Anda di halaman 1dari 8

1.

Haemonchus placei

a. Siklus Hidup

Telur yang keluar bersama feses akan berkembang menjadi L1 bila sesuai dengan suhu

lingkungannya. L1 akan berkembang menjadi L2 dalam waktu 4 hari dan akan menjadi L3 (larva

infektif) dalam waktu 4 – 6 hari. Perkembangan larva dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu

temperatur, iklim dan kelembapan. Larva infektif lebih tahan terhadap kekeringan dan udara

yang dingin dibandingan dengan L1 dan L2 karena selubung kutikula yang terdapat pada L2

tidak dilepaskan sehingga L3 mempunyai dua selubung (Levine, 1990). Hewan akan terinfeksi

jika menelan L3 dan sampai di lambung depan L3 akan melepaskan selubungnya. L3 akan

berkembang menjadi L4 dan L4 dalam abomasum akan berkembang menjadi cacing

dewasadalam waktu kurang lebih 3 minggu (Ahmad dan Tiffarent, 2020).

b. Patogenesis

Cacing dewasa yang berada di abomasum akan menyebabkan anemia hemoragik akut

karena kebiasaan cacing menghisap darah. Setiap cacing mengeluarkan sekitar 0,05 mL darah

per hari dengan menelan dan merembes dari lesi. Pada hemonchosis akut, anemia akan terlihat

sekitar 2 minggu setelah infeksi dan ditandai dengan penurunan volume sel darah merah (Taylor

et al., 2016).

c. Gejala Klinis

Hemonchosis akut ditandai dengan anemia, lesu, feses berwarna gelap, dan bulu rontok.

Hemonchosis kronis ditandai dengan penurunan berat badan dan anemia ringan (Taylor et al.,

2016).
2. Trichostrongylus axei

a. Siklus Hidup

Telur yang keluar bersama feses akan menetas di tanah. L1 hidup dari mikroorganisme

dalam feses dan berkembang menjadi L2. L2 akan berkembang menjadi L3 yang terselubung

dalam kulit L2. L3 merupakan larva tahap infektif. Hospes definitif menelan L3, sampai di

saluran gastrointestinal L3 akan melepaskan selubungnya dan berkembang menjadi L4 kemudian

menjadi dewasa dalam waktu 21 hari (Levine, 1990). Cacing ini tidak bermigrasi dalam aliran

darah, namun bersiklus ke paru-paru (Natadisastra & Agoes 2009).

b. Patogenesis

Penetrasi kulit oleh larva infektif dapat menyebabkan reaksi eritematosa. Migrasi larva ke

paru-paru juga dapat menyebabkan pendarahan kecil yang terlihat pada permukaan paru-paru.

Cacing dewasa yang berada dalam usus halus dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan

peradangan dengan edema dan erosi epitel. Hal ini akan menyebabkan enteritis catarrhal dengan

gangguan pencernaan dan penyerapan (Taylor et al., 2016).

c. Gejala Klinis

Gejala klinis dapat berupa penurunan berat badan yang cepat dan diare (Taylor et al.,

2016). Ternak sapi, domba dan kambing yang terinfeksi T. axei dapat mengalami diare,

dehidrasi, Bottle jaw dan kekurusan pada ternak yang stress (Foreyt, 2001).
3. Cooperia sp

a. Siklus Hidup

Siklus hidup bersifat langsung. Cacing dewasa di saluran pencernaan menghasilkan telur

dan keluar bersama feses. Telur akan berkembang dalam kotoran di lingkungan. Larva tahap

infektif (L3) tertelan oleh hospes definitif yang sedang merumput kemudian L3 akan bermigrasi

ke dalam kripta usus selama dua kali pergantian kulit dan kemudian dewasa berkembang di

permukaan mukosa usus. Masa prepaten adalah 2-3 minggu (Taylor et al., 2016).

b. Patogenesis

C. punctata dan C. pectinata merupakan cacing yang patogen karena menembus

permukaan epitel usus kecil dan menyebabkan gangguan yang mirip dengan spesies

trichostrongylid usus lainnya, yang menyebabkan atrofi vili dan pengurangan area untuk

penyerapan. Pada infeksi berat, dapat menyebabkan diare (Taylor et al., 2016).

c. Gejala Klinis

Gejala klinis yang muncul pada infeksi berat C. punctata dan C. pectinata dapat

menyebabkan diare yang banyak, anoreksia, dan kekurusan, tetapi ternak tidak mengalami

anemia. Sedangkan C. oncophora dapat menyebabkan penurunan berat badan dan penurunan

produktivitas pada ternak (Fox, 2014 dan Taylor et al., 2016).


4. Bunostomum phlebotomum

a. Siklus Hidup

Bunostomum dapat menginfeksi hospes definitif melalui makanan dan minuman serta

melalui penestrasi kulit. Larva yang masuk melalui kedua jalur tersebut, akan bermigrasi ke

paru-paru, di dalam paru-paru larva akan berganti kulit (molting) menjadi L3. L3 kemudian

bermigrasi ke bronki dan trakea. Selanjutnya L4 yang sudah memiliki bukal kapsul mencapai

usus halus setelah 11 hari dan berkembang menjadi cacing dewasa (Subekti et al., 2011).

b. Patogenesis

Cacing dewasa menghisap darah dan infeksi 100-500 cacing dapat menyebabkan anemia

progresif, hipoalbuminemia, penurunan berat badan dan kadang-kadang diare. Beban cacing

sekitar 2000 dapat menyebabkan kematian pada ternak. Pada sapi yang dikandangkan, dapat

menyebabkan pruritus pada tungkai, ini mungkin disebabkan oleh penetrasi kulit oleh larva

(Taylor et al., 2016).

c. Gejala Klinis

Gejala klinis yang terlihat nafsu makan menurun, diare dan kekurusan. Gejala ini lebih

sering terlihat pada hewan muda. Infeksi berat juga dapat menyebabkan edema submandibular

(Bottle jaw) (Taylor et al., 2016).


5. Strongyloides papillosus

a. Siklus Hidup

Siklus hidup Strongyloides berbeda dengan siklus hidup nematoda lainnya, karena cacing

ini mempunyai fase parasitik maupun fase hidup bebas. Cacing betina parasitik menghasilkan

telur berembrio yang keluar bersama feses. L1 rabditiform akan hidup dari mikroorganisme

dalam feses. Larva ini akan berkembang menjadi L2 dan berkembang menjadi L3 dalam 2 tipe.

Beberapa L3 memiliki esophagus filariform (silindris). Hospes definitif akan terinfeksi ketika

penetrasi lewat kulit atau tertelan. Larva yang melalui penetrasi kulit, akan masuk dalam aliran

darah dan ke paru-paru kemudian akan merusak dinding kapiler dan menuju saluran pernapasan

yaitu ke trakea. Selanjutnya akan turun ke esophagus kemudian menuju usus halus dan

berkembang tanpa bermigrasi. Siklus hidup ini disebut tipe homogenik (Levine, 1990).

Larva L3 yang memiliki esophagus rabditiform. Larva ini melalui siklus hidup

heterogenik. Larva ini berkembang menjadi L4 dan menjadi cacing jantan dan betina dewasa

yang hidup bebas. Setelah kawin, cacing betina meletakkan telur yang menghasilkan larva

rabditiform L2 yang kemudian berkembang menjadi L3 filaform yang menginfeksi hospes

definitif seperti penjelasan diatas (Levine, 1990).

b. Patogenesis

Cacing dewasa bertelur dan sudah mengandung embrio akan langsung menetas di usus

halus. Larva yang menginfeksi hospes defenitif yang melalui kulit, larva akan terbawa aliran

darah dan sampai di paru-paru. Selanjutnya menuju pangkal tenggorok dan faring,dan sampai ke

lambung dan usus. Penetrasi melalui kulit dapat menyebabkan dermatitis (Subronto, 2004).

Periode prepaten cacing kurang lebih 10 hari. Infeksi pada hewan muda, misalnya pedet kurang

dari 6 bulan, dapat menyebabkan kematian mendadak, tanpa terdiagnosis. Larva infektif
membutuh waktu kurang dari 1- 2 hari untuk berkembang di bawah kondisi optimum (Subronto,

2004).

C. Gejala Klinis

Infeksi paling sering terjadi pada anak sapi muda, terutama sapi perah. Meskipun gejala

klinis jarang terlihat. Tetapi dalam infeksi berat dapat menyebabkan diare intermiten, kehilangan

nafsu makan dan berat badan, dan kadang-kadang terdapat darah dan lendir dalam feses (Fox,

2014). Menurut Noble dan Noble (1989), gejala klinis dapat berupa nafsu makan menurun,

anemia, penurunan berat badan, diare, pembengkakan dan pendarahan mukosa, bahkan sampai

kematian.

6. Nematodirus sp

a. Siklus Hidup

Telur yang keluar bersama feses berisi 4-8 sel. Telur akan berkembang menjadi larva infektif

dalam waktu 6 hari- 4 minggu. L3 yang berada dalam telur memelurkan waktu yang lama

sebelum menetas. Ruminansia terinfeksi ketika menelan telur atau larva pada saat merumput.

Larva akan menetas di usus halus dan menetap pada lumen paramukosa usus halus ketika

berkembang menjadi L4 dan kemudian menjadi dewasa. Masa prepaten 15-28 hari atau lebih

(Levine, 1990).

b. Patogenesis

Perkembangan L3 sampai cacing dewasa akan menyebabkan gangguan pada mukosa usus.

Hal ini ditandai dengan kerusakan parah pada vili dan erosi mukosa yang menyebabkan atrofi

vili. Kemampuan usus untuk bertukar cairan dan nutrisi menjadi terganggu. Hewan yang diare

akan mengalami dehidrasi (Taylor et al., 2016).


c. Gejala Klinis

Gejala klinis pada sapi umumnya meliputi diare dan anoreksia. Nematodirus sp akan

berkembang secara seksual pada minggu ketiga sebelum menjadi cacing yang matang. Infestasi

klinis Nematodirus sp dapat terlihat juga pada anak sapi yang berumur 6 minggu dan seterusnya

(Fox, 2014).

7. Toxocara vitulorum

a. Siklus Hidup

Siklus hidup T. viturolum relatif pendek. Telur yang keluar bersama feses hewan yang

terinfeksi akan berkembang menjadi L2 dan L2 yang ada di dalam telur akan berkembang

menjadi L3 (telur infektif) dalam waktu 17 hari. Telur infektif yang tertelan oleh ternak, maka

akan menetas di dalam usus, larva keluar dan menembus dinding usus (Sardjono, 2017). Larva

bermigrasi ke hati melalui vena porta dan mengikuti aliran darah ke di bronchus, paru-paru,

tenggorokan dan kemudian pindah ke pharynx, dengan ikut makanan, air minum atau saliva akan

sampai di usus halus lagi untuk tumbuh menjadi dewasa. Telur infektif sampai menjadi dewasa

dibutuhkan waktu kurang lebih 8-9 minggu. Pedet terinfeksi larva T. vitulorum dari induknya

melalui kolostrum. Telur cacing dapat ditemukan pada pada pedet umur 2-3 minggu (Subronto,

2004).

b. Patogenesis

Cacing dewasa yang berada di dalam usus mengambil makanan atau nutrisi dari hospes

definitif dengan menyebabkan kerusakan dinding usus dan mengambil makanan dari sirkulasi.

Berdasarkan siklus hidup, T. viturolum akan bermigrasi ke berbagai organ hal ini akan

menyebabkan lesi pada organ dan jaringan yang dilewatinya. Keparahan oragn tersebut

tergantung dari jumlah cacing dewasa maupun larva (Duri, 2015). Migrasi larva infektif melalui
paru-paru dan hati dapat menyebabkan edema pada kedua organ tersebut. Paru-paru yang

mengalami edema, hewan akan menunjukan batuk, dispnea, selesma, eksudat berbusa dan

kadang mengandung darah (Subronto, 2006).

c. Gejala Klinis

Infeksi cacing dewasa terjadi pada pedet yang berumur kurang dari 6 bulan. Gejala klinis

pada ternak tidak terlihat pada infeksi ringan sampai sedang, tetapi jika sudah infeksi berat maka

akan menyebabkan diare, penurunan berat badan, dan kematian pada ternak (Zajac dan Conboy,

2012). T. vitulorum dapat menyebabkan pneumonia pada anak sapi karena adanya migrasi larva

ke paru-paru. Selain itu, terjadi diare, kekurusan dan tidak ada napsu makan (Estuningsih, 2005).

Anda mungkin juga menyukai