Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kucing dikenal sebagai hewan kesayangan yang mempunyai nilai khusus


bagi manusia. Manusia telah memelihara kucing sejak ribuan tahun lalu, melalui
proses domestifikasi sehingga kucing menjadi hewan peliharaan. Hal ini karena
sifat kucing yang mudah di pelihara dan mudah menyesuaikan diri. Kucing
memiliki kecerdasan dan pengabdian yang cukup tinggi pada tuannya. Setiap
pemilik kucing sebaiknya mengetahui tentang pencegahan dan perawatan
berbagai penyakit pada kucing sehingga kesehatan lingkungan masyarakat pada
umumnya juga ikut terpelihara.

Penyakit-penyakit sering muncul pada kucing dapat merugikan kucing itu


sendiri dan pemiliknya. Penyakit yang menyerang kucing disebabkan infeksi
parasit, bakteri, virus, dan jamur seperti parvovirus. Di Klinik Hewan Kayu Manis
yang terletak di kota Yogyakarta, sekitar 54 ekor/bulan pasien kucing di klinik
hewan kayu manis yaitu disebabkan infeksi parsit maupun bakteri. Jumlah
tersebut adalah 30% dari total pasien kucing yaitu 180 ekor/bulan.

Parasit merupakan organisme yang hidup untuk sementara atau tetap di


dalam dan pada permukaan organisme lain untuk mengambil makan sebagian atau
seluruhnya dari organisme tersebut. Parasit terbagi atas dua jenis, yaitu parasit
yang hidup di luar tubuh inang atau disebut dengan ektoparasit. Parasit yang
hidup di dalam tubuh inang atau disebut dengan endoparasit (Bashofi, 2015).

Endoparasit meliputi cacing dan protozoa. Endoparasit yang sering


ditemukan pada saluran pencernaan kucing yaitu seperti cacing cambuk spesies
Trichuris vulpis dan cacing pita spesies Dipylidium cacinum, cacing gilik contoh
spesies Toxocara canis, Toxocara cati dan Toxascaris. Selain cacing terdapat juga
protozoa jaringan. Protozoa jaringan yang sering ditemukan pada saluran

1
pencernaan yaitu Toxoplasma gondii, Entamoeba coli, dan famili Eimiiridae
(Taylor, 2007).

Efek klinis dari infeksi endoparasit pada saluran kucing yaitu akan
menyebabkan diare. Diare tersebut dapat menyebabkan kucing lemas, dehidrasi,
dan nafsu makan menurun. Untuk mendeteksi endoparasit pada saluran
pencernaan kucing dapat dilakukan identifikasi dengan pemeriksaan feses.
Metode yang sering digunakan untuk melakukan identifikasi endoparasit yaitu
metode natif dan metode apung (Nezar, 2014). Dilakukannya identifikasi
bertujuan untuk memudahkan dalam melakukan diagnosa pada kucing serta dapat
mempengaruhi dalam melakukan penanganan endoparasit. Penanganan dapat
dilakukan dengan memutus siklus hidup cacing maupun protozoa pada saluran
pencernaan tersebut. Penanganan ini dapat dilakukan dengan cara pencegahan,
pengobatan, dan juga menejemen pemeliharan seperti pakan, kandang dan lain-
lain.

Berdasarkan latar belakang di atas, pentingya pemahaman tentang


identifikasi serta penanganan penyakit endoparasit pada kucing sehingga dapat
menjadi bekal pengetahuan dan pengalaman sebagai tenaga medis dokter hewan.
Oleh karena itu, penulis mengambil judul Program Praktek Kerja Lapang
Identifikasi dan Penanganan Endoparasit Berdasarkan Pemeriksaan Feses Pada
Kucing di Klinik Hewan Kayu Manis Yogyakarta.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara identifikasi endoparasit pada kucing di Klinik Hewan Kayu
Manis Yogyakarta?
2. Bagaimana penaganan endoparasit pada kucing di Klinik Hewan Kayu
Manis Yogyakarta?

2
1.3 Tujuan
Tujuan dari Program Praktek Kerja Lapang ini antara lain:
1. Mengetahui cara identifikasi endoparasit pada kucing di Klinik Hewan
Kayu Manis Yogayakarta.
2. Mengetahui penaganan endoparasit pada kucing di Klinik Hewan Kayu
Manis Yogyakarta.
1.4 Manfaat
Melalui Praktek Kerja Lapang ini diharapkan dapat memberikan manfaat
antara lain:
1. Memberi kesempatan kepada Mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman
kerja sesuai profesi dokter hewan.
2. Bagi mahasiswa dapat menambah pengetahuan, kemampuan melalui
pengalaman praktek kerja di lapang dalam mengidentifikasi dan penaganan
endoparasi pada kucing.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kucing
Kucing memiliki nama ilmiah Felis catus atau Felis domesticus. Kucing
dalam rantai makanan tergolong hewan karnivora (pemakan daging). Kucing
memiliki banyak kelebihan dibanding dengan hewan lain yaitu memiliki rambut
yang lembut,sifat manja dan senang untuk diajak bermain sehingga menarik untuk
memeliharanya. Berikut ini merupakan taksonomi kucing dengan nama ilmiah
Felis catus secara lengkap menurut Suwed et al (2011) sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Carnivora
Famili : Felidae
Genus : Felis
Spesies : Felis catus

Secara fisik setiap jenis kucing ini memiliki ciri khas yang beragam jika
dilihat dari warna, ukuran, bentuk wajah dan telinga. Beberapa kucing memilki
wajah bulat maupun datar, sedangkan bentuk telinganya ada yang menunjuk ke
atas dan ada juga yang meliat dengan ukuran lebar atau kecil. Bentuk rambutnya
beragam baik keriting, berambut panjang maupun pendek sesuai dengan rasnya.
Berdasarkan bentuk tubuhnya, kucing dibedakan menjadi dua tipe yaitu pertama,
cobby (bentuk tubuh pendek dan bulat), kaki pendek, bahu lebar dan kepala
berbentuk bundar. Kedua, svelte (bentuk tubuhnya panjang dan langsing), berotot,
bertulang kecil, dan kepala berbentuk tirus. Kucing juga memiliki struktur tulang
yang terdiri dari 24 tulang (jumlah tergantung panjang pendeknya ekor kucing)
dengan 30 ruas tulang belakang (Suwed, et al. 2011).

4
2.2 Endoparasit

Menurut Shah (2012), parasit adalah organisme yang hidup pada atau di
dalam organisme yang lain dikenal sebagai inang. Parasit dalam arti luas dapat
berupa hewan, tanaman, virus, bakteri, protozoa, helmin dan artropoda. Umumnya
setiap hewan atau tanaman mengandung parasit. Parasit berkembang dari hewan
yang hidup bebas, sebagian telah berkembang dengan mempunyai organ tertentu,
seperti alat penghisap untuk bergantung. Helmin bertelur dalam jumlah sangat
banyak sebab satu telur dapat menginfeksi inang baru sangat kecil.

Organisme tempat parasit berada disebut inang (host). Inang definitif


adalah inang tempat kehidupan parasit dewasa dengan jenis kelamin jantan atau
betina. Inang perantara adalah tempat hidup parasit pada stadium aseksual.
Sedangkan berdasarkan klasifikasinya parsait dibedakan menjadi endoparasi dan
ektoparasit. Endoparasit hidup di dalam tubuh inang, sedangkan ektoparasit
dibagian luar tubuh inang (Subekti, 2014).

Menurut Assafa (2004), endoparasit merupakan jenis parasit yang hidup di


dalam tubuh inang. Berbeda dengan ektoparasit, endoparasit menyerang organ
dalam pada inang. Endoparasit mempunyai kemampuan untuk beradaptasi
terhadap jaringan inang sehingga umumnya tidak menimbulkan kerusakan serta
gejala klinis yang berat. Endoparasit dapat menjadi patogen karena inang
menderita malnutrisi atau terjadi penurunan daya imunitas tubuh.

Jenis-jenis endoparasit yaitu meliputi cacing dan protozoa. Cacing


endoparasi terdapat beberapa kelas, yaitu diantaranya cacing kelas Trematoda,
cacing kelas Cestoda dan Cacing Kelas Nematoda. Untuk cacing yang sering
ditemukan di saluran pencernaan kucing berasal dari cacing kelas Cestoda dan
Nematoda. Sedangkan Protozoa yang sering ditemukan di saluran pencernaan
kucing yaitu protozoa jaringan (Sandjaja, 2007).

5
2.2.1 Cacing kelas Cestoda

Menurut Natadisasta (2009), cacing cestoda mempunyai ciri-ciri tubuh


bersegmen, mempunyai skolek leher, proglotida (telur berembryo), hermaprodit,
reproduksi ovipar dan kadang-kadang berbiak dalam bentuk larva, infeksi
umumnya oleh larva dalam kista. Siklus hidup cestoda secara umum yaitu telur
yang keluar bersama feses, kemudian berkembang menjadi metacestoda, dan
menjadi cacing dewasa.

2.2.2 Cacing kelas Nematoda

Kelas nematoda termasuk ke dalam filum nemathelminthes dengan ciri-


ciri tubuh tidak bersegmen, berbentuk silindris, mempunyai rongga tubuh mulai
dari mulut sampai anus, umumnya terpisah dan reproduksi ovipar. Infeksi
terutama disebabkan termakannya telur/ larva dalam kista. Siklus hidup dari
cacing nematoda secara umum yaitu telur keluar bersama feses, kemudian
menjadi larva 1, larva 2, larva 3, larva 4, larva 5, dan menjadi dewasa. Stadium
infektif pada predileksi setiap spesies berbeda-beda (Natadisasta, 2009).

2.2.3 Protozoa
Protozoa Merupakan mikroorganisme yang sebagian besar bersel satu
dengan ciri-ciri khusus yaitu memiliki bentuk bermacam-macam (berukuran
0,0002-0,003 mm), memiliki inti bergerak dengan flagella, pseudopodia, silia/
bergerak sendiri, ada yang hidup bebas, komensalisme, mutualistis dan parasit,
berkembang biak asexual dan beberapa konjugasi (Suwanti, 2012).

2.3 Species Endoparasit di Sistem Pencernaan Kucing


Dari berbagai jenis endoparasit pada feses hewan kucing pada saat
dilakukan pemeriksaan akan ditemukan telur cacing ataupun cacing dari jenis
cacing nematoda dan protozoa jaringan. Menuru Taylor (2007), Contoh spesies
endoparasit pada saluran pencernaan kucing yang sering ditemukan yaitu
Toxocara canis, Toxocara cati dan Toxascaris, Dipylidium caninum, Toxoplasma
gondii, Entamoeba coli, dan Isospora.

6
2.3.1 Toxocara cati

Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara cati

Morfologi

Cacing Toxocara cati berjenis kelamin jantan memiliki ukuran tubuh 3-6
cm dan betina berukuran 4-10 cm. Cervical alae pada Toxocara cati sangat lebar
dan bergaris, sehingga cacing ini terlihat seperti kepala kobra. Ciri-ciri telurnya
yaitu berukuran 65-75 mikron, dan memiliki albumin yang tebal. Secara umum
ciri-ciri dari Toxocara cati sama dengan cacing Toxocara canis baik cacing
maupun telurnya (Pinto, 2014).

Gambar 2.3 Telur Cacing Toxocara sp (Kusnoto.2008)

Siklus Hidup

Infeksi terjadi karena termakannya telur infektif (mengandung larva


stadium II). Selama dua hari pertama, larva ditemukan pada dinding lambung.
Pada hari ketiga ditemukan di paru-paru dan liver, pada hari kelima ditemukan

7
kembali pada dinding lambung dan jumlah akan meningkat pada hari ke-21,
sebagian larva tertinggal di paru-paru. Larva juga ditemukan pada lumen usus dan
lambung. Sebagian besar larva pada lambung dalam pada stadium III, sedangkan
larva stadium IV pada lumen lambung, dinding usus dan lumen usus. Berkembang
menjadi cacing dewasa, tidak terjadi infeksi prenatal. Hospes cacing ini adalah
kucing dan sedangkan predileksi pada usus halus (Gallas, 2013).

2.3.2 Dipylidium caninum

Phylum : Platythelminthes
Class : Cestoda
Order : Cyclophyllidea
Family : Dipylidiidae
Genus : Dipylidium
Species : Dipylidium caninum

Morfologi

Dipylidium caninum adalah cacing pipih panjang sekitar 40 sampai 50


cm, memiliki 60-175 proglotid. Skolek berbentuk belah ketupat dengan 4 batil
hisap lonjong dan menonjol, serta sebuah rostellum seperti kerucut refraktil yang
dilengkapi 30-150 kait tersusun menurut garis transversal. Proglotid berukuran
12x3 mm, dipenuhi telur yang bermembran, setiap kapsul berisi 8-20 butir telur.
Proglotid dapat aktif keluar anus atau keluar bersama tinja satu persatu atau
berkelompok 2-3 proglotid. Telur mengandung embrio yang tidak tahan terhadap
kekeringan. Di dalam hospes perantara, oncospher akan berkembang menjadi
larva sistiserkoid yang berekor. Manusia tertular secara kebetulan jika tertelan
kutu kucing atau anjing yang mengandung larva (Koesdarto, 2014).

8
Gambar 2.4 telur cacing Dipylidium caninum (Subekti, 2014).

Siklus Hidup

Proglotid dilewatkan utuh dalam tinja atau muncul dari daerah perianal
dari hospes. Kemudian termakan oleh hospes intermediet yaitu berupa pinjal dan
kutu. Sebuah onkosfer dilepaskan pada hospes intermediet, onkosfer menembus
dinding usus, menyerang rongga tubuh, dan berkembang menjadi larva
sistiserkoid. Larva berkembang menjadi dewasa, dan hospes intermediet
yang terdapat sistiserkoid infektif. Vertebrata inang terinfeksi dengan menelan
hospes intermediet (kutu dan pinjal) dewasa yang mengandung sistiserkoid
tersebut. Anjing adalah hospes definitif utama untuk Dipylidium caninum . Host
potensial lainnya termasuk kucing, rubah, dan manusia. Dalam usus halus dari
vertebrata inang sistiserkoid berkembang menjadi cacing pita dewasa yang
mencapai kematangan sekitar 1 bulan setelah infeksi. Cacing pita dewasa berada
di usus halus l dari hospes. Kemudian menghasilkan proglotid yang memiliki dua
pori-pori genital. proglotid matang , menjadi gravid , melepaskan diri dari cacing
pita , dan bermigrasi ke anus (Taylor, 2007).

9
Gambar 2.5 Siklus Hidup Dipylidium canininum (Subekti, 2014).

2.3.3 Toxoplasma gondii

Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Protozoa
Phylum : Apicomplexa
Class : Sporozoasida
Sub Class : Coccidiasina
Order : Eucoccidiorida
Sub order : Eimeriorina
Famili : Sarcocystidae
Genus : Toxoplasma
Species : Toxoplasma gondii

Morfologi

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler. Toxoplasma


gondii terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk poriferatif), kista (berisi
bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit
dengan ujung yang runcing dengan ujung yang lain agak membulat. Bentuk ini
berukuran 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron, mempunyai selaput sel, satu inti yang
terletak di tengah dibagian tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti

10
mitokondria dan badan golgi, tidak mempunyai kinetoplas dan sentrosom serta
tidak berpigmen. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes intermediet dan
hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan
tubuh. Takizoit dapat masuk ke setiap sel berinti pada tubuh hospesnya. Kista
dibentuk di dalam sel hospes apabila takizoit yang membelah telah membentuk
dinding. Ukuran kista yang dibentuk bisa berbeda-beda, ada kista yang berukuran
kecil dan berukuran besar. Kista dapat berisi sekitar 3000 bradizoit. Kista dalam
tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung dan
otot lurik. Kista di bagian otak berbentuk lonjong atau bulat, tetapi bentuk kista
mengikuti bentuk sel otot. Kista merupakan stadium istirahat pada Toxoplasma
gondii. Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista
mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas.
Pada perkembangan selanjutnya kedua sporoblas membentuk dinding dan menjadi
sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8
x 2 mikron dan sebuah benda residu (Suwanti, 2012).

Gambar 2.6 Morfologi Toxoplasma gondii (Dubey et al, 1998).

Siklus Hidup

Siklus hidup Toxoplasma gondii memiliki dua fase. Bagian seksual dari
siklus hidup hanya terjadi pada kucing, baik domestik maupun liar (keluarga
Felidae), yang membuat kucing menjadi hospes definitif parasit. Tahap kedua,
bagian aseksual dari siklus hidup, dapat terjadi di lain hewan berdarah panas,

11
termasuk kucing, tikus, manusia, dan burung. Host reproduksi aseksual terjadi
disebut hospes perantara (Satoskar, 2009).

Hewan Pengerat adalah hospes perantara yang khas. Dalam kedua jenis
host, parasit Toxoplasma menyerang sel dan membentuk ruang yang disebut
vakuola. Di dalam vakuola khusus yang disebut vakuola parasitophorous, bentuk
parasit bradyzoites, perlahan mereplikasi parasit. Vakuola yang berisi kista bentuk
reproduksi bradyzoites terutama dalam jaringan otot dan otak. Karena parasit
berada di dalam sel, mereka aman dari sistem kekebalan inang yang tidak
menanggapi kista (Satoskar, 2009).

Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari Toxoplasma


gondii. Di dalam usus kecil kucing sporozoit menembus sel epitel dan tumbuh
menjadi trofozoit. Inti trofozoit membelah menjadi banyak sehingga terbentuk
skizon. Skizon matang pecah dan menghasilkan banyak merozoit (skizogoni).
Daur aseksual ini dilanjutkan dengan daur seksual. Merozoit masuk ke dalam sel
epitel dan membentuk makrogametosit dan mikrogametosit yang menjadi
makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah terjadi pembuahan terbentuk
ookista, yang akan dikeluarkan bersama kotoran kucing. Di luar tubuh kucing,
ookista tersebut akan berkembang membentuk dua sporokista yang masing-
masing berisi empat sporozoit (sporogoni). Apabila ookista tertelan oleh mamalia
seperti domba, babi, sapi dan tikus serta ayam atau burung, maka di dalam tubuh
hospes perantara akan terjadi daur aseksual yang menghasilkan takizoit. Takizoit
akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara berangsur
kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista
biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten) (Satoskar, 2009).

Resistensi Toxoplasma untuk antibiotik bervariasi, tetapi kista sangat sulit


untuk diberantas sepenuhnya. Di dalam vakuola, Toxoplasma gondii sampai pada
sel yang terinfeksi parasit dan mengisi dengan semburan, melepaskan takizoit,
bentuk, dan motil secara reproduksi aseksual parasit. Berbeda dengan bradyzoites,
maka takizoit bebas biasanya efisien dibersihkan oleh sistem kekebalan inang,

12
meskipun beberapa dari mereka berhasil menginfeksi sel dan bradyzoites dengan
cara mempertahankan infeksi pada jaringan kista yang tertelan oleh kucing
(misalnya, dengan memberi makan pada tikus yang terinfeksi) (Satoskar, 2009).

Kista bertahan hidup melalui perut kucing dan parasit menginfeksi epitel
dari usus kecil di mana mereka mengalami reproduksi seksual dan pembentukan
ookista. Ookista berasal dari feses. Hewan dan manusia yang menelan ookista
(misalnya, dengan makan sayuran yang tidak dicuci) atau terinfeksi jaringan kista
dalam daging yang dimasak secara tidak benar. Parasit memasuki makrofag pada
lapisan usus dan didistribusikan melalui aliran darah ke seluruh tubuh (Satoskar,
2009).

Gambar 2.7 Siklus Hidup Toxoplasma Gondii (Dubey et al, 1998)

2.3.4 Entamoeba coli

Phylum : Sarchomastigophora
Sub Phylum : Sarcodina
Famili : Endamoeba
Genus : Entamoeba
Spesies : Entamoeba coli

13
Morfologi

Entamoeba coli merupakan spesies tidak patogen. Menyerang manusia


dan hewan lain. Habitat dari protozoa ini adalah pada caecum dan colon. Daerah
penyebarannya yaitu pada daerah tropis dan subtropis. Bentuk trofozoit berukuran
15-50 mikron, relatif lebih besar dari spesies Entamoeba lainnya. Inti mempunyai
endosom lebih besar dan letaknya di perifer. Sitoplasma terdapat vokuola
makanan yang hanya berisi reruntuhan sel atau bakteri. Gerakan lamban dan
pseudopodia tidak membentuk jari tangan. Kista berdiameter 10-30 mikron, kista
dewasa berinti 8, badan kromatin (chromatoid body/bars) berujung agak bulat
(Satoskar, 2009).

Gambar 2.8 Morfologi Entamoeba coli (Verweij, 2003).

Siklus Hidup

Siklus hidup dimulai dari manusia atau hewan menelan makanan dan
minuman yang terkontaminasi oleh parasit tersebut, di lambung parasit tersebut
tercerna, tinggal bentuk kista yang berinti empat (kista masak) yang tahan
terhadap asam lambung masuk ke usus. Disini karena pengaruh enzym usus yang
bersifat netral dan sedikit alkalis, dinding kista mulai melunak, ketika kista
mencapai bagian bawah ileum atau caecum terjadi excystasi menjadi empat
amoebulae. Amoebulae tersebut bergerak aktif, menginvasi jaringan dan membuat
lesi di usus besar kemudian tumbuh menjadi trophozoit dan mengadakan
multiplikasi disitu, proses ini terutama terjadi di caecum dan sigmoidorectal yang
menjadi tempat habitatnya. Dalam pertumbuhannya amoeba ini mengeluarkan

14
enzym proteolytic yang melisiskan jaringan disekitarnya kemudian jaringan yang
mati tersebut diabsorpsi dan dijadikan makanan oleh amoeba tersebut. Amoeba
yang menginvasi jaringan menjalar dari jaringan yang mati ke jaringan yang
sehat, dengan jalan ini amoeba dapat memperluas dan memperdalam lesi yang
ditimbulkannya, kemudian menyebar melalui cara percontinuitatum, hematogen
ataupun lymphogen mengadakan metastase ke organ-organ lain dan menimbulkan
amoebiasis di organ-organ tersebut. Metastase tersering adalah di hepar terutama
lewat hematogen (Suwanti, 2012).

Setelah beberapa waktu oleh karena beberapa keadaan, kekuatan invasi


dari parasit menurun juga dengan meningkatnya pertahanan dan toleransi dari host
maka lesi mulai mengadakan perbaikan. Untuk meneruskan kelangsungan
hidupnya mereka lalu mengadakan encystasi, membentuk kista yang mula-mula
berinti satu, membelah menjadi dua, akhirnya menjadi berinti empat kemudian
dikeluarkan bersama-sama tinja untuk membuat siklus hidup baru bila kista
tersebut tertelan (Suwanti, 2012).
Parasit ini mengalami fase pre dan meta dalam daur hidupnya yaitu:
Trophozoit—Precyste—Cyste—Metacyste—–Metacyste Trophozoit.

Trophozoit yang mengandung beberapa nukleus (uni nucleate trophozoit)


kadang tinggal di bagian bawah usus halus, tetapi lebih sering berada di colon dan
rectum dari orang atau monyet serta melekat pada mukosa. Hewan mamalia lain
seperti anjing dan kucing juga dapat terinfeksi. Trophozoit yang motil berukuran
18-30 um bersifat monopodial (satu pseudopodia besar). Cytoplasma yang terdiri
dari endoplasma dan ektoplasma, berisi vakuola makanan termasuk erytrocyt,
leucocyte, sel epithel dari hospes dan bakteria. Di dalam usus trophozoit
membelah diri secara asexual. Trophozoit menyusup masuk ke dalam mukosa
usus besar di antara sel epithel sambil mensekresi enzim proteolytik. Di dalam
dinding usus tersebut trophozoit terbawa aliran darah menuju hati, paru, otak dan
organ lain. Hati adalah organ yang paling sering diserang selain usus. Di dalam
hati trophozoit memakan sel parenkim hati sehingga menyebabkan kerusakan hati.
Invasi amoeba selain dalam jaringan usus disebut amoebiasis sekunder atau ekstra

15
intestinal. Trophozoit dalam intestinal akan berubah bentuk menjadi precystic.
Bentuknya akan mengecil dan berbentuk spheric dengan ukuran 3,5-20 um.
Bentuk cyste yang matang mengandung kromatoid untuk menyimpan unsur
nutrisi glycogen yang digunakan sebagai sumber energi. Cyste ini adalah bentuk
inaktif yang akan keluar melalui feses (Taylor, 2007).

Cyste sangat tahan terhadap bahan kimia tertentu. Cyste dalam air akan
bertahan sampai 1 bulan, sedangkan dalam feses yang mengering dapat bertahan
sampai 12 hari. Bila air minum atau makanan terkontaminasi oleh cyste E.
histolytica, cyste akan masuk melalui saluran pencernaan menuju ileum dan
terjadi excystasi, dinding cyste robek dan keluar amoeba multinucleus metacystic
yang langsung membelah diri menjadi 8 uninucleat trophozoit muda disebut
amoebulae. Amoebulae bergerak ke usus besar, makan dan tumbuh dan membelah
diri asexual. Multiplikasi (perbanyakan diri) dari spesies ini terjadi dua kali dalam
masa hidupnya yaitu: membelah diri dengan “binary fission” dalam usus pada
fase trophozoit dan pembelahan nukleus yang diikuti dengan cytokinesis dalam
cyste pada fase metacystic (Taylor, 2007).

Gambar 2.9 Siklus Hidup Entamoeba coli (Verweij, 2003).

16
2.3.5 Isospora sp.

Kingdom : Protista
Subkingdom : Biciliata
Phylum : Apicomplexa
Class : Conoidasida
Subclass : Coccidiasina
Order : Eucoccidiorida
Suborder : Eimeriorina
Famili : Eimeriidae
Genus : Isospora

Morfologi

Genus Isospora memiliki berbentuk oval, Ookista Isospora berukuran 25-


33 mikron. Dinding lapis dua, rata & tidak berwarna, sitoplasma bergranula &
mempunyai satu inti. Ookista menjadi matang dalam wkt 1-5 hr. Sporokista
menghasilkan 4 sporozoit yang bentuknya memanjang & mempunyai satu inti.
Infeksi terjadi bila tertelan ookista / sporokista matang (Blagburn, 2010).

Gambar 2.10 Bentuk dari Isospora (Blagburn, 2010).


Siklus Hidup

Ookista yang belum matang keluar bersama tinja orang yang terinfeksi,
yang mengandung sporoblas. Dalam pematangan lebih lanjut setelah ekskresi,
sporoblast membagi dalam dua (ookista berisi dua sporoblasts). Sporoblasts

17
mensekresikan dinding kista, sehingga menjadi sporocysts, dan sporocysts
membagi dua kali untuk menghasilkan empat sporozoit. Pada mana fase ini,
ookista atau sporokista sudah matang. Infeksi terjadi jika Ookista atau sporokista
yang sudah matang tertelan. Kemudian sporokista masuk ke dalam usus,
khususnya di bagian Vili Usus manusia dan setelah itu sporokista melepaskan
spozoit (Suwanti, 2012).

Gambar 2.8 Siklus hidup Isospora (Blagburn, 2010).

2.4 Metode Identifikasi

Pemeriksaan endoparasit pada feses dapat dilakukan dengan beberapa


cara, yaitu pemeriksaan dengan metode Merthiolate Iodine Formaldehyde (MIF),
Metode Selotip, Teknik Kato, Metode Sedimentasi Formol Ether, Metode Natif
dan Metode Pengapung Dengan Sentrifugasi (Natadisastra, 2009).

Menurut Natadisastra (2009), metode yang digunakan untuk identifikasi


endoparasit pada saluran pencernaan yaitu :

2.4.1 Metode Natif

Metode Natif merupakan metode pemeriksaan feses yang secara langsugn.


Pada umumnya metode tersebut digunakan untuk pemeriksaan kasus infeksi berat.

18
Pemeriksaan endoparasit dengan metode natif digunakan larutan fisisologis, tetapi
dapat juga digunakan dengan aquades ataupun eosin.

2.4.2 Metode Apung dengan Sentrifugasi


Metode Apung dengan Sentrifugasi merupakan metode yang
menggunakan larutan garam jenuh kemudian dicampur dengan sampel feses dan
disentrifugasi. Cara kerja dari metode tersebut adalah berdasarkan berat jenis
parasit yang lebih ringan daripada berat jenis larutan sehingga parasit terapung
dipermukaan dan terpisah dari kotoran. Larutan yang digunakan adalah NaCl
jenuh dan menggunakan alat tambahan berupa alat sentrifugasi (Natadisastra,
2009).
2.4.3 Metode Merthiolate Iodine Formaldehyde (MIF)
Metode Merthiolate Iodine Formaldehyde (MIF) merupakan metode yang
digunakan untuk mendiagnosa secara laboratoris adanya telur cacing, amoeba dan
Giardia lamblia di dalam feses. Zat-zat yang digunakan pada metode MIF terdiri
dari dua larutan dasar. Larutan dasar pertama terdiri dari aquades, larutan
Thimerosal (Methiolate), larutan formaldehid 35% dan gliserin. Dan larutan
kedua terdiri dari larutan lugol.

2.4.4 Metode Selotip


Metode selotip adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur
Enteribius vermicularis dilakukan dengan menggunakan plester plastik yang tipis
dan bening, dipotong dengan ukuran 2x15 cm. Prinsip kerja metode ini adalah
mengamati telur cacing Enteribius vermicularis pada plester yang sebelumnya
telah ditempelkan pada permukaan lubang anal.

2.4.5 Metode Sediaan Tebal Atau Teknik Kato


Metode sediaan tebal atau teknik kato umumnya digunakan pada
pemeriksaan feses secara masal karena kebih sederhana dan murah. Metode ini
mengguanakan selipan dan larutan untuk memulas selopan dari 100 bagian
aquades atau 6% fenol, 100 bagian gliserin dan satu bagian larutan hijau malachit
3%.

19
2.4.6 Metode Sedimentasi Formal Ether
Metode sedimentasi formol ether merupakan metode yang cukup baik
untuk pemeriksaan endoparasit feses tidak segar atau telah diambil beberapa hari
sebelumnya. Metode tersebut digunakan untuk menemukan telur cacing golongan
trematoda dan kista protozoa.

Setiap metode pemeriksaan memiliki keunggulan dan kekurangan masing-


masing. Metode yang paling sering digunakan adalah metode Natif dan Metode
Pengapung Dengan Sentrifugasi karena metode tersebut lebih praktis dan hampir
semua jenis parasit dapat diidentifikasi (Hernasari, 2011). Untuk pemeriksaan
feses pada kucing di klinik hewan atau rumah sakit hewan menggunakan metode
Natif dan Pengapung dengan Sentrifugasi, karena praktis dan dapat
mengidentifikasi semua jenis parasit pada hewan kecil (Pradana, 2015).

2.5 Penanganan Endoparasit


Setiap jenis penyakit terdapat penanganan yaitu berupa pencegaha dan
pengobatan. Penanganan pada kasus endoparasit pada saluran pencernaan pada
kucing dapat dilakukan dengan memutus siklus hidup cacing atau protozoa yang
terdapat pada kucing. Penanganan penyakit dapat dilakukan dengan pencegahan,
pengobatan dan menejemen pemeliharaan. Penanganan penyakit bertujuan untuk
mengurangi kembali terjadinya penyakit dan juga mencegah terjadinya penularan
dari hewan satu ke hewan yang lainnya atau dari hewan ke manusia dan
sebaliknya dari manusia ke hewan.

2.5.1 Pencegahan
Pencegaha merupakan tindakan yang dilakukan agar tidak terjadinya
penyakit yang tidak diinginkan. Pencegaha endoparasit pada kucing dapat
dilakukan denga (Urquhart, 2003):
a. Pemberian obat cacing secara teratur
b. Higienitas pakan dan lingkungan,
c. Kontrol terhadap populasi hospes intermedier dan paratenik

20
d. Pemeriksaan feses harus dilakukan segera setelah anak kucing lepas masa sapih
4 – 8 minggu setelah treatment berakhir
e. Pemeriksaan reguler setahun sekali, dan sebelum betina dikawinkan.
f. Pemberian obat cacing minimal 1 tahun sekali
g. Mencegah pembuangan tinja anjing atau kucing peliharaan secara sembarangan
terutama di tempat bermain anak-anak dan kebun sayuran

2.5.2 Pengobatan
Pengobata merupakan tindakan yang dilakukan ketika hewan terkena
penyakit, dan obat yang diberikan dapat memberikan efek penyembuhan terhadap
penyakit tersebut. Banyak obat cacing membunuh cacing dewasa, tetapi tidak
berefek terhadap larva yang bermigrasi maupun larva dalam kista. Karena itu
banyak yang menganjurkan pengulangan pemberian obat cacing 2 – 4 minggu
setelah treatment terakhir. Pada saat treatment terakhir, kebanyakan larva masih
bermigrasi, dan saat treatment dilakukan kedua kalinya diharapkan larva telah
sampai di usus dan bisa terbunuh oleh obat cacing (Estuningsih, 2005).
Benzimidazoles merupakan obat cacing yang efektif untuk membunuh
larva Toxocara cati pada kucing. Pengobatan cutaneous larva migrans
menggunakan Chlorethyl. Obat cacing lainnya adalah thiabendazole, ivermectin,
albendazole, mebendazole, thiabendazole, albendazole, dan mebendazole.
Obat suportif seperti anti alergi dan antibiotika (Urquhart, 2003).

2.5.3 Menejemen Pemeliharaan


Penanganan suatu penyakit pada umumnya dilakukan dengan pencegahan
dan pengobatan. Selain penanganan tersebut terdapat juga penanganan dengan
memperhatikan menejemen pemeliharaan. Menejemen pemeliharaan sangat
penting dalam memutus siklus hidup parasit tersebut. Menejemen pemeliharaan
ini dapat berupa memperhatikan pemberian pakan dan minum, kebersihan
kandang maupun kebersihan lingkungan sekitar, dan kebersihan hewan
(Estuningsih, 2005).

21
BAB III
METODE KEGIATAN

3.1 Waktu dan Lokasi Kegiatan


Praktek Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan di Klinik Hewan Kayu Manis,
Yogyakarta. Pelaksanaan PKL selama satu bulan, dimulai dari tanggal 16 januari
2017 sampai dengan tanggal 16 Februari 2017.

3.2 Metode Praktek Kerja Lapang


Sasaran dari pelaaksanaan PKL ini adalah pasien hewan kucing yang
berada di Klinik Hewan Kayu Manis. Pengumpulan data sebagai bahan kajian
dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder.
a. Data primer penulis menggunakan beberapa metode, yaitu:
- Wawancara
Kegiatan ini dilakukan dengan cara diskusi dengan pihak-pihak
yang terkait, baik itu dokter hewan dan paramedis.
- Observasi lapang
Observasi lapang dilakukan selama berlangsungnya kegiatan PKL
dengan cara mengamati dan mencatat secara langsung kondisi yang terjadi
di lapang.

b. Sumber data sekunder yang penulis gunakan yaitu berasal dari buku
rekording kesehatan hewan, buku, jurnal, serta penulusuran dengan
memanfaatkan teknologi internet.
3.3 Parameter Kegiatan

Parameter yang diamati pada PKL (Praktek Kerja Lapang) ini meliputi
jumlah kucing yang terkena endoparasit, mengidentifikasi endoparasit
berdasarkan pemeriksaan feses pada kucing, dan penaganan yang sudah dilakukan
untuk penyakit endoparasit.

22
3.4 Jadwal Kegiatan PKL

Jadwal pelaksanaan kegiatan PKL mahasiswa Program Studi Kedokteran


Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya di Klinik Hewan Kayu
Manis Yogyakarta tertera pada tabel di bawah ini (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan PKL mahasiswa Fakultas Kedokteran hewan di


Klinik Hewan Kayu Manis Yogyakarta
Hari/Tanggal Jenis Kegiatan Pelaksanaan
15 Januari 2017 - Penerimaan - Manager Klinik
Mahasiswa PKL Hewan Kayu Manis
- Briefing - Dokter Hewan
Pembimbing
Lapang
16 Januari-16 Februari - Pelaksanaan - Mahasiswa PKL
2017 PKL
16 Februari 2017 - Pelepasan - Manager Klinik
Mahasiswa PKL Hewan Kayu Manis
- Dokter Hewan
Pembimbing
Lapang

23
3.5 Biodata Peserta PKL
Peserta yang akan melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang
(PKL) di Klinik Hewan Kayu Manis Yogyakarta yaitu :
Nama : Dicky Yoga Prasetia
NIM : 135130107111044
Jurusan : Program Studi Dokteran Hewan
Fakultas : Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas : Universitas Brawijaya
Alamat : Jl. Sumber Sari Gang 2 No. 86 kecamatan
Lowokwaru, kota Malang
Nomor Handphone : 089674280256
Email : ydicky14@yahoo.com

24
DAFTAR PUSTAKA

Assafa D., Kibru E. S., Nagesh, Gebreselassie S., Deribe F., Ali J. 2004. Medical
Parasitology. USAID. Amerika
Bashofi A. S., Soviana S., Ridwan Y., 2014. Infestrasi Pinjal dan Dipylidium
caninum (Linnaeus) pada kucing liar di lingkungan kampus Institut
Pertanian Bogor Kecamatan Dramaga. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Boogor. Bogor. ISSN: 1829-7722
Blagburn B. 2010. Internal Parasites of Dogs dan Cats. College of Veterinary
Medicin. Auburn University. Canada
Dubey JP., Lindsay DS., dan Speer CA., 1998. Structures of Toxoplasma gondii
Tachyzoites, Bradyzoites, and Sporozoites and Biology and Developmnet of
Tissue Cysts. CMR, 11(2): 267-299
Estuningsih, S. E., 2005. Toxocariasis Pada Hewan Dan Bahayanya Pada
Manusia. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Wartazoa Vol. 15 No . 3.
Gallas, M. 2013. Toxocara cati (Schrank, 1788) (Nematoda, Ascarididae) in
different wild feline species in Brazil: new host records. Departamento de
Biologia, Museu de Ciências Naturais Universidade Luterana do Brasil.
ISSNe 2175-7925
Koesdarto S., Mahfudz, Mumpuni S., Kusnoto. 2014. Perbedaan Struktur dan
Morfologi diantara Telur Cacing Toxocara. Lab Helmintologi FKH Unair.
Surabaya
Kusnoto. 2008. Karakteristik Molekuler Protein Toxocara cari dan Toxocara
canis untuk Pengembangan Diagnostik Toxocariasis. Program
Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya
Natadisastra, D., Agoes R., 2009. Parasitologi kedokteran: Ditinjau dari organ
tubuh yang diserang. Penerbitbuku kedokteran EGC, Jakarta: xxi+450 hlm
Pinto H. A., Mati V. L. T., Melo A. L., 2014. Toxocara cati (Nematoda:
Ascarididae) in Didelphisalbiventris (Marsupialia: Didelphidae) from
Brazil: a case of pseudoparasitism. Laboratório de Taxonomia e Biologia
de Invertebrados, Departamento de Parasitologia, Instituto de Ciencias

25
Biológicas, Universidade Federal de Minas Gerais – UFMG, Belo
Horizonte, MG, Brasil. ISSN 0103-846X (Print) / ISSN 1984-2961
(Electronic)
Pradana D. P., Haryono T., Ambarwati R., 2015. Identifikasi Cacing Endoparasit
pada Feses Ayam Pedaging dan Ayam Petelur. Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Surabaya.
ISSN: 2252-3979.
Sandjaja, B. 2007. Parasitologi kedokteran: Protozoologi kedokteran. Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta: xxii+322 hlm
Satoskar A. R., Simon G. L., Hotez J. P. Dan Tsuji M. 2009. Medical
Parasitology. Landes Bioscience, 1002 West Avenue, Austin, Texas
78701, USA
Shah, M. M., 2012. PARASITOLOGY. Janeza Trdine, Rijeka. Croatia
Subekti S. BS., Koesdarto S., Kusnoto, Sosiawati S. M., 2010. Buku Ajar
Helmintologi Veteriner. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
Surabaya
Subekti S. BS., Koesdarto S., Sosiawati S. M., Kusnoto. 2014. Buku Teks
Helmintiasis Veteriner. Global Persada Press. Surabaya
Suwanti L. T., Lastuti N. D. R., Suprihati E., dan Mufasirin. 2012. Buku Ajar
Protozoology Veteriner. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
Surabaya
Suwed, M.A., R.M. Napitupulu. 2011. Panduan Lengkap Kucing. Penerbit
Swadaya. Bogor. 18-23.
Taylor, M. A., Coop R. L. Dan Wall. R. L. 2007. Veterinary parasitologi. 3rd ed.
Blackwell Publishing Ltd. Oxford: xxvi+874 hlm
Urquhart G. M., Arrmour J., Dungan J. L., Dunn A. M., Jennings F. W. 2003.
Veterinary Parasitologi second edition. The Faculty od Veterinary
Medicine, The University of Glasgow. Scotland
Verweij J. J., Laeijendecker D., Brienen EA, Van Lieshout L., Polderman A. M.
2003. Detection and Identification of Entamoeba Spesie in Stool Samples
by a Reverse Line Hybridization Assay. 41(11): 5041-5.

26

Anda mungkin juga menyukai