Anda di halaman 1dari 4

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERILAKU SATWA LIAR

M.Aidin Syafaat
Prodi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
x
Corresponding author: Jl. HM. Yasin Limpo 36 Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia. 92113
E-mail addresses: aidinsyafaat10@gmail.com

Kata kunci a b s t r a k
Lingkungan Perilaku secara arti luas adalah tindakan yang tampak, yang
Perilaku
Satwa liar
dilaksanakan oleh makhluk dalam usaha penyesuaian diri terhadap
keadaan lingkungan yang sedemikian rupa sehingga mendapat kepastian
dalam kelangsungan hidupnya. Perilaku satwa liar merupakan gerak
gerik satwa liar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan
memanfaatkan rangsangan yang diperoleh dari lingkungannya. Setiap
makhluk hidup pastinya akan melakukan interaksi dengan
lingkungannya sejak dilahirkan. Agar tetap bertahan setiap makhluk
hidup harus mampu melakukan adaptasi, baik pada tingkatan populasi
maupun komunitas pada suatu biosfer. Kajian perilaku hewan pada
dasarnya mempelajari bagaimana hewan-hewan berperilaku di
lingkungannya yang merupakan hasil dari suatu penyebab atau suatu
“proximate cause”. Setiap hewan liar memiliki perilaku yang berbeda
yang disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan (habitat) dan adanya
aktivitas manusia.

1. Pendahuluan
Perilaku pada hakekatnya adalah total range of activities dan melibatkan aktivitas yang
dapat dideteksi (observable) dan yang sukar dideteksi (non-observable), dalam pengkajian
perilaku baik yang bersifat herediter maupun didapatkan dari lingkungan merupakan titik tolak
untuk memaknakannya. Fenomena perilaku hewan merupakan ekpresi respon hewan terhadap
lingkungan yang bersifat komplek dan menakjubkan. Perilaku yang diekpresikan hewan
sebagai suatu upaya bagi kelangsungan hidup hewan tersebut [1].
Perilaku adalah serangkaian tindakan yang dibuat oleh individu, organisme, sistem, atau
entitas buatan dalam hubungannya dengan dirinya sendiri atau lingkungannya, yang mencakup
sistem atau organisme lain di sekitarnya serta lingkungan fisik (mati). Perilaku satwa liar
merupakan gerak gerik satwa liar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan
memanfaatkan rangsangan yang diperoleh dari lingkungannya [2]. Bidang ilmu yang mengkaji
perilaku hewan adalah ethologi, adalah disiplin ilmu secara objektif tentang perilaku hewan
dalam berbagai kondisi lingkungan, serta melihat perilaku tersebut sebagai respon adaptif dan
evolusioner [3]
Setiap spesies tentunya mempunyai perilaku yang berbeda yang disebabkan banyak
factor seperti genetik, lingkungan dan peran manusia [4]. Beberapa jenis satwa liar memiliki
mekanisme yang berbeda dalam menghadapai keadaan lingkungan yang berubah secara
temporal akibat adanya aktivitas atau pembangunan disekitar habitatnya sehingga kehidupan
satwa liar terganggu. Hal ini disebabkan oleh satwa mempunyai sensitivitas yang kuat terhadap
terjadinya perubahan lingkungan habitatnya. Perubahan atau gangguan terhadap habitat
menyebabkan adanya pergerakan satwa untuk menghindar. Pergerakan satwa merupakan suatu
strategi dari individu maupun populasi satwa liar untuk menyesuaikan dan memanfaatkan
keadaan lingkungannya agar dapat hidup dan berkembang biak secara normal [4]

1
2. Pembahasan
Perilaku satwa liar merupakan gerak gerik satwa liar untuk memenuhi rangsangan
dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang diperoleh dari lingkungannya [5].
Adapun perilaku yang ditunjukkan oleh satwa liar pada kasus artikel berikut:

Konflik Manusia dengan Satwa Liar


Artikel 1 menunjukkan bahwa adanya konflik manusia dengan satwa liar seperti gajah
dan harimau yang diakibatkan oleh hilang dan rusaknya habitat alami dari satwa liar tersebut
karena aktivitas manusia seperti pembukaan hutan atau alih fungsi hutan untuk pertanian,
perkebunan, pemukiman dan pembangunan infrastruktur. Konflik antara manusia dengan satwa
liar merupakan fenomena yang sering terjadi di dunia bahkan di Indonesia. Seiring
berkembangnya zaman dan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, alih fungsi lahan
hutan juga semakin meningkat sehingga menyebabkan fragmentasi habitat satwa. Peningkatan
populasi manusia secara langsung atau tidak langsung menyebabkan konflik manusia dengan
satwa liar di suatu wilayah. Konflik manusia dengan gajah akan berdampak langsung terhadap
manusia maupun gajah. Dampak langsung bagi manusia berupa kerugian yang diakibatkan oleh
rusaknya tanaman budidaya, perampasan hasil tanaman, rusaknya infrastruktur dan sumber air,
gangguan dan matinya hewan ternak, korban luka dan meninggal, sementara bagi gajah adalah
satwa ini dapat terluka dan/atau mati oleh manusia [6]
Artikel 5 memperlihatkan adanya terjadi konflik manusia dengan satwa liar berupa ular,
biawak dan musang yang masuk area pemukiman warga hingga masuk kedalam rumah.
Berdasarkan dari data Dinas Pemadam Kebakaran menyebutkan bahwa kasus evakuasi satwa
liar oleh dibulan September tercatat sebanyak 55 kali evakuasi ular dan biawak. Sedangkan
pada bulan Oktober petugas mengevakuasi 10 ekor ular, 1 ekor biawak dan 2 ekor musang. Hal
ini terjadi karena satwa liar yang masuk ke pemukiman masyarakat dapat dipicu oleh faktor
rusaknya habitat alami dari satwa liat tersebut sehingga melakukan pergerakan mencari makan
dan tempat berlindung serta adanya pengaruh musim, yaitu pergantian musim hujan [7].

Alap-Alap Kawah Menukik Sekencang Mobil Balap


Artikel 2 menjelaskan bahwa alap-alap kawah menukik sekencang mobil balap dengan
kecepatan 320 km/jam untuk menangkap mangsa. Para ilmuwan berusaha mengungkap rahasia
alap-alap kawah menukik sekencang mobil balap tanpa terluka sedikitpun. Pada akhirnya
ilmuwan mengetahui cara dari alap-alap kawah menukik yaitu adanya adaptasi morfologi
berupa bentuk tubuh yang ringkas, memiliki pernafasan yang unik, dimana pada hidung alap-
alap kawah memiliki kenop yang dapat membuka menutup, yang bertindak sebagai penyekat
udara agar tekanan udara dalam tubuhnya seimbang, dan penglihatan yang tetap fokus saat
terjun, dikarenakan mata pada burung ini memiliki kelopak mata ketiga atau membrane
pengelip (Nictitating membrane) sebagai pelindung sehingga tetap fukus meski menukik
dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Alap-alap kawah (Falco peregrinus) adalah jenis burung pemangsa yang akan menetap
ataupun bermigrasi, termasuk dalam famili Falconidae yaitu burung pemangsa yang memiliki
kecepatan paling cepat dari kelompok burung pemangsa lainnya. Alap-alap kawah menangkap
mangsanya dengan cara soaring dan gliding. Soaring adalah strategi terbang burung pemangsa
yang terbang melayang berputar-putar tidak mengepakkan sayap dengan memanfaatkan udara
thermal, sedangkan gliding merupakan strategi terbang dengan meluncur tanpa mengepakkan
sayap [8]

2
Kura-Kura Softshell Melahirkan 41 Tukik Di Kebun Binatang San Diego
Artikel 3 menunjukkan bahwa kura-kura softshell telah berhasil melahirkan 41 tukik
(anakan) di Kebun Binatang San Diego, Amerika Utara. Indukan kura-kura ini, memiliki
perilaku bertelur semalaman lalu menutupinya dengan tanah, sehingga sarang dari hewan ini
sangat sulit untuk ditemukan didalam kandang. Kemudian telur kura-kura ini akan diletakkan
di dua tempat yang berbeda, sebagian telur menetas di habitatnya kemudian sebagian telur
disimpan dalam inkubator buatan untuk bertahan hidup seperti kondisi optimalnya.
Labi-labi (Amyda cartilaginea) adalah kura-kura air tawar dari famili Trionychidae,
ordo Testudines yang bersifat semi akuatik, sebagian hidupnya tinggal di air dan pada masa-
masa tertentu naik ke daratan untuk bertelur. Pencemaran lingkungan, perusakan habitat
gundukan pasir, perdagangan hewan peliharaan internasional dan pengambilan makanan oleh
manusia berkontribusi terhadap penurunan spesies selama berapa tahun terkahir. Gangguan
utama dari habitat labi-labi adalah rendahnya kualitas air akibat penambangan emas ilegal dan
alih fungsi rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Sistem pengambilan seperti
menggali lubang labi-labi, menguras air di sekitar lubang dan memasang perangkap jerat bila
berlangsung terus-menerus dan besar-besaran dikhawatirkan dapat mengancam keberadaan
spesies tersebut di alam dan dapat merubah karakteristik habitatnya [9].

Migrasi Kepiting Merah


Artikel 4 menunjukkan bahwa jutaan kepiting merah di Australia melakukan migrasi
tahunan ke pantai Australia Barat. Migrasi tahunan yang dilakukan oleh kepiting merah dimulai
dengan curah hujan pertama di musim hujan pada bulan Oktober hingga akhir Desember atau
Januari dengan tujuan untuk kawin dan bertelur.
Migrasi merupakan gerakan periodik yang dilakukan oleh hewan meliputi gerakan
keluar ke habitat yang baru dan kembali ke hababitat sebelumnya. Migrasi dilakukan dengan
tujuan untuk memberikan tanggapan terhadap perubahan kondisi alam (cuaca) yang ekstrim,
seperti musim dingin dengan suhu yang sangat rendah. Beberapa tipe habitat yang mendukung
hewan bermigrasi adalah pegunungan, rawa-rawa, danau, perairan pantai, lahan basah,
mangrove serta hamparan lumpur karena menyediakan berbagai sumber makanan [10].

3. Kesimpulan
Perilaku satwa liar merupakan gerak gerik satwa liar untuk memenuhi rangsangan
dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang diperoleh dari lingkungannya. Bidang
ilmu yang mengkaji perilaku hewan adalah ethologi, adalah disiplin ilmu secara objektif tentang
perilaku hewan dalam berbagai kondisi lingkungan, serta melihat perilaku tersebut sebagai
respon adaptif dan evolusioner.

Daftar Pustaka

[1] S. Hidayati and A. Kurniawati, “KEJELASAN NILAI-NILAI (VALUE


CLARIFICATION) MELALUI PENGAMATAN FENOMENA PERILAKU HEWAN
PADA PERKULIAHAN ETOLOGI,” Pros. Semin. Nas. Pendidik. Biol. dan Biol., pp.
159–168, 2015.
[2] R. Rudiansyah and M. Radhi, “Perilaku Satwa Liar Pada Kelas Burung (Aves),” J. OSF
Prepr., vol. 1, no. 1, pp. 1–10, 2019.
[3] S. H. Amrullah, D. Dirhamzah, A. Rustam, and H. Hasyimuddin, “Tinjauan Umum

3
Perilaku Hewan Di Indonesia Dan Integrasi Keilmuannya,” Teknosains Media Inf. Sains
Dan Teknol., vol. 15, no. 1, p. 1, 2021, doi: 10.24252/teknosains.v15i1.15379.
[4] G. D. Winarno and S. P. Harianto, Perilaku Satwa Liar (Ethology). AURA (Anugrah
Utama Raharja), 2018.
[5] I. Alfila and M. Radhi, “Perilaku Satwa Liar Pada Kelas Mamalia,” J. OSF Prepr., pp.
1–10, 2019.
[6] P. Pratiwi et al., “Community Perception on the Conflict between Human and Sumatran
Elephant (Elephas maximus sumatranus Temminck 1847) in Way Kambas National
Park,” J. Sylva Lestari, vol. 8, no. 1, pp. 98–108, 2020.
[7] A. Nurhayati and Sukiyah, “Keanekaragaman Dan Distribusi Ular Di Taman Hutan
Raya,” J. Prodi Biol., pp. 44–57, 2017.
[8] S. A. Tyas, L. P. E. . Yuni, and F. . Sudaryanto, “Pemantauan Jenis Burung Pemangsa
Pada Migrasi Arus Datang Di Gunung Sega, Karangasem Bali,” Metamorf. J. Biol. Sci.,
vol. 7, no. 1, p. 9, 2020, doi: 10.24843/metamorfosa.2020.v07.i01.p02.
[9] F. Joko Arbi, A. Hepi Yanti, and Riyandi, “Habitat Characteristic of Softshell Turtle
(Amyda cartilaginea Boddaert,1770) in Engkelitau River Sekadau Regency, West
Borneo,” J. ILMU DASAR, vol. 22, no. 1, pp. 39–50, Jan. 2021, doi:
10.19184/JID.V22I1.17041.
[10] T. Haryoko, “Persebaran dan Habitat Persinggahan Burung Migran di Kabupaten Natuna
Provinsi Kepulauan Riau,” Ber. Biol., vol. 13, no. 2, pp. 221–230, 2014.

Anda mungkin juga menyukai