PENDAHULUAN
1
pencernaan yaitu Toxoplasma gondii, Entamoeba coli, dan famili Eimiiridae
(Taylor, 2007).
Efek klinis dari infeksi endoparasit pada saluran kucing yaitu akan
menyebabkan diare. Diare tersebut dapat menyebabkan kucing lemas, dehidrasi,
dan nafsu makan menurun. Untuk mendeteksi endoparasit pada saluran
pencernaan kucing dapat dilakukan identifikasi dengan pemeriksaan feses.
Metode yang sering digunakan untuk melakukan identifikasi endoparasit yaitu
metode natif dan metode apung (Nezar, 2014). Dilakukannya identifikasi
bertujuan untuk memudahkan dalam melakukan diagnosa pada kucing serta dapat
mempengaruhi dalam melakukan penanganan endoparasit. Penanganan dapat
dilakukan dengan memutus siklus hidup cacing maupun protozoa pada saluran
pencernaan tersebut. Penanganan ini dapat dilakukan dengan cara pencegahan,
pengobatan, dan juga menejemen pemeliharan seperti pakan, kandang dan lain-
lain.
2
1.3 Tujuan
Tujuan dari Program Praktek Kerja Lapang ini antara lain:
1. Mengetahui cara identifikasi endoparasit pada kucing di Klinik Hewan
Kayu Manis Yogayakarta.
2. Mengetahui penaganan endoparasit pada kucing di Klinik Hewan Kayu
Manis Yogyakarta.
1.4 Manfaat
Melalui Praktek Kerja Lapang ini diharapkan dapat memberikan manfaat
antara lain:
1. Memberi kesempatan kepada Mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman
kerja sesuai profesi dokter hewan.
2. Bagi mahasiswa dapat menambah pengetahuan, kemampuan melalui
pengalaman praktek kerja di lapang dalam mengidentifikasi dan penaganan
endoparasi pada kucing.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kucing
Kucing memiliki nama ilmiah Felis catus atau Felis domesticus. Kucing
dalam rantai makanan tergolong hewan karnivora (pemakan daging). Kucing
memiliki banyak kelebihan dibanding dengan hewan lain yaitu memiliki rambut
yang lembut,sifat manja dan senang untuk diajak bermain sehingga menarik untuk
memeliharanya. Berikut ini merupakan taksonomi kucing dengan nama ilmiah
Felis catus secara lengkap menurut Suwed et al (2011) sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Carnivora
Famili : Felidae
Genus : Felis
Spesies : Felis catus
Secara fisik setiap jenis kucing ini memiliki ciri khas yang beragam jika
dilihat dari warna, ukuran, bentuk wajah dan telinga. Beberapa kucing memilki
wajah bulat maupun datar, sedangkan bentuk telinganya ada yang menunjuk ke
atas dan ada juga yang meliat dengan ukuran lebar atau kecil. Bentuk rambutnya
beragam baik keriting, berambut panjang maupun pendek sesuai dengan rasnya.
Berdasarkan bentuk tubuhnya, kucing dibedakan menjadi dua tipe yaitu pertama,
cobby (bentuk tubuh pendek dan bulat), kaki pendek, bahu lebar dan kepala
berbentuk bundar. Kedua, svelte (bentuk tubuhnya panjang dan langsing), berotot,
bertulang kecil, dan kepala berbentuk tirus. Kucing juga memiliki struktur tulang
yang terdiri dari 24 tulang (jumlah tergantung panjang pendeknya ekor kucing)
dengan 30 ruas tulang belakang (Suwed, et al. 2011).
4
2.2 Endoparasit
Menurut Shah (2012), parasit adalah organisme yang hidup pada atau di
dalam organisme yang lain dikenal sebagai inang. Parasit dalam arti luas dapat
berupa hewan, tanaman, virus, bakteri, protozoa, helmin dan artropoda. Umumnya
setiap hewan atau tanaman mengandung parasit. Parasit berkembang dari hewan
yang hidup bebas, sebagian telah berkembang dengan mempunyai organ tertentu,
seperti alat penghisap untuk bergantung. Helmin bertelur dalam jumlah sangat
banyak sebab satu telur dapat menginfeksi inang baru sangat kecil.
5
2.2.1 Cacing kelas Cestoda
2.2.3 Protozoa
Protozoa Merupakan mikroorganisme yang sebagian besar bersel satu
dengan ciri-ciri khusus yaitu memiliki bentuk bermacam-macam (berukuran
0,0002-0,003 mm), memiliki inti bergerak dengan flagella, pseudopodia, silia/
bergerak sendiri, ada yang hidup bebas, komensalisme, mutualistis dan parasit,
berkembang biak asexual dan beberapa konjugasi (Suwanti, 2012).
6
2.3.1 Toxocara cati
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara cati
Morfologi
Cacing Toxocara cati berjenis kelamin jantan memiliki ukuran tubuh 3-6
cm dan betina berukuran 4-10 cm. Cervical alae pada Toxocara cati sangat lebar
dan bergaris, sehingga cacing ini terlihat seperti kepala kobra. Ciri-ciri telurnya
yaitu berukuran 65-75 mikron, dan memiliki albumin yang tebal. Secara umum
ciri-ciri dari Toxocara cati sama dengan cacing Toxocara canis baik cacing
maupun telurnya (Pinto, 2014).
Siklus Hidup
7
kembali pada dinding lambung dan jumlah akan meningkat pada hari ke-21,
sebagian larva tertinggal di paru-paru. Larva juga ditemukan pada lumen usus dan
lambung. Sebagian besar larva pada lambung dalam pada stadium III, sedangkan
larva stadium IV pada lumen lambung, dinding usus dan lumen usus. Berkembang
menjadi cacing dewasa, tidak terjadi infeksi prenatal. Hospes cacing ini adalah
kucing dan sedangkan predileksi pada usus halus (Gallas, 2013).
Phylum : Platythelminthes
Class : Cestoda
Order : Cyclophyllidea
Family : Dipylidiidae
Genus : Dipylidium
Species : Dipylidium caninum
Morfologi
8
Gambar 2.4 telur cacing Dipylidium caninum (Subekti, 2014).
Siklus Hidup
Proglotid dilewatkan utuh dalam tinja atau muncul dari daerah perianal
dari hospes. Kemudian termakan oleh hospes intermediet yaitu berupa pinjal dan
kutu. Sebuah onkosfer dilepaskan pada hospes intermediet, onkosfer menembus
dinding usus, menyerang rongga tubuh, dan berkembang menjadi larva
sistiserkoid. Larva berkembang menjadi dewasa, dan hospes intermediet
yang terdapat sistiserkoid infektif. Vertebrata inang terinfeksi dengan menelan
hospes intermediet (kutu dan pinjal) dewasa yang mengandung sistiserkoid
tersebut. Anjing adalah hospes definitif utama untuk Dipylidium caninum . Host
potensial lainnya termasuk kucing, rubah, dan manusia. Dalam usus halus dari
vertebrata inang sistiserkoid berkembang menjadi cacing pita dewasa yang
mencapai kematangan sekitar 1 bulan setelah infeksi. Cacing pita dewasa berada
di usus halus l dari hospes. Kemudian menghasilkan proglotid yang memiliki dua
pori-pori genital. proglotid matang , menjadi gravid , melepaskan diri dari cacing
pita , dan bermigrasi ke anus (Taylor, 2007).
9
Gambar 2.5 Siklus Hidup Dipylidium canininum (Subekti, 2014).
Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Protozoa
Phylum : Apicomplexa
Class : Sporozoasida
Sub Class : Coccidiasina
Order : Eucoccidiorida
Sub order : Eimeriorina
Famili : Sarcocystidae
Genus : Toxoplasma
Species : Toxoplasma gondii
Morfologi
10
mitokondria dan badan golgi, tidak mempunyai kinetoplas dan sentrosom serta
tidak berpigmen. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes intermediet dan
hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan
tubuh. Takizoit dapat masuk ke setiap sel berinti pada tubuh hospesnya. Kista
dibentuk di dalam sel hospes apabila takizoit yang membelah telah membentuk
dinding. Ukuran kista yang dibentuk bisa berbeda-beda, ada kista yang berukuran
kecil dan berukuran besar. Kista dapat berisi sekitar 3000 bradizoit. Kista dalam
tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung dan
otot lurik. Kista di bagian otak berbentuk lonjong atau bulat, tetapi bentuk kista
mengikuti bentuk sel otot. Kista merupakan stadium istirahat pada Toxoplasma
gondii. Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista
mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas.
Pada perkembangan selanjutnya kedua sporoblas membentuk dinding dan menjadi
sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8
x 2 mikron dan sebuah benda residu (Suwanti, 2012).
Siklus Hidup
Siklus hidup Toxoplasma gondii memiliki dua fase. Bagian seksual dari
siklus hidup hanya terjadi pada kucing, baik domestik maupun liar (keluarga
Felidae), yang membuat kucing menjadi hospes definitif parasit. Tahap kedua,
bagian aseksual dari siklus hidup, dapat terjadi di lain hewan berdarah panas,
11
termasuk kucing, tikus, manusia, dan burung. Host reproduksi aseksual terjadi
disebut hospes perantara (Satoskar, 2009).
Hewan Pengerat adalah hospes perantara yang khas. Dalam kedua jenis
host, parasit Toxoplasma menyerang sel dan membentuk ruang yang disebut
vakuola. Di dalam vakuola khusus yang disebut vakuola parasitophorous, bentuk
parasit bradyzoites, perlahan mereplikasi parasit. Vakuola yang berisi kista bentuk
reproduksi bradyzoites terutama dalam jaringan otot dan otak. Karena parasit
berada di dalam sel, mereka aman dari sistem kekebalan inang yang tidak
menanggapi kista (Satoskar, 2009).
12
meskipun beberapa dari mereka berhasil menginfeksi sel dan bradyzoites dengan
cara mempertahankan infeksi pada jaringan kista yang tertelan oleh kucing
(misalnya, dengan memberi makan pada tikus yang terinfeksi) (Satoskar, 2009).
Kista bertahan hidup melalui perut kucing dan parasit menginfeksi epitel
dari usus kecil di mana mereka mengalami reproduksi seksual dan pembentukan
ookista. Ookista berasal dari feses. Hewan dan manusia yang menelan ookista
(misalnya, dengan makan sayuran yang tidak dicuci) atau terinfeksi jaringan kista
dalam daging yang dimasak secara tidak benar. Parasit memasuki makrofag pada
lapisan usus dan didistribusikan melalui aliran darah ke seluruh tubuh (Satoskar,
2009).
Phylum : Sarchomastigophora
Sub Phylum : Sarcodina
Famili : Endamoeba
Genus : Entamoeba
Spesies : Entamoeba coli
13
Morfologi
Siklus Hidup
Siklus hidup dimulai dari manusia atau hewan menelan makanan dan
minuman yang terkontaminasi oleh parasit tersebut, di lambung parasit tersebut
tercerna, tinggal bentuk kista yang berinti empat (kista masak) yang tahan
terhadap asam lambung masuk ke usus. Disini karena pengaruh enzym usus yang
bersifat netral dan sedikit alkalis, dinding kista mulai melunak, ketika kista
mencapai bagian bawah ileum atau caecum terjadi excystasi menjadi empat
amoebulae. Amoebulae tersebut bergerak aktif, menginvasi jaringan dan membuat
lesi di usus besar kemudian tumbuh menjadi trophozoit dan mengadakan
multiplikasi disitu, proses ini terutama terjadi di caecum dan sigmoidorectal yang
menjadi tempat habitatnya. Dalam pertumbuhannya amoeba ini mengeluarkan
14
enzym proteolytic yang melisiskan jaringan disekitarnya kemudian jaringan yang
mati tersebut diabsorpsi dan dijadikan makanan oleh amoeba tersebut. Amoeba
yang menginvasi jaringan menjalar dari jaringan yang mati ke jaringan yang
sehat, dengan jalan ini amoeba dapat memperluas dan memperdalam lesi yang
ditimbulkannya, kemudian menyebar melalui cara percontinuitatum, hematogen
ataupun lymphogen mengadakan metastase ke organ-organ lain dan menimbulkan
amoebiasis di organ-organ tersebut. Metastase tersering adalah di hepar terutama
lewat hematogen (Suwanti, 2012).
15
intestinal. Trophozoit dalam intestinal akan berubah bentuk menjadi precystic.
Bentuknya akan mengecil dan berbentuk spheric dengan ukuran 3,5-20 um.
Bentuk cyste yang matang mengandung kromatoid untuk menyimpan unsur
nutrisi glycogen yang digunakan sebagai sumber energi. Cyste ini adalah bentuk
inaktif yang akan keluar melalui feses (Taylor, 2007).
Cyste sangat tahan terhadap bahan kimia tertentu. Cyste dalam air akan
bertahan sampai 1 bulan, sedangkan dalam feses yang mengering dapat bertahan
sampai 12 hari. Bila air minum atau makanan terkontaminasi oleh cyste E.
histolytica, cyste akan masuk melalui saluran pencernaan menuju ileum dan
terjadi excystasi, dinding cyste robek dan keluar amoeba multinucleus metacystic
yang langsung membelah diri menjadi 8 uninucleat trophozoit muda disebut
amoebulae. Amoebulae bergerak ke usus besar, makan dan tumbuh dan membelah
diri asexual. Multiplikasi (perbanyakan diri) dari spesies ini terjadi dua kali dalam
masa hidupnya yaitu: membelah diri dengan “binary fission” dalam usus pada
fase trophozoit dan pembelahan nukleus yang diikuti dengan cytokinesis dalam
cyste pada fase metacystic (Taylor, 2007).
16
2.3.5 Isospora sp.
Kingdom : Protista
Subkingdom : Biciliata
Phylum : Apicomplexa
Class : Conoidasida
Subclass : Coccidiasina
Order : Eucoccidiorida
Suborder : Eimeriorina
Famili : Eimeriidae
Genus : Isospora
Morfologi
Ookista yang belum matang keluar bersama tinja orang yang terinfeksi,
yang mengandung sporoblas. Dalam pematangan lebih lanjut setelah ekskresi,
sporoblast membagi dalam dua (ookista berisi dua sporoblasts). Sporoblasts
17
mensekresikan dinding kista, sehingga menjadi sporocysts, dan sporocysts
membagi dua kali untuk menghasilkan empat sporozoit. Pada mana fase ini,
ookista atau sporokista sudah matang. Infeksi terjadi jika Ookista atau sporokista
yang sudah matang tertelan. Kemudian sporokista masuk ke dalam usus,
khususnya di bagian Vili Usus manusia dan setelah itu sporokista melepaskan
spozoit (Suwanti, 2012).
18
Pemeriksaan endoparasit dengan metode natif digunakan larutan fisisologis, tetapi
dapat juga digunakan dengan aquades ataupun eosin.
19
2.4.6 Metode Sedimentasi Formal Ether
Metode sedimentasi formol ether merupakan metode yang cukup baik
untuk pemeriksaan endoparasit feses tidak segar atau telah diambil beberapa hari
sebelumnya. Metode tersebut digunakan untuk menemukan telur cacing golongan
trematoda dan kista protozoa.
2.5.1 Pencegahan
Pencegaha merupakan tindakan yang dilakukan agar tidak terjadinya
penyakit yang tidak diinginkan. Pencegaha endoparasit pada kucing dapat
dilakukan denga (Urquhart, 2003):
a. Pemberian obat cacing secara teratur
b. Higienitas pakan dan lingkungan,
c. Kontrol terhadap populasi hospes intermedier dan paratenik
20
d. Pemeriksaan feses harus dilakukan segera setelah anak kucing lepas masa sapih
4 – 8 minggu setelah treatment berakhir
e. Pemeriksaan reguler setahun sekali, dan sebelum betina dikawinkan.
f. Pemberian obat cacing minimal 1 tahun sekali
g. Mencegah pembuangan tinja anjing atau kucing peliharaan secara sembarangan
terutama di tempat bermain anak-anak dan kebun sayuran
2.5.2 Pengobatan
Pengobata merupakan tindakan yang dilakukan ketika hewan terkena
penyakit, dan obat yang diberikan dapat memberikan efek penyembuhan terhadap
penyakit tersebut. Banyak obat cacing membunuh cacing dewasa, tetapi tidak
berefek terhadap larva yang bermigrasi maupun larva dalam kista. Karena itu
banyak yang menganjurkan pengulangan pemberian obat cacing 2 – 4 minggu
setelah treatment terakhir. Pada saat treatment terakhir, kebanyakan larva masih
bermigrasi, dan saat treatment dilakukan kedua kalinya diharapkan larva telah
sampai di usus dan bisa terbunuh oleh obat cacing (Estuningsih, 2005).
Benzimidazoles merupakan obat cacing yang efektif untuk membunuh
larva Toxocara cati pada kucing. Pengobatan cutaneous larva migrans
menggunakan Chlorethyl. Obat cacing lainnya adalah thiabendazole, ivermectin,
albendazole, mebendazole, thiabendazole, albendazole, dan mebendazole.
Obat suportif seperti anti alergi dan antibiotika (Urquhart, 2003).
21
BAB III
METODE KEGIATAN
b. Sumber data sekunder yang penulis gunakan yaitu berasal dari buku
rekording kesehatan hewan, buku, jurnal, serta penulusuran dengan
memanfaatkan teknologi internet.
3.3 Parameter Kegiatan
Parameter yang diamati pada PKL (Praktek Kerja Lapang) ini meliputi
jumlah kucing yang terkena endoparasit, mengidentifikasi endoparasit
berdasarkan pemeriksaan feses pada kucing, dan penaganan yang sudah dilakukan
untuk penyakit endoparasit.
22
3.4 Jadwal Kegiatan PKL
23
3.5 Biodata Peserta PKL
Peserta yang akan melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang
(PKL) di Klinik Hewan Kayu Manis Yogyakarta yaitu :
Nama : Dicky Yoga Prasetia
NIM : 135130107111044
Jurusan : Program Studi Dokteran Hewan
Fakultas : Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas : Universitas Brawijaya
Alamat : Jl. Sumber Sari Gang 2 No. 86 kecamatan
Lowokwaru, kota Malang
Nomor Handphone : 089674280256
Email : ydicky14@yahoo.com
24
DAFTAR PUSTAKA
Assafa D., Kibru E. S., Nagesh, Gebreselassie S., Deribe F., Ali J. 2004. Medical
Parasitology. USAID. Amerika
Bashofi A. S., Soviana S., Ridwan Y., 2014. Infestrasi Pinjal dan Dipylidium
caninum (Linnaeus) pada kucing liar di lingkungan kampus Institut
Pertanian Bogor Kecamatan Dramaga. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Boogor. Bogor. ISSN: 1829-7722
Blagburn B. 2010. Internal Parasites of Dogs dan Cats. College of Veterinary
Medicin. Auburn University. Canada
Dubey JP., Lindsay DS., dan Speer CA., 1998. Structures of Toxoplasma gondii
Tachyzoites, Bradyzoites, and Sporozoites and Biology and Developmnet of
Tissue Cysts. CMR, 11(2): 267-299
Estuningsih, S. E., 2005. Toxocariasis Pada Hewan Dan Bahayanya Pada
Manusia. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Wartazoa Vol. 15 No . 3.
Gallas, M. 2013. Toxocara cati (Schrank, 1788) (Nematoda, Ascarididae) in
different wild feline species in Brazil: new host records. Departamento de
Biologia, Museu de Ciências Naturais Universidade Luterana do Brasil.
ISSNe 2175-7925
Koesdarto S., Mahfudz, Mumpuni S., Kusnoto. 2014. Perbedaan Struktur dan
Morfologi diantara Telur Cacing Toxocara. Lab Helmintologi FKH Unair.
Surabaya
Kusnoto. 2008. Karakteristik Molekuler Protein Toxocara cari dan Toxocara
canis untuk Pengembangan Diagnostik Toxocariasis. Program
Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya
Natadisastra, D., Agoes R., 2009. Parasitologi kedokteran: Ditinjau dari organ
tubuh yang diserang. Penerbitbuku kedokteran EGC, Jakarta: xxi+450 hlm
Pinto H. A., Mati V. L. T., Melo A. L., 2014. Toxocara cati (Nematoda:
Ascarididae) in Didelphisalbiventris (Marsupialia: Didelphidae) from
Brazil: a case of pseudoparasitism. Laboratório de Taxonomia e Biologia
de Invertebrados, Departamento de Parasitologia, Instituto de Ciencias
25
Biológicas, Universidade Federal de Minas Gerais – UFMG, Belo
Horizonte, MG, Brasil. ISSN 0103-846X (Print) / ISSN 1984-2961
(Electronic)
Pradana D. P., Haryono T., Ambarwati R., 2015. Identifikasi Cacing Endoparasit
pada Feses Ayam Pedaging dan Ayam Petelur. Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Surabaya.
ISSN: 2252-3979.
Sandjaja, B. 2007. Parasitologi kedokteran: Protozoologi kedokteran. Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta: xxii+322 hlm
Satoskar A. R., Simon G. L., Hotez J. P. Dan Tsuji M. 2009. Medical
Parasitology. Landes Bioscience, 1002 West Avenue, Austin, Texas
78701, USA
Shah, M. M., 2012. PARASITOLOGY. Janeza Trdine, Rijeka. Croatia
Subekti S. BS., Koesdarto S., Kusnoto, Sosiawati S. M., 2010. Buku Ajar
Helmintologi Veteriner. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
Surabaya
Subekti S. BS., Koesdarto S., Sosiawati S. M., Kusnoto. 2014. Buku Teks
Helmintiasis Veteriner. Global Persada Press. Surabaya
Suwanti L. T., Lastuti N. D. R., Suprihati E., dan Mufasirin. 2012. Buku Ajar
Protozoology Veteriner. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
Surabaya
Suwed, M.A., R.M. Napitupulu. 2011. Panduan Lengkap Kucing. Penerbit
Swadaya. Bogor. 18-23.
Taylor, M. A., Coop R. L. Dan Wall. R. L. 2007. Veterinary parasitologi. 3rd ed.
Blackwell Publishing Ltd. Oxford: xxvi+874 hlm
Urquhart G. M., Arrmour J., Dungan J. L., Dunn A. M., Jennings F. W. 2003.
Veterinary Parasitologi second edition. The Faculty od Veterinary
Medicine, The University of Glasgow. Scotland
Verweij J. J., Laeijendecker D., Brienen EA, Van Lieshout L., Polderman A. M.
2003. Detection and Identification of Entamoeba Spesie in Stool Samples
by a Reverse Line Hybridization Assay. 41(11): 5041-5.
26