Anda di halaman 1dari 9

2.

1 Morfologi dan Tingkah Laku


2. 1. 1 Morfologi Lutung

Lutung pada dasarnya memiliki morfologi yang hampir sama pada tiap spesies,
yang menjadi ciri khas adalah warna rambutnya. Lutung Jawa mempunyai panjang
tubuh dari ujung kepala sampai tungging (jantan dan betina dewasa) rata-rata 517 mm
dan panjang ekornya rata-rata 742 mm. Sedangkan berat tubuhnya rata-rata 6,3 kg.
Warna rambut hitam, diselingi dengan warna keperak-perakan, sedangkan untuk anak
yang baru lahir berwarna kuning jingga. Setelah meningkat dewasa warnanya berubah
menjadi hitam kelabu.
Perbedaan antara jantan dan betina secara morfologi terletak pada
perkembangan alat kelamin sekunder, sedangkan untuk kelompok umur pada Lutung
Jawa dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan aktivitas hariannya. Pada jantan dewasa
mempunyai ukuran tubuh relatif besar sedangkan pada betina dewasa memiliki ukuran
tubuh lebih kecil atau hampir sama dengan ukuran jantan dewasa. Pada lutung betina
rambut bagian punggung lebih hitam dari pada warna punggung lutung jantan (Nugraha,
2011).
2. 1. 2 Tingkah Laku
Perilaku merupakan suatu aktivitas yang perlu melibatkan fungsi fisiologis.
Setiap macam perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera,
perubahan rangsangan-rangsangan ini menjadi aktivitas neural, aksi integrasi
susunan syaraf, dan akhirnya aktivitas berbagai organ motorik, baik internal maupun
eksternal (Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985). Perilaku satwa adalah respon
atau ekspresi satwa oleh adanya rangsangan atau stimulus atau agent yang
mempengaruhinya. Ada dua macam rangsangan yaitu rangsangan dalam dan
rangsangan luar. Rangsangan dalam antara lain adalah faktor fisiologis sekresi
hormon dan dorongan alat insentif sebagai akibat aktivititas. Rangsangan luar dapat
berbentuk suara, pandangan, tenaga mekanis dan rangsangan kimia (Mukhtar, 1986).
Satwa liar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan
kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan
persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan makanan (ingestif), perilaku
membuang kotoran (eliminatif), perilaku seksual, perilaku pemeliharaan (efimeletik),
perilaku mendekati yang memelihara (et-epimeletik), perilaku menentang/konflik
(agonistik), perilaku meniru (alelomimetik), perilaku mencari perlindungan (shelter
seeking) dan perilaku memeriksa (investigatory) (Alikodra, 1990).
Tomaszewska et al. (1991) menyatakan bahwa tingkah laku satwa dapat
diklasifikasikan dalam 10 macam :
1) Ingestif : Tingkah laku makan, minum, menyusui dan kegiatan lain yang
berhubungan dengan hal tersebut.
2) Shelter seeking : Tingkah laku pencarian tempat berteduh, berlindung dari panas
matahari atau suhu udara yang sangat dingin.
3) Investigatory : Tingkah laku ini merupakan karakteristik yang penting satwa
untuk memudahkan melihat keadaan bahaya atau menemukan temannya.
4) Alelomimetik : Tingkah laku yang mempunyai kecenderungan untuk hidup
berkelompok dan terikat. Tingkah laku ini merupakan karakteristik dari hewan
yang sudah didomestikasi.
5) Agonistik : Tingkah laku menonjolkan postur, melakukan pendekatan, menakut-
nakuti, dan berkelahi. Tingkah laku ini berhubungan dengan agresivitas.
6) Eliminatif : Tingkah laku membuang kotoran seperti urinasi dan defekasi.
Tingkah laku ini dapat dimanfaatkan untuk menandai aktivitas seksual (misalnya
ternak betina jongkok waktu kencing) dan untuk menandai daerah kekuasaannya.
7) Epimeletik (care-giving) : Tingkah laku pemeliharaan terhadap anak (maternal
behaviour).
8) Etepimeletik (care-soliciting) : Perilaku meminta dipelihara, yaitu perilaku
individu muda untuk dipelihara oleh individu yang dewasa.
9) Social or reproductive : Tingkah laku kopulasi dan yang berkaitan dengan
hubungan satwa jantan dan betina.
10) Play : Tingkah laku yang sering terlihat pada hewan yang masih muda dan sehat,
ini dapat dimanfaatkan dalam proses mempelajari beberapa kejadian yang
berguna kelak pada saat hewan tersebut dewasa.
Menurut Linburgh (1980) dalam Sumiyarni (2005), aktivitas primata
(monyet) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Makan, yaitu aktivitas pengambilan makanan, mulai dari mengumpulkan sampai
mengunyah yang dilakukan pada pohon yang sama
2. Berpindah, yaitu pergerakan dari suatu tempat ke tempat yang lain.
3. Istirahat, yaitu aktivitas diam, duduk, dan tidur. Kadang-kadang istirahat
dilakukan bersamaan dengan perilaku grooming.
4. Berkelahi (agressive), yaitu aktivitas yang ditandai dengan ancaman dan mimik
muka atau gerakan badan, menyerang dan memburunya serta baku hantam
diakhiri dengan kekalahan lawan.
5. Menyelisik (grooming), yaitu aktivitas merawat/membersihkan diri, mencari
kotoran atau ektoparasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya.
6. Kawin (reproduksi), yaitu aktivitas yang dimulai dari pengejaran terhadap betina
dan diakhiri dengan turunnya jantan dari betina setelah kopulasi.
7. Bermain (play), yaitu aktivitas yang meliputi aktivitas berayun, berkejar-kejaran,
berguling, dan latihan baku hantam dengan individu lain. Aktivitas bermain ini
biasa terjadi pada anak-anak.
Kebanyakan perilaku yang diarahkan untuk suatu tujuan (seperti makan,
minum, tidur dan seksual) terdiri dari tiga tahap yang jelas dan terjadi secara siklis.
Tiga tahap tersebut yaitu perilaku apetitif, konsumatoris dan refraktoris. Tahap
apetitif meliputi, mencari dari perilaku yang diubah, dan yang banyak dipelajari.
Tahap konsumatoris relatif cenderung untuk konsisten, memperlihatkan sedikit
perbedaan dari individu yang satu terhadap individu lain, dan sebagian besar dapat
instinktif. Tahap refraktoris mencakup hilangnya perhatian dan berhentinya aktivitas
konsumatoris, meskipun kesempatan untuk memberi respon selalu ada
(Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985).
Menurut Fleagle (1978), pergerakan lutung dapat dibedakan menjadi empat
berdasarkan penggunaan tungkainya, yaitu:
1. Quadrupedal : berjalan dan berlari, yaitu bergerak secara kontinyu, biasanya
bergerak horizontal menggunakan keempat tungkainya.
2. Leaping : melompat secara terputus-putus dan berlangsung sangat cepat, gerakan
ini menggunakan dua tungkai belakang. Pada saat mendarat menggunakan
tungkai depan atau tungkai belakang, gerakan ini bila dilakukan secara terus-
menerus disebut hopping.
3. Climbing : gerakkan secara kontinyu, biasanya berupa gerakan vertikal
menggunakan variasi antara keempat tungkainya, kedua tangannya digunakan
untuk menarik tubuhnya ke atas, sedangkan kedua kakinya digunakan untuk
mendorong tubuhnya dari bawah.
4. Arm-swinging : gerak menggantung dan mengayun dari satu pohon ke pohon
lainnya. Arm-swinging disebut juga dengan brachiation, yaitu bergerak
menggantung hanya pada satu batang pohon dengan arah gerakan ke kiri dan ke
0
kanan dengan sudut rotasi dapat mencapai 180 (Napier dan Napier, 1985).
Lutung bergerak secara quadrupedal, yaitu bergerak dengan
menggunakan keempat tungkainya (Fleagle, 1978). Di atas tanah dan percabangan
yang besar lutung dapat berlari atau berjalan secara cepat. Loncatan terjauh antara
10–12 meter pada sudut miring, sedangkan pada arah horizontal lutung kelabu
mampu melompat sejauh 4 meter. Tidur dan makan pada posisi duduk di cabang
pohon, ekor tergantung kebawah dan berfungsi sebagai penstabil posisi tubuh
(Napier dan Napier, 1967). Aktivitas umum yang dilakukan oleh lutung seperti
grooming, seksual dan memamerkan daerah teritorial biasanya dilakukan dalam
waktu yang relatif singkat. Di alam lutung kelabu jantan menghabiskan waktu harian
untuk makan sebesar 24 %, sedangkan betina 30,4 % (Rowe, 1996). Aktivitas makan
dilakukan pada pagi hari, istirahat pada siang hari, sedangkan aktivitas bergerak
mencari pohon tidur dilakukan pada sore hari (Alikodra, 1990).
Aktivitas istirahat berlangsung apabila satwa primata relatif tidak
bergerak, misalnya duduk, berdiri, tidur atau berbaring pada tenggeran. Kegiatan
istirahat pada primata termasuk lutung umumnya dipengaruhi oleh tingkat suhu dan
kelembaban (Prayogo, 2006). Aktivitas istirahat terbagi ke dalam dua tipe yaitu
istirahat total dan istirahat sementara. Istirahat total artinya lutung melakukan posisi
badan seperti duduk, diam tak bergerak dan tidur, sedangkan istirahat sementara
adalah keadaan atau posisi badan yang tidak bergerak yang dilakukan diantara
aktivitas hariannya. Waktu istirahat penting dilakukan oleh lutung dan primata
lainnya untuk mencerna dedaunan yang telah dikonsumsinya (Alikodra, 1990).
2. 2 Jenis Pakan
Berikut beberapa jenis pakan lutung alami
Nama Lokal Nama Ilmiah Familia
Bobontengan Cyclanthera explondens Curcubitaceae
Konyal Passiflora ligularis Passifloraceae
Rasamala Altingia excelsa Altingiaceae
Kaliandra Merah Calliandra callothyrsus Fabaceae
Labu Siam Sechium edule Curcubitaceae
Beunying Ficus fistulosa Moraceae
Kaliandra Putih Zapoteca tetragona Fabaceae
Ki Badak Antidesma montanum Euphorbiaceae
Karinyuh Eupatorium inulifolium Asteraceae
Peer Ficus geocarpa Moraceae
Loka Eriobotrya japonica Rosaceae
Alpukat Persea americana Lauraceae
Cerem Macropanax dispermus Araliaceae
Rasamala (2) Altingia excelsa Altingiaceae

Pada penelitian Ruhyat dan Annas yang berjudul Studi Kebutuhan Pakan Lutung
Jawa (Trachypithecus auratus E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812) Betina pada Fase Akhir
Rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa, lutung jawa mengonsumsi 13 jenis
tumbuhan pakan alami yang diberikan, sedangkan 1 spesies yaitu tumbuhan Peer tidak
dikonsumsi. Bagian-bagian organ tumbuhan dikonsumsi oleh Lutung jawa betina
diantaranya adalah daun, bunga, buah, pucuk dan ranting. Komposisi bagian yang dimakan
oleh Lutung jawa pada setiap jenis tumbuhan pakan menunjukkan perbedaan. Tingkat
kebutuhan Lutung jawa terhadap setiap bagian tumbuhan, diduga disesuaikan dengan
pemenuhan kebutuhan nutrisinya. Komposisi bagian pakan alami Lutung jawa betina yang
dikonsumasi seperti tampak pada Gambar berikut,
Gambar diatas menunjukkan bahwa komposisi bagian-bagian pakan alami yang
dikonsumsi oleh Lutung jawa betina berbeda antar bagian yang dimakan. Bagian daun
maupun bagian yang berhubungan dengan daun tampak lebih tinggi dibanding bagian
diluar daun. Seperti tampak pada Gambar 1, menunjukkan persentase tertinggi bagian
tumbuhan yang dimakan adalah daun (58,96%), diikuti tangkai daun (22,43%), daun
majemuk (10,96%), Ruas Ranting (4,72%). Namun bagian di luar bagian daun lebih
rendah yaitu ruas batang (1,48%), buah (0,40%), bunga (0,10%), kulit ranting (0,90%),
dan pucuk (0.01%). Dengan demikian bagian dari organ tumbuhan yang dimakan oleh
lutung mencapai 81,39%, sehingga dapat disebut bahwa Lutung adalah pemakan daun atau
foliopagus. Hal ini sesuai dengan Supriyatna dan Edi (2000) bahwa daun menjadi bagian
tumbuhan yang paling dibutuhkan oleh Lutung Jawa. Oleh karena itu, Lutung Jawa
bersifat foliovorus yaitu adalah daun (Rowe, 1996).
Hasil penelitian menunjukkan kesamaan dengan Rowe (1996) bahwa pakan
Lutung adalah daun kurang lebih 80 % dari kebutuhan hidupnya. 229 Prosiding Seminar
Nasional MIPA 2016 “Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan
Berkelanjutan” Jatinangor, 27-28 Oktober 2016 ISBN 978-602-72216-1-1. Akan tetapi,
Lutung mengkonsumsi pakan buah jauh lebih kecil yaitu 0,40% dibandingkan Rowe (1996)
yang menyatakan bahwa presentasi sisa dari pakan selain daun adalah buah-buahan,
namun hasil peneltian menunjukkan bahwa masing terdapat ruas batang (1,48%), bunga
(0,10%), kulit ranting (0,90%), dan pucuk (0.01%). Kemampuan Lutung jawa yang dapat
mengonsumsi daun berkaitan dengan kondisi sistem pencernaannya.
Menurut Nijboer dkk. (2006) bahwa Lutung yang merupakan folivorous memiliki
lambung dengan banyak ruang yang terdiri dari saccus gastricus, tubus gastricus dan pars
pylorica, sehingga komponen makanan pada daun, termasuk serat dapat dicerna dengan
baik di dalam lambung Lutung. Berdasarkan kandungan nutrisinya, daun tumbuhan,
terutama daun-daun muda memiliki kandungan protein yang paling baik sehingga dapat
menjadi pakan utama dan memenuhi kebutuhan pemakan terutama dari nutrisinya.
Menurut Rothman dkk. (2011) bahwa daun muda yang dimakan oleh monyet-monyet di
Taman Nasional Kibale, Uganda memiliki kandungan protein yang tinggi, berkisar 22% -
47%. Demikian pula menurut Tangendjaja dkk. (1992) kandungan daun muda pada
kalliandra merah dapat mencapai 39%.
Tingkat preferensi Lutung jawa terhadap pakan alami kemungkinan berdasarkan
pada penampilan tumbuhan tersebut, karena Lutung jawa termasuk kelopok primate yang
bersifat dikromatik, dengan olfaktori yang berkembang baik, sehingga bisa membedakan
jenis-jenis makanan berdasarkan warna. Selain itu, preferensi dapat dipengaruhi oleh
kebiasaan, kebutuhan nutrisi, dan palatabilitas / nilai kelezatan dari jenis makanannya.
Persentase preferensi pakan alami Lutung Jawa betina di kandang rehabilitasi pada fase
rehabilitasi akhir seperti tampak pada tabel berikut,

No Jenis Bagian Dimaka Diberik Rasio


n (g) an (g) (%)
1 Alpukat Daun 7.15 1181.18 0.61
Kulit ranting 10 60 16.67
Tangkai daun 200.15 206.5 96.92
2 Beunyi Daun 36.3 277.2 13.10
ng
Pucuk 0.45 10.8 4.17
Tangkai daun 12 23.52 51.02
Ruas ranting 75.6 100.8 75.00
3 Bobont Buah 13.16 13.6 96.76
engan
Daun 249.4 249.4 100.00
Ruas batang 6.29 63.64 9.88
4 Cerem Daun 49.28 323.4 15.24
Tangkai daun 4.07 46.2 8.81
5 Kallian Daun 136.25 362.5 37.59
dra majemu
Merah k
Ruas ranting 9.9 319 3.10
6 Kallian Daun 225 600 37.50
dra majemu
Putih k
Ruas ranting 66 264 25.00
7 Karinyu Bunga 2.86 8.58 33.33
h
Daun 26.1 820.8 3.18
Tangkai daun 0.32 36.48 0.88
8 Ki Daun 39.6 295 13.42
Badak
Tangkai daun 2.52 16.52 15.25
9 Konyal Daun 696 696 100.00
Ruas batang 24 1392 1.72
Tangkai daun 82 232 35.34
10 Loka Daun 150 480 31.25
Kullit ranting 19.8 200 9.90
11 Rasama Daun 15 309.6 4.84
la
Tangkai Daun 1.3 51.6 2.52
12 Rasama Daun 29 318 9.12
la (2)
Tangkai daun 10.08 25.44 39.62
13 Waluh Sulur 0.7 126 0.56
Daun 645 2700 23.89
Ruas batang 18.48 1108.8 1.67
Tangkai daun 196 720 27.22
14 Peer - 0 0 0.00
Tabel tersebut menunjukkan tingkat kesukaan Lutung jawa terhadap jenis
tumbuhan pakan. Jenis tumbuhan yang paling disukai oleh Lutung Jawa adalah
Bobontengan, terutama bagian daun dan buah, sedangkan Konyal lebih disukai hanya
bagian daun (100%), namun bagian tumbuhan alpukat (Persea americana) adalah tangkai
daun. Jenis-jenis tumbuhan pakan alami dan bagian tumbuhannya yang dikonsumsi
menunjukkan bahwa ada kaitanya dengan karakteristik dari tumbuhan tersebut.
Penampakan, dan kandungan nurisi berperan dalam pemilihan pakan oleh Lutung
jawa.Spesies Bobontengan dan Konyal memiliki perawakan liana atau tumbuhan
merambat, kemungkinan kemudahan dalam mengambil tumbuhan tersebut dan
kebiasaannya Lutung Jawa memiliki preferensi terhadap tumbuhan merambat atau liana.
Selain itu, Bobontengan dan Konyal memiliki ciri-ciri tekstur yang lunak dan
banyak mengandung air. Sesuai dengan Chivers dan Raemaekers (1989) bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi pemilihan pakan pada primata adalah kandungan nutrisi pada
bagian tumbuhan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis pakan alami tersebut
dapat memenuhi kebutuhan Lutung jawa terhadap air dan nutrisi lainnya. Menurut Wardah
(2010), kandungan gizi pada buah Bobontengan setara dengan mentimun yang
dibudidayakan. Dalam 100 g mentimun terkandung 15 g kalori; 0,80 g protein; 0,10 g pati;
3 g karbohidrat; 30 mg fosfor; 0,50 mg besi; 0,02 thiamine; 0,01 riboflavin; 14 mg asam;
0,45 IU vitamin A;0,30 IU vitamin B1 dan 0,20 IU vitamin B2 (Sumpena, 2005) dan
sisanya (sekitar 35.62%) diperkirakan mengandung air.
Konyal memiliki kandungan air sebanyak 75g dalam 100 g beratnya (Ahmad,
1999). Kandungan air dari jenis tumbuhan tersebut lebih banyak terdapat pada buah
daripada bagian lain. Jenis tumbuhan yang memiliki rasio terendah adalah sulur Labu Siam
(0,56%). Sementara jenis pakan yang tidak dikonsumsi adalah Peer. Hal ini karena Peer
memiliki tekstur daun dan ranting yang kasar dan tidak banyak mengandung air.
Kebutuhan pakan per hari Lutung jawa memiliki kebutuhan pakan yang berbeda-
beda pada setiap bagian pakan per harinya. Kebutuhan pakan tumbuhan alami bagi Lutung
Jawa setiap harinya pada saat tahap akhir rehabilitasi sebelum pelepasliaran menunjukkan
terdapat perbedaan kebutuhan dari setiap bagian pakan tumbuhan alami oleh Lutung Jawa
per harinya. Lutung Jawa betina memiliki kebutuhan terbesar pada daun dengan massa
sebesar 184 g per harinya, kemudian diikuti oleh tangkai daun (52 g), daun majemuk (36
g), ruas ranting (7,5 g), ruas batang (4,9 g), kulit ranting (3 g), buah (1,3 g), bunga (0,3 g),
Pucuk (0,1 g), dan Sulur (0,07 g).
Kebutuhan pakan tumbuhan alami tertinggi pada Lutung jawa betina dapat
terpenuhi dengan mengkonsumsi daun lebih banyak daripada bagian pakan alami yang
lain. Hal ini berkaitan pula dengan preferensi makanan dari Lutung betina, karena
preferensi dapat diperngaruhi oleh nutrisi karena kemungkinan palatabilitasnya. Protein
yang paling baik bagi Lutung jawa terkandung pada daun muda (Rothman dkk., 2011).
Selain itu, menurut Church dan Pond (1988), konsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu faktor internal, eksternal dan lingkungan. Faktor internal berasal dari
hewan itu sendiri yaitu status fisiologi dari hewan tersebut, sementara faktor eksternal
berasal dari pakan dan kondisi fisik lingkungan. Selama pengamatan, Lutung jawa betina
menunjukkan aktivitas pergerakan yang tinggi, terlihat selalu melakukan pergerakan
dengan cara berjalan di atas bambu yang tersusun di dalam kandang dan sesekali
beristirahat. Aktivitas yang tinggi menyebabkan proses metabolisme nutrisi di dalam
tubuhnya menjadi lebih cepat karena membutuhkan lebih banyak energi untuk beraktivitas.

Santono, Doni, dkk. 2016. Aktivitas Harian Lutung Jawa (Trachypithecus auratus sondacius)
di Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi Jawa Barat. UIN Sunan Gunung Jati : Bandung.

Pratiwi, Nuri. 2008. Aktivitas Pola Makan Dan Pemilihan Pakan Pada Lutung Kelabu Betina
(Trachypithecus Cristatus, Raffles 1812) Di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi – Bogor.
IPB : Bogor.

Partasasmita, Ruhyat dan Annas. 2016. Studi Kebutuhan Pakan Lutung Jawa (Trachypithecus
Auratus E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812) Betina pada Fase Akhir Rehabilitasi di Pusat
Rehabilitasi Primata Jawa. UNPAD: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai