Anda di halaman 1dari 20

KARYA TULIS

UPAYA PELESTARIAN MANGROVE BERDASARKAN


PENDEKATAN MASYARAKAT






Oleh:

Rahmawaty, S.Hut, M.Si






















DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2006

Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga KARYA TULIS ini berhasil
diselesaikan. Judul
yang dipilih adalah ?UPAYA PELESTARIAN MANGROVE BERDASARKAN
PENDEKATAN MASYARAKAT?.
Diharapkan tulisan ini bermanfaat untuk menambah informasi mengenai upaya
pelestarian
hutan mangrove yang merupakan salah satu aspek yang sangat penting
dipertimbangkan dalam
penyusunan strategi pengelolaan hutan di Indonesia.
Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk lebih
menyempurnakan karya tulis
ini. Akhir kata kami ucapkan semoga karya tulis ini dapat bermanfaat.


Medan, Mei 2006

Penulis










Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


DAFTAR ISI

Hal
KATA
PENGANTAR .................................................................
.......................... ii
DAFTAR
ISI .......................................................................
.................................. iii
I.
PENDAHULUAN................................................................
.............................. 1
II. TINJAUAN MENGENAI EKOSISTEM
MANGROVE ................................... 2
III. PENYEBAB RUSAKNYA EKOSISTEM
MANGROVE.... ............................... 5
IV. UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM
MANGROVE....................................... 8
V. SILVOFISHERY SEBAGAI SALAHSATU BENTUK PELESTARIAN MANGROVE 9
VI. PENDEKATAN BUTTOM UP DALAM RANGKA PELESTARIAN MANGROVE 10
VII.
PENUTUP ...................................................................
............................... 14
DAFTAR
PUSTAKA ...................................................................
................... 14




















Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006





UPAYA PELESTARIAN MANGROVE BERDASARKAN
PENDEKATAN MASYARAKAT

Oleh :
Rahmawaty, S.Hut., MSi.


I. PENDAHULUAN
Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai
wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang
strategis
karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem
darat
dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi
biologi
cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang
dimiliki
wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk
memanfaatkan
secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral
memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya
pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.
Wilayah
pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan,
yang
mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan
penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis
sebagai
penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery
ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan
dan
tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove juga
mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-
obatan, alat dan teknik penangkapan ikan.
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan
yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi,
sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Di
beberapa daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat adanya
degradasi dari
hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas
kelestariannya. Hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai kegiatan
pembangunan seperti perluasan areal pertanian, pengembangan budidaya
pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya. Hal seperti ini
terutama terdapat di Aceh, Sumatera, Riau, pantai utara Jawa, Sulawesi
Selatan,
Bali, dan Kalimantan Timur.
Kegiatan pembangunan tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan
mangrovenya, asalkan mengikuti penataan yang rasional, yaitu dengan
memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem pesisir dan lautan dengan menata
sempadan pantai dan jalur hijau dan mengkonservasi jalur hijau hutan
mangrove
untuk perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup biota perairan pantai
(ikan dan
udang, kerang, penyu), terumbu karang, rumput laut, serta mencegah intrusi
air
laut.
Salah satunya model pendekatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk
didalamnya adalah sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


yang berbasis masyarakat. Selama ini, kebijakan pengelolaan sumberdaya
alam
dikontrol kuat oleh negara yang pengelolaannya selalu didelegasikan kepada
pengusaha besar, jarang kepada rakyat kecil. Pemerintah sepertinya kurang
percaya bahwa rakyat mampu mengelola sumberdaya alam yang ada di
lingkungannya (Sallatang dalam Golar, 2002). Berdasarkan hal di atas, maka
makalah ini mencoba menguraikan bagaimana pemulihan mangrove berdasarkan
pendekatan kepada masyarakat yang berada di kawasan ekosistem mengrove.

II. TINJAUAN MENGENAI EKOSISTEM MANGROVE
1. Definisi Mangrove
Mangrove berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu
tumbuhan (Odum. 1983). Di Suriname, kata mangro pada mulanya merupakan
kata yang umum dipakai untuk jenis Rhizophora mangle (Karsten 1890 dalam
Chapman 1976). Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan suatu
individu pohon dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis,
padanan yang digunakan untuk mangrove adalah kata menglier. MacNae (1968)
menggunakan kata mangrove untuk individu tumbuhan dan mangal untuk
komunitasnya. Di lain pihak, Tomlinson (1986) dalam Wightman (1989)
menggunakan kata mangrove baik untuk tumbuhan maupun komunitasnya, dan
Davis (1940) dalam Walsh (1974) menyebutkan bahwa kata mangrove merupakan
istilah umum untuk pohon yang hidup di daerah yang berlumpur, basah dan
terletak di perairan pasang surut daerah tropis. Meskipun terdapat
perbedaan
dalam penggunaan kata, Mepham dan Mepham (1985) dalam Wightman (1989)
menyatakan bahwa pada umumnya tidak perlu dikacaukan dalam penggunaan
kontekstual dari kata-kata tersebut.
Beberapa ahli mengemukakan definisi hutan mangrove, seperti
Soerianegara dan Indrawan (1982) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah
hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan
di
muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2)
dipengaruhi
pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5)
hutan tidak
mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas
api-api
(Avicenia sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora sp), lacang
(Bruguiera sp),
nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain. Kusmana (2002),
mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu
individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang
surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh
pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari
genangan
pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang
terdiri
atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu
habitat
mangrove.
Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan ?mangrove? adalah
vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. Nybakken (1988),
menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove disebut juga ?Coastal Woodland?
(hutan pantai) atau ?Tidal Forest? (hutan surut)/hutan bakau, yang
merupakan
formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat di daerah tropika
(Saenger,
1983)

Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


2. Fungsi dan Manfaat Hutan mangrove
Saenger (1983); Salim (1986); dan Naamin (1990) menyatakan bahwa
fungsi ekosistem mangrove mencakup: fungsi fisik; menjaga garis pantai agar
tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air
laut; dan
mengolah bahan limbah. Fungsi biologis ; tempat pembenihan ikan, udang,
tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat
alami
bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi, sebagai sumber bahan bakar
(arang
kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan.
Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan
ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam
stabilisasi
suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis,
disamping itu,
ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal,
mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan
rendah,
118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002).
Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami
untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang
dilakukan
di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa dengan adanya
ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340,
dan
perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule (Pratikto dkk.,
2002).
Karena karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi
sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan
perangkap sedimen. Disamping itu, ekosistem mangrove juga merupakan
penghasil detritus dan merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah
untuk
mencari makan (feeding ground), serta daerah pemijahan (spawning ground)
bagi
berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. Juga sebagai pemasok
larva
ikan, udang, dan sebagai tempat pariwisata.
Menurut Hardjosento (1981) dalam Saenger (1983), hasil dari hutan
mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu bakar, arang kulit
kayu
yang menghasilkan tanin (zat penyamak) dan lain-lain. Selanjutnya Saenger,
(1983) juga merinci hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove
berupa :
a. Bahan bakar; kayu bakar, arang dan alkohol.
b. Bahan bangunan; balok perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta api,
pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah. Tikar bahkan pagar pun
menggunakan jenis yang berasal dari hutan mangrove.
c. Makanan; obat-obatan dan minuman, gula alkohol, asam cuka, obat-
obatan.
d. Perikanan; tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring,
pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai.
e. Pertanian, makanan ternak, pupuk dsb.
f. Produksi kertas; berbagai macam kertas
Hutan mangrove merupakan sumber daya alam daerah tropis yang
mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi.
Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui
dari
banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di
tajuk-
tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove
tersebut (Naamin, 1991). Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil
berupa
kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan
ikutan
dan pariwisata). Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi
lindungan baik
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis
fauna, diantaranya :
? Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
? Pengendali intrusi air laut
? Habitat berbagai jenis fauna
? Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai
jenis ikan dan udang
? Pembangun lahan melalui proses sedimentasi
? Pengontrol penyakit malaria
? Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air)
? Penyerap CO
2
dan penghasil O
2
yang relatif tinggi disbanding tipe hutan
lain.
Lebih lanjut Dinas Perikanan Provinsi Jawa Timur (1994), menyatakan
bahwa ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang
dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung,
adalah sebagai berikut 1. Fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove
menjamin
terpeliharanya:
a. Lingkungan fisik, yaitu perlindungan pantai terhadap pengikisan oleh
ombak dan angin, pengendapan sedimen, pencegahan dan pengendalian
intrusi air laut ke wilayah daratan serta pengendalian dampak pencemaran
air laut.
b. Lingkungan biota, yaitu sebagai tempat berkembang biak dan berlindung
biota perairan seperti ikan, udang, moluska dan berbagai jenis reptil serta
jenis-jenis burung serta mamalia.
c. Lingkungan hidup daerah di sekitar lokasi (khususnya iklim makro).
2. Fungsi Sosial dan ekonomis, yaitu sebagai:
a. Sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan
hasil hutan ikutannya.
b. Tempat rekreasi atau wisata alam.
c. Obyek pendidikan, latihan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi
utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi Dahuri (2004).
Fungsi
ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut : a. Dalam ekosistem hutan
mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-
jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang, b. Dengan
sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai
kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari
abrasi, gelombang pasang dan taufan, c. Sebagai pengendalian banjir, hutan
mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk
mengurangi bencana banjir, d. Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai
penyerap
bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik, e.
Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam
jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan
jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan
sekaligus
berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun tersebut menjadi detritus.
Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan seperti :
cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan
larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya, f. Merupakan daerah asuhan
(nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan
(spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.



3. Kondisi Mangrove di Indonesia
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove
di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan
ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi
di
dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera,
Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan
dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada
tahun
1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan
penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove
yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut
disebabkan
oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya
(Dahuri, 2002).
Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang
tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89
jenis
pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas.
Terdapat
sekitar 47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove. Dalam hutan
mangrove,
paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang
termasuk
ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops),
Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae
(Xylocarpus). Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen
yang rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah yang
kurang
stabil dan pasang surut (Kusmana, 2002).
Ekosistem mangrove terdiri dari hutan atau vegetasi mangrove yang
merupakan komunitas pantai tropis. Secara umum, karakteristik habitat
hutan
mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung, dan/atau berpasir. Daerah habitat mangrove tergenang air laut
secara berkala, setiap hari, atau pada saat pasang purnama. Frekuensi
genangan
menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Hutan mangrove menerima
pasokan air tawar yang cukup dari darat serta terlindung dari gelombang
besar
dan arus pasang surut yang kuat. Habitat hutan mangrove memiliki air
bersalinitas
payau (2-22 bagian per mil) hingga asin (mencapai 38 bagian permil). Hutan
mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria,
dan
daerah pantai yang terlindung.


III. PENYEBAB RUSAKNYA EKOSISTEM MANGROVE

Seperti kita ketahui, hutan mangrove merupakan tipe ekosistem peralihan
darat dan laut yang mempunyai multi fungsi, yaitu selain sebagai sumberdaya
potensial bagi kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi, sosial juga
merupakan pelindung pantai dari hempasan ombak. Oleh karena itu dalam usaha
pengembangan ekonomi kawasan mangrove seperti pembangkit tenaga listrik,
lokasi rekreasi, pemukiman dan sarana perhubungan serta pengembangan
pertanian pangan, perkebunan, perikanan dan kehutanan harus
mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya
wilayah pesisir.
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk
mendayagunakan sumberdaya mangrove terus meningkat. Secara garis besar
ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu : 1. Faktor manusia,
yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal
pemanfaatan lahan yang berlebihan, 2. Faktor alam, seperti : banjir,
kekeringan
dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil
(Tirtakusumah, 1994).
Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan
hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat
rusaknya hutan (Perum Perhutani 1994), antara lain :
a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan
harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah.
b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena
tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa ditebang.
c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove.
d. Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan
pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang
sudah tidak rasional.

Tekanan pada ekosistem mangrove yang berasal dari dalam, disebabkan
karena pertumbuhan penduduk dan yang dari luar sistem karena reklamasi
lahan
dan eksploitasi mangrove yang makin meningkat telah menyebabkan perusakan
menyeluruh atau sampai tingkat-tingkat kerusakan yang berbeda-beda.
Dibeberapa tempat ekosistem mangrove telah diubah sama sekali menjadi
ekosistem lain. Terdapat ancaman yang semakin besar terhadap daerah
mangrove yang belum diganggu dan terjadi degradasi lebih lanjut dari daerah
yang mengalami tekanan baik oleh sebab alami maupun oleh perbuatan manusia
(UNDP/UNESCO 1984).
Menurut Soesanto dan Sudomo (1994) Kerusakan ekosistem mangrove
dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain :
1. Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem mangrove.
2. Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat
atau sebagai bagian dari ekosistem mangrove.
3. Karena pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan
lingkungan hidup.

Menurut Sugandhy (1994) beberapa permasalahan yang terdapat di
kawasan hutan mangrove yang berkaitan dengan upaya kelestarian fungsinya
adalah :
1. Pemanfaatan Ganda Yang Tidak Terkendali
Pemanfaatan ganda antar berbagai sektor dan penggunaan sumberdaya
yang berlebihan telah menyebabkan terjadi pengikisan pantai oleh air laut.
Sesuai dengan fungsi hutan mangrove sebagai penahan ombak. Di
beberapa daerah kawasan pantai hutan mangrove sudah banyak yang
hilang sehingga lahan pantai terkikis oleh ombak. Di wilayah Teluk Jakarta
pemanfaatan yang ada sekarang saling berkompetisi, seperti perluasan
areal pelabuhan, industri, transportasi laut, permukiman dan kehutanan.
Demikian juga di Bali, khususnya di kawasan hutan mangrove Suwung,
pembangunan landasan udara Ngurah Rai Bali menyebabkan pantai Kuta
terabrasi. Pemanfaatan demikian yang kurang menguntungkan ditinjau dari
aspek keseimbangan lingkungan, karena dapat menyebabkan kerusakan
dan pencemaran lingkungan wilayah pesisir. Disamping itu, pengelolaan
hutan mangrove belum berkembang, baik dalam hal silvikultur, sumberdaya
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


manusia, kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan maupun
pengawasannya. Akibatnya banyak terjadi perusakan hutan mangrove
seperti penebangan yang tidak terkendali, sehingga pemanfaatannya
melampaui kemampuan sumberdaya alam untuk meregenerasi.

2. Permasalahan Tanah Timbul Akibat Sedimentasi Yang Berkelanjutan
Di daerah muara sungai banyak dijumpai tanah timbul karena endapan
lumpur yang terus-menerus terbawa dari daerah hulu sungai.
Permasalahan utama yang muncul adalah tentang status tanah timbul
tersebut. Karena lokasinya umumnya berdekatan dengan lahan
kehutanan, maka sering terjadi status penguasaannya langsung menjadi
kawasan hutan, walaupun oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk
kepentingan mereka, tanpa mengindahkan status tanahnya. Hal ini sering
menimbulkan konflik penguasaan.
Contoh : kasus kawasan di Segara Anakan, dan kawasan Pantura Jawa,
kawasan Sulawesi Selatan dan lain-lain.

3. Konversi Hutan Mangrove
Hampir semua bentuk pemanfaatan lahan di wilayah pesisir berasal dari
konversi hutan mangrove. Hutan mangrove sepanjang pantai utara Jawa,
Bali Selatan dan Sulawesi Selatan bagian barat telah dikonversi menjadi
kawasan permukiman, tambak, kawasan industri, pelabuhan, ladang
garam dan lain-lain.
Kebanyakan konversi hutan mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lain
belum banyak ditata berdasarkan kemampuan dan peruntukan
pembangunan, sehingga menimbulkan kondisi yang kurang
menguntungkan dilihat dari manfaat regional dan nasional. Oleh karena
itu pemanfaatan hutan mangrove yang tersisa atau upaya rehabilitasinya
harus sesuai dengan potensi dan rencana pemanfaatan yang lainnya
dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem, manfaat ekonomi dan
penguasaan teknologi.

4. Permasalahan Sosial Ekonomi
Meningkatkannya pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan di
wilayah pesisir, khususnya Jawa, Bali, Sulawesi dan Lampung
menyebabkan timbulnya ketidak seimbangan antara permintaan
kebutuhan hidup, kesempatan dengan persediaan sumber daya alam
pesisir yang ada . Upaya pengembangan pertanian intensif (coastal
agriculture), dan kegiatan serta kesempatan yang berorientasi kelautan
masih terbatas dikembangkan.
Di pantai utara Jawa, hampir semua hutan mangrove telah habis dirombak
menjadi kawasan pemukiman, perhotelan, tambak dan sawah yang
berorientasi kepada ekosistem daratan. Pemanfaatan sumber daya alam
wilayah pesisir mestinya tidak hanya terbatas pada hutan mangrove atau
tambak saja tapi juga eksploitasi terumbu karang yang telah melampaui
batas, sehingga sulit dapat pulih kembali. Hal ini terjadi di Bali Selatan,
pantai utara Jawa Tengah.

5. Permasalahan Kelembagaan dan Pengaturan Hukum Kawasan Pesisir
dan Lautan
Sering terjadi tumpang tindih, konflik dan ketidakjelasan kewenangan
antara instansi sektoral pusat dan daerah. Hal tersebut menyebabkan
simpang siur tanggung jawab dan prosedur perizinan untuk kegiatan
pembangunan pesisir dan lautan. Contahnya seperti pembukaan lahan di
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


kawasan pesisir, usaha penggalian pasir laut, reklamasi, penangkapan
ikan dan pengambilan terumbu karang dan lain-lain. Akibat tersebut
menyebabkan terus meningkatnya perusakan ekosistem kawasan pesisir
dan lautan khususnya kawasan hutan mangrove.

6. Permasalahan Informasi Kawasan Pesisir
Keberadaan data dan informasi serta ilmu pengetahuan teknologi yang
berkaitan dengan tipologi ekosisitem pesisir, keanekaragaman hayati,
lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi dan peran serta keluarga,
sumber daya hutan mangrove masih terbatas sehingga belum dapat
mendukung penataan ruang kawasan pesisir, pembinaan dalam
pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan serta rehabilitasinya.

IV. UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE
Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara
restorasi/rehabilitasi. Restorasi dipahami sebagai usaha mengembalikan
kondisi
lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia
diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk
menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami/diingini manusia.
Dengan demikian, usaha restorasi semestinya mengandung makna memberi
jalan/peluang kepada alam untuk mengatur/memulihkan dirinya sendiri. Kita
manusia pelaku mencoba membuka jalan dan peluang serta mempercepat proses
pemulihan terutama karena dalam beberapa kondisi, kegiatan restorasi secara
fisik
akan lebih murah dibanding kita memaksakan usaha penanaman mangrove
secara langsung.
Restorasi perlu dipertimbangkan ketika suatu sistem telah berubah dalam
tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui
diri
secara alami. Dalam kondisi seperti ini, ekositem homeastatis telah
berhenti
secara permanen dan proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan
secara alami setelah kerusakan terhambat oleh berbagai sebab.
Secara umum, semua habitat bakau dapat memperbaiki kondisinya secara
alami dalam waktu 15 - 20 tahun jika: (1) kondisi normal hidrologi tidak
terganggu,
dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau
terhalangi.
Jika kondisi hidrologi adalah normal atau mendekati normal tetapi biji
bakau tidak
dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara
penanaman. Oleh karena itu habitat bakau dapat diperbaiki tanpa penanaman,
maka rencana restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air
laut yang
terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan
bakau (Kusmana, 2005).
Dahuri dkk (1996) menyatakan, terdapat tiga parameter lingkungan yang
menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu: (1) suplai
air
tawar dan salinitas, dimana ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar
garam
(salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik dari ekosistem hutan mangrove.
Ketersediaan air tawar tergantung pada (a) frekuensi dan volume air dari
sistem
sungai dan irigasi dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran
pasang
surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfer. (2) Pasokan nutrien: pasokan
nutrien
bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait,
meliputi input dari ion-ion mineral an-organik dan bahan organik serta
pendaurulangan nutrien. Secara internal melalui jaringan-jaringan makanan
berbasis detritus (detrital food web).

Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006





V. SILVOFISHERY SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PELESTARIAN
MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT
Pendekatan teknis yang dilakukan dalam kegiatan Perhutanan Sosial
adalah dengan sistem silvofishery (Perum Perhutani,1993). Sistem ini
merupakan
salah satu alternatif pemecahan masalah yang cukup efektif dan ekonomis.
Aspek
keuntungan yang diperoleh dengan model silvofishery ini antara lain dapat
meningkatkan lapangan kerja (aspek sosial), dapat mengatasi masalah pangan
dan energi (aspek ekonomi) serta kestabilan iklim mikro dan konservasi
tanah
(aspek ekologi).Pola ini dipandang sebagai pola pendekatan teknis yang
dianggap
cukup baik, karena selain petani dapat memanfaatkan lahan untuk kegiatan
pemeliharaan ikan, pihak Perum Perhutani secara tidak langsung menjalin
hubungan kerja sama yang saling menguntungkan. Pola silvofishery yang
digunakan adalah pola komplangan (Gambar 1) dan empang parit (Gambar 2)
(Perum Perhutani, 1994; Sumarhani, 1994; Amir, dkk, 1994). Perhutanan
Sosial
yang dilakukan oleh Perum Perhutani merupakan program pembangunan,
pemeliharaan dan pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat
dalam pengelolaan hutan. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi-
fungsi hutan secara optimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus perbaikan lingkungan dan kelestariannya yang pelaksanaannya
terbatas
dikawasan hutan.
Berdasarkan pengertian tersebut diharapkan Perhutanan Sosial dapat
memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan tekanan sosial budaya
penduduk di sekitar hutan yang berakibat turunnya produktivitas lahan dan
fungsi
hutan maupun kualitas lingkungan biofisik di sekitarnya. Surat Keputusan
Direksi
Perum Perhutani No. 60.2/Kpts/DIR/1988 merupakan Pedoman Pelaksanaan
Perhutanan Sosial. Penggarap empang dianggap sebagai mitra sejajar dalam
pembangunan hutan atas dasar saling menguntungkan.
Perhutanan Sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pola
agroforestry. Agroforestry merupakan suatu alternatif yang cukup efektif
dalam
upaya untuk menyatukan kepentingan antara kehutanan dengan masyarakat
sekitar hutan, khususnya Kelompok Tani Hutan sehingga terjalin hubungan
mitra
pembangunan yang harmonis yang saling menguntungkan. Dalam sistem
agroforestry, penggunaan lahan pada dasarnya dititikberatkan pada salah
satu
usaha tanaman pangan, peternakan atau kehutanan (Setiawan 1991). Jika
tanaman kehutanan dikombinasikan dengan pertambakan ikan atau udang
disebut silvofishery.
Tujuan kegiatan Perhutanan Sosial di hutan mangrove ini sama halnya
dengan di kawasan hutan produksi, yaitu : untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem hutan mangrove. Hal ini
dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan teknis dan non
teknis.






Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006







1. Pendekatan Teknis


















Gambar 1. Pola Komplangan

Keterangan :
a. pintu air 2 buah (pintu masuk dan keluar)
b. tanggul pemisah
c. areal bertegakan hutan dengan pasang surut bebas
d. empang pemeliharaan ikan

Keuntungan :
- cahaya matahari yang menyinarinya cukup baik
- dapat diterapkan budidaya semi intensif
- perkembangan hutan dan ikan tidak saling menghambat

Hambatan :
- membutuhkan biaya investasi untuk pembuatan empang
















Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006




Gambar 2 Pola empang parit


Keterangan :
a. pintu air untuk pemeliharaan ikan
b. saluran air pasang surut bebas untuk hutan
c. empang tempat pemeliharaan ikan lebar maksimum 5 meter
d. areal tegakan hutan dengan pasang surut bebas
e. tanggul

Keuntungan :
- cahaya matahari yang menyinari cukup baik
- biaya penyempurnaan empang parit dapat dilaksanakan
secara bertahap setiap pemeliharaan

Hambatan :
- pemeliharaan ikan kurang terintegrasi
- lebar parit terbatas sehingga cahaya matahari yang menyinari tidak cukup
banyak

2. Pendekatan Non Teknis
Dalam melaksanakan pendekatan non teknis ini perlu dibentuk suatu
organisasi penggarap kawasan hutan ialah ?Kelompok Tani Hutan? (KTH),
dimana
para petani penggarap membangun hutan mangrove bersama-sama dengan
kelompoknya dan membentuk program kerja yang akan di laksanakannya. Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas, perlu adanya pembentukan organisasi dan
tanggung jawab masing-masing seksi dari kelompok tani hutan. KTH ini perlu
pula
dilengkapi dengan koperasi sebagai wadah penyediaan sarana produksi
pertanian
atau sarana pengolahan hasil.
Untuk mempermudah pembinaan petani empang parit, para petani
dikelompokkan dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) dan diberikan
penyuluhan secara intensif. Tugas dari Kelompok Tani Hutan (KTH) antara
lain :
? Melaksanakan tanaman hutan disetiap lokasi garapan masing-masing.
? Ikut menerbitkan pemukiman/perambah dalam kawasan hutan mangrove
? Gotong royong memperbaiki saluran air yang dangkal untuk memperlancar
pasang surut air laut dan aliran sungai
? Secara rutin mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan yang
dihadapi, diantaranya cara budidaya ikan, udang, kepiting dikawasan hutan
mangrove
? Disamping itu melakukan usaha koperasi simpan pinjam, pelayanan
saprodi, pemasaran hasil ikan dan pengembangan pengolahan ikan.
Produksi ikan dari silvofishery seluruhnya menjadi hak penggarap
anggota KTH.

VI. PENDEKATAN BUTTOM UP DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN
MANGROVE
Usaha pemulihan ekosistem mangrove di beberapa daerah, baik di pulau
Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya
ini
biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari
Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam
pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli,
tersedia
bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas
penunjang
yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya
adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya
pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat
masih cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan
(Subing, 1995).
Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi
dalam beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas.
Seperti
suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya rencana itu
senantiasa datangnya dari atas; sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai
ujung
tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan
istilah populer dengan pendekatan top-down (Gambar 3). Pelaksanaan proyek
semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal
idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya
pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah
sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan yang
terkait.
Akibatnya setelah selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah habis
tentu saja
pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya.
Di
sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (sense of belonging tidak
tumbuh)
hutan mangrove tersebut. Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut
telah
menjadi besar, maka masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang
mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil atau memotong hutan
mangrove tersebut secara bebas. Masyarakat beranggapan bahwa hutan
mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga
jika
masyarakat membutuhkan mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh
pemerintah atau pelaksana proyek. Begitulah pengertian yang ada pada benak
masyarakat pesisir yang dekat dengan hutan mangrove yang telah mereka
rehabilitasi (Savitri dan Khazali, 1999).


Pemerintah
Pemerintahan
Kabupaten
Masyarakat
Perangkat Desa





















Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006



Gambar 3. Pendekatan Top down



Seyogyanya upaya pemulihan ekosistem mangrove adalah atas biaya
pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan
pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada
masyarakat. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin umat,
dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat
pengertian
bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik
masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir.
Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove
yang
dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan
oleh
masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai
?kuli?, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka
merasa
ikut merencanakan penanaman dan lain-lain. Masyarakat merasa mempunyai
andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status
mereka
akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya.
Dari sini akan tergambar andaikata ada sekelompok orang yang bukan
anggota masyarakat yang ikut menaman hutan mangrove tersebut ingin
memotong sebatang tumbuhan mangrove saja, maka mereka tentu akan ramai-
ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka menebang pohon tanpa ijin.
Ini merupakan salah satu contoh kasus kecil dalam perusakan hutan mangrove
yang telah dihijaukan, kemudian dirusak oleh anggota masyarakat lainnya
yang
bukan anggota kelompoknya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan
penekanan pada pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan
istilah pendekatan bottom- up (Gambar 4).


Pemerintah
Pemerintahan
Kabupaten
Masyarakat
Perangkat Desa




















Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


Gambar 4. Pendekatan Buttom-up




Menurut Sudarmadji (2001) Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom
up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang
telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya; karena
masyarakat
sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka
bersama. Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum
dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan
yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan
dalam
jangka panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif lebih
baik
jika dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan pemulihan
ekosistem, selain itu ?pemerintah atau pemilik modal? tidak terlalu berat
melakukannya, karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan
pemulihan tersebut, dan pada masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut
memiliki
terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan
demikian
pelaksanaan suatu proyek dengan pendekatan bottom up atau menumbuhkan
adanya partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan
proses
pendidikan pada masyarakat secara tidak langsung (Savitri dan Khazali,
1999).

VII. PENUTUP
1. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan
yang memiliki manfaat ganda (ekologi dan ekonomi) dan sangat potensial
bagi kesejahteraan masyarakat baik sudah semakin kritis ketersediaannya,
sehingga perlu menjadi perhatian kita bersama untuk tetap menjaga
kelestariannya, untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
2. Pemulihan ekosistem mangrove yang telah rusak dapat direstorasi secara
alami tetapi memerlukan waktu yang cukup lama.
3. Sistem Perhutanan Sosial (model sylvofishery) merupakan salah satu
sistem yang telah diterapkan dalam rangka pemulihan ekosistem mangrove
berbasis masyarakat.
4. Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove, hendaknya
pemerintah lebih banyak melibatkan unsur masyarakat dengan pendekatan
buttom-up.


DAFTAR PUSTAKA

Amir, S., Soekirman, dan M. Baini. 1995. Peranan Proyek STEP
dalamPeningkatan Partisipasi Masyarakatdalam Pengelolaan Hutan
Mangrove, Studi Kasus Pantai Labu, DeliSerdang, Sumatera Utara. Dalam
Prosiding Seminar V EkosistemMangrove di Jember, 3-6 Agustus1994.

Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. J. Cremer Publ. Leuterhausen,
Germany.
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Pulau-
Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan
Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.

Golar, 2002. Presfektif Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat: Antara
Harapan
dan Kenyataan . Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas
Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah.
Kusmana, C. 2002. Pengelolaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara
Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah disampaikan pada
Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7
Agustus 2002.

Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai
Pasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan
mangrove Pasca sunami, Medan, April 2005.

Macnae, W. 1968. A General Account of the fauna and flora of Mangrove
swamps and forest in the Indo West Pacific region. Adv. Mor. Biol. 6: 73-
270.

Naamin, N. 1991. Penggunaan Hutan Mangrove untuk Budidaya Tambak
Keuntungan dan Kerugian. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan
Mangrove MAB Indonesia LIPI. Bandar Lampung.
Odum, E.P. 1983. Basic Ecology. Sounders College Publishing.
Perum Perhutan. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove dengan Pendekatan Sosial
Ekonomi pada Masyarakat Desa di Pesisir Pulau Jawa. Dalam Prosiding
Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994.

Pratikto, W. 2002. Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi
Resiko terhadap Bahaya Tsunami. Makalah disampaikan pada Lokakarya
Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.

Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia,
Jakarta.
Saenger. 1983. Global Status of Mangrove Ekosistem, IUCN Commission on
Ecology Papers, No. 3. 1983.
Salim, E. 1986. Pengelolaan Hutan Mangrove Berwawasan Lingkungan:
Makalah dalam Pidato Pengarahan Diskusi Panel Daya Guna dan Batas
Lebar Jalur Hijau mangrove, Ciloto 27 Pebruari 1986.
Savitri, L.A. dan M. Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam
Pengelolaan
Wilayah Pesisir. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme.
Subing, H. Z. 1995. Pengembangan Wilayah Pantai Terpadu dalam
Rangka Pembangunan Daerah. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem
Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994.

Setiawan, A. 1991. Agroforestry sebagai suatu alternatif Pola Penggunaan
Lahan
Kering di Prpvinsi Lampung, Tecnical Notes, Vol III (1).

Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006


Soerianegara, I. & Indrawan. 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Soesanto, S.S dan M. Sudomo. 1994. Ekosistem Mangrove dan Pembangunan
Lingkungan Hidup. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di
Jember, 3-6 Agustus 1994.

Steenis, V.C. 1978. Flora. Pradnya Paramita. Jakarta.
Subing, Z. Pengembangan Wilayah Pantai Terpadu dalam Rangka Pembangunan
Daerah. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6
Agustus 1994.

Sudarmadji. 2001. Rehabilitasi Hutan Mangrove dengan Pendekatan
Pemberdayan Masyarakat Pesisir. Jurnal Ilmu Dasar, Vol.2 No. 2,
2001:68-71.

Sugandhy, A. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pesisir dan Lautan
Khususnya Pengelolaan Hutan mangrove secara berkelanjutan.
Pengarahan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar V
Ekosistem Mangrovew, Jember, 3-6 Agustus 1994.
Sumarhani, 1995. Rehabilitasi Hutan Mangrove Terdegradasi dengan Sistem
Perhutanan sosial. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di
Jember, 3-6 Agustus 1994.

Tirtakusumah, R. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove Jawa Barat dan Beberapa
Pemikiran untuk Tindak Lanjut. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem
Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994.

UNDP/UNESCO Regional Project-Research and Training Pilot Programme on
Mangrove Ecosystems in Asia and The Pasific, Bogor 8 ? 9 Oktober 1984.

Walsh, G.E. 1974. Mangrove: a review. In: Ecology of Halophytes pp. 51-
174
New York, Academic Press.

Wightman,G.M. 1989. Mangroves of the Northern Territory. Northen
Territory
Botanical Bulletin No. 7 CCNT, Palmerston, Australia.

Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari?ah dalam Rangka
Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository ? 2006

Anda mungkin juga menyukai