Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hewan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Di mana ada manusia,
pasti di sekitarnya ada hewan. Tak terkecuali kucing. Kucing merupakan hewan yang
mudah ditemui dalam lingkungan manusia. Di pedesaan banyak ditemukan kucing biasa,
atau biasa disebut kucing kampung. Sedangkan di perkotaan, banyak ditemukan kucing
peliharaan, yang sengaja dipelihara oleh manusia dengan tujuan yang bermacam-macam.
Ada yang memang menggemari kucing peliharaan, ada yang karena ingin
dikembangbiakkan lalu dijual lagi, dan sebagainya.

Kebanyakan, kucing peliharaan adalah keturunan kucing liar yang dijinakkan di


Mesir 4000 tahun silam (Redaksi Ensiklopedia Indonesia, 2003). Oleh karena dijinakkan,
tentu perilakunya akan berubah sesuai dengan apa yang diajarkan dan dipelajari oleh
kucing itu dari sang majikan. Perubahan ini menyebabkan perbedaan-perbedaan yang
kadang sangat signifikan dibandingkan kucing yang masih liar. Banyak hal yang
menyebabkan perbedaan di antaranya cara berburu, cara melindungi diri, dan sebagainya.
Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui bagaimana perbedaan perilaku yang terlihat
antara kucing peliharaan dan kucing liar ketika dihadapkan pada hamster. Dengan
demikian, penulis dapat mengetahui perbedaan-perbedaan antara perilaku kucing liar dan
kucing peliharaan, serta menyelidiki faktor-faktor yang mungkin menyebabkan perbedaan
yang terlihat di antara dua jenis kucing tersebut.

B. Tujuan
Mengetahui respon yang diberikan kucing kampung dengan makanan keseharian
berbeda terhadap hamster.
BAB II

DASAR TEORI

Perilaku (behavior) individual adalah suatu tindakan yang dilakukan


oleh otot atau kelenjar dan dikendalikan oleh sistem saraf sebagai respons
terhadap suatu rangsangan (Campbell, 2012:295). Perilaku Hewan adalah
serangkaian aktivitas yang mengorientasikan hewan terhadap lingkungan
eksternalnya. Meskipun perilaku sering diasumsikan sebagai pergerakan yang
bisa diamati tetapi perilaku juga bisa diartikan sebagai respon-respon internal
yang adaptif. Pola-pola perilaku biasanya berpusat ada pencarian makanan,
pencarian pasangan kawin, perawatan anak, penjagaan terhadap bahaya, dan
tugas-tugas lain yang penting dalam kehidupan suatu individu. Sistem-sistem
yang berperan dalam suatu perilaku adalah sistem-sistem otot, saraf, rangka,
dan endokrin (George, 2005).
Etologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku, mengkaji perbandingan
perilaku dari perspektif evolusioner, sering berhubungan dengan dorongan-
dorongan dalam mencari makan, seks, perawatan anak dan sebagainya.
Dorongan-dorongan itu muncul karena berbagai faktor baik internal maupun
eksternal. Dorongan itu dinamakan insting (George, 2005).
Menurut Agus Dharmawan, dkk (2004 : 83), reaksi dari suatu hewan
ditentukan oleh kemampuan potensial indra. Potensi alat indra itu menyangkut
beberapa aspek : 1 kepekaan, 2) diskriminasi, dan 3) lokalisasi. Kepekaan
adalah kekuatan untuk menangkap rangsangan, misalnya pendengaran kucing
sangat peka, terutama pada suara hewan pengerat seperti tikus. Penciuman
kucing juga sangat peka, dari kejauhan sudah bisa mencium bau ikan, dan
sebagainya. Diskriminasi adalah kemampuan untuk membedakan rangsang,
baik kekuatan maupun macamnya. Kemampuan untuk membedakan kekuatan
rangsang penting untuk menentukan perlu atau tidaknya respons dan tinggi
rendanya respons. Lokalisasi adalah kemampuan untuk menempatkan atau
menentukan sumber rangsang dalam ruang. Lokalisasi meliputi aspek jarak dan
arah.
A. Komponen-komponen perilaku
Kapasitas-kapasitas internal bagi pola-pola perilaku tentu berbeda antara
satu spesies dengan spesies lainnya. Ada dasar genetik bawaan bagi perilaku.
Tetapi perilaku juga dapat dapat berubah sesuai dengan kondisi lingkungan.
Pola-pola perilaku terjadi dengan cara yang tidak berbeda. Pola-pola perilaku
ini merupakan komponen-komponen bawaan yang menyusun rangkaian
perilaku yang ditentukan secara genetis pada suatu organisme (George,
2005:278).
a. Pola Aksi Tetap dan Pelepas
Pola aksi tetap (fixed action pattern, FAP) adalah respons konstan
terhadap sebuah stimulus penghasil respons yang disebut stimulus pertanda.
Stimulus pertanda yang berasal dari anggota-anggota spesies yang sama
disebut pelepas (releaser). Jika pelepas merupakan sifat fisik yang konstan
dari satu anggota populasi, pelepas itu mungkin menghasilkan respons-
respons stereotype yang memuluskan interaksi-interaksi sosial dalam sebuah
kelompok dan mengasilkan pertukaran-pertukaran konstan di antara
anggota-anggota kelompok (George, 2005:278).
Pelepas secara konvensional dibatasi pada stimulus penanda yang
memiliki fungsi komunikasi di antara anggota-anggota spesies yang sama.
Kerja pelepas merupakan contoh yang sangat jelas akan keberadaan faktor-
faktor genetik dalam melakukan perilaku (George, 2005:278).
Contohnya anak-anak sejumlah spesies burung memiliki penanda
berbeda di dalam mulut. Ketika anak burung itu membuka mulutnya,
penanda-penanda itu berperan sebagai pelepas yang menghasilkan
pergerakan memberi makan oleh induk mereka. Pemasukan makanan ke
dalam mulut anak burung merupakan pola aksi tetap bawaan pada induk
yang memastikan kalua anak-anaknya terurusi dan populasinya terjaga.
Penyebab proksimat (langsung) dari perilaku pemberian makan oleh induk
adalah pelepas itu, tetapi seseorang dapat memberikan argument bahwa
penyebab ultimat (akhir) perilaku itu adalah perlunya perawatan terhadap
anak-anaknya sehingga spesies itu tetap bertahan. Dengan demikian, FAP
dapat dipandang sebagai mekanisme-mekanisme yang dikembangkan
seiring berlalunya waktu untuk memenuhi adaptasi-adaptasi signifikan yang
berasosiasi dengan kesintasan (survival) (George, 2005:278).
b. Modifikasi Melalui Pengalaman
Perilaku mungkin berakar pada sirkuit-sirkuit neural yang
menyediakan kisaran respons yang mungkin dilakukan oleh hewan saat
dihadapkan pada keadaan lingkungan yang spesifik. Tetapi perilaku karena
kisaran respons tersebut dapat mengalami perubahan yang cukup besar
berkat pengalaman. Terkadang hewan dihadapkan pada situasi yang harus
memilih prioritas atau menghindar dari bahaya ketika sedang makan. Dari
sini jelas terlihat apabila keadaan lingkungan yang mengancam lebih
memengaruhi perilaku hewan daripada dorongan untuk melakukan sesuatu
yang membuat mereka nyaman (George, 2005:278).
Modifikasi melalui pengalaman dapat juga dikatakan bahwa hewan
tersebut telah belajar melalui latihan dan pengalaman yang lalu. Perilaku
yang terbentuk relatif permanen. Perilaku karena pembelajaran ini dapat
dibagi menjadi beberapa macam, yaitu perakaman, habituasi,
pengkondisian, coba-coba (trial-and-error), pemahaman dan belajar laten.
1. Perakaman (imprinting)
Perakaman mengacu pada perpaduan antara sifat bawaan dan
perilaku yang terbentuk akibat pembelajaran. Dalam perakaman ini,
pengalaman atau asosiasi tertentu dalam suatu periode kritis akan
memengaruhi perilaku organisme sesudahnya. Lorenz adalah orang
yang pertama kali mempelajari perakaman ini. Dia mengidentifikasi
perilaku anak ayam. Setelah mempelajari semua perilaku dari induknya,
anak ayam akan seterusnya berperilaku seperti induknya dan berlaku
pada semua jenis perilaku. Lorenz menggunakan istilah “perakaman”
karena fenomena itu merupakan kesan permanen yang dihasilkan di otak
oleh asosiasi spesifik tertentu (George, 2005:279).
Jenis perakaman ada dua, yaitu perakaman induk (parenting
imprinting) dan perakaman seksual. Perakaman induk telah dipelajari
oleh Lorenz dan dia menemukan bahwa anak angsa yang setelah
menetas selang dua hari, lalu didekatkan dengan manusia, maka angsa
itu akan terus mengikuti manusia itu karena dianggap sebagai induknya.
Selang waktu tersebut dinamakan periode kritis yang sering terjadi pada
masa awal kehidupan namun bisa juga terjadi saat usia dewasa.
Perakaman seksual terjadi saat asosiasi awal (pengenalan individu-
individu kospesifik untuk tujuan-tujuan reproduktif). Lorenz
menemukan bahwa anak angsanya tidak hanya membuntutinya, namun
juga mencoba kawin dengannya saat usia dewasa.
2. Habituasi
Habituasi adalah modifikasi perilaku melalui pengurangan respons
terhadap stimulus yang berulang-ulang. Hilangnya reseptivitas terhadap
stimulus yang berulang bisa berguna dalam mengurangi pencurahan
energy dan perhatian demi tujuan yang remeh (George, 2005:279).
Menurut Agus Dharmawan, et al. (dalam Drickamer, 1982), penurunan
respons itu bersifat persisten dan tidak diikuti oleh berbagai macam
reinforcemen atau penguatan. Tingkah laku yang bersifat habituasi
antara lain adalah tingkah laku : melarikan diri, menyerang, seksual, dan
frekuensi ejakulasi (Agus Darmawan et al. 2002:86).
3. Pengkondisian
Pengkondisian merupakan pasangan stimulus yang tidak relevan dengan
stimulus primer alamiah yang membangkitkan suatu respon otomatis.
Seiring berjalannya waktu, hewan menjadi terkondisi terhadap stimulus
sekunder (terasosiasi) dan merespons terhadap seolah-olah stimulus
alamiah. (George, 2005 : 279)
4. Coba-coba (trial-and-error)
Trrial-and-error adalah tingkah laku yang tampak bila seekor hewan
menampilkan tingkah laku appetitive atau searching yang seringkali
diperkuat oleh kejadian-kejadian yang muncul secara tidak terencana.
Contohnya adalah perilaku tikus dalam perobaan oleh Skinner. Ketika
tikus dimasukkan dalam kotak Skinner yang dilengkapi dengan
pengungkit pengalir makanan, dan tidak sengaja tikus tersebut
menyentuh pengungkit lalu keluar makanan, maka tikus tersebut
mengulang-ulang cara yang tadi dilakukannya untuk mendapatkan
makanan. (Agus Dharmawan et al, 2004 : 87)
5. Belajar pemahaman
Belajar pemahaman (insight learning) adalah tingkah laku yang
terbentuk melalui asosiasi kejadian-kejadian atau kegiatan-kegiatan
yang telah dipelajari sebelumnya. Tingkah laku yang terbentuk adalah
tingkah laku yang dapat memecahkan masalah baru yang sedang
dihadapi. (Agus Dharmawan et al. 2004 : 87)
6. Belajar laten
Belajar latent (latent learning) adalah pembuatan asosiasi tanpa adanya
penguatan atau adanya bukti dari perbuatan yang terbentuk pada saat
kegiatan belajar berlangsung, kegiatan belajar itu muncul sebagai akibat
dari dorongan atau motivasi dari dalam, sehingga tidak perlu ada
penguatan yang berasal dari akibat atau hasil dari kegiatan belajar yang
pernah dialami. (Agus Dharmawan et et al. 2004 : 88)
BAB III

METODE KEGIATAN

Alat dan bahan :

1. Kucing

2. Hamster

3. Kardus kandang hamster

4. Kandang kucing

Langkah Kerja :
Kucing I dengan makanan
keseharian adalah makanan siap
saji dan terbiasa hidup dalam
kandang.

Mempersiapkan dua ekor kucing Kucing dengan makanan


dengan jenis yang sama dengan keseharian nasi dengan
ketentuan kandang. ikan,dengan frekuensi makan
tidak menentu, dan dibiarkan
bebas berkeliaran

Menyiapkan satu atau lebih Memasukan masing –


hamster dan meletakannya masing kucing kedalam
kedalam kandang hamster. kandang yang berbeda.

Mendekatkan kandang Mendekatkan kandang


kucing I dengan kandang kucing II dengan kandang
hamster dengan jarak
hamster dengan jarak setengah meter
setengah meter
Mengamati dan mencatat
hasil yang diperoleh.
BAB IV

DATA HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel hasil pengamatan :

Objek Pengamatan Respon yang Diberikan


Kucing 1 Tidak tertarik ketika melihat hamster dan
mengacuhkannya.
Kucing 2 Sangat tertarik ketika melihat hamster dan ingin
memakannya.

Pembahasan :

Praktikum tentang respon kucing kampung dengan makanan keseharian


berbeda terhadap hamster ini bertujuan untuk mengetahui perilaku kucing dengan
makanan keseharian yang berbeda ketika melihat hamster. Praktikum tersebut
dilakukan dengan cara pertama, menyiapkan dua kandang kucing dan satu
kandang hamster serta menyiapkan dua kucing kampung dengan ketentuan yaitu
kucing pertama dengan makanan keseharian makanan buatan pabrik dengan
frekuensi pemberian makan paling sedikit 3 kali sehari dan kucing kedua dengan
makanan keseharian adalah nasi dan ikan dengan frekuensi pemberian makan
tidak menentu dan dibiarkan berkeliaran diluar rumah untuk mencari makan
sendiri. Kemudian, memasukan kucing dan hamster dalam kandang. Setelah itu,
mendekatkan kandang kucing dengan hamster dengan jarak kira-kira setengah
meter untuk menghidari tangan kucing mencengkram hamster tersebut.
Mengamati respon yang diberikan oleh kedua kucing tersebut terhadap hamster.
Hasil yang diperoleh dari praktikum tersebut adalah kucing pertama dengan
makanan keseharian makanan pabrik kurang tertarik terhadap hamster, sementara
kucing kedua dengan makanan keseharian adalah nasi dengan ikan dan dibiarkan
berkeliaran mencari makan sendiri sangat tertarik terhadap hamster.
Sebuah stimulus yang tiba-tiba karena lingkungan yang baru akan memicu
respon spontan secara otomatis pada tingkah laku hewan dialam sekitar. Respon
primer (pertama) adalah reaksi terkejut, yaitu ketika hewan mambeku untuk
sementara karena situasi yang tidak diketahuinya. Respon sekunder (kedua)
adalah reaksi eksploratif dimana perhatian sensorik diaktifkan terhadap stimulus
dalam rangka meraba arah maknanya. Stimulus dapat berupa sesuatu yang
menarik atau menggoda sehingga menjadikan hewan ingin tahu lebih dekat, atau
dapat bersifat menolak atau menakutkan yang mengarah pada tingkah laku
melarikan diri. Reaksi eksploratif yaitu hewan harus mencari tahu jawaban
tingkah laku yang paling cocok dengan situasi yang ada. Sedangkan ketakutan dan
kecemasan adalah dual hal yang saling bertolak belakang dengan tingkah laku
eksploratif ini, namun rasa ingin tahu juga dapat berperan sampai batas tertentu
dalam situasi ini. Sama halnya dengan respon kedua kucing terhadap hamster.
Respon awal yang diberikan kucing pertama ketika melihat hamster adalah kucing
tersebut kaget melihat gerak-gerik hamster. Respon kedua, kucing tersebut mulai
melihat dan mengamati gerak-gerik hamster. Respon ketiga, kucing terbiasa
dengan pergerakan hamster dan mengambil tindakan dengan membiarkan atau
mengacuhkan hamster tersebut tanpa memberikan respon untuk mencengkram
atau memakannya. Untuk kucing kedua, respon pertama yang diberikan kucing
kedua sama dengan kucing pertama yang mana kaget melihat gerak-gerik hamster.
Kemudian respon kedua, kucing mulai melihat dan mengamati gerak-gerik
hamster dan respon selanjutnya kucing sangat tertarik dengan hamster dan
mengendap-mengendap ingin menerkam hamster tersebut dengan beberapa kali
menggerakan tangannya kedepan untuk meraih hamster.

Perbedaan respon yang diberikan oleh kedua kucing kampung terhadap


hamster disebabkan karena pada kucing kedua tingkah laku yang terjadi
merupakan tingkah laku alami yang mana pada dasarnya setiap makhluk hidup
memilikinya dan diperoleh dari sejak lahir tanpa adanya proses pembelajaran dari
makhluk hidup lainnya sebagai modal awal untuk menjalani kehidupan. Perilaku
alaminya masih tetap dipertahankan karena tidak adanya perilaku pembelajaran
yang lebih dominan dan mempengaruhi cara beradaptasi kucing tersebut.
Sedangkan pada kucing pertama tingkah laku yang dominan terjadi merupakan
tingkah laku hasil pembelajaran (learned respon) yang diberikan oleh manusia
sehingga tigkah laku bawaannya mengalami perubahan seiring dengan adanya
pengalaman dan hasil belajar dari manusia, mengakibatkan respon yang muncul
menyesuaikan rangsangan yang ada karena sebelumnya telah dipicu oleh
rangsangan yang sama dan diberikan berkali-kali. Tingkah laku belajar yang
diajarkan manusia yang merubah tingkah laku bawaannya adalah kebiasaan atau
rutinitas pemberian makanan kepada kucing kampung dengan makanan dari
pabrik dengan frekuensi pemberian makanan yang sering sehingga kucing akan
merasa kenyang setiap waktu. Faktor belajar lain yang mendukung perilaku
bawaan juga bisa diajarkan oleh induknya yang biasanya induk kucing
memberikan pengajaran kepada anaknya untuk berburu tikus tetapi dalam kasus
kucing pertama mungkin juga si induk tidak memberikan pengajaran kepada
anaknya untuk berburu karena kebiasaan dari induknya juga memakan makanan
yang diberikan manusia setiap waktu.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari percobaan respon kucing terhadap hamster diatas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa :
a. Kucing kampung dengan makanan keseharian adalah makanan
buatan pabrik dengan frekuensi makan yang sangat teratur dan
tidak pernah dibiarkan berkeliaran diluar rumah,ketika melihat
hamster kucing hanya menatapnya saja tanpa mempunyai
keinginan untuk mencengkramnya dan respon selanjutnya kucing
tersebut memalingkan badannya seperti ketakutan melihat si
hamster.
b. Kucing kampung dengan makanan keseharian nasi dengan ikan
dengan frekuensi pemberian makan yang tidak menentu dan
dibiarkan berkeliaran keluar rumah,ketika melihat hamster kucing
tersebut langsung tertarik dengan gerak-geriknya dan mencoba
ingin mencengkram hamster tersebut.
c. Insting kucing kampung dengan makanan keseharian makanan
buatan pabrik terhadap hamster hampir hilang (kucing tidak
tertarik melihat tikus,bahkan lari karena ketakutan). Sedangkan
insting kucing dengan makanan keseharian nasi dan ikan dengan
frekuensi pemberian makan yang tidak menentu terhadap hamster
belum hilang (kucing ingin untuk memangsa hamster tersebut ).
B. Saran
a. Dalam memilih hamster untuk bahan percobaan yang akan diujikan
pada kucing lebih baik memilih hamster yang ukuran badannya
tidak terlalu besar karena ada beberapa kucing yang masih mau
berburu hamster tetapi ketika melihat hamster atau tikus yang
berukuran besar kucing tersebut juga tidak bernafsu untuk
memakannya.
b. Dalam percobaan ini sebaiknya menggunakan kucing yang jenisnya
sama agar dapat diketahui pengaruhnya ketika melihat hamster
karena kucing dengan jenis yang beberbeda pasti juga akan
memberikan respon yang berbeda sehingga data menjadi tidak
valid.
DAFTAR PUSTAKA

Agus Dharmawan, et al. 2004. Ekologi Hewan. Malang:Jica

Campbell, Neil A., et al. 2012. Biologi. (Terjemahan Damaring Tyas Wulandari).
Jakarta:Erlangga. (Buku asli diterbitkan tahun 2008)

Fried, George H. & George J. Hademenos. 2005. Teori dan Soal-Soal Biologi
Edisi Kedua. (Terjemahan Damaring Tyas). Jakarta:Erlangga

Anda mungkin juga menyukai