Anda di halaman 1dari 7

EKOLOGI DAN PERILAKU SATWA LIAR

REVIEW PERTEMUAN WEEK 1 & 2

OLEH :

NAMA : PUTRA SYAHMADHAN


NIM : T202320214

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2024
Week 1 “Ekologi Perilaku Satwa Liar”

Hewan laba-laba tahu bagaimana cara membuat jaring, bagaimana seekor


burung bisa terbang, bagaimana berang-berang tahu cara membangun bendungan,
dengan insting naluri memberi hewan keterampilan yang penting dan luar biasa naluri
tidak dipelajari atau diajarkan, naluri tersebut diwariskan dari orang tua ke generasi
muda demi generasi ke seluruh anggota spesies. Setiap berang-berang mempunyai
naluri untuk berenang dan membangun bendungan, setiap burung pelatuk perut merah
harus menggali lubang di pohon untuk bersarang dan bertengger, setiap pekerja lebah
madu secara naluriah membantu menghasilkan madu, hewan ini tidak perlu
memikirkan perilakunya, otomatis mereka dilahirkan dengan kemampuan dan
dorongan untuk melakukannya.
Insting adalah salah satu alasan utama mengapa mahluk hidup bisa bertahan
hidup. Misalnya, bayi burung yang baru saja menetas memiliki insting untuk membuka
mulutnya dan ibu burung memiliki insting untuk memberi makan bayi burung tersebut.
Insting menjadi respon utama yang dimiliki mahluk hidup setelah ratusan tahun
berevolusi, secara tidak sadar melakukan hal-hal yang tanpa pemikiran terlebih dahulu.
Berbeda dari perilaku reflex atau tidak sengaja, kedua hal tersebut adalah respon dari
suatu bentuk stimulus sedangkan insting adalah kemampuan suatu mahluk hidup untuk
menunjukan suatu perilaku terhadap suatu stimulus. Misalnya, hewan yang merasa
lapar adalah bentuk respon yang tidak sengaja dari suatu stimulus ketika belum makan
pada jenjang waktu tertentu sedangkan kemampuan hewan untuk pergi berburu
makanan adalah suatu bentuk insting.
Naluri banyak yang melibatkan aktivitas sederhana seperti makan ketika lapar,
naluri tersebut mungkin mulai berperan dalam perilaku saat lahir. Beberapa saat setelah
menetas, bayi burung berkicau membuka mulutnya untuk meminta makanan, ketika
bayi burung mengangkat mulutnya induknya memberi makan itu berdasarkan naluri.
Bayi mamalia seperti cerpelai secara otomatis mencari susu dari induknya, hewan-
hewan ini tidak diajarkan untuk melakukan hal-hal ini dan mungkin tidak tahu mengapa
mereka melakukannya, tanpa naluri ini hewan-hewan tidak dapat bertahan hidup,
naluri juga membantu hewan mencapai prestasi luar biasa yang tampaknya benar-benar
di luar kemampuan mereka. Seekor laba-laba membuat jaring tanpa instruksi pelajaran
atau rencana apa pun ia membuat struktur kompleks yang kuat dengan sistem
pendukung yang bahkan dapat menantang para Insinyur untuk merancang, kita
mungkin memikirkan laba-laba naluri sebagai chip komputer canggih untuk pembuatan
web sudah dimasukkan ke dalam otak kecilnya saat lahir. Meskipun hewan dilahirkan
dengan semua nalurinya, mungkin diperlukan waktu beberapa saat agar naluri tersebut
muncul.
Perilaku yang dipelajari adalah perilaku yang tidak didasari oleh insting, tapi
dipelajari dari interaksi satwa terhadap lingkunganya. Perilaku dapat dipelajari dari
pengalaman, observasi, hingga interaksi sesama satwa. Perilaku yang dipelajari ini
sering didapatkan di mamalia dan burung. Misalnya, hewan lumba-lumba memiliki
kemampuan berburu yang adaptif dan dapat berkomunisai serta berkordinasi ketika
berburu dalam suatu kelompok tergantung dari jenis atau perilaku mangsa yang diburu.
Perilaku tersebut dipelajari dari observasi lingkungan, seperti layaknya singa yang
belajar untuk berburu karena mengikuti dan mengobservasi singa-singa dewasa.
Terlebih lagi, perilaku sosial juga dapat dipelajari. Burung memiliki insting untuk
berkicau, namun burung akan memperbaiki kicauannya sesuai dari respon dari
lingkungannya agar dapat berkomunikasi. Sebagai kesimpulan, perilaku yang
dipelajari biasanya dimulai dari insting, namun kemampuan perilaku tersebut
didapatkan dari trial and error dari berbagai percobaan sehingga memungkinkan satwa
untuk mencari makanan, berkomunikasi, dan berinteraksi sesama satwa.
Week 2 “Ekologi Perilaku Satwa Liar”

Perilaku dan Konservasi Hewan


• peran penelitian perilaku hewan dalam meningkatkan efektivitas dan
keberhasilan konservasi program manajemen.
• Perilaku hewan dapat membantu kita memahami dan memprediksi dampak
gangguan antropogenik terhadap satwa liar populasi, dapat digunakan sebagai
alat dalam intervensi konservasi, dan dapat berfungsi sebagai indikator yang
kuat masalah konservasi.
• Secara keseluruhan, bidang perilaku konservasi yang sedang berkembang
(menerapkan penelitian perilaku hewan pada konservasi dan manajemen) telah
berkontribusi pada banyak hasil konservasi yang sukses—mulai dari
merancang pola makan individu yang spesifik untuk mengelola rasio jenis
kelamin pada hewan yang terancam punah, hingga mempromosikan
keterampilan hidup yang meningkatkan kelangsungan hidup setelah
reintroduksi spesies ke alam liar.
• Meskipun demikian, masih terdapat ruang yang sangat besar untuk perbaikan.
Misalnya, pencegah penciuman bisa gagal karena mereka tidak cukup
mengenali atau memanipulasi konteks dalam arti isyarat binatang. Sementara
itu, perangkap yang dirancang di laboratorium untuk menarik dan
mengendalikan spesies invasif terbukti tidak efektif kondisi lapangan.
• Dalam banyak kasus, kita tidak memahami penyebab utama kegagalan, yang
menghalangi kita untuk melakukannya
• menawarkan panduan yang masuk akal dan hemat biaya mengenai pengelolaan
konservasi.

Timbergen’s Four Questions tentang perilaku satwa liar terdiri dari:


Proximate, yakni perilaku instan:
1. Mechanistic, stimulus yang merangsang respon satwa liar.
2. Development, pergantian atau perkembangan perilaku seiring belajarnya satwa liar.
Dan Ultimate, yakni perilaku perubahan secara evolusioner dalam kurung waktu
tertentu:
3. Survival Value, perilaku yang berdampak kepada keinginan bertahan hidup
4. Evolutionary, perkembangan perilaku sesuai dengan sejarah evolusi.

3 Dasar dari Perilaku Satwa Liar, antara lain:


1. Natural selection, bagaimana ekosistem dan ratusan tahun berdampak kepada
perilaku satwa liar.
2. Pembelajaran dalam bentuk yang berbeda, ada perilaku yang didapatkan dari genetic
dan ada juga perilaku yang dipelajari dari pengalaman.
3. Pertukaran informasi antar generasi, generasi yang muda dapat belajar dari generasi
yang tua sehingga mengubah perilaku satwa secara keseluruhan.

Determinan perilaku satwa ada tiga, antara lain:


1. Insting, perilaku yang dilakukan biasanya tanpa dipikirkan. Insting bisa dipelajari,
untuk reproduksi, bawaan, teritorial, dan naluri untuk makan.
2. Pembelajaran, dari berbagai aspek interaksi antar satwa, biasanya adalah habituasi.
Terdiri dari asosiatif yang terkait dengan stimulus tertentu, imprinting yakni mengikuti
pola dari kecil, imitasi yakni meniru, stimulus yakni perilaku dipelajari didorong oleh
manfaat tertentu, dan transmisi sosial yang dipelajari dari satwa lain.
3. Faktor Lingkungan, dari berbagai aspek interaksi secara ekosistem

Jenis perilaku dapat dibagi menjadi:


1. Perilaku tanpa mencakup susunan saraf, seperti:
a. Kinesis, diawali dengan stimulus tapi tanpa alasan tertentu.
b. Tropisme, perilaku yang dilakukan oleh arah datangnya rangsanan, biasa
ditemukan di tumbuhan.
c. Taksil, perilaku gerak yang dilakukan oleh suatu stimulus.
2. Perilaku mencakup saraf atau insting, biasanya berupa bawaan.
3. Perilaku dari pembelajaran, antara lain:
a. Afiliatif, mempererat kegiatan sosial.
b. Agnostic, seperti agresif dan submissif
c. Vokalisasi, komunikasi menggunakan suara
d. Maternal, melingdungi anak dan bayinya
4. Perilaku yang menghindar dari predator, seperti:
a. Altruistik, mementingkan keselamatan kelompok
b. Kamuflase, menghiindar dengan menyatu dengan lingkungan
c. Mimicry, menghjndar dengan menyerupai hal lain

Salah satu sifat penting dari sebuah ekosistem adalah interaksi antara predator
dan mangsa. Interaksi yang terjadi mendorong satwa untuk menggunakan taktik seperti
kamuflasi untuk bertahan hidup, maupun itu menghindar dari pemangsa atau mendekat
kepada mangsa. Berikut adalah empat tipe dari kamuflase:

1. Concealing Coloration atau Menyembunyikan Warna


Biasa juga disebut dengan nama blending, teknik ini digunakan satwa untuk
menyatu dengan lingkungannya. Misalnya, rubah putih yang tinggal di habitat salju
memiliki bulu yang putih agar dapat menyatu dengan habitatnya. Penyembunyian
warna yang tidak sama dengan habitat ini membantu satwa untuk menyembunyikan
pergerakan sehingga sulit untuk dilihat oleh pemangsa dan mangsa.

2. Distruptive Coloration atau Menggangu Warna


Biasa disebut dengan nama Patterning, teknik ini digunakan untuk
berkamuflase dengan mengganggu pola yang ada di lingkungan. Teknik ini akan
membuat satwa lain susah untuk melihat kamuflase, biasa digunakan oleh satwa yang
memiliki pola, garis, atau bintik.

3. Disguise atau Penyamaran


Penyamaran untuk terlihat seperti sesuatu yang lain yang bukan dirinya,
misalnya Belalang Ranting yang menyamar sebagai ranting.
4. Mimicry atau Meniru
Proses suatu satwa yang meniru sehingga terlihat seperti satwa lain. Misalnya
kupu-kupu yang memiliki bintik seperi mata burung hantu akan menakuti burung
pemangsa kecil.

Kamuflase juga bisa digunakan untuk berburu, misalnya Macan Tutul memiliki
pola kulit yang menyerupai habitat savana, sehingga memudahkan untuk berburu.
Terlebih lagi, kamuflase bisa digunakan untuk berkomunikasi. Misalnya, Bunglon
mengganti warna kulit untuk berkamuflase dapat menandakan bahaya kepada bunglon
lain bahkan berubah warna untuk menarik pasangan.

Anda mungkin juga menyukai