Anda di halaman 1dari 4

Perilaku Makhluk Hidup

Perilaku adalah aktivitas suatu organisme akibat adanya suatu stimulus (Umar, 2012).
Dari mengamati perilaku, kita cenderung untuk menempatkan diri pada organisme yang kita
amati, yakni dengan menganggap bahwa organisme tadi melihat dan merasakan seperti kita.
Seringkali suatu perilaku hewan terjadi karena pengaruh genetis (perilaku bawaan lahir atau
innate behavior), dan karena akibat proses belajar atau pengalaman yang dapat disebabkan
oleh lingkungan. Pada perkembangan ekologi perilaku terjadi perdebatan antara pendapat
yang menyatakan bahwa perilaku yang terdapat pada suatu organisme merupakan pengaruh
alami atau karena akibat hasil asuhan atau pemeliharaan, hal ini merupakan perdebatan yang
terus berlangsung. Dari berbagai hasil kajian, diketahui bahwa terjadinya suatu perilaku
disebabkan oleh keduanya, yaitu genetis dan lingkungan (proses belajar), sehingga terjadi
suatu perkembangan sifat.

Pola Perilaku Makhluk Hidup


Adapun pola – pola perilaku hewan yaitu (Susanto. 2000) :
1. Perilaku reproduksi
Meskipun beberapa jenis hewan mampu untuk berbiak secara aseksual (seperti beberapa
jenis serangga dan sedikit jenis kadal), kebanyakan hewan harus menemukan pasangan agar
mampu bereproduksi. Pada banyak kasus, satu individu hewan, pada umumnya jantan,
mencoba untuk berprilaku atraktif untuk menarik lawan jenisnya. Contohnya adalah penguin.
Musim reproduksi hewan kutub ini terjadi selama musim panas berlangsung di Antartika.
Yakni, sepanjang Oktober sampai Februari. Jantan harus membangun sarangnya sendiri
untuk merayu si betina. Saat membangun sarang tersebut, beberapa pinguin betina
menghampiri si jantan dan membantu mendirikan sarang. Beberapa betina akan bergantian
memeriksa sarang baru tersebut.
2. Perilaku mencari makan
Hewan memperlihatkan beberapa tipe perilaku mencari makan yang berbeda. Beberapa
jenis hewan sangat selektif terhadap apa yang mereka makan. Kelompok hewan ini termasuk
pencari makan khusus (foraging specialist). Contohnya beberapa jenis serangga hanya akan
memakan satu jenis tumbuhan saja. Hewan – hewan lain merupakan hewan generalis
memakan banyak jenis tipe makanan. Contohnya, adalah opossum yang memakan berbagai
jenis serangga serta buah.
3. Perilaku bertahan
Pola perilaku bertahan pada hewan terbagi menjadi 2 :
a. Pola perilaku mempertahankan diri
Setiap hewan mempunyai kemampuan berbeda-beda dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Penyesuaian diri ini berguna untuk memperoleh makanan. Selain itu
juga untuk mempertahankan diri dari musuhnya.
1) Mimikri, adalah cara mempertahankan diri terhadap musuh dengan cara
menyerupai sesuatu, secara khas menyerupai tipe lain organiseme lain seperti
misalnya bunglon yang dapat berubah-ubah sesuai warna benda di sekitarnya
agar dapat mengelabuhi binatang predator / pemangsa sehingga sulit
mendeteksi keberadaan bunglon untuk dimangsa.
2) Kamuflase, merupakan proses adaptasi yang menyamakan atau
menyeragamkan warna kulit dengan lingkungan sekitarnya untuk melindungi
diri dari predator atau untuk mencari makan.
3) Autotomi, adalah teknik bertahan hidup dengan cara mengorbankan salah satu
bagian tubuh. Cicak jika merasa terancam ia akan tega memutuskan ekornya
sendiri untuk kabur dari sergapan musuh. Ekor yang putus akan melakukan
gerakan-gerakan yang cukup menarik perhatian sehingga perhatian pemangsa
akan fokus ke ekor yang putus, sehingga cicak pun bisa kabur dengan lebih
leluasa.
b. Pola perilaku Bertahan hidup dalam lingkungan fisik.
Kebanyakan hewan hanya dapat bertahan hidup dalam kisaran suhu, salinitas,
kelembaban tertentu, dan sebagainya. Mereka mempunyai mekanisme yang efisien
untuk mempertahankan kendali homeostatis terhadap lingkungannya.
1) Hibernasi, adalah teknik bertahan hidup pada lingkungan yang keras dengan
cara tidur menonaktifkan dirinya (dorman). Hibernasi bisa berlangsung lama
secara berbulan-bulan seperti beruang pada musim dingin. Hibernasi biasanya
membutuhkan energi yang sedikit, karena selama masa itu biantang yang
berhibernasi akan memiliki suhu tubuh yang rendah, detak jantung yang
lambat, pernapasan yang lambat, dan lain-lain.
4. Perilaku komunikasi
Perilaku komunikasi memegang peranan penting bagi hewan. Di samping komunikasi
menggunakan tanda (signal) dan suara, beberapa jenis bahan kimia hewan melakukan
komunikasi dengan menggunakan bahan – bahan kimia. Contohnya pada ngengat yang
menggunakan feromon pada saat akan kawin yang dilepaskan ke udara oleh ngengat betina.
Semut juga melakukan komunikasi dengan feromon untuk mengenal semut lainnya. Serta
berbagai serangga sosial seperti lebah dan rayap. Hewan-hewan tersebut mempunyai
berbagai feromon untuk setiap tingkah laku, misalnya untuk perilaku kawin, perilaku mencari
makan, perilaku adanya bahaya dll.
5. Perilaku teritorial
Perancangan dan pemeliharaan kawasan (territorial) merupakan perilaku yang
diperlihatkan oleh hewan, terutama oleh serangga, ikan, burung, reptil, dan mamalia.
Kawasan (territoria) digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk untuk makanan, kawin,
dan keamanan. Pemilik kawasan pada umumnya mencoba untuk mengusir individu lain yang
memasuki kawasannya. Tujuan utama dari perilaku territorial ini adalah menjaga dan
mempertahankan adanya gangguan yang masuk dari individu lain. Teritori tergantung pada
penampakan yang ditunjukan oleh hewan tersebut bahwa teritori tersebut sudah dikuasai.
Contohnya suara Burung Parus Major yang berada dalam teritori digunakan untuk menjaga
kawasannya agar tidak diambil oleh burung asing lainnya. Apabila ada suara burung yang
memasuki kawasan tidak dikenal maka ia akan diserang.
6. Perilaku sosial
Pola lain dari perilaku adalah termasuk perilaku penyebaran, yang diperlihatkan oleh
individu lain dengan menjauhi area di mana mereka dilahirkan. Perilaku sosial merupakan hal
umum yang ditemui pada berbagai jenis hewan terutama yang hidup dalam kelompok, seperti
semut, anai-anai, lebah, penguin, dan primata. Perilaku sosial didefinisikan sebagai interaksi
di antara individu, secara normal di dalam spesies yang sama yang saling mempengaruhi satu
sama lain. Perilaku sosial berkembang di antaranya karena adanya kebutuhan untuk
reproduksi dan bertahan dari predator. Perilaku sosial dilakukan dengan banyak tujuan dan
diperlihatkan oleh berbagai macam hewan, mulai hewan yang tak bertulang belakang, ikan,
burung, hingga mamalia.
7. Perilaku migrasi
Perilaku migrasi dan berpindah tempat ini dilaukan oleh hewan seacra berkelompok.
Tujun atau orientasi pergerakan sudah jelas untuk menghindari kondisi lingkungsn yang
sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup populasinya atau untuk kegiatan
bereproduksi. Contohnya, pada kelompok kerbau liar Afrika, kondisi lingkungan lebih
menjadi factor penentu gerombolan kerbau bergerak sekalipun terus menerjang bahaya.
Sebagai hewan pemakan rumput, keberadaan jumlah curah hujan dan kehijauan rumput yang
liar lebih menjadi pendorong pergerakan kelompoknya. Pergerakan yang dilakukan secara
berkelompok untuk melindungi diri dan dari bahaya predator.

Seleksi Habitat

Habitat adalah sebuah kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik yang
merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya
satwa liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan
untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan makanan,
air dan pelindung. Habitat yang sesuai untuk suatu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis yang
lain, karena setiap satwa menghendaki kondisi habitat yang berbeda- beda (Dasman, 1973).
Habitat suatu jenis satwa merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen
fisik dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwa yang hidup di dalamnya
(Alikodra, 1990). Setiap satwa memiliki kondisi habitat yang berbeda yang sesuai dengan
kesukaan maupun kebutuhan sumberdaya nya, oleh karena itu mereka melakukan seleksi
untuk memilih habitat yang sesuai dengan mereka. Seleksi habitat merupakan proses atau
tingkah laku di mana satwa menyeleksi atau memilih suatu habitat untuk hidupnya
(Wirakusumah. 2003). Analisis seleksi habitat merupakan salah satu aspek penting dalam
penelitian satwa liar. Pengetahuan tentang seleksi habitat (sering juga disebut preferensi
habitat) dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas habitat dan memprediksi pengaruh
perubahan habitat terhadap populasi satwaliar (Susanto, 2000).
Komponen habitat yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar terdiri dari:
1. Pakan (food)
merupakan komponen habitat yang paling nyata dan setiap jenis satwa mempunyai kesukaan
yang berbeda dalam memilih pakannya. Sedangkan ketersediaan pakan erat hubungannya
dengan perubahan musim;
2. Pelindung (cover)
Segala tempat dalam habitat yang mampu memberikan perlindungan bagi satwa dari cuaca
dan predator, ataupun menyediakan kondisi yang lebih baik dan menguntungkan bagi
kelangsungan kehidupan satwa
3. Air (water)
dibutuhkan oleh satwa dalam proses metabolisme dalam tubuh satwa. Kebutuhan air bagi
satwa bervariasi, tergantung air dan/atau tidak tergantung air. Ketersediaan air pada habitat
akan dapat mengubah kondisi habitat, yang secara langsung ataupun tidak langsung akan
berpengaruh pada kehidupan satwa
4. Ruang (space)
dibutuhkan oleh individu- individu satwa untuk mendapatkan cukup pakan, pelindung, air
dan tempat untuk kawin. Besarnya ruang yang dibutuhkan tergantung ukuran populasi,
sementara itu populasi tergantung besarnya satwa, jenis pakan, produktivitas dan keragaman
habitat.

Asumsi yang digunakan dalam mempelajari seleksi habitat adalah:


1. Habitat dengan kepadatan satwa tinggi (paling banyak dipilih) memiliki kualitas yang
tinggi, sedangkan yang kepadatannyarendah berarti kualitas habitatnya rendah.
2. Populasi satwa merespon positif terhadap ketersediaan (availability) Habitat dengan indeks
seleksi yang tinggi. Habitat yang paling banyak dipilih diasumsikan yang paling
menguntungkan oleh karena itu kegiatan pengelolaan diarahkan untuk menciptakan dan
memelihara habitat-habitat seperti ini (Umar. 2012).
Alikodra, H. S. 1990. The Implementation of Forest Rsource Conservation in Sustainable
Forest Management in Indonesia (in) Indonesi’s effort to Achieve Sustainable
Forestry. Forum of Indonesia Forestry Scientists.
Dasmann, R. F., J. P. Milton and P.H. Freeman. 1973. Ecological principles for Economic
Development. John Wiley and Sons, London, U.K.
Susanto, P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Umar, M., Ruslan., 2012. Penuntun Praktikum Ekologi Umum. Makasar: Universitas
Hasanuddin.
Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi. Jakarta: Penerbit UI Press.

Anda mungkin juga menyukai