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985).
Menurut Fleagle (1978), pergerakan lutung dapat dibedakan menjadi empat
berdasarkan penggunaan tungkainya, yaitu:
1. Quadrupedal : berjalan dan berlari, yaitu bergerak secara kontinyu, biasanya
bergerak horizontal menggunakan keempat tungkainya.
2. Leaping : melompat secara terputus-putus dan berlangsung sangat cepat, gerakan
ini menggunakan dua tungkai belakang. Pada saat mendarat menggunakan
tungkai depan atau tungkai belakang, gerakan ini bila dilakukan secara terus-
menerus disebut hopping.
3. Climbing : gerakkan secara kontinyu, biasanya berupa gerakan vertikal
menggunakan variasi antara keempat tungkainya, kedua tangannya digunakan
untuk menarik tubuhnya ke atas, sedangkan kedua kakinya digunakan untuk
mendorong tubuhnya dari bawah.
4. Arm-swinging : gerak menggantung dan mengayun dari satu pohon ke pohon
lainnya. Arm-swinging disebut juga dengan brachiation, yaitu bergerak
menggantung hanya pada satu batang pohon dengan arah gerakan ke kiri dan ke
0
kanan dengan sudut rotasi dapat mencapai 180 (Napier dan Napier, 1985).
Lutung bergerak secara quadrupedal, yaitu bergerak dengan
menggunakan keempat tungkainya (Fleagle, 1978). Di atas tanah dan percabangan
yang besar lutung dapat berlari atau berjalan secara cepat. Loncatan terjauh antara
10–12 meter pada sudut miring, sedangkan pada arah horizontal lutung kelabu
mampu melompat sejauh 4 meter. Tidur dan makan pada posisi duduk di cabang
pohon, ekor tergantung kebawah dan berfungsi sebagai penstabil posisi tubuh
(Napier dan Napier, 1967). Aktivitas umum yang dilakukan oleh lutung seperti
grooming, seksual dan memamerkan daerah teritorial biasanya dilakukan dalam
waktu yang relatif singkat. Di alam lutung kelabu jantan menghabiskan waktu harian
untuk makan sebesar 24 %, sedangkan betina 30,4 % (Rowe, 1996). Aktivitas makan
dilakukan pada pagi hari, istirahat pada siang hari, sedangkan aktivitas bergerak
mencari pohon tidur dilakukan pada sore hari (Alikodra, 1990).
Aktivitas istirahat berlangsung apabila satwa primata relatif tidak
bergerak, misalnya duduk, berdiri, tidur atau berbaring pada tenggeran. Kegiatan
istirahat pada primata termasuk lutung umumnya dipengaruhi oleh tingkat suhu dan
kelembaban (Prayogo, 2006). Aktivitas istirahat terbagi ke dalam dua tipe yaitu
istirahat total dan istirahat sementara. Istirahat total artinya lutung melakukan posisi
badan seperti duduk, diam tak bergerak dan tidur, sedangkan istirahat sementara
adalah keadaan atau posisi badan yang tidak bergerak yang dilakukan diantara
aktivitas hariannya. Waktu istirahat penting dilakukan oleh lutung dan primata
lainnya untuk mencerna dedaunan yang telah dikonsumsinya (Alikodra, 1990).
2. 2 Jenis Pakan
Berikut beberapa jenis pakan lutung alami
Nama Lokal Nama Ilmiah Familia
Bobontengan Cyclanthera explondens Curcubitaceae
Konyal Passiflora ligularis Passifloraceae
Rasamala Altingia excelsa Altingiaceae
Kaliandra Merah Calliandra callothyrsus Fabaceae
Labu Siam Sechium edule Curcubitaceae
Beunying Ficus fistulosa Moraceae
Kaliandra Putih Zapoteca tetragona Fabaceae
Ki Badak Antidesma montanum Euphorbiaceae
Karinyuh Eupatorium inulifolium Asteraceae
Peer Ficus geocarpa Moraceae
Loka Eriobotrya japonica Rosaceae
Alpukat Persea americana Lauraceae
Cerem Macropanax dispermus Araliaceae
Rasamala (2) Altingia excelsa Altingiaceae
Pada penelitian Ruhyat dan Annas yang berjudul Studi Kebutuhan Pakan Lutung
Jawa (Trachypithecus auratus E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812) Betina pada Fase Akhir
Rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa, lutung jawa mengonsumsi 13 jenis
tumbuhan pakan alami yang diberikan, sedangkan 1 spesies yaitu tumbuhan Peer tidak
dikonsumsi. Bagian-bagian organ tumbuhan dikonsumsi oleh Lutung jawa betina
diantaranya adalah daun, bunga, buah, pucuk dan ranting. Komposisi bagian yang dimakan
oleh Lutung jawa pada setiap jenis tumbuhan pakan menunjukkan perbedaan. Tingkat
kebutuhan Lutung jawa terhadap setiap bagian tumbuhan, diduga disesuaikan dengan
pemenuhan kebutuhan nutrisinya. Komposisi bagian pakan alami Lutung jawa betina yang
dikonsumasi seperti tampak pada Gambar berikut,
Gambar diatas menunjukkan bahwa komposisi bagian-bagian pakan alami yang
dikonsumsi oleh Lutung jawa betina berbeda antar bagian yang dimakan. Bagian daun
maupun bagian yang berhubungan dengan daun tampak lebih tinggi dibanding bagian
diluar daun. Seperti tampak pada Gambar 1, menunjukkan persentase tertinggi bagian
tumbuhan yang dimakan adalah daun (58,96%), diikuti tangkai daun (22,43%), daun
majemuk (10,96%), Ruas Ranting (4,72%). Namun bagian di luar bagian daun lebih
rendah yaitu ruas batang (1,48%), buah (0,40%), bunga (0,10%), kulit ranting (0,90%),
dan pucuk (0.01%). Dengan demikian bagian dari organ tumbuhan yang dimakan oleh
lutung mencapai 81,39%, sehingga dapat disebut bahwa Lutung adalah pemakan daun atau
foliopagus. Hal ini sesuai dengan Supriyatna dan Edi (2000) bahwa daun menjadi bagian
tumbuhan yang paling dibutuhkan oleh Lutung Jawa. Oleh karena itu, Lutung Jawa
bersifat foliovorus yaitu adalah daun (Rowe, 1996).
Hasil penelitian menunjukkan kesamaan dengan Rowe (1996) bahwa pakan
Lutung adalah daun kurang lebih 80 % dari kebutuhan hidupnya. 229 Prosiding Seminar
Nasional MIPA 2016 “Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan
Berkelanjutan” Jatinangor, 27-28 Oktober 2016 ISBN 978-602-72216-1-1. Akan tetapi,
Lutung mengkonsumsi pakan buah jauh lebih kecil yaitu 0,40% dibandingkan Rowe (1996)
yang menyatakan bahwa presentasi sisa dari pakan selain daun adalah buah-buahan,
namun hasil peneltian menunjukkan bahwa masing terdapat ruas batang (1,48%), bunga
(0,10%), kulit ranting (0,90%), dan pucuk (0.01%). Kemampuan Lutung jawa yang dapat
mengonsumsi daun berkaitan dengan kondisi sistem pencernaannya.
Menurut Nijboer dkk. (2006) bahwa Lutung yang merupakan folivorous memiliki
lambung dengan banyak ruang yang terdiri dari saccus gastricus, tubus gastricus dan pars
pylorica, sehingga komponen makanan pada daun, termasuk serat dapat dicerna dengan
baik di dalam lambung Lutung. Berdasarkan kandungan nutrisinya, daun tumbuhan,
terutama daun-daun muda memiliki kandungan protein yang paling baik sehingga dapat
menjadi pakan utama dan memenuhi kebutuhan pemakan terutama dari nutrisinya.
Menurut Rothman dkk. (2011) bahwa daun muda yang dimakan oleh monyet-monyet di
Taman Nasional Kibale, Uganda memiliki kandungan protein yang tinggi, berkisar 22% -
47%. Demikian pula menurut Tangendjaja dkk. (1992) kandungan daun muda pada
kalliandra merah dapat mencapai 39%.
Tingkat preferensi Lutung jawa terhadap pakan alami kemungkinan berdasarkan
pada penampilan tumbuhan tersebut, karena Lutung jawa termasuk kelopok primate yang
bersifat dikromatik, dengan olfaktori yang berkembang baik, sehingga bisa membedakan
jenis-jenis makanan berdasarkan warna. Selain itu, preferensi dapat dipengaruhi oleh
kebiasaan, kebutuhan nutrisi, dan palatabilitas / nilai kelezatan dari jenis makanannya.
Persentase preferensi pakan alami Lutung Jawa betina di kandang rehabilitasi pada fase
rehabilitasi akhir seperti tampak pada tabel berikut,
Santono, Doni, dkk. 2016. Aktivitas Harian Lutung Jawa (Trachypithecus auratus sondacius)
di Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi Jawa Barat. UIN Sunan Gunung Jati : Bandung.
Pratiwi, Nuri. 2008. Aktivitas Pola Makan Dan Pemilihan Pakan Pada Lutung Kelabu Betina
(Trachypithecus Cristatus, Raffles 1812) Di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi – Bogor.
IPB : Bogor.
Partasasmita, Ruhyat dan Annas. 2016. Studi Kebutuhan Pakan Lutung Jawa (Trachypithecus
Auratus E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812) Betina pada Fase Akhir Rehabilitasi di Pusat
Rehabilitasi Primata Jawa. UNPAD: Bandung.