Anda di halaman 1dari 9

1.

Felicola subrostratus
a. Signalement
Jenis sampel : Kutu
Asal sampel : Kucing Ras dari Klinik Hewan Magetan
Tanggal pengambilan : 18 Agustus 2018
Tanggal pengujian : 23 Agustus 2018
Media pengawetan : KOH 10%
b. Hasil Pengamatan

Felicola subrostratus (Dokumen Pribadi, 2018).


Pemeriksaan dilakukan dengan metode permanen mounting tanpa pewarnaan
perbesaran 40x.
c. Klasifikasi dan Morfologi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Pthiraptera
Family : Trichodectidae
Genus : Felicola
Spesies : Felicola subrostratus

Morfologi Felicola subrostratus (Foreyt, 2001).

Felicola subrostratus pada kucing mudah diidentifikasi dari bentuk kepala.


Kepala depannya berbentuk segitiga, sisi – sisinya menyatu dalam garis lurus dari
dasar antena ke batas alur rambut yang sangat sempit di puncak (Foreyt, 2001).
d. Siklus Hidup
Siklus hidup dari Felicola subrostratus yaitu betina akan menempelkan telurnya
ke rambut inang. Setelah beberapa jam hingga hingga berhari-hari, telur menetas
menjadi nimfa yang akan makan dan molting dalam beberapa hari. Kutu
mengalami metamorfosis sederhana. Setelah telur menetas, kutu nymphal, anak
kutu, mengalami dua molts tambahan hingga dewasa. Proses ini memakan waktu
dua sampai tiga minggu. Setelah dua sampai tiga minggu menjadi kutu dewasa,
dan beberapa hari setelah inseminasi, betina akan bertelur lagi. Tidak diketahui
berapa lama kutu dewasa akan hidup. Diperkirakan bahwa sumber makanan
utama mereka hanyalah puing epidermal (Foreyt, 2001).

Siklus hidup Lice (Foreyt, 2001).

e. Gejala Klinis
Pengaruh Felicola subrostratus atau sering disebut kutu bulu pada rambut kucing
pada awalnya tidak menunjukkan gejala, hanya penampilan rambut yang terlihat
kusut. Gejala klinis yang umum dari kucing yang terinfeksi kutu adalah iritasi dan
kerusakan kulit dan rambut karena kucing menggosok, menggaruk atau menggitit
daerah yang terinfeksi. Infestasi berat dapat menyebabkan pruritus berat, gelisah,
sering menggaruk hingga botak atau kulit menjadi tebal, mengkerut, kasar atau
bahkan luka karena kukunya. Kutu dapat juga melekat dengan cakar atau
rahangnya ke semua bagian rambut, dari pangkal sampai ujung. Dapat ditemukan
dalam jumlah besar pada bagian yang cenderung lembab atau dekat lubang tubuh
karena kutu cenderung mencari air (Zajac and Conboy, 2012).
f. Prevalensi
Infestasi banyak terjadi pada kucing muda, tua, sakit dan kucing yang dipelihara
dalam lingkungan yang tidak sehat. Kutu ini sering dan cukup umum ditemui pada
kucing diseluruh dunia (Zajac and Conboy, 2012).
g. Penularan
Kutu kucing merupakan parasit terbatas hanya sesama jenis kucing dan tidak
menular ke manusia. Penularan antara kucing biasanya melalui kontak langsung,
tetapi penularan juga dapat terjadi melalui telur yang melekat pada benda mati
seperti kuas, sisir dan perlatan lain yang kontak dengan kucing. Perubahan dari
telur hingga dewasa sekitar tiga minggu. Infestasi yang paling umum ketika
hewan dalam keadaan tidak sehat dan musim dingin (Zajac and Conboy, 2012).
h. Pengobatan
Banyak produk obat kontrol kutu yang efektif untuk digunakan, antara lain
fipronil, imidacloprid, salamectin. Untuk pengobatan topical bisa juga digunakan
shampo yang mengandung golongan sejenis permethrin dll. Pengobatan diulang
seminggu sekali untuk memastikan nimfa dari telur kutu yang menetas dapat mati.
Hewan juga harus dijaga kebersihan lingkungan dan kandang, kandang
didesinfeksi. Tahapan lain telur kutu yang menempel pada benda mati dapat
dilakukan pengeringan, dijemur sinar matahari beberapa jam untuk mematikannya
(Zajac and Conboy, 2012).
i. Kontrol dan Pencegahan
Kucing yang baru diadopsi diharapkan diperiksa dan diobati jika terinfeksi kutu.
Hewan yang terinfeksi kutu harus dikarantina sebelum dimasukkan dikawanan
lain. Telur kutu tidak rentan terhadap pengobatan sehingga perlu diulang dalam
seminggu untuk membunuh nimfa yang baru menetas sebelum kutu menjadi
dewasa dan bereproduksi. Parasit ini belum pernah ada penelitian yang
mengganggu kesehatan manusia, karena kutu pada kucing tidak menularkan
kemanusia sebaliknya kutu manusia tidak menularkan ke kucing (Zajac and
Conboy, 2012).

2. Ctenocephalides felis
a. Signalement
Jenis sampel : Pinjal
Asal sampel : Kucing DSH dari Kertorejo Malang
Tanggal pengambilan : 18 Agustus 2018
Tanggal pengujian : 23 Agustus 2018
Media pengawetan : KOH 10%
b. Anamnesa
Kucing terlihat sedikit gatal pada tubuuhnya yang ditandai suka menggaruk –
garuk tubuhnya.
c. Hasil Pengamatan

Ctenocephalides felis (Dokumen Pribadi, 2018).


Pemeriksaan dilakukan dengan metode mounting tanpa pewarnaan perbesaran
40x.
d. Klasifikasi dan Morfologi
Pinjal memiliki bentuk badan pipih, tanpa sayap dan kecil. Bagian mulut
disesuaikan dengan fungsinya untuk menyobek dan menghisap, kaki belakang
pertumbuhannya sangat subur disesuaikan dengan fungsinya untuk meloncat.
Pinjal yang sering ditemukan pada hewan peliharaan adalah Ctenocephlides felis
pinjal kucing dan Ctenocephalides canis pinjal anjing. Dua pinjal tersebut dapat
dibedakan dari bentuk dahinya, Ctenocephalides felis dahinya lebih tinggi
dibanding Ctenocephalides canis meskipun begitu, genus Ctenocephalides sering
ditemukan menyerang sapi dan manusia. Genus ini dapat membawa penyakit yang
disebabkan oleh Salmonella enteridis dan Dipylidium caninum, adapun klasifikasi
dari Ctenocephlides felis sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Artrhopoda
Kelas : Insecta
Ordo : Siphonaptera
Famili : Pulicidae
Genus : Ctenocephalides
Spesies : Ctenocephalides felis
Ctenocephalides felis merupakan pinjal yang umum pada kucing dan anjing,
mereka juga menggigit hewan lain termasuk sapi dan manusia dan sebagai induk
semang cacing pita anjing Dipylidium caninum dan Filaria anjing Dipetalonema
reconditum. Perbedaan Ctenocephalides felis jantan dan betina adalah pada tubuh
jantan punya ujung posterior seperti tombak yang mengarah ke atas, antena lebih
panjang dari betina. Sedangkan, pada betina pada tubuh berakhir bulat, antena
lebih pendek dari jantan (Hastutiek dkk, 2014).

Ctenocephalides felis betina (A), jantan (B) (Sigit dkk, 2006).

e. Siklus Hidup
Pinjal termasuk serangga Holometabolaus atau metamorphosis sempurna karena
daur hidupnya melalui 4 stadium yaitu : telur-larva-pupa-dewasa. Pinjal betina
bisa meletakkan telurnya yang berwarna putih dan berbentuk oval, pada rambut
inang atau dalam kandang-kandang. Pada keadaan optimum, telur menetas dalam
waktu 2 hari, larva yang muncul masih berupa ulat putih dengan kepala kecil
kecokelatan, yang bergerak aktif pada kotoran dan debu. Larva makan bahan
organik dan darah dalam tinja yang dikeluarkan induknya. Larva tumbuh
maksimum dalam 1-2 minggu berukuran sekitar 6mm panjangnya. Yang dewasa
muncul dari kepompong (pupa) 1-2 minggu kemudian. Pinjal dewasa hidup paling
lama 4 hari bila dimasukkan dalam tabung bertutup kapas dalam keadaan lembab
(Hastutiek dkk, 2014).

Siklus hidup pinjal (Sigit dkk, 2006).

Jumlah telur yang dikeluarkan pinjal betina berkisar antara 3-18 butir. Pinjal
betina dapat bertelur 2-6 kali sebanyak 400-500 butir selama hidupnya. Telur
berukuran panjang 0,5 mm, oval dan berwarna keputih-putihan. Perkembangan
telur bervariasi tergantung suhu dan kelembaban. Telur menetas menjaga larva
dalam waktu 2 hari atau lebih. Larva yang muncul bentuknya memanjang,
langsing seperti ulat, terdiri atas 3 ruas toraks dan 10 ruas abdomen yang masing-
masing dilengkapi dengan beberapa bulu-bulu yang panjang. Ruas abdomen
terakhir mempunyai dua tonjolan kait yang disebut anal struts, berfungsi untuk
memegang pada substrat atau untuk lokomosi (Hastutiek dkk, 2014).
Larva berwarna kuning krem dan sangat aktif, dan menghindari cahaya. Larva
mempunyai mulut untuk menggigit dan mengunyah makanan yang bisa berupa
darah kering, feses dan bahan organic lain yang jumlahnya cukup sedikit. Larva
dapat ditemukan di celah dan retakkan lantai, dibawah karpet dan tempat-tempat
serupa lainnya. Larva ini mengalami tiga kali pergantian kulit sebelum menjadi
pupa. Periode larva berlangsung selama 7-10 hari atau lebih tergantung suhu dan
kelembaban (Hastutiek dkk, 2014).
Larva dewasa panjangnya sekitar 6 mm. Larva ini akan menggulung hingga
berukuran sekitar 4x2 mm dan berubah menjadi pupa. Stadium pupa berlangsung
dalam waktu 10-17 hari pada suhu yang sesuai, tetapi bisa berbulan-bulan pada
suhu yang kurang optimal, dan pada suhu yang rendah bisa menyebabkan pinjal
tetap terbungkus di dalam kokon. Stadium pupa mempunyai tahapan yang tidak
aktif atau makan, dan berada dalam kokon yang tertutupi debris dan debu
sekeliling. Stadium ini sensitive terhadap adanya perubahan konsentrasi CO2 di
lingkungan sekitarnya juga terhadap getaran. Adanya perubahan yang signifikan
terhadap kedua factor ini, menyebabkan keluarnya pinjal dewasa dari kepompong.
Perilaku pinjal secara umum merupakan parasit temporal, berada dalam tubuh saat
membutuhkan makanan dan tidak permanen. Jangka hidup pinjal bervariasi pada
spesies pinjal, tergantung dari makan atau tidaknya pinjal dan tergantung pada
derajat kelembaban lingkungan sekitarnya. Pinjal tidak makan dan tidak dapat
hidup lama di lingkungan kering tetapi di lingkungan lembab, bila terdapat
reruntuhan yang bisa menjadi tempat persembunyian maka pinjal bisa hidup
selama 1-4 bulan. Pinjal tidak spesifik dalam memilih inangnya dan dapat makan
pada inang lain. Pada saat tidak menemukan kehadiran inang yang sesungguhnya
dan pinjal mau makan inang lain serta dapat bertahan hidup dalam periode lama
(Hastutiek dkk, 2014).
f. Pengendalian dan Pengobatan
Semua jenis pinjal berbiak dalam debu atau kotoran di tempat – tempat berbaring
dan tidur hewan, cara pemberantasan harus meliputi usaha membersihkan dan
disinfeksi keadaan sekeliling. Kandang harus dijaga kebersihannya dan bila
mungkin tempat – tempat tidur harus dididihkan, atau digunakan insektisida.
Pengobaran pinjal pada anjing dan kucing, pyrethrum dan bedak derris telah
digunakan dan derris dapat digunakan dalam air sabun sebagai pencuci. Bila
digunakan sebagai bedak, bedak dimasukkan di antara rambut – rambut dan
dibiarkan bereaksi selama 20-30 menit. Bulu kemudian disikat dalam keadaan
hewan berdiri pada kertas, pinjal yang mati dan pingsan dikumpulkan pada kertas
dan dibakar. Insektisida – insektisida ini baik digunakan untuk pinjal pada kucing
tetapi satu pun mempunyai daya tahan tersisa terhadap reinfestasi (Hastutiek dkk,
2014).

3. Amblyomma sp.
a. Signalement
Jenis sampel : Caplak
Asal sampel : Batu - Malang
Tanggal pengambilan : 30 Agustus 2018
Tanggal pengujian : 31 Agustus 2018
Media pengawetan : KOH 10%
b. Hasil Pengamatan

A B

Keterangan : Basic capituli Amblyomma sp. pada ular (A); Feston Amblyomma sp. pada
ular (Dokumen Pribadi, 2018).
Pemeriksaan dilakukan dengan metode mounting tanpa pewarnaan perbesaran
40x.
c. Klasifikasi dan Morfologi
Caplak yang tubuhnya berwarna-warni (Ornate ticks), mempunyai mata dan
feston, palpusnya panjang terutama pada segmen kedua, hipostome panjang, ada
bintik putih di tepi posterior scutum betinanya. Pada jantan terdapat beberapa pola
sepatu kuda terbalik di sepanjang tepi scutumnya, merupakan Three Host Ticks
(berinang tiga), ukuran betina dewasanya lebih besar daripada jantan dewasanya,
tubuh oval, pipih pada dorsoventral. Spesies – spesies yang dikenal antara lain :
Amblyomma hebraeum, A. pomposum, A. gemma, A. variegatum, A. americanum,
A. cajennense, A. maculatum. Caplak ini menyerang hewan domestik dan liar.
Adapun klasifikasi Amblyomma menurut Levine (1990) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Subkelas : Acari / Acarina
Super Ordo : Parasitiformes
Ordo : Metastigmata
Sub Ordo : Ixodida
Superfamili : Ixodoidae
Famili : Ixodidae
Genus : Amblyomma
d. Predileksi
Pada bentuk larva dan nymph banyak terdapat pada daun telinga, lipatan kaki
depan dan belakang, pangkal ekor bagian bawah dan sela-sela jari inang (Levine,
1990).
e. Siklus Hidup
Amblyomma sp. berinduk semang tiga atau biasa disebut Three Host Ticks, namun
hewan yang sama dapat digunakan sebagai induk semang untuk semua
stadiumnya. Amblyomma sp. memiliki 4 tahapan kehidupan (stadium hidup) yaitu
antara lain : telur, larva, nimfa, dan dewasa. Semua stadium tersebut dapat
melangsungkan hidupnya dengan cara menjadi parasit pada darah
inangnya. Caplak betina dewasa pada spesies Amblyomma americanum ini
bertelur 1000 sampai 8000 butir. Larva menetas dalam waktu 23-117 hari,
menempel pada induk semang, menghisap darah dalam waktu 3-9 hari dan
akhirnya turun. Larva berkembang menjadi stadium nimfa dalam waktu 8-26 hari
dan nimfa menempel pada induk semang, menghisap darah dalam waktu 3-8 hari
dan setelah itu berkembang menjadi dewasa dalam waktu 13-46 hari. Caplak yang
telah dewasa, menempel pada induk semang yang baru. Selanjutnya menghisap
darah inangnya dalam waktu 9-24 hari dan kemudian turun untuk bertelur. Larva
yang tidak makan dapat hidup sampai 279 hari, sedangkan nimfa dapat bertahan
hidup sampai 476 hari dan pada stadium dewasa yang tidak makan dapat hidup
sampai 430 hari (Levine, 1990).
f. Kontrol
Kontrol pada caplak dilakukan spesifik terhadap caplak karena jenis dan inang
caplak yang sangat bervariasi. Yang terpenting dari kontrol terhadap caplak
adalah melindungi inang dari iritasi dan penurunan produksi, timbulnya luka
sehingga terjadi infeksi sekunder, kerusakan yang tak terlihat, keracunan, paralisis
dan yang paling penting adalah timbulnya penyakit yang ditularkan oleh investasi
caplak. Kontrol juga harus mencegah penyebaran spesies caplak, dan penyakit
yang ditularkannya pada suatu daerah yang lebih luas. Kontrol suatu spesies
meliputi penghancuran setiap stadia parasit baik dengan insektisida atau
pengambilan dengan tangan. Pengetahuan tentang siklus hidup dan “host relation
ship” serta informasi yang teliti pada tingkah laku stadia ini dalam siklus hidup
yang terjadi di luar jauh dari induk semang perlu dipahami agar kontrol berhasil
dengan baik (Hastutiek dkk, 2014).
Metode kontrol terhadap caplak menurut Hastutiek dkk (2014) adalah :
1. Cultural dan biologi kontrol
Cultural kontrol adalah kontrol alami dengan cara merusak atau meniadakan
faktor alam yang dapat menunjang siklus hidup caplak misalnya tumbuhan
tertentu atau adanya air, kelembapan dan sebagainya yang bisa kita hilangkan.
Kalau perlu kita hilangkan jenis tanaman atau binatang tertentu yang
digunakan caplak untuk melengkapi siklus hidupnya.
Biologi kontrol adalah kontrol alami dengan cara memberi predator caplak
pada area tertentu seperti burung, tikus, semut, laba-laba dan sejenisnya.
Predator tersebut bisa memakan caplak pada saat fase bebas maupun fase
parasitik.
2. Perputaran ladang penggembalaan
Cara ini bertujuan untuk menghindari caplak dengan membiarkan caplak-
caplak mati di lapangan tempat pembiakannya. Tingkat larva mempunyai
umur yang cukup pendek, dengan meninggalkan ladang penggembalaan dapat
mengurangi infestasi caplak. Umumnya kontrol ini dilakukan secara
kombinasi dari cara-cara tersebut di atas sehingga lebih memuaskan hasilnya
daripada dilakukan sendiri-sendiri.
3. Kontrol dengan bahan kimia
Kontrol dengan bahan kimia dapat dilakukan pada fase bebas maupun pada
fase parasitik. Adapun aplikasi penggunaan bahan kimia atau akarisida bisa
sebagai berikut :
 Plunge dipping
Perendaman, ternak dilewatkan pada suatu kolam larutan insektisida/
acarisida. Ternak dilewatkan dalam kolam tersebut dan diusahakan
seluruh tubuhnya terendam/ kontak dengan larutan insektisida.
 Showering or Spraying
Penyemprotan dengan menggunakan alat semprot merata pada seluruh
tubuh hewan dilakukan dengan menggunakan mesin maupun tangan.
 Hand Spraying and Hand Washing
Bila kedua alat tersebut diatas tidak ada, maka digunakan cara
penyemprotan dengan alat sederhana dengan tangan dan melap seluruh
tubuh ternak dengan lap yang dicelupkan dalam larutan insektisida.
4. Vaksinasi
Di luar negeri sudah dikembangkan vaksin untuk mencegah infestasi caplak
dengan menggunakan bioteknologi maupun dari ekstrak caplak.

DAPUS :
1. Foreyt, W.J. 2001. Veterinary Parasitology Edisi ke-5. USA : Blackwell
Publishing.
2. Hastutiek, P., R, Sasmita, A, Sunarso, dan M, Yunus. 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Artropoda Veteriner. Surabaya : Airlangga University Press.
3. Levine, N.D. 1990. Buku Ajar Parasitologi Veteriner (terjemahan oleh Gatut
Ashadi). Surabaya : Airlangga University Press.
4. Sigit, H.S., F.X. Koesharto, U.K. Hadi, D.J. Gunandini dan S. Soviana. 2006.
Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. Unit
Kajian Pengendalian Hama Pemukiman (UKPHP), Fakultas Kedokteran Hewan
IPB.
5. Zajac, A.M., and G.A, Conboy. 2012. Veterinary Clinical Parasitology Edisi ke-8.
USA : Wiley-Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai