KATAK
Oleh :
Nama
NIM
Rombongan
Kelompok
Asisten
: Fajar Husen
: B1J013002
: VIII
:3
: Venthyana Lestary
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Otot merupakan alat gerak aktif karena mampu berkontraksi. Fungsi otot
antara lain membuat gerakan tubuh, mempertahankan postur tubuh bersama rangka,
menstabilkan hubungan antar tulang, mempertahanakan suhu tubuh, melindungi
jaringan dalam tubuh dan menyimpan sedikit nutrisi. Kontraksi otot dibagi menjadi
kontraksi isometrik dan kontraksi isotonik. Proses kontraksi isometrik (jarak sama),
besarnya tekanan meningkat saat proses kontraksi, tetapi panjang otot tidak berubah.
Di sisi lain, pada kontraksi isotonik (tekanan sama), besarnya tekanan yang
dihasilkan otot adalah konstan saat kontraksi, tetapi panjang otot berkurang (otot
memendek) (Rahilly, 1995).
Otot terbagi dalam beberapa jenis antara lain otot lurik, otot polos dan otot
jantung. Otot lurik memmiliki desain yang efektif untuk pergerakan yang spontan
dan membutuhkan tenaga besar. Pergerakannya diatur sinyal dari sel syaraf motorik.
Otot ini menempel pada kerangka dan digunakan untuk pergerakan. Otot polos
merupakan otot yang ditemukan dalam intestinum dan pembuluh darah bekerja
dengan pengaturan dari sistem saraf tak sadar, yaitu saraf otonom. Otot polos
dibangun oleh sel-sel otot yang terbentuk gelondong dengan kedua ujung meruncing
serta mempunyai satu inti. Otot jantung ditemukan dalam jantung bekerja secara
terus-menerus tanpa henti. Pergerakannya tidak dipengaruhi sinyal saraf pusat
(Rahilly, 1995). Menurut Kimball (1991) sel-sel otot sama halnya seperti neuron,
dapat dirangsang secara kimiawi, listrik, dan mekanik untuk membangkitkan
potensial aksi yang dihantarkan sepanjang membran sel. Berbeda dengan sel saraf,
otot memiliki kontraktil yang digiatkan oleh potensial aksi. Protein kontraktil aktin
dan myosin, yang menghasilkan kontraksi, terdapat dalam jumlah sangat banyak di
otot. Urutan kejadian di dalam stimulus dan kontraksi pada otot meliputi stimulus,
kontraksi dan relaksasi.
1.2.
Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui efek perangsangan
elektrik terhadap besarnya respon kontraksi otot gastronemus dan efek perangsangan
kimia terhadap kontraksi otot jantung katak.
3.
menggunakan jarum.
Katak diletakkan pada bak preparat lalu dibuat irisan melingkar pada daerah
4.
5.
6.
bagian lutut.
Otot gastroknemus dipindahkan.
Tendon diikat dengan benang lalu tendon achiles digunting sambil selalu
7.
3.
4.
5.
6.
perikardium disobek.
Kontraksi jantung katak diamati selama 4x 15 detik.
Asetilkolin 5% ditetesi pada jantung sampai 2-3 tetes.
Kontraksi jantung katak diamati kembali selama 4x 15 detik.
Kontraksi jantung sebelum dan sesudah ditetesi asetilkolin 5% dibandingkan
lalu catat hasil pengamatan.
Jumlah
1,85
1,35
1,3
Sebelum
64
76
80
68
60
Setelah
40
56
16
44
40
3.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil yang dipraktikumkan terhadap perlakuan untuk menguji
refleks elektrik dan kimia pada otot gastroknemus dan otot jantung katak tiap
kelompok dan tiap perlakuan berbeda, menghasilkan data yang berbeda. Data
kontraksi otot gastroknemus katak pada percobaan 0, 5 dan 10 volt tidak ada
rangsangan yang berarti, otot gastroknemus tidak memberikan respon baik berupa
gerakan atau getaran. Namun pada rangsangan 15, 20 dan 25 volt memberikan reaksi
yang cukup signifikan dengan nilai gerakan kontraksi semakin menurun sejalan
dengan kenaikan voltase, dari 15 volt hasilnya 1,85, 20 volt 1,35 dan 25 volt 1,3
diakibatkan kondisi fisik katak yang mulai menurun, kesalahan praktikan dalam
memasang alat dan kondisi internal otot yang mulai rusak (sel-sel otot). Sesuai
dengan referensi menurut bahwa kondisi sel otot yang baik akan menerima
rangsang elektrik, kimia atau fisika dengan baik pula. Kerusakan otot dapat terjadi
karena larutan kimia yang berlebih, kondisi hewan percobaan yang secara fisik dari
pusat kontrol yang menurun dan faktor lingkungan seperti suhu atau paparan sinar.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan untuk refleks spinal pada katak
bahwa pada percobaan dengan perlakuan tiap kelompok menunjukan hasil yang
berbeda, namun secara keseluruhan dari sebelum dan sesudah penambahan
asetilkolin jumlah detak jantung permenit semakin menurun hal ini menunjukan
bahwa asetilkolin yang memacu kontraksi otot jantung justru melemahkan potensial
aksi denyut jantung permenit. Hal ini dibuktikan dari setiap percobaan yang telah
semua kelompok praktikum lakukan, seperti pada kelompok 3 dengan sebelum
penambahan asetilkolin adalah 80 dan menurun menjadi 16, kelompok 1 dan 2
awalnya 64 dan 76 setelah penambahan asetilkolin menjadi 40 dan 56, begitupun
dengan kelompok 4 dan 5 yang menurun dari 68 dan 60 menjadi 44 dan 40. Faktor
lain yang dapat mempengaruhi adalah kondisi fisik katak pasca pembedahan
sehingga syaraf pusat (CNS) yang sudah rusak mempengaruhi kinerja aliran darah
yang masuk jantung. Hal ini sesuai referensi menurut bahwa penambahan zat kimia
perangsang kontraksi jantung dengan konsenterasi tertentu ditambah faktor eksternal
tubuh akan mempengaruhi banyaknya denyut jantung organisme di bawah kondisi
normal, potensial aksi yang jantung miliki sendiri akan semakin berkurang sejalan
dengan suplai darah yang masuk jantung dan kondisi fisika dan kimia serta fisiologis
tubuh organisme.
Sistem kerja jantung seperti pompa memiliki dua mekanisme gerak, yaitu
sistole dan diastole. Sistole adalah suatu keadaan saat ventrikel menyempit dan
mengalami kontraksi, sedangkan diastole adalah suatu keadaan saat ventrikel
mengembang dan mengalami relaksasi. Dua gerak mekanisme ini dapat diamati
dengan alat yang disebut Elegtrocardiogram (ECG). Selama diastole, tekanan ventra
aorta menurun katup katup conus dan bulbus menutup, dan tekanan menyimpan
sama seperti darah yang meninggalkan aorta (Hadikastowo, 1982).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kontraksi otot adalah jumlah serabut otot
yang aktif dan adanya energi yang diperoleh dari ATP dan keratin fosfat. Masingmasing zat tersebut akan mengalami perubahan pada waktu otot berkontraksi, ATP
akan terurai menjadi ADP+ energi, kemudian ADP terurai menjadi AMP dan energi.
Sedangkan keratin fosfat akan terurai menjadi keratin+ fosfat+ energi (Hodgkin,
1989). Menurut Soetrisno (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi fisiologis
jantung antara lain: temperatur lingkungan, zat kimia (alkohol), ukuran tubuh dan
umur. Hewan-hewan kecil mempunyai frekuensi (frekuensi pulsus) denyut jantung
yang lebih cepat dari pada hewan yang besar. Hal ini disebabkan hewan kecil
memiliki kecepatan metabolisme yang lebih tinggi pada setiap unit berat badannya.
Hewan yang muda memiliki frekuensi pulsus yang lebih cepat dari pada hewan
dewasa. Hal ini disebabkan karena pengaruh hambatan nerves vagus pada hewanhewan muda belum berkembang.
Menurut Frandson (1992), kontraksi otot jantung dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain :
1.
Treppe, summasi, tetani, fatique dan ragor. treppe atau staircase effect adalah
meningkatnya kekuatan kontraksi berulang kali pada suatu serabut otot karena
stimulasi berurutan berseling beberapa detik. Pengaruh ini disebabkan karena
konsentrasi ion Ca2+ didalam serabut otot yang meningkatkan aktivitas
2.
miofibril.
Summasi berbeda dengan treppe, pada summasi tiap otot berkontraksi dengan
kekuatan yang berbeda yang merupakan hasil penjumlahan kontraksi dua jalan
3.
4.
peningkatan frekuensi.
Fatique adalah menurunnya kapasitas bekerja karena pekerjaan itu sendiri.
5.
Rigor dan rigor mortis adalah apabila sebagian besar ATP dalam otot telah
dihabiskan, sehingga kalsium tidak ada lagi dapat dikembalikan ke RE
sarkoplasma.
Faktor yang dapat mempengaruhi kontraksi otot gastroknemus katak
yaitu
Otot adalah sistem biokontraktil di mana sel-sel atau bagian dari sel,
2. eksitabilitas
3. ekstensibilitas
4. elastisitas
mengalami pemanjangan.
Ion Ca
menurun
Aktin
Tropomiosin
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1
Kontrasi otot jantung katak akan meningkat dengan pemberian larutan asetilkolin
sebagai rangsangan. Namun denyut jantung akan semakin melemah sejalan
dengan penurunan kondisi preparat dan suplai darah ke jantung.
DAFTAR REFERENSI
Azizi, Emanuel. Halenda, Gregory M, and Robert, Thomas J. Mechanical properties
of the gastrocnemius aponeurosis in wild turkeys. Vol. 29 pp. 51-52; 2009.
Campbell. 2002. Biologi. Erlangga, Jakarta Rosser, B. W. C. and E. Bandman. 2008.
Heterogeneity of protein expression within muscle fibers. American Society
of Animal Science.
Gordon, M. S., G. A. Bortholomew., A. D. Grinell., C. B. Jorgenscy and F. N. White.
1997. Animal Physiology.: Principle and Adaptation, 4 th Edition. MacMillan
Publishing Co INC, New York.
Hodgkin, C. D. and C. P. Jr. Hickman. 1989. Biology of Animal. The CV. Mosby
Company, Saint Louis.
Johnson, R. W. and G. A. Wyse. 1989. Animal Physiology Second ed. Harper and
Collins Inc., New York
Kimball, J. W. 1996. Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
Pearce, E. C. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Soetrisno. 1987. Diktat Fisiologi Hewan. Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto.
Storrer, B.W.C. and Bandman, E. 2003. Heterogeneity of Protein Expression Within
Muscle Fibers. J Anim Sci. : 81: 94-101.
Syamsun, Arfi. Efek Paparan Arus Listrik terhadap Jumlah Titik Hiperkontraksi
Otot Gastrocnemius dan Kadar Kreatin Kinase Serum Tikus Wistar. 2007; hal
5.
Ville, Claude A., Warren F. Walker dan Robert D. Barnes. 1988. Zoologi Umum Jilid
1. Penerbit Erlangga, Jakarta.