Ascaridae. Genus Toxocara adalah salah satu genus penting pada ternak sapi.
Terdapat 3 (tiga) spesies Toxocara, yaitu Toxocara canis yang menyerang anjing
(anak dan dewasa); Toxocara cati yang menyerang kucing (anak dan dewasa)
serta Toxocara vitulorum yang menyerang sapi dan kerbau (umur dibawah 6
cm. Cacing jantan memiliki ukuran yang lebih kecil, yaitu memiliki panjang 14
cm – 18 cm dan diameter 0,5 cm. Cacing dewasa memiliki 3 bibir terdapat pada
besar dan kecil. Telur cacing Toxocara vitulorum berbentuk agak bulat, berwarna
kuning, diameter antara 81,6-71,8 mikron dan memiliki dinding yang tebal.
Dinding tersebut sebagai pertahanan telur cacing agar dapat bertahan hidup lama
pada lingkungan sampai termakan oleh hospes (Buzetti, 2006 dan Sardjono dkk.,
2017).
Gambar 2. Telur Toxocara vitulorum yang ditemukan pada pedet Belgian Blue
(Steen dkk., 2014).
terutama daerah tropik dan sub-tropik termasuk di Indonesia. Prevalensi pada sapi
di Malang telah dilaporkan pada tahun 1991 sebesar 76%, sedangkan pada tahun
1999 di Surabaya, anak sapi umur kurang dari 2 bulan prevalensinya adalah
68,2%, pada umur 2-4 bulan sebesar 51,4% dan umur kurang dari 6 bulan
wilayah Bali timur secara keseluruhan adalah 39,4%. (Agustina dkk., 2013)
dan mampu menginfeksi ternak sapi bahkan saat masih muda (umur 24 minggu).
proses penyerapan nutrisi. Kasus infeksi berat dapat terjadi obstruksi usus yang
Penurunan prevalensi pada kelompok umur sapi yang lebih tua disebabkan
oleh setidaknya tiga penyebab yang mungkin, yaitu terhentinya infeksi baru secara
transmammary pada pedet beberapa hari setelah lahir, kematian cacing dewasa,
rute infeksi utama yang menghasilkan cacing dewasa di usus sapi. Pedet lebih
banyak menerima infeksi larva Toxocara vitulorum ketika menyusu, dan rute
Telur infektif yang tertelan oleh sapi akan menetas di usus dan larva akan
menuju hepar, sebagian lainnya mencapai ginjal, paru, dan otak. Larva Toxocara
(arrested larva). Menjelang partus dan masa laktasi, terjadi proses penurunan
hypobiosis berubah menjadi aktif, lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus
(plasenta). Larva keluar bersama sekresi ambing, termasuk kolostrum dan susu
infeksi bersama susu, cacing dewasa berkembang di usus halus pedet dan molting
pada hari ke-12, kemudian cacing dewasa menghasilkan telur dalam jumlah besar
setiap harinya (200.000 telur/hari). Telur cacing dapat ditemukan pada umur 2-3
minggu. Telur disekresikan bersama feses dan sangat tahan terhadap udara dingin,
panas dan kekeringan Telur Toxocara vitulorum mampu bertahan hidup di alam
selama 5 tahun di tempat yang lembab dan hangat, telur mengalami embrionase
sehingga terbentuk larva stadium kesatu, kedua, dan ketiga. Stadium terakhir
tersebut dicapai dalam beberapa minggu yang bersifat infektif dan dapat
menyebabkan hospes tertular melalui pakan dan air minum. Kematian cacing
dewasa terjadi akibat masa hidup cacing ini tergolong pendek, sekitar 50 hari.
Cacing dewasa dikeluarkan secara spontan atau dengan sendirinya dari inang
perkembangan imunitas hospes (Anderson, 2000; Davilla dkk., 2010; Neves dkk.,
memakan telur dan tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta pada ke fetus serta lewat
Toxocara vitulorum saat dikeluarkam melalui feses dari hewan yang terinfeksi
adalah belum infektif, dan akan menjadi infektif dalam waktu 3-6 minggu yang
sangat tergantung pada tipe tanah dan cuaca seperti temperatur dan kelembapan.
Telur Toxocara vitulorum yang infektif berdinding tebal, sangat tahan terhadap
lingkungan dan tetap infektif sampai beberapa tahun lamanya. Apabila hewan
memakan telur yang infektif maka hampir dipastikan hewan tersebut akan
melahirkan, larva yang berada di dalam hati dan paru-paru yang tadinya tidak
aktif akan mulai bergerak dan bermigrasi ke kelenjar susu. Larva akan ditemukan
di dalam air susu antara 2-18 hari setelah sapi melahirkan dan 90% akan
ditemukan pada hari ke-11 setelah kelahiran. Pada kerbau, larva ditemukan dalam
Gejala klinis jarang ditemukan pada sapi dewasa karena cacing dewasa
sangat jarang ditemukan. Bila ada, gejalanya berupa diare, badan kurus, nafas
berbau asam butirat, nafsu makan turun, kelemahan dan anemia. Larva yang
umum terjadi pada pedet atau anak kerbau adalah diare, dehidrasi, bulu berdiri
dan nampak kusam, nafas berbau asam butirat, nafsu makan menurun, lesu,
badan (terjadi kekurusan) secara dratis dalam waktu singkat bahkan berakhir
dengan kematian. Selain itu dilaporkan pula adanya gejala demam dan batuk, dan
secara permanen. Keadaan infeksi berat akan terjadi kematian sekitar 35-40%.
Infeksi pada pedet digolongkan dalam 3 tingkatan yaitu, infeksi ringan dengan
5.000 epg, infeksi sedang 5.000- 10.000 epg, dan infeksi berat lebih dari 10.000
tanda dari gejala klinis yang ditimbulkan. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan
menemukan telur pada pemeriksaan feses, terutama pedet yang berumur 3-6
bulan. Pemeriksaan susu khususnya dari induk yang menyusui tiga minggu
pertama juga sangat penting untuk menghindari penularan pada anak sapi.
Pemeriksaan dinyatakan postif bila ditemukan telur atau larva pada feses. Feses
perbandingan 1:10. Feses dan air diaduk sampai rata kemudian disaring, hasil
menit dengan kecepatan 1500 rpm, proses diulangi sampai jernih. Setelah jernih
supernatan dibuang hingga sisa sedikit, tambahkan larutan sukrosa 20% sampai
penuh dari mulut tabung lalu diaduk dengan spatula, kemudian disentrifus dengan
kecepatan 1500 rpm selama 3 menit. Kemudian tambahkan sukrosa 20% sedikit
demi sedikit memakai pipet pasteur melalui dinding tabung sampai permukaan
cembung, lalu letakkan kaca penutup pada permukaan tabung selama 5 menit,
kaca penutupnya diangkat dan diletakkan di atas gelas obyek dan diperiksa di
bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Uji serologi dengan Enzyme
pada kerbau atau sapi dengan menggunakan antigen Excretory/Secretory (ES) dari
larva yang infektif (Buzetti, 2006; Levine, 1994; Sardjono dkk., 2017).
sapi yang baik. Menejemen kandang yang baik pada ternak sapi dapat menekan
tingkat pertumbuhan Toxocara vitulorum. Hal-hal yang dapat dilakukan yaitu
mengistrahatkan alas kandang selama beberapa bulan. Hal ini dilakukan agar larva
ekskresi telur Toxocara vitulorum sebanyak 93% dalam waktu 7 hari setelah
dengan dosis 250 mg per pedet tanpa memperhatikan berat badan, febantel dengan
dosis 6 mg/kg berat badan, levamisole dengan dosis 7,5 mg/kg berat badan,
piperazine citrate dengan dosis 200 mg/kg berat badan, eprinomectin (eprinex)
dengan dosis 0.5 mg/kg terbukti efektif terhadap Toxocara vitulorum. Pengobatan
pada induk penderita sangat sulit dilakukan, sebab larva berada tersembunyi pada
(Pudjiatmoko, 2014).
derivatnya. Obat cacing piperazin memiliki batas keamanan yang cukup tinggi
dan terhadap cacing askaris efektifitasnya mencapai 100%. Sapi muda dibawah
tiga bulan (batilan) hampir pasti menderita cacingan, dan dapat diatasi dengan
baik dengan piperazin. Dosis yang dianjurkan untuk sapi 275-440 mg/kg. Derivat
cacing lumpuh dan selanjutnya dapat dikeluarkan bersama tinja, dosisnya untuk
ternak sapi yakni pyrantel tartrat sapi 25mg/kg dalam bentuk larutan 3%
(Subronto, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
pattern yakni rambut berwarna putih pada bagian abdomen dan frontalis
memanjang hingga nasalis dan perkiraan BB ± 50 kg. Pedet masih menyusu pada
induk dan mengalami diare mulai 1 minggu lalu disertai keluarnya cacing
berwarna putih pada alas kandang. Peternak melaporkan bahwa pedet tidak mau
menyusui induknya sejak kemarin dan peternak memperhatikan bahwa feses sapi
sudah mulai berbentuk padat. Pedet ini belum pernah diberi obat cacing. Induk
dari pedet ini memiliki kondisi tubuh kurus yakni BCS 2, menurut peternak
dikarenakan musim kemarau sehingga sulit untuk mendapatkan hijauan. Pedet ini
waspada, kondisi tubuh kurus dengan BCS = 2 karena jarak antar tulang costae
pulsus 60 kali/menit dan panas badan 38,8oC, ketiganya masih dalam batas normal
sapi (Surono, 2008). Pemeriksaan rambut tampak kusam, tidak ada kerontokan
rambut, tidak ditemukan lesi pada kulit, tidak ditemukan ektoparasit pada rambut
dan kulit, rambut bagian abdomen tampak kotor karena alas kandang yang banyak
tumpukan feses. Konjungtiva dan ginggiva tampak pink rose dengan cermin
darah diperoleh hasil CRT kurang dari 2 detik, auskultasi jantung ritmis dengan
pemeriksaan mulai dari bagian mulut tidak ditemukan lesi, refleks menelan yang
baik, auskultasi usu terdengar suara peristaltik yang cepat, feses teramati jatuh
berbentuk. Pedet urinasi secara lancar, vulva teramati bersih, tidak ada leleran,
dan tidak ada pembekakan. Saraf perifer pedet responsif dan pedet mampu berdiri
dialas kandang dan sampel feses secara perektal untuk dilakukan pemeriksaan
diberi saran supaya pedet disapih atau diberikan susu formula untuk pedet dan
kandang dibersihkan.
metode. Metode natif dan metode sentrifus. Hasilnya diperoleh penemuan telur
cacing Toxocara vitulorum pada kedua metode pemeriksaan feses tersebut dengan
ciri-ciri agak bulat, berwarna kuning dan berdinding tebal. Pengamatan sampel
Difenhidramin HCl untuk sapi adalah 0,5-1 mg/kg IM atau IV (Plumb, 2011).
maka dosis yang masuk sebanyak 1,2 mg/kg, dalam kasus ini dosis yang diberikan
mg/kg, dalam kasus ini dosis yang diberikan diatas batas anjuran.
anoreksia, slaivasi, gejala saraf seperti ataxia, kehilangan refleks, atau juga efek
kardiak seperti bradikardi atau takikardi. Dosis untuk sapi adalah 10-20 mg/kg.
Mengacu pada dosis tersebut, pedet dengan BB 50kg diinjeksi sebanyak 5 ml,
cacing. Hal ini tampak pada ketidak mampuan sel-sel interstitiil cacing
memproduksi ATP. Metabolisme obat ini lambat maka efeknya terhadap cacing
juga lama dan pengeluaran cacing lambat yaitu 2-3 hari setelah pemberian
(Subronto dan Tjahajati, 2008). Dosis Albendazole untuk sapi secara peroral
demikian dosis yang masuk sebanyak 12 mg/kg, dalam kasus ini dosis yang
cadangan siap pakai, berperan penting dalam proses metabolisme sel tubuh
pada proses metabolisme sel tubuh hewan. Sodium selenite, sangat berperan
dalam mengatur reaksi enzimatis pada proses metabolisme sel & berfungsi juga
hewan. Kasus pedet ini diinjeksikan sebanyak 5 ml. Sesuai anjuran yakni
dengan umur 3 bulan dan berat badan sekitar 50 kg, milik bapak Waluyo yang
Lagantor BSA® sebanyak 6 cc secara peroral. Peternak diberi saran supaya pedet
disapih atau diberikan susu formula untuk pedet dan kandang dibersihkan.
DAFTAR PUSTAKA
Davilla, G.; Irsik, M. dan Greiner, E.C. 2010. Toxocara vitulorum in beef calves
in North Central Florida. Veterinary Parasitology. 168(34): 261263.
Estuningsih, S.E. 2005. Toxocariasis Pada Hewan dan Bahayanya Pada Manusia.
Warta Zoa, Vol. 15 No: 3 P. 136-142.
Koesdarto, S.; Uga, S.; Machfudz, S.S.; Mumpuni; Kusnoto dan Puspitawati, H.
1999. The prevalence of Toxocara vitulorum in dairy cows in Surabaya.
Proc. Seminar on Infectious Diseases in The Tropics. TDC Airlangga
University, Surabaya P. 46-49.
Neves, M.F.; Starke-Buzetti, W.A. dan Castro, A.M.M.G. 2003. Mast cell and
eosinophils in the wall of the gut and eosinophils in the blood stream
during Toxocara vitulorum infection of the water buffalo calves (Bubalus
bubalis). Veterinary Parasitology. 113(1): 5972.
Plumb, D.C. 2011. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 7th ed. Wisconsin:
PharmaVet Inc.
Steen, L.V.D.; Pardon, B.; Sarre, C.; Valgaeren, B.; Hende, D.V.; Vlaminck, L.
dan Deprez, P. 2014. Intestinal obstruction by Toxocara vitulorum in a
calf: Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift, 2014, 83.
Surono, 2008. Petunjuk Praktikum DKV. Yogyakrta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKH UGM.