Anda di halaman 1dari 44

/’

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Toxocariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing dari genus

Toxocara. Terdapat tiga spesies Toxocara yaitu Toxocara canis menyerang pada

anjing, Toxocara cati menyerang pada kucing, dan Toxocara vitulorum menyerang

pada sapi, zebra, dan kerbau. Toxocara spp tidak saja berbahaya bagi hospes,

tetapi juga dilaporkan dapat menginfeksi manusia, sehingga tergolong penyakit

zoonosis dan kucing merupakan hospes definitif dari spesies ini (Sianturi et al.,

2016).

Toxocariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing gelang pada anjing

(Toxocara canis) atau pada kucing (Toxocara cati). Toxocara canis lebih sering

menyebabkan Toxocariasis dibanding Toxocara cati. Toxocara merupakan genus cacing

nematoda dari ordo Ascarida, Family Toxocaridae. Telur dari parasit-parasit ini dapat

ditemukan pada feses hewan yang terinfeksi. Feses bercampur dengan tanah, sehingga

menyebabkan penularan sampai ke manusia. Manusia dapat terinfeksi bila mereka

mengkonsumsi sayuran yang tumbuh pada tanah yang terkontaminasi telur Toxocara cati

yang belum dimasak dengan sempurna. Anak kecil yang punya kebiasaan memakan

makanan yang tak seharusnya seperti pasir atau tanah memiliki resiko terinfeksi lebih

tinggi. Namun, orang dewasa juga tidak tertutup kemungkinan terinfeksi (Woodhall et al.,

2013).
/’
2

Infeksi Toxocara pada kucing dapat didiagnosa secara langsung berdasarkan

dari berbagai gejala klinis yang muncul. Peneguhan diagnosa dapat dipertegas

dengan ditemukannya cacing Toxocara cati dalam feses dan dari riwayat penyakit

yang pernah diderita oleh kucing tersebut. Telur Toxocara memiliki ciri-ciri yaitu

berbentuk bulat berwarna kecokelataan, permukaan berbintik dan memiliki

dinding luar yang tebal. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan beberapa

metode, seperti metode natif dan metode apung (Estuningsih, 2005).

Toxocara cati merupakan parasit yang paling banyak ditemukan menginfeksi

kucing. Mikaeli et al., (2013) melaporkan 8 dari 30 kucing ditangkap di Kota

Shiraz, Iran Selatan terinfeksi oleh cacing Toxocara. Anak kucing lebih rentan

mengalami infeksi dari pada kucing dewasa yang berhubungan dengan proses

penularan cacing ini. Toxocara cati hanya dapat menular pada kucing secara

peroral dengan menelan telur infektif dan hospes paratenic (cacing tanah, kecoa,

dan rodent) dan secara transmammary (Borji et al., 2011).

Telur cacing yang baru dikeluarkan Bersama feses belum infektif. Larva

berkembang dengan kondisi lingkungan yang sesuai sehingga mencapai stadium

larva tiga yang infektif. Larva infektif setelah tertelan oleh kucing akan bermigrasi

melalui vena porta menuju hati dan paru-paru dan kemudian dibatukkan sehingga

kembali ke saluran pencernaan dan dewasa di usus halus. Tidak semua larva akan

mencapai tahap dewasa terutama pada hewan betina. Larva akan dorman di otot

dan saat kucing hamil, larva akan kembali aktif dan ditularkan secara

transmammary (Bowman et al., 2002).


/’
3

Toxocariasis juga tersebar secara kosmopolit, ditemukan di Indonesia, Jakarta

dengan prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26% (Sariego, 2012).

Sedangkan angka kejadian Toxocara cati pada kucing liar di Surabaya adalah

sebesar 60,9% dan kejadiannya lebih tinggi pada jantan dibandingkan betina

(Kusnoto, 2005).

Pemeriksaan feses dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya Toxocara

cati yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga dimaksudkan untuk mendiagnosa

tingkat infeksi Toxocara cati pada kucing liar dan kucing peliharaan yang terjadi

di Perumahan Pantai Mentari Kecamatan Bulak Kota Surabaya. Kucing yang

berkeliaran sering dijumpai dalam kondisi kurus dan kotor, penyakit ini sangat

berbahaya bagi kesehatan hewan maupun manusia. Oleh karena itu, perlu

dilakukan “Prevalensi Toxocara cati pada Feses Kucing Liar dan Kucing

Peliharaan di Perumahan Pantai Mentari Kecamatan Bulak Kota Surabaya”

menggunakan metode uji natif dan metode uji apung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat

diuraikan rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut : Bagaimanakah Prevalensi Toxocara cati pada feses kucing liar

dan kucing peliharaan di Perumahan Pantai Mentari Kecamatan Bulak Kota

Surabaya?
/’
4

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas,

maka, tujuan pada penelitian ini adalah : Untuk mengetahui prevalensi Toxocara

cati pada feses kucing liar dan kucing peliharaan di Perumahan Pantai Mentari

Kecamatan Bulak Kota Surabaya.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai

Prevalensi Toxocara cati pada feses kucing liar dan kucing peliharaan di

Perumahan Pantai Mentari Kecamatan Bulak Kota Surabaya.


/’
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Kucing


Kucing merupakan salah satu hewan peliharaan popular yang banyak

dipelihara oleh masyarakat. Kesehatan kucing merupakan salah satu aspek yang

perlu diperhatikan. Kucing yang dipelihara tidak terlepas dari penyakit infeksius

dan dapat berperan dalam penyebaran berbagai jenis penyakit. Beberapa penyakit

yang sering dijumpai pada kucing disebabkan oleh parasit cacing, seperti

Toxocariasis. Infeksi parasit ini dapat menyerang anak kucing dan kucing dewasa

(Estuningsih, 2005). Salah satu manfaat memelihara kucing adalah mengurangi

gejala penyakit autisme jika penderita autisme sering berinteraksi dengan kucing

(Mase dkk, 2018).

Menurut Ratmus (2000) Klasifikasi kucing adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vetebrata

Kelas : Mamalia

Sub Kelas : Theria

Sub Ordo : Fissipedia Felidae

Sub Famili : Machairodonynae

Genus : Fellis

Spesies : Fellis catus (Kucing Lokal)


/’
6

Gambar 2.1 Kucing (Felis catus) (Effendi dan Budiana, 2014).

Kucing adalah hewan yang popular dan banyak dipelihara oleh manusia

karena dianggap sebagai sehabat bagi manusia, bahkan dijadikan sebagai anggota

keluarga oleh pemelihara kucing. Di mesir, kucing telah dijadikan binatang

peliharaan sejak lama. Sistem pemeliharaan kucing dikategorikan menjadi tiga

yaitu Stray cats, Feral cats dan Domestic pet cats. Stray cats adalah kucing yang

hidup bebas tanpa pemilik di daerah perkotaan dan hanya mengandalkan makanan

dari manusia tetapi dengan cara mencari makanan sendiri. Feral cats adalah

kucing yang hidup liar di tempat yang sangat jauh dari kehidupan manusia seperti

di hutan, kucing dengan kategori ini mencari makanan dari hasil berburu.

Domestic pet cats adalah kucing yang hidup satu rumah bersama pemiliknya,

semua kebutuhan mulai dari makanan, minuman, pemberian kesehatan diberikan

oleh pemiliknya (Hildreth et al., 2010).

Kucing yang dipelihara tidak lepas dari penyakit yang infeksius. Faktor yang

dapat mempengaruhi kejadian prevalensi infeksi parasit adalah faktor lingkungan


/’
7

dan faktor internal kucing (Nealma, 2013). Telur infektif Toxocara cati

memungkinkan berada dalam lingkungan yang tidak bersih, sehingga akan

menyebabkan kucing mudah untuk terinfeksi. Kucing yang terinfeksi Toxocara

cati menunjukan gejala pembesaran perut, muntah, diare, dan kekurusan. Pada

negara tropis, kucing yang terinfeksi Toxocara cati dapat dilihat melalui gejala

kulit seperti bulu kusam atau rontok (Guilherme et al., 2013).

Kucing yang terinfeksi dapat mengeluarkan telur Toxocara cati melalui feses

ke lingkungan. Telur cacing berada dilingkungan belum infektif karena

membutuhkan waktu 10-15 hari untuk menjadi telur dewasa yang infektif,

kemudian mengalami proses migrasi melalui pembuluh darah vena porta hati dan

paru-paru ketika larva infektif tertelan oleh kucing, kemudian dibatukkan

sehingga kembali ke saluran pencernaan dan dewasa di usus halus. Tidak semua

larva akan mencapai tahap dewasa terutama pada hewan betina. Larva akan

dorman di otot dan saat kucing bunting, larva akan kembali aktif dan ditularkan

secara transmammary (Joob et al., 2016).

Toxocariasis pada manusia dapat mengakibatkan Visceral Larva Migran

(VLM) yaitu keadaan dimana larva Toxocara cati yang masuk ke dalam tubuh

bermigrasi (berpindah) ke organ organ visceral (dalam) seperti hati, jantung,

pancreas, mata, paru-paru dan saluran pernafasan. Selain itu, Toxocariasis juga

mengakibatkan Ocular Larva Migran (OLM) yang disebabkan oleh migrasi larva

hingga mengakibatkan peradangan pada mata (Woodhall et al., 2013). VLM dan

OLM umumnya diderita oleh anak-anak yang mudah terpapar Toxocariasis karena

sering bermain di tempat kotor yang terkontaminasi oleh kotoran kucing atau
/’
8

akibat kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan. Namun, dapat juga dapat

diderita oleh orang dewasa. Organ yang paling sering mengalami kerusakan akibat

infeksi Toxocara cati adalah paru-paru, hati, dan sistem saraf pusat (Wees et al.,

2011). Tidak semua penderita Toxocariasis akan mengalami gejala serupa sebab

tanda klinis Toxocariasis tergantung pada bagian tubuh yang terinfeksi (Sing et

al., 2015).

Higiene personal dan sanitasi lingkungan berpengaruh terhadap kejadian

infeksi Toxocara cati pada manusia khususnya pemilik kucing (Nealma et al.,

2013). Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan

higiene personal dan sanitasi lingkungan rumah pemilik kucing. Membersihkan

kandang atau pasir, mencuci tangan setelah bermain dengan kucing serta pemilik

kucing memotong kuku merupakan tindakan hygiene personal yang seharusnya

dimiliki oleh pemilik kucing. Mencuci tangan setelah membersihkan kandang atau

pasir dengan menggunakan sabun atau desinfektan memiliki resiko lebih kecil

dibandingkan yang tidak menggunakan sabun atau desinfektan (Nealma et al.,

2013). Membuang kotoran atau feses kucing sebaiknya dilakukan terpisah dengan

sampah rumah atau dibuatkan lubang khusus untuk pembuangan kotoran atau

feses kucing. Penularan Toxocariasis dari hewan ke manusia dapat dilakukan

dengan melakukan penyuluhan kesehatan baik pada kesehatan kucing maupun

pemilik kucing dan juga dibutuhkan peran dan dukungan pemerintah setempat

dalam mensosialisasikan hal tersebut.

Siklus hidup cacing Toxocara cati hanya dapat berlangsung secara sempurna

di tubuh kucing. Larva tidak dapat berkembang menjadi dewasa jika berada
/’
9

di dalam tubuh hospes paratenic termasuk manusia (Sariego, 2012). Larva akan

bermigrasi dan menimbulkan lesi dan kerusakan jaringan sehingga menyebabkan

timbulnya reaksi inflamasi yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada

jaringan (Borji et al., 2011).

Toxocara cati tersebar diberbagai negara tropis dan subtropis. Iklim

merupakan faktor utama dalam penyebaran infeksi nematoda usus yang ditularkan

melalui tanah. Suhu dan kelembaban yang tinggi penting bagi perkembangan larva

dalam tanah. Suhu optimal untuk perkembangan Toxocara cati yaitu 30°C dengan

kelembaban ± 80%. Indonesia yang beriklim tropis memiliki suhu dengan rata-

rata 27°C hingga 32°C dengan kelembaban 70-95% sehingga optimal untuk

perkembangan larva Toxocara cati (Noviastuti, 2015).

Gejala klinis tidak spesifik berupa demam, lesu, anorexia, lymphanodepati.

Gejala pulmonary berupa batuk, sesak nafas, gejala abdominal berupa nyeri

abdominal, hepatomegaly atau splenomegaly dapat timbul saat larva bermigrasi ke

paru-paru atau organ abdominal. Toxocara juga dapat bermigrasi ke sistem saraf

dan menimbulkan gejala neurologis yang tidak jelas seperti pusing, mual,

meningoencephalitis, atau eosinophilic encephalitis (Borji et al., 2011). Reaksi

inflammatory yang dapat menimbulkan luka secara permanen. Infeksi nematoda

dilaporkan oleh Wilder pada tahun 1950 setelah melakukan pemeriksaan pada

mata hasil eunkleasi dari seorang anak yang didiagnosa mengalami retinoblastoma

yang diidentifikasi pada tahun 1956 sebagai larva Toxocara cati (Woodhall et al.,

2013).
/’
10

Ocular Toxocariasis biasanya bersifat unilateral. Gejala klinis yang

dikeluhkan penderita adalah kehilangan pengelihatan atau penurunan kualitas

pengelihatan. Pasien anak-anak mengalami juling (Strabismus), fotofobia, nyeri

mata dan mata kemerahan (Woodhall et al., 2013). Perbedaan antara larva cacing

Toxocara cati dan Toxocara canis yaitu berdasarkan diameter. Diameter larva

Toxocara cati tidak pernah lebih dari 18m.

Berdasarkan jenis kelamin Toxocara cati lebih banyak menginfeksi pada

induk jantan daripada induk betina karena induk betina yang terinfeksi larva kedua

tidak akan berkembang menjadi larva ketiga dan akan berkembang menjadi

dormansi dan tetap tinggal didalam jaringan. Larva ketiga akan berkembang

dalam jaringan pada saat induk betina bunting dan pada masa menjelang kelahiran

akan terjadi transplasental infection. Jenis kelamin tidak akan menjadi faktor

resiko sebab tidak ada perbedaan yang mencolok dalam kucing jantan maupun

kucing betina (Symeonidou et al., 2018).

2.2 Klasifikasi Toxocara cati


Klasifikasi cacing Toxocara cati menurut Kusumamiharja (1993) adalah

sebagai berikut:

Filum : Aschelminthes

Kelas : Nematoda

Ordo : Ascarida

Famili : Ascarididae

Genus : Toxocara

Spesies : Toxocara cati


/’
11

Gambar 2.2 Telur Toxocara cati berbagai tahap perkembangan (Weese, 2011)

Gambar 2.3 Toxocara cati dewasa (Machado 2017)

2.3 Morfologi
Toxocara cati secara makroskopis pada cacing jantan berukuran 3 hingga 10

cm dan memiliki daerah posterior yang melengkung ke arah ventral, sedangkan

cacing betina dewasa memiliki ukuran bervariasi dari 10 hingga 15 cm dan daerah

posterior yang meruncing. Cacing dewasa berwarna krem, memiliki tiga bibir

besar disekitar mulut dan adanya dua cervical alae berbentuk sirip (Machado et

al., 2017). Tubuh cacing jantan memiliki panjang 19-73 mm dan lebar 0,42-0,83

mm diujung kerongkongan. Bibir dorsal memiliki Panjang 119,86-193,62 μm dan

lebar 110,64-221,28 μm. Bibir subventral panjang 8,98-221,28 μm dan lebar


/’
12

101,42-221,28 μm. Kloaka berukuran 119,86-230,50 μm sampai ujung ekor

(Gallas, 2013).

2.4 Siklus Hidup

Telur yang keluar bersama kotoran kucing akan berkembang menjadi telur

infektif ditanah yang cocok. Hospes defenitif dapat tertular baik dengan menelan

telur infektif atau dengan memakan hospes paratenik yang tinggal ditanah seperti

cacing tanah dan semut. Penularan larva pada anak anjing atau kucing dapat

terjadi secara transplasenta dari induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu

dari induk kucing yang terinfeksi telur tertelan hewan lain (Soedarto, 2008).

Manusia dapat terinfeksi dengan menelan telur infektif atau daging atau jeroan

yang kurang matang dari inang paratenik yang terinfeksi. Telur menetas dan larva

menembus dinding usus dan dibawa oleh sirkulasi ke berbagai jaringan (hati,

jantung, paru-paru, otak, otot, mata). Larva tidak mengalami perkembangan lebih

lanjut, tetapi dapat menyebabkan reaksi lokal dan kerusakan (CDC, 2019).

Gambar 2.4 Siklus Hidup Toxocara cati (Pappas and Wardrop, 2003).
/’
13

2.5 Patologi Toxocariasis

Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan menginfestasikan organ

dalam, khususnya di hati. Penyakit yang disebabkan larva yang menggembara ini

disebut Visceral Larva Migrans dengan gejala eosinophilia, demam, dan

hepatomegali. Dapat disebabkan oleh larva nematoda lain (Gunn et al., 2012).

Infeksi kronis biasanya ringan terutama menyerang anak-anak yang

belakangan ini cenderung menyerang orang dewasa disebabkan oleh migrasi larva

Toxocara dalam organ atau jaringan tubuh (Purbawaesa, 2010).

2.6 Jenis Cacing Nematoda Pada Kucing

2.6.1 Strongyloides cati

Strongyloides cati yang keluar bersama dengan feses kucing dapat

bertransmisi dari tanah yang terkontaminasi ke kulit manusia dan menyebabkan

Soil Transmitted Helminths atau STH (Digiulio, 2019). Menurut Taylor et al

(2016), klasifikasi genus Strongyloides adalah sebagai berikut, Kelas Nematoda;

Ordo Rhabditida; Famili Strongyloididae; Genus Strongyloides; Spesies

Strongyloides cat.

Gambar 2.5 Telur Strongyloides cati


(Diguilio,2019).
Cacing betina pada spesies ini mempunyai panjang 2,4-3,3 mm panjang (rata-
/’
14

rata 2,8 mm). Ekor dari parasit betina menyempit dan tumpul pada bagian ujung,

ovarium berbentuk lurus. Terlurnya berukuran 50-58x34 µm. Larva rhabditiform

dapat ditemukan pada feses segar hewan yang terinfeksi. Ukuran larva

rhabditiform 380x20 µm, esofagus pendek, genital primordium besar dan ovoid di

ventral dekat intestinal serta berekor runcing. Larva filariform berukuran 630x16

µm, esofagus setengah panjang badan, ujung ekor bercabang dua pendek atau fork

tail, tidak terdapat sarung atau sheath (Taylor et al, 2016).

Siklus hidup Strongyloides cati bergantian antara siklus hidup langsung atau

siklus parasitik dan tidak langsung. Siklus langsung atau siklus parasitik dimulai

ketika larva filariform masuk menembus kulit kemudian masuk ke pembuluh

darah kapiler, ke paru-paru, kemudian trakea, laring dan tertelan menuju usus

halus dan cacing menjadi dewasa. Siklus tidak langsung terjadi ketika

rhabditiform dapat berkembang menjadi cacing jantan dan betina dewasa, setelah

kopulasi cacing betina bertelur dan menetaskan larva stadium rhabditiform. Larva

berkembang dalam dua hari menjadi larva filaform bersifat infektif, jika kondisi

mendukung atau temperatur dan kelembaban tanah optimal, larva rhabditiform

berkembang menjadi cacing dewasa.

Gambar 2.6 Larva rhabditiform Strongyloides sp. (Page et al.,2018).


/’
15

Parasit dewasa ditemukan di duodenum dan proksimal jejunum, pada jumlah

besar dapat menyebabkan peradangan dengan edema dan erosi epitel sehingga

menghasilkan enteritis kataral dengan gangguan pencernaan dan penyerapan.

Migrasi larva menyebabkan bronkopneumonia. Kucing yang terinfeksi akan

menunjukkan gejala klinis berupa diare berdarah, dehidrasi, hingga kematian

(Digiulio, 2019).

2.6.2 Ancylostoma caninum

Cacing Ancylostomatidae dikenal sebagai cacing tambang. Telur cacing ini

diekskresikan bersamaan dengan keluarnya tinja dan secara bertahap berkembang

secara in vitro menjadi larva filariform di tanah yang hangat dan lembab dengan

oksigen yang cukup (Rui et al., 2019).

Gambar 2.7 Cacing Ancylostoma sp. (Rui et al. , 2019)

Menurut Taylor et al (2016), klasifikasi genus Ancylostoma adalah sebagai

berikut, Kelas Nematoda; Famili Ancylostomatidae; Subfamilia Ancylostominae;

Genus Ancylostoma; Spesies Ancylostoma caninum.

Ancylostoma caninum (Hookworm atau cacing tambang) merupakan cacing

yang hidup di dalam usus halus kucing, penyebaran secara kosmopolitan. Cacing

ini mempunyai panjang tubuh 10-12 mm (jantan) dan 14-16 mm (betina),


/’
16

berwarna abu-abu atau kemerahan, apertura terbuka ke arah anterodorsal dan

terdapat tiga buah gigi pada tiap sisi pada bagian ventral. Dasar bukal kapsul

terdapat sepasang gigi dorsal berbentuk segitiga dan sepsang gigi ventrolateral.

Tidak mempunyai dorsal cone. Terdapat dua spikula pada bursa kopulatrik,

panjangnya mencapai 0,8 - 0,95 mm. Bagian anterior tubuh terdapat vulva.

Bentuk telur lonjong, mempunyai ukuran 56 - 75 x 4 - 47 µm, berdinding tipis

yang terdiri dari dua lapisan, . Telur yang dikeluarkan tampak bersegmen terdiri

dari 8 - 16 sel (Kusnoto, 2014).

Siklus hidup terjadi ketika stadium infektif mendapat temperatur yang cocok

dalam waktu satu minggu kemudian masuk ke dalam tubuh induk semang secara

peroral atau melalui kulit. Larva yang telah masuk ke dalam tubuh inang akan

masuk ke pembuluh darah dan ikut dalam aliran darah dari jantung menuju ke

paru-paru, melalui kapiler paru-paru menuju ke berbagai organ. Ancylostoma

caninum yang menginfeksi secara peroral menyebabkan larva bermigrasi menuju

lambung dan usus halus sehingga sering menginfeksi dinding lambung atau usus

dengan cara penetrasi kemudian tinggal selama beberapa hari sebelum kembali ke

lumen usus (Rui et al, 2019).


/’
17

Gambar 2.8 Telur Ancylostoma caninum (Bowman,


2014).
Gejala klinis yang disebabkan oleh infeksi cacing ini adalah melena,

anoreksia, dan anemia akut. Infeksi pada usu halus akan menimbulkan perubahan

secara patologi pada usus halus yaitu anemia, radang usus ringan sampai berat,

hipoproteinimia, gangguan penyerapan makanan dan penurunan imunitas

(Mahlevi, 2017).

2.6.3 Trichuris trichuria

Trichuris trichuria atau yang biasa dikenal cacing cambuk termasuk diantara

cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) yang

menyebabkan penyakit trichuriasis di berbagai hospes mamalia. Manusia dan

primate serta mamalia seperti rumansia, marsupial dan hewan pengerat, berfungsi

sebagai inang definitif (Xie et al., 2018).

Bagian tubuh Cacing Trichuris trichuria pada bagian anterior berbentuk

panjang, sempit, meruncing seperti cambuk. Bagian posterior tubuh berbentuk

lebar dan seperti pegangan. Pada kutikula terdapat lurik yang melintang halus,

serta terletak pita basilaris di bagian lateral di anterior tubuh. Cacing jantan
/’
18

mempunyai tabung kloaka pada bagian proximal dan dilanjutkan dengan tabung

kloaka distal yang berisi spikula. Pada spikula terdapat dua zona kitin ekstrim dan

lebih ringan pada bagian tengah, selubung spikula berbentuk silinder dan tiga

spikula didistribusi dari proksimal kearah distal, sedangkan pada betina terdapat

vulva protrusif yang terletak di persimpangan esofagus sampai usus. Betina pada

spesies ini memiliki vulva yang tidak menonjol (Rivero et al, 2018).

Gambar 2.9 (A) Cacing dewasa Trichuris trichuria betina. (B)


jantandan(C) Telur cacing (CDC, 2017)
Bentuk telur Trichuris trichuria memiliki bentuk yang sangat khas, seperti biji

melon berwarna coklat, berukuran sekitar 50 x 25 mikron dan mempunyai dua

kutub jernih yang menonjol. (Soedarto, 2011). Kutub yang menonjol disebut

operculum dan dinding telur terdiri atas dua lapis, bagian dalam berwarna jernih

bagian luar berwarna kecoklatan. Dalam sehari seekor cacing dewasa betina dapat

menghasilkan 3000-4000 telur (Elfred dkk, 2016).

Telur keluar berssama feses dalam keadaan tidak infektif, yang memerlukan

perkembangan dalam tanah selama 3-5 minggu hingga terbentuk telur infektif

yang berisi embrio didalamnya. Jika telur tertelan telur akan pecah di dinding usus

halus dan larva keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa.
/’
19

Waktu yang diperlukan sejak telur infektif tertelan sampai cacing betina

menghasilkan telur adalah 30-90 hari dan dapat hidup lama pada usus (Ketzis et

al., 2016).

2.7 Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan terhadap bahaya Toxocara cati dapat dilakukan dengan mencuci

tangan dengan sabun setelah memegang tanah atau sebelum makan. Selanjutnya

dengan menghindari terjadi kontaminasi tanah dan pekarangan tempat anak-anak

bermain dari kotoran kucing maupun hewan lain, terutama di daerah perkotaan di

kompleks perumahan. Kucing diberikan obat cacing mulai dari usia tiga minggu,

diulangi kembali sebanyak tiga kali berturut-turut dengan interval dua minggu dan

diulang setiap enam bulan sekali. Begitu juga binatang peliharaan yang sedang

menyusui anaknya diberikan obat cacing. Kotoran hewan baik yang diobati

maupun yang tidak hendaknya dibuang dengan cara yang saniter (Entjang, 2010)

Pengendalian infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja kucing

peliharaan secara sembarangan terutama ditempat bermain anak-anak dan kebun

sayuran. Pemberian obat cacing merupakah salah satu upaya untuk menjaga

kesehatan kucing terhadap infeksi Toxocara cati. Pemberian obat cacing yang

tepat berpengaruh terhadap tingkat kejadian Toxocariasis pada kucing (Palmer et

al., 2007). Kucing yang tidak dilakukan pengulangan pemberian obat cacing

memiliki risiko terinfeksi Toxocara cati 1,8 kali dibandingkan yang dilakukan

pengulangan pemberian obat cacing. Hal ini diduga obat cacing yang diberikan

hanya membunuh cacing dewasa saja, akan tetapi tidak berefek terhadap larva
/’
20

yang bermigrasi maupun telur tersebut, oleh karena itu dianjurkan untuk

dilakukan pengulangan pemberian obat cacing. Pengulangan pemberian obat

cacing 2 sampai 4 minggu setelah pengobatan terakhir. Hewan yang sudah

terinfeksi diobati dengan disuntikan ivermectin (Palmer et al., 2007).

2.8 Gambaran Umum Wilayah Perumahan Pantai Mentari

Gambar 3.0 Peta Perumahan Pantai Mentari Kecamatan Bulak


(PetaIndonesia.com)
Kawasan pantai Mentari merupakan sebuah wilayah yang terletak di

kelurahan Kenjeran, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya Provinsi Surabaya.

Kecamatan Bulak dibagi menjadi empat kelurahan yang terdiri dari kelurahan

Bulak, Kelurahan Kedung Cowek, Kelurahan Kenjeran dan kelurahan Sukolilo

Baru. Pantai Mentari Kecamatan Bulak merupakan daerah dataran rendah dengan

luas wilayah 50 hektardan jumlah penduduk berjumlah kurang lebih 10.000 jiwa.

Pantai Kenjeran di Bulak, Surabaya, menyimpan banyak keindahan apalagi

setelah dibuat Taman Hiburan Pantai (THP). Kawasan Bulak yang dekat dengan

Pantai Kenjeran mempunyai pemandangan dan udara laut yang menyegarkan, juga

lengkap fasilitas dan tak jauh dari pusat kota. Temperatur di wilayah ini tiap
/’
21

bulannya tidak mengalami fluktuasi yang besar, dengan nilai diurnal 12.5 C. Nilai

yang kecil bila dibandingkan dengan iklim yang lain. Pada bulan Agustus, nilai

rata-rata temperaturnya adalah yang paling dingin dibandingkan dengan bulan-

bulan yang lain dalam satu tahun, yaitu 26.8 C. Sedangkan Bulan Oktober dan

November tercatat sebagai bulan yang paling panas dalam satu tahun, dengan

suhu 28.9 C. Dari sini dapat dilihat bahwa bulan Agustus adalah bulan terdingin,

dan bulan November adalah bulan terpanas yang tidak terkena matahari secara

langsung. Kelurahan Kenjeran sendiri merupakan salah satu wilayah yang kurang

bersih sehingga banyak bakteri yang tercemar baik itu di pasar maupun

perumahan lingkungan di sekitar tempat tinggal para warga setempat. Kucing

merupakan inang utama Toxocara cati dan hewan yang sangat dekat dengan

manusia dan kemungkinan besar akan terjadi bahaya terkontaminasinya

Toxocara,melalui feses, makanan ataupun peralatan (Surabaya.go.id Kecamatan

Bulak).
/’
22

BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2023. Pengambilan sampel

dilakukan di Perumahan Pantai Mentari Kecamatan Bulak Kota Surabaya.

Pemeriksaan Toxocara cati menggunakan metode natif dan metode apung

yang di lakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

3.2 Materi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di wilayah Perumahan Pantai Mentari Kecamatan

Bulak Kota Surabaya dengan mengambil 60 sampel feses kucing yang masing-

masing 30 sampel feses kucing liar dan 30 sampel kucing peliharaan.

Pengambilan 10 sampel feses pada kucing peliharaan dan 10 sampel feses pada

kucing liar dilakukan pada satu hari.

3.3 Alat dan Bahan


3.3.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : tabung

reaksi, rak tabung, tabung sentrifus, gelas ukur, batang pengaduk (lidi),

objek glass, cover glass, Mikroskop, pot plastik dan kandang kucing.

3.3.2 Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah: Sampel

feses kucing sebanyak 10 gram, dan 50 ml larutan gula jenuh.


/’
23

3.4 Cara Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses kucing lokal

yang terdapat di wilayah Perumahan Pantari Mentari Kecamatan Bulak Kota

Surabaya. Cara pengambilan sampel feses kucing ditangkap terlebih dahulu

kemudian dikandangkan kurang lebih satu malam, setelah itu diambil feses

yang masih basah dan segar dimasukan ke dalam botol plastik kecil atau pot

plastik. Selanjutnya di bawa ke Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya untuk dilakukan

pemeriksaan Toxocara cati pada feses kucing.

3.5 Jenis dan Metode Penelitian

3.5.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yaitu dengan

menganalisis semua data yang ada dalam penelitian sesuai variable yang

diteliti.

3.5.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua metode pengujian pada setiap

sampel untuk mendapatkan hasil pengujian yang lebih akurat. Pengujian

dilakukan dengan metode uji natif dan metode uji apung.

 Metode Uji Natif

Pemeriksaan feses dengan metode natif dilakukan dengan cara feses

kucing diambil sebanyak 2 gram, dimasukan ke dalam mortar untuk

penggerusan, kemudian ditambahkan 10 ml aquades diteteskan,


/’
24

dihomogenkan, dan disaring. Hasil saringan diambil dengan pipet tetes,

di teteskan di objek glass dan diperiksa di bawah mikroskop dengan

perbesaran 100x-400x.

 Metode Uji Apung

2 gram feses diambil lalu dilarutkan feses dengan air sehingga

didapatkan konsentrasi 10% (1 bagian feses: 10 bagian air), larutkan

feses disaring dengan saringan teh (kain kasa) dimasukan larutan feses

ke dalam tabung sentrifus dan di lakukan sentrifugasi 1500 rpm selama

5 menit, supernatant dibuang, tambahkan gula jenuh sampai 2/3 tabung

dan campur dengan cara membolak-balikan tabung, sentrifugasidengan

kecepatan yang sama dengan cara sebelumnya, letakkan tabung

sentrifus pada rak tabung, tambahkan gula jenuh sampai penuh dan

membentuk cembung pada permukaan tabung, kemudian tutup dengan

gelas penutup dan biarkan selama 5 menit, ambil gelas penutup dan

letakkan pada gelas objek dan dilihat dibawah mikroskop dengan

perbesaran 100x-400x.

3.5.3 Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : Feses Kucing Liar dan Kucing Peliharaan.

2. Variabel Terikat : Infestasi Toxocara cati

3. Variabel Kendali : Pakan, Kesehatan Pakan

3.5.4 Prosedur / Cara Pengumpulan Data

Menentukkan lokasi, kucing ditangkap lalu dikandangkan kurang

lebih satu malam untuk mendapatkan fesesnya yang masih basah dan
/’
25

segar. Feses yang diambil kemudian dimasukan ke dalam botol

plastik. Sampel feses yang sudah lengkap kemudian dibawa ke

Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

3.6 Kerangka Konsep Penelitian

Menentukan
wilayah survei

Wilayah Perumahan Pantai Mentari


Kecamatan Bulak Kota Surabaya

Kucing Liar Kucing Peliharaan


30 sampel 30 sampel

Kucing ditangkap dan dikandangkan

Pemeriksaan menggunakan
metode apung dan metode natif

Hasil Pemeriksaan

Analisis Data
/’
26

3.7 Parameter Penelitian

Perhitungan prevalensi, prevalensi adalah presentase kucing yang terserang

penyakit, dapat dilihat berdasarkan dengan rumus Rantetondok (2011) sebagai

berikut:

P = ∑ Kucing 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐚𝐫𝐚𝐬𝐢𝐭 X 100%

∑ Kucing 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐢𝐤𝐬𝐚

Keterangan :

P (Prev) : Presentase kucing yang terserang penyakit (%)

N : Jumlah kucing yang terserang parasite (ekor)

n : Jumlah kucing yang diperiksa (ekor).

3.8 Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil semua sampel yang diamati dari pemeriksaan

laboratorium. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan Analisa secara

deskriptif, yang akan sajikan dalam bentuk tabel dan gambar.


/’
27

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Sebanyak 60 sampel feses kucing dengan 30 sampel feses kucing liar dan 30

sampel kucing peliharaan telah diteliti dimana yang berasal dari kucing yang ada

di Perumahan Pantai Mentari Kecamatan Bulak Kota Surabaya. Pemeriksaan

sampel feses dilakukan dengan menggunakan metode natif dan metode apung.

Tabel 4.1 Prevalensi Toxocara cati pada Feses Kucing Peliharan dan Kucing Liar
di Perumahan Pantai Mentari Kecamatan Bulak Kota Surabaya

Kucing Infeksi cacing Toxocara cati Jumlah Prevalensi


Sampel (%)
(ekor)
Positif Negatif

Peliharaan 12 18 30 40%

Liar 22 8 30 73,3%

Total 32 53,3%
/’
28

Gambar 4.1 telur Toxocara cati


Gambar diatas merupakan bentuk dari Toxocara cati dari feses kucing lokal
yang diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100x-400x.

4.2 Pembahasan
Hasil prevalensi terhadap Toxocara cati pada feses kucing peliharaan dan

kucing liar yang dilakukan dengan menggunakan metode apung dan metode natif

dan hasil yang diperoleh bahwa dengan menggunakan metode apung lebih akurat

mengikat Toxocara cati yang terdapat pada feses kucing peliharaan dan feses

kucing liar. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang ditunjukkan bahwa

sebanyak 12 sampel feses kucing peliharaan yang terindikasi Toxocara cati

dengan prevalensi 40% dan 22 sampel feses kucing liar yang terindikasi Toxocara

cati dengan prevalensi 73,7%. Kucing liar memiliki angka terindikasi Toxocara

cati lebih besar dari pada kucing peliharaan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya terinfeksi Toxocara cati yang

terdapat pada feses kucing peliharaan dan kucing liar disebabkan karena keadaan

lingkungan dari masing-masing kucing lokal dan kucing peliharaan itu berada.

Keadaan suatu lingkungan yang bersih dan aman ternyata belum menjamin
/’
29

kesehatan pada kucing peliharaan bila tidak memberikan obat cacing atau

pengobatan dengan rutin kucing peliharaan bisa terinfeksi Toxocara cati. Keadaan

lingkungan pada kucing liar sangat tidak terurus mulai dari tempat tinggal dan

makan makanan yang berasal dari sampah yang sudah terkontaminasi oleh

Toxocara cati sehingga menyebabkan beberapa jenis bakteri dan parasit dapat

berkembang biak dalam usus kucing. Toxocara cati dapat bertahan hidup sampai

satu tahun dalam tanah yang lembab, sehingga Toxocara cati dengan mudah

menularkan hewan disekitar lingkungan tersebut. Toxocara penyebab penyakit

Toxocara cati tidak hanya tertular melalui kucing saja tetapi melalui makan dan

sayuran yang sudah terkontaminasi dengan telur Toxocara cati (Gunn and sarah,

2012).

Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan di Perumahan Pantai Mentari.

Pengambilan sampel ini sangat cocok dengan lingkungan dimana banyak kucing

liar berkeliaran. Tempat tinggal kucing liar di Perumahan Pantai Mentari ialah

dirumah-rumah yang sudah lama tidak berpenghuni, kotor, dan lembab menjadi

salah satu faktor yang memungkinkan berkembang biakannya telur Toxocara cati.

Jenis parasit bersel satu sangat cocok hidup di daerah yang kotor dan lembab,

kondisi ini sesuai dengan habitat hidup dari Toxocara cati dapat hidup di musim

panas ataupun musim hujan. Bertahannya Toxocara cati pada lingkungan tertentu

dapat mencemari dan terkontaminasi kehidupan yang berada disekitarnya (air,

hewan lain, sayuran, makanan). Terkontaminasinya Toxocara cati tersebut yang


/’
30

menyebabkan berbagai kehidupan di wilayah tersebut terinfeksi Toxocara cati.

Kucing sebagai inang utama berkembang biakkan Toxocara cati pada wilayah

tertentu. Kucing liar yang tidak bertuan dan tidak diperhatikan secara khusus,

menjadi salah satu faktor berkembang biakkan parasit Toxocara cati.

Kucing yang sudah terinfeksi oleh Toxocara cati melepaskan feses

dilingkungan tertentu yang ada dalam feses kucing akan berkembang biak dan

menyebar dan terkontaminasi dengan kehidupan lain di wilayah tersebut yang

menyebabkan berbagai kehidupan di wilayah tersebut terkontaminasi Toxocara

cati. Untuk mengatasi berkembang biakkan dibutuhkan kerja sama untuk

membersihkan wilayah sekitar dan menghindari kontak langsung dengan feses

kucing ketika membersihkan lingkungan sekitar (Morgono, 2008).


/’
31

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

Prevalensi Toxocara cati pada kucing peliharaan dan kucing liar yang terjadi

di wilayah Perumahan Pantai Mentari Kecamataan Bulak Kota Surabaya sebesar

53,3%.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlunya diberikan

pengobatan (pemberian obat cacing) guna mengurangi jumlah infestasi cacing

yang terjadi pada kucing peliharaan maupun kucing liar.


/’
32

DAFTAR PUSTAKA

Borji, H., Razmi G., Ahmadi A., Karami H., Yaghfoori S., and Abedi N., 2011.
Survey on Edoparasit and Ectoparasot of stray Cats from Mashad (Iran) and
Associatin with Risk Factors. J parasite Dis. 35(1) : 202-206.

Bowman, D. D., Hendrix, C. M., Lindsay, D. S., and Barr, S. C., 2002. Feline
Clinical Parasitology. Lowa State University Press, Lowa.

CDC (Centers for Disease Control and Prevention)., 2019. Toxocariasis.


Atlanta : Centers for Disease Control and Prevention.

Digiulio, M., 2019. Strongyloidiasis. The J for Nurse Practitioners 15. Elsevier.
438-443.

Effendi, C., Budiana, N. S., 2014. Complete Guide Book for Your Cat. Jakarta :
Penebar Swadaya.

Elfred., Heny A., dan Suwarno. 2016. Gambaran Basofil, TNF-α, dan IL-9 Pada
Petani Terinfeksi STH di kabupaten Kediri. Jurnal Biosains Pascasarjana,
18(3),230-254.

Entjang, I. 2011. Mikrobiologi dan parasitology. Bandung


Estuningsih, S. E. 2005. Toxocariasis pada Hewan dan Bahayanya pada
Manusia.
wartazoa, 15(3): 136-142.
Gallas, M. 2013. Toxocara cati (Schrank, 1788) (Nematoda, Ascarididae) in
Different Wild Feline Species in Brazil: New Host Records. Revista
Biotemas, 226(3): 117 –124.
Guilherme, E. V, Marchioro, S. M. Arauju, D. L. M., Falavigna, C., Adamai,
G.F., Guilherma, G. R., and Elefant, A. L. F., 2013. Toxocariasis in the
ChildrenAttending A public Health Service Pneumology In Parana Atata,
Brazil. RevInst Med Trop Aao Paulo. 55,189-192.
Gunn, Alan., and Sarah J. 2012. Parasitology: An Integrated Approach. UK:
Wiley and sons Lt.
Hildreth, A. M., Vantassel, S.M., and Hygnstrom, S. E. 2010. Feral Cats and
TheirManagement. University of Nebraska-Lincoln.
Joob, B., and V. Wiwanitkit. 2016. Toxocara canisand Chronic Urticaria. Iran J
Allergy Asthma Immunol, 15(2), 166.
/’
33

Ketzis JK, Shell L, and Chinault S. The prevalence of Trichuris spp. infection in
indoor and outdoor cats on St. Kitts. J Infect Dev Ctries. 2015;9(1):111–
113.
Kusnoto. 2005. Pravelensi Toxocariasi pada Kucing Liar di Surabaya Melalui
Saluran Pencernaan. Media Kedokteran Hewan 21; 7-11 Toxocara canis to
diagnostic development of toxocariasis. Dissertation Doctoral Program of
Medical Sciences, Gradute, School, University of Airlangga, Surabaya.
Lawrence GJ. 2014. Control of Scabies, Skin Sores And Haematuria in Children
in the Solomon Island : Another role for ivermectin. Bull. Who. 83(1) : 34-
42.
Machado, E., de Araujo, L., and A. M., d. 2017. Human Toxocariasis:
Secondary Data Analysis. Ann Clin Cytol Pathol, 3(6): 1075.
Mase, J., M.T. Furqon dan B. Rahayudi. 2018. Penerapan Algoritme Support
Vector Machine (SVM) pada Pengklasifikasian Penyakit Kucing. J.
Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. 2(10): 3648-3654.
Nealma, S., Dwinata, I. M., dan Oka, I. B. M. 2013. Prevalensi Infeksi Cacing
Toxocara cati Pada Kucing Lokal di Wilayah Denpasar.Indonesia
Medicus Viterinus.2 (4), 431-432.
Noviastuti, A. R. 2015. Infeksi Soil Transmitted Helminths. Majority
Universitas Lampung. 4(8), 109-110 Sing, A. 2015. Zoonosis-Infection
Afecting Human and Animals. Focus on Public Health Aspects.
Oakley, A. 2009. Scabies Diagnosis and Management. Best Practice Journal.
(19): 12-16.
Page, W., J.A. Judd, and R.S. Bradbury. 2018. The Unique Life Cycle of
Strongyloides stercoralis and Implications for Public Health Action. Trop.
Med. Infect. Dis. 3(2): 53.
Palmer, C.S., J.T. Rebecca, D.R. Ian DR, P.H. Rusell, E. Aileen, W. Lyndon, R.
Robert, and T. Andrew. 2007. The veterinary and public significance of
hookworm in dogs and cats in Australia and the status of A.ceylanicum. Vet.
Parasitol. 145:304-313.
Pappas P.W. and Wardrop S.M. 2003. Journal of Toxocariasis
Purbawaesa, R. 2010. Penyakit Kucing yang Menular pada
Manusia.
Ratmus, S. 2000. Sembilan Penyakit Utama pada Kucing Berdasarkan Frekuensi
Kejadian, Tingkat Infeksius, Zoonosisdan Nilai Ekonomi. Skripsi.
/’
34

Rivero, J., Angela M.G.S., Anthonio Z., Cristina C., and Rocio C. 2020.
Trichuris trichiura isolated from Macaca sylvanus: Morphological,
biometrical, and molecular study. BMC veterinary research, 16(1), 1- 19.
Rui, Jie, Lingxi and Yajun. 2019. A Half-Century Studies on Epidemiological
Features of Ancylostomiasis in China: A Review Article. Iran J Public
Health. 48(9): 1555-1565.
Sariego. 2012. Toxocariasis in Cuba: A literature Review. PMC journal.
Sianturi, C., Priyanto, D., dan Astuti, N. 2016. Identifikasi Toxocara cati dari
Feses Kucing di Kecamatan Banjanegara, Bawang dan Purwareja Klampok
Kabupaten Banjarnegara. Medsains, 2(1): 25 – 30.
Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta: Anggota IKAPI.
Symeonidou, I., Gelasakis, A.I., Arsenopoulos, K., Angelou,. Beugnet, F,
and
Papadopoulos, E. 2018. Feline Gastrointestinal Parasitis in Greece
Emergent Zoonotic Speciesand Associated Risk Factors. Parasites Vectors,11,
227.
Taylor, M.A., R.L. Coop and R.L. Wall. 2016. Veterinary Parasitology. 4th.
Ed.Oxford: Blackwell Publishing.
Uga, S., T. Matsumara., K. Fujisawa., K. Okubo., N. Kataoka and K.
Kondo.1990. Incidence of Seropositivity to Human Toxocariasis in Hyogo
Prefecture, Japanand Its Possible Role in Ophthalmic Disease. Jpn. J.
Parasitol. 39(5) : 500-502.
Weese, J. S., Peregrine, A. A., Andersen, M. E. C., and Fulford, M. B. 2011.
Companion Animal Zoonosis. Weese JS, Fulford MB, editor. Wiley-
Blackwll: Ontario (Canada).
Woodhall, D.M., and Fiore. A. E. 2013. Toxocariasis A Review for Pediatrician.
Journal of the Pediactric Infectios Disease Society.
Xie, Y., Bo Z., 2018. Genetic characterisation and phylogenetic status of
whipworms (Trichuris spp.) from captive non-human primates in China,
determined by nuclear and mitochondrial sequencing. Parasites & vectors,
11(1), 1-16.
35

LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi Penelitian

Penggerusan feses menggunakan mortar.

Tabung sentrifus yang berisi feses.

Menggunakan objek glass untuk melihat


dibawah mikroskop

Pemeriksaan menggunakan mikroskop.

Gambar dari telur Toxocara cati.


36

Kucing Peliharaan

Kucing Liar
37

Lampiran 2 Hasil Pemeriksaan Toxocara cati

No Kucing Peliharaan Kucing Liar

1 + +
2 - +
3 - +
4 - +
5 + +
6 - -
7 - -
8 + +
9 - +
10 - +
11 + +
12 + -
13 + +
14 - -
15 - +
16 - +
17 - +
18 - -
19 + +
20 - -
21 - +
22 + +
23 + -
24 - +
25 - +
26 - -
27 + +
28 - +
29 + +
30 + +
Keterangan :
(-) : Tidak ditemukan Toxocara cati
(+) : Ditemukan Toxocara cati
38

Lampiran 3 Surat Keterangan Laboratorium


39

Lampiran 4 Sertifikat Plagiasi


40

Lampiran 5 Hasil Plagiasi


41
42
43
44

Anda mungkin juga menyukai