Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Ascariasis disebabkan oleh infestasi cacing nematoda dari famili

Ascaridae. Genus Toxocara adalah salah satu genus penting pada ternak sapi.

Terdapat 3 (tiga) spesies Toxocara, yaitu Toxocara canis yang menyerang anjing

(anak dan dewasa); Toxocara cati yang menyerang kucing (anak dan dewasa)

serta Toxocara vitulorum yang menyerang sapi dan kerbau (umur dibawah 6

bulan dan induk) (Steen dkk., 2014).

Gambar 1. Makroskopis Toxocara vitulorum ditemukan dalam intestinal pedet


Belgian Blue umur 1 bulan (Steen dkk., 2014).

Taksonomi dari Toxocara vitulorum adalah


Phylum : Nematoda
Class : Rabdititia (Secernentea)
Ordo : Ascarida (Ascaridida)
Family : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara vitulorum
(Steen dkk., 2014).
Toxocara vitulorum memiliki permukaan tubuh yang lunak dan tembus

pandang. Cacing betina memiliki panjang 16,5 cm – 34 cm dengan diameter 0,5

cm. Cacing jantan memiliki ukuran yang lebih kecil, yaitu memiliki panjang 14

cm – 18 cm dan diameter 0,5 cm. Cacing dewasa memiliki 3 bibir terdapat pada

dorsal dan subventral. Masing-masing bibir dilengkapi dengan beberapa papilla

besar dan kecil. Telur cacing Toxocara vitulorum berbentuk agak bulat, berwarna

kuning, diameter antara 81,6-71,8 mikron dan memiliki dinding yang tebal.

Dinding tersebut sebagai pertahanan telur cacing agar dapat bertahan hidup lama

pada lingkungan sampai termakan oleh hospes (Buzetti, 2006 dan Sardjono dkk.,

2017).

Gambar 2. Telur Toxocara vitulorum yang ditemukan pada pedet Belgian Blue
(Steen dkk., 2014).

Distribusi penyebaran Toxocara vitulorum tersebar di seluruh dunia,

terutama daerah tropik dan sub-tropik termasuk di Indonesia. Prevalensi pada sapi

di Malang telah dilaporkan pada tahun 1991 sebesar 76%, sedangkan pada tahun

1999 di Surabaya, anak sapi umur kurang dari 2 bulan prevalensinya adalah

68,2%, pada umur 2-4 bulan sebesar 51,4% dan umur kurang dari 6 bulan

mencapai 43,4%. Prevalensi Toxocara vitulorum pada pedet di Kabupaten


Pasuruan tahun 2008 cukup tinggi yaitu 21,33%. Kemudian data prevalensi di

wilayah Bali timur secara keseluruhan adalah 39,4%. (Agustina dkk., 2013)

Cacing ini mengancam penyediaan bibit sapi yang berproduktivitas tinggi

dan mampu menginfeksi ternak sapi bahkan saat masih muda (umur 24 minggu).

Pola transmisi Toxocara vitulorum memungkinkan infeksi pedet melalui susu

induk. Infeksinya menyebabkan perlambatan pertumbuhan akibat gangguan dalam

proses penyerapan nutrisi. Kasus infeksi berat dapat terjadi obstruksi usus yang

berakhir dengan kematian pedet (Borgsteede et al. 2012).

Penurunan prevalensi pada kelompok umur sapi yang lebih tua disebabkan

oleh setidaknya tiga penyebab yang mungkin, yaitu terhentinya infeksi baru secara

transmammary pada pedet beberapa hari setelah lahir, kematian cacing dewasa,

dan meningkatnya kekebalan hewan (inang). Infeksi transmammary merupakan

rute infeksi utama yang menghasilkan cacing dewasa di usus sapi. Pedet lebih

banyak menerima infeksi larva Toxocara vitulorum ketika menyusu, dan rute

transmamaria memegang peranan penting dalam berlangsungnya siklus hidup

Toxocara vitulorum (Anderson 2000).


Gambar 3. Skema daur hidup Toxocara vitulorum (Steen dkk., 2014).

Telur infektif yang tertelan oleh sapi akan menetas di usus dan larva akan

menembus mukosa. Larva kemudian bermigrasi ke jaringan terbawa vena porta

menuju hepar, sebagian lainnya mencapai ginjal, paru, dan otak. Larva Toxocara

vitulorum tersebut tertahan selama beberapa waktu sebagai larva hypobiosis

(arrested larva). Menjelang partus dan masa laktasi, terjadi proses penurunan

kekebalan tubuh (periparturien relaxation of resistance), sehingga memicu larva

hypobiosis berubah menjadi aktif, lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus

(plasenta). Larva keluar bersama sekresi ambing, termasuk kolostrum dan susu

hingga 12 hari postpartum kemudian menginfeksi pedet yang menyusu. Setelah

infeksi bersama susu, cacing dewasa berkembang di usus halus pedet dan molting

pada hari ke-12, kemudian cacing dewasa menghasilkan telur dalam jumlah besar
setiap harinya (200.000 telur/hari). Telur cacing dapat ditemukan pada umur 2-3

minggu. Telur disekresikan bersama feses dan sangat tahan terhadap udara dingin,

panas dan kekeringan Telur Toxocara vitulorum mampu bertahan hidup di alam

selama 5 tahun di tempat yang lembab dan hangat, telur mengalami embrionase

sehingga terbentuk larva stadium kesatu, kedua, dan ketiga. Stadium terakhir

tersebut dicapai dalam beberapa minggu yang bersifat infektif dan dapat

menyebabkan hospes tertular melalui pakan dan air minum. Kematian cacing

dewasa terjadi akibat masa hidup cacing ini tergolong pendek, sekitar 50 hari.

Cacing dewasa dikeluarkan secara spontan atau dengan sendirinya dari inang

(ekspulsi). Ekspulsi cacing dewasa mungkin ada hubungannya dengan

perkembangan imunitas hospes (Anderson, 2000; Davilla dkk., 2010; Neves dkk.,

2003, Koesdarto S, 1999).

Terdapat tiga cara penularan cacing Toxocara vitulorum, antara lain

memakan telur dan tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta pada ke fetus serta lewat

kolostrum pada waktu menyusui (intramamaria) dengan induknya. Telur

Toxocara vitulorum saat dikeluarkam melalui feses dari hewan yang terinfeksi

adalah belum infektif, dan akan menjadi infektif dalam waktu 3-6 minggu yang

sangat tergantung pada tipe tanah dan cuaca seperti temperatur dan kelembapan.

Telur Toxocara vitulorum yang infektif berdinding tebal, sangat tahan terhadap

lingkungan dan tetap infektif sampai beberapa tahun lamanya. Apabila hewan

memakan telur yang infektif maka hampir dipastikan hewan tersebut akan

terinfeksi dengan cacing Toxocara vitulorum. Penularan Toxocara vitulorum

melalui kelenjar susu (transmamary infection) pada anak kerbau/sapi merupakan


cara penularan Toxocara vitulorum yang utama. Kira-kira 8 hari sebelum

melahirkan, larva yang berada di dalam hati dan paru-paru yang tadinya tidak

aktif akan mulai bergerak dan bermigrasi ke kelenjar susu. Larva akan ditemukan

di dalam air susu antara 2-18 hari setelah sapi melahirkan dan 90% akan

ditemukan pada hari ke-11 setelah kelahiran. Pada kerbau, larva ditemukan dalam

kolostrum selama 8 hari (Estuningsih, 2005; Levine, 1994).

Gejala klinis jarang ditemukan pada sapi dewasa karena cacing dewasa

sangat jarang ditemukan. Bila ada, gejalanya berupa diare, badan kurus, nafas

berbau asam butirat, nafsu makan turun, kelemahan dan anemia. Larva yang

bermigrasi dan tinggal di paru-paru menyebabkan pneumonia. Gejala klinis yang

umum terjadi pada pedet atau anak kerbau adalah diare, dehidrasi, bulu berdiri

dan nampak kusam, nafas berbau asam butirat, nafsu makan menurun, lesu,

pertumbuhan pedet terhambat, dan infestasi dalam jangka lama dapat

menyebabkan anemia. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya penurunan berat

badan (terjadi kekurusan) secara dratis dalam waktu singkat bahkan berakhir

dengan kematian. Selain itu dilaporkan pula adanya gejala demam dan batuk, dan

jika infestasi semakin parah akan mengakibatkan paralysis, kongjungtivitis, dan

opisthotonus. Pedet yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan

secara permanen. Keadaan infeksi berat akan terjadi kematian sekitar 35-40%.

Infeksi pada pedet digolongkan dalam 3 tingkatan yaitu, infeksi ringan dengan

5.000 epg, infeksi sedang 5.000- 10.000 epg, dan infeksi berat lebih dari 10.000

epg. (Pudjiatmoko, 2014; Kusumamihardja, 1993; Sardjono dkk., 2017).


Diagnosa terhadap infeksi penyakit cacing bisa dengan melihat tanda-

tanda dari gejala klinis yang ditimbulkan. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan

menemukan telur pada pemeriksaan feses, terutama pedet yang berumur 3-6

bulan. Pemeriksaan susu khususnya dari induk yang menyusui tiga minggu

pertama juga sangat penting untuk menghindari penularan pada anak sapi.

Pemeriksaan dinyatakan postif bila ditemukan telur atau larva pada feses. Feses

dimasukkan ke dalam gelas plastik lalu ditambahkan dengan air dengan

perbandingan 1:10. Feses dan air diaduk sampai rata kemudian disaring, hasil

saringan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus selanjutnya disentrifus selama 3

menit dengan kecepatan 1500 rpm, proses diulangi sampai jernih. Setelah jernih

supernatan dibuang hingga sisa sedikit, tambahkan larutan sukrosa 20% sampai

penuh dari mulut tabung lalu diaduk dengan spatula, kemudian disentrifus dengan

kecepatan 1500 rpm selama 3 menit. Kemudian tambahkan sukrosa 20% sedikit

demi sedikit memakai pipet pasteur melalui dinding tabung sampai permukaan

cembung, lalu letakkan kaca penutup pada permukaan tabung selama 5 menit,

kaca penutupnya diangkat dan diletakkan di atas gelas obyek dan diperiksa di

bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Uji serologi dengan Enzyme

Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibodi Toxocara vitulorum

pada kerbau atau sapi dengan menggunakan antigen Excretory/Secretory (ES) dari

larva yang infektif (Buzetti, 2006; Levine, 1994; Sardjono dkk., 2017).

Pengendalian yang disarankan untuk menekan tingkat kejadian penyakit

akibat Toxocara vitulorum diantaranya menejemen kandang, pakan dan kesehatan

sapi yang baik. Menejemen kandang yang baik pada ternak sapi dapat menekan
tingkat pertumbuhan Toxocara vitulorum. Hal-hal yang dapat dilakukan yaitu

mengistrahatkan alas kandang selama beberapa bulan. Hal ini dilakukan agar larva

Toxocara vitulorum menjadi inaktif karena larva Toxocara vitulorum rentan

terhadap sinar matahari dan lingkungan yang kering (Junquera, 2004).

Pencegahan dapat dilakukan juga dengan pemberian anthelmentik.

Antihelmentik berspektrum luas efektif terhadap cacing dewasa dan larva di

saluran pencernaan seperti benzimidazole (albendazole, febantel, fenbendazole,

exfendazole), levamisole dan beberapa golongan makrosiklik lakton (abamectin,

doramectin, eprinomectin, ivermectin, moxidectin). Piperazine dapat mengurangi

ekskresi telur Toxocara vitulorum sebanyak 93% dalam waktu 7 hari setelah

pengobatan (Terry, 2013).

Obat berupa anthelmintika untuk Toxocara vitulorum diantaranya pyrantel

dengan dosis 250 mg per pedet tanpa memperhatikan berat badan, febantel dengan

dosis 6 mg/kg berat badan, levamisole dengan dosis 7,5 mg/kg berat badan,

piperazine citrate dengan dosis 200 mg/kg berat badan, eprinomectin (eprinex)

dengan dosis 0.5 mg/kg terbukti efektif terhadap Toxocara vitulorum. Pengobatan

pada induk penderita sangat sulit dilakukan, sebab larva berada tersembunyi pada

otot/organ tubuh. Pemberian anthelmintika yang bersifat sistemik, seperti

ivermectin direkomendasikan untuk membunuh larva yang tersembunyi tersebut

(Pudjiatmoko, 2014).

Sebuah penelitian oleh Hafiz skk. (2010) menunjukan kefektifan

ivermectin sebesar 93,33%, fenbendazole 85,41% dan albendazole hanya 84,61%


pada kasus Toxocara vitulorum di sapi crossbred. Piperazin dan derivate-

derivatnya. Obat cacing piperazin memiliki batas keamanan yang cukup tinggi

dan terhadap cacing askaris efektifitasnya mencapai 100%. Sapi muda dibawah

tiga bulan (batilan) hampir pasti menderita cacingan, dan dapat diatasi dengan

baik dengan piperazin. Dosis yang dianjurkan untuk sapi 275-440 mg/kg. Derivat

tetrahidropirimidin. Pirantel dan morantel memiliki efek nicotinlike, hingga

cacing lumpuh dan selanjutnya dapat dikeluarkan bersama tinja, dosisnya untuk

ternak sapi yakni pyrantel tartrat sapi 25mg/kg dalam bentuk larutan 3%

(Subronto, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil anamnesa diperoleh informasi yakni pedet Simental milik bapak

Waluyo yang beralamat di dusun Ngabean Kidul, desa Karangasem, kecamatan

Ponjong, Gunungkidul, berjenis kelamin betina umur 3 bulan dengan specific

pattern yakni rambut berwarna putih pada bagian abdomen dan frontalis

memanjang hingga nasalis dan perkiraan BB ± 50 kg. Pedet masih menyusu pada

induk dan mengalami diare mulai 1 minggu lalu disertai keluarnya cacing

berwarna putih pada alas kandang. Peternak melaporkan bahwa pedet tidak mau

menyusui induknya sejak kemarin dan peternak memperhatikan bahwa feses sapi

sudah mulai berbentuk padat. Pedet ini belum pernah diberi obat cacing. Induk

dari pedet ini memiliki kondisi tubuh kurus yakni BCS 2, menurut peternak

dikarenakan musim kemarau sehingga sulit untuk mendapatkan hijauan. Pedet ini

merupakan kelahiran ketiga oleh induknya.

Gambar 4. Kondisi kandang dan induk pedet


Gambar 5. Alas kandang tampak beberapa cacing berwarna putih

Pemeriksaan fisik dilakukan dan memperoleh hasil ekspresi muka

waspada, kondisi tubuh kurus dengan BCS = 2 karena jarak antar tulang costae

tampak . Perhitungan frekuensi nafas diperoleh hasil 32 kali/menit, frekuensi

pulsus 60 kali/menit dan panas badan 38,8oC, ketiganya masih dalam batas normal

sapi (Surono, 2008). Pemeriksaan rambut tampak kusam, tidak ada kerontokan

rambut, tidak ditemukan lesi pada kulit, tidak ditemukan ektoparasit pada rambut

dan kulit, rambut bagian abdomen tampak kotor karena alas kandang yang banyak

tumpukan feses. Konjungtiva dan ginggiva tampak pink rose dengan cermin

hidung terpalpasi basah. Lgl. Superficial tidak ada pembengkakan. Pemeriksaan

sistem pernafasan teramati pedet memilki tipe pernafasan thoracoabdominal, saat

dilakukan auskultasi terdengar suara vesikuler. Pemeriksaan sistem peredaran

darah diperoleh hasil CRT kurang dari 2 detik, auskultasi jantung ritmis dengan

suara sistole-diastole dapat dibedakan. Sistem pencernaan pedet dilakukan

pemeriksaan mulai dari bagian mulut tidak ditemukan lesi, refleks menelan yang

baik, auskultasi usu terdengar suara peristaltik yang cepat, feses teramati jatuh
berbentuk. Pedet urinasi secara lancar, vulva teramati bersih, tidak ada leleran,

dan tidak ada pembekakan. Saraf perifer pedet responsif dan pedet mampu berdiri

dengan 4 lokomosinya tanpa kepincangan.

Tindakan yang dilakukan yakni pengambilan sampel cacing yang berada

dialas kandang dan sampel feses secara perektal untuk dilakukan pemeriksaan

dilaboratorium UPT Karangmojo. Pedet diberikan injeksi Vetadryl ® sebanyak 3 cc

secara intramuskuler, injeksi Biodin® sebanyak 5 cc secara intramuskuler, injeksi

Colibact® sebanyak 5 cc secara intramuskuler, injeksi Vitamin B® sebanyak 5 cc

secara intramuskuler dan Lagantor BSA® sebanyak 6 cc secara peroral. Peternak

diberi saran supaya pedet disapih atau diberikan susu formula untuk pedet dan

kandang dibersihkan.

Gambar 6. Pedet dengan kondisi BCS 2

Sampel feses dilakukan pemeriksaan laboratorium menggunakan dua

metode. Metode natif dan metode sentrifus. Hasilnya diperoleh penemuan telur

cacing Toxocara vitulorum pada kedua metode pemeriksaan feses tersebut dengan

ciri-ciri agak bulat, berwarna kuning dan berdinding tebal. Pengamatan sampel

cacing didapat bahwa cacing merupakan nematoda, dengan konsistensi

permukaan tubuh lunak dan tembus pandang, panjang sekitar 15 cm.


A B

Gambar 7. Metode natif (A) Telur Toxocara vitulorum perbesaran 10x 10


(B) Telur Toxocara vitulorum perbesaran 40x 10

Gambar 7. Metode sentrifus telur Toxocara vitulorum perbesaran 40x 10

Gambar 8. Sampel cacing teramati tubuh tembus pandang


Setiap ml Vetadryl® mengandung Difenhidramin HCl 20 mg. Dosis

Difenhidramin HCl untuk sapi adalah 0,5-1 mg/kg IM atau IV (Plumb, 2011).

Mengacu pada dosis tersebut, pedet dengan BB 50kg diinjeksi sebanyak 3 ml

maka dosis yang masuk sebanyak 1,2 mg/kg, dalam kasus ini dosis yang diberikan

diatas batas anjuran. Penggunaan difenhidramin adalah sebagai antihistamin untuk

menghambat histamin pada reseptor H1 yang menimbulkan efek sedative,

antitusif, antikoligernik, serta antiemetic.

Setiap ml Colibact® mengandung Sulfadiazine 200 mg dan Trimethoprim

400 mg. Dosis Sulfadiazine/Trimethoprim untuk pedet adalah 48 mg/kg IM atau

IV (Plumb, 2011) merupakan antibiotik sulfonamida untuk penggunaan infeksi

pernafasan, infeksi saluran pencernaan, infeksi saluran perkencingan, mastitis, dll.

Sulfadiazine dikombinasikan dengan Trimethoprim untuk meningkatkan

efektivitas, Trimethoprim merupakan antibiotic. Mengacu pada dosis tersebut,

pedet dengan BB 50 kg diinjeksi sebanyak 5 ml maka dosis yang masuk sebanyak

20 mg/kg Sulfadiazine dan 40 mg/kg Trimethoprim, sehingga total menjadi 60

mg/kg, dalam kasus ini dosis yang diberikan diatas batas anjuran.

Setiap ml Vitamin B1® mengandung Thiamine HCl 100 mg. Pemberian

obat ini bertujuan untuk menanggulangi defisiensi thiamin yang ditandai

anoreksia, slaivasi, gejala saraf seperti ataxia, kehilangan refleks, atau juga efek

kardiak seperti bradikardi atau takikardi. Dosis untuk sapi adalah 10-20 mg/kg.

Mengacu pada dosis tersebut, pedet dengan BB 50kg diinjeksi sebanyak 5 ml,

dalam kasus ini dosis yang diberikan sudah sesuai.


Lagantor BSA® secara peroral, obat cacinng ini mengandung setiap ml

Albendazole 100 mg. Albendazole berfungsi mempengaruhi metabolism glikogen

cacing. Hal ini tampak pada ketidak mampuan sel-sel interstitiil cacing

mengabsorpsi makanan sehingga cacing kehabisan glikogen dan tidak mampu

memproduksi ATP. Metabolisme obat ini lambat maka efeknya terhadap cacing

juga lama dan pengeluaran cacing lambat yaitu 2-3 hari setelah pemberian

(Subronto dan Tjahajati, 2008). Dosis Albendazole untuk sapi secara peroral

adalah 10 mg/kg. Pada kasus pedet dengan BB 50 kg di berikan 6 cc, dengan

demikian dosis yang masuk sebanyak 12 mg/kg, dalam kasus ini dosis yang

diberikan diatas batas anjuran.

Biodin® setiap ml mengandung Adenosin Triphosphat, sebagai energi

cadangan siap pakai, berperan penting dalam proses metabolisme sel tubuh

hewan. Garam Aspartarte, berperan dalam mengatur keseimbangan ion-ion tubuh

pada proses metabolisme sel tubuh hewan. Sodium selenite, sangat berperan

dalam mengatur reaksi enzimatis pada proses metabolisme sel & berfungsi juga

sebagai antioksidan. Vitamin B12, berperan pada proses metabolisme tubuh

hewan. Kasus pedet ini diinjeksikan sebanyak 5 ml. Sesuai anjuran yakni

pemberian 5-10 ml.


KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, pedet Simental betina

dengan umur 3 bulan dan berat badan sekitar 50 kg, milik bapak Waluyo yang

beralamat di dusun Ngabean Kidul, desa Karangasem, kecamatan Ponjong,

Gunungkidul didiagnosis Ascariasis dengan prognosis fausta. Terapi yang

diberikan injeksi Vetadryl® sebanyak 3 cc secara intramuskuler, injeksi Biodin ®

sebanyak 5 cc secara intramuskuler, injeksi Colibact® sebanyak 5 cc secara

intramuskuler, injeksi Vitamin B® sebanyak 5 cc secara intramuskuler dan

Lagantor BSA® sebanyak 6 cc secara peroral. Peternak diberi saran supaya pedet

disapih atau diberikan susu formula untuk pedet dan kandang dibersihkan.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, K.K.; Dharmayuda, A.A.G.O. dan Wirata, I.W. 2013. Prevalensi


Toxocara vitulorum pada Induk dan Anak Sapi Bali di Wilayah Bali
Timur. Buletin Veteriner Udayana. 5(1): 16.

Anderson, R.C. 2000. Nematode Parasites of Vertebrates, Their Development and


Transmission. 2nd ed. Wallingford Oxon (GB): CABI Publishing.

Borgsteede, F.H.M.; Holzhauer, M.; Herder, F.L.; VeldhuisWolterbeek, E.G. dan


Hegeman, C. 2012. Toxocara vitulorum in suckling calves in the
Netherlands. Research in Veterinary Science. 92(2): 254256.

Buzetti, W.A. 2006. Toxocara vitulorum in Livestock: Vet. Parasitol. 260-272.

Davilla, G.; Irsik, M. dan Greiner, E.C. 2010. Toxocara vitulorum in beef calves
in North Central Florida. Veterinary Parasitology. 168(34): 261263.

Estuningsih, S.E. 2005. Toxocariasis Pada Hewan dan Bahayanya Pada Manusia.
Warta Zoa, Vol. 15 No: 3 P. 136-142.

Junquera, P. 2014. Toxocara vitulorum, parasitic roundworms of cattle: Biology,


Prevention and Control: Neoascaris Vitulorum.

Koesdarto, S.; Uga, S.; Machfudz, S.S.; Mumpuni; Kusnoto dan Puspitawati, H.
1999. The prevalence of Toxocara vitulorum in dairy cows in Surabaya.
Proc. Seminar on Infectious Diseases in The Tropics. TDC Airlangga
University, Surabaya P. 46-49.

Kusumamihardja, S. 1993. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan


Hewan Piaraan di Indonesia. Bogor: PAU Bioteknologi IPB.

Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh


Prof. Dr. Gatut Ashadi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Neves, M.F.; Starke-Buzetti, W.A. dan Castro, A.M.M.G. 2003. Mast cell and
eosinophils in the wall of the gut and eosinophils in the blood stream
during Toxocara vitulorum infection of the water buffalo calves (Bubalus
bubalis). Veterinary Parasitology. 113(1): 5972.

Plumb, D.C. 2011. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 7th ed. Wisconsin:
PharmaVet Inc.

Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia: Kementrian Pertanian


Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Direktorat
Kesehatan Hewan. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan Direktorat
Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian.

Sardjono, T.W.; Baskoro, A.D.; Endharti, A.T. dan Poeranto, S. 2017.


Helmintiologi Kedokteran dan Veteriner. Malang: UB Press.

Steen, L.V.D.; Pardon, B.; Sarre, C.; Valgaeren, B.; Hende, D.V.; Vlaminck, L.
dan Deprez, P. 2014. Intestinal obstruction by Toxocara vitulorum in a
calf: Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift, 2014, 83.

Subronto dan Tjahajati, I. 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia):


Farmakologi Veteriner, Farmakodinami dan Farmakokinesis,
Farmakologi Klinis. Yogyakarta: UGM Press.

Surono, 2008. Petunjuk Praktikum DKV. Yogyakrta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKH UGM.

Terry, J.A. 2013. The Use of Duddingtonia Flagrans For Gastrointestinal


Parasitic Nematode Control in Feces of Exotic Artiodactylids At Disney’s
Animal Kingdom. [Tesis]. Lousiana (US): Lousiana State University.
Subronto 2007.

Anda mungkin juga menyukai