Haemonchus placei
a. Siklus Hidup
Telur yang keluar bersama feses akan berkembang menjadi L1 bila sesuai dengan suhu
lingkungannya. L1 akan berkembang menjadi L2 dalam waktu 4 hari dan akan menjadi L3 (larva
infektif) dalam waktu 4 – 6 hari. Perkembangan larva dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu
temperatur, iklim dan kelembapan. Larva infektif lebih tahan terhadap kekeringan dan udara
yang dingin dibandingan dengan L1 dan L2 karena selubung kutikula yang terdapat pada L2
tidak dilepaskan sehingga L3 mempunyai dua selubung (Levine, 1990). Hewan akan terinfeksi
jika menelan L3 dan sampai di lambung depan L3 akan melepaskan selubungnya. L3 akan
b. Patogenesis
Cacing dewasa yang berada di abomasum akan menyebabkan anemia hemoragik akut
karena kebiasaan cacing menghisap darah. Setiap cacing mengeluarkan sekitar 0,05 mL darah
per hari dengan menelan dan merembes dari lesi. Pada hemonchosis akut, anemia akan terlihat
sekitar 2 minggu setelah infeksi dan ditandai dengan penurunan volume sel darah merah (Taylor
et al., 2016).
c. Gejala Klinis
Hemonchosis akut ditandai dengan anemia, lesu, feses berwarna gelap, dan bulu rontok.
Hemonchosis kronis ditandai dengan penurunan berat badan dan anemia ringan (Taylor et al.,
2016).
2. Trichostrongylus axei
a. Siklus Hidup
Telur yang keluar bersama feses akan menetas di tanah. L1 hidup dari mikroorganisme
dalam feses dan berkembang menjadi L2. L2 akan berkembang menjadi L3 yang terselubung
dalam kulit L2. L3 merupakan larva tahap infektif. Hospes definitif menelan L3, sampai di
menjadi dewasa dalam waktu 21 hari (Levine, 1990). Cacing ini tidak bermigrasi dalam aliran
b. Patogenesis
Penetrasi kulit oleh larva infektif dapat menyebabkan reaksi eritematosa. Migrasi larva ke
paru-paru juga dapat menyebabkan pendarahan kecil yang terlihat pada permukaan paru-paru.
Cacing dewasa yang berada dalam usus halus dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan
peradangan dengan edema dan erosi epitel. Hal ini akan menyebabkan enteritis catarrhal dengan
c. Gejala Klinis
Gejala klinis dapat berupa penurunan berat badan yang cepat dan diare (Taylor et al.,
2016). Ternak sapi, domba dan kambing yang terinfeksi T. axei dapat mengalami diare,
dehidrasi, Bottle jaw dan kekurusan pada ternak yang stress (Foreyt, 2001).
3. Cooperia sp
a. Siklus Hidup
Siklus hidup bersifat langsung. Cacing dewasa di saluran pencernaan menghasilkan telur
dan keluar bersama feses. Telur akan berkembang dalam kotoran di lingkungan. Larva tahap
infektif (L3) tertelan oleh hospes definitif yang sedang merumput kemudian L3 akan bermigrasi
ke dalam kripta usus selama dua kali pergantian kulit dan kemudian dewasa berkembang di
permukaan mukosa usus. Masa prepaten adalah 2-3 minggu (Taylor et al., 2016).
b. Patogenesis
permukaan epitel usus kecil dan menyebabkan gangguan yang mirip dengan spesies
trichostrongylid usus lainnya, yang menyebabkan atrofi vili dan pengurangan area untuk
penyerapan. Pada infeksi berat, dapat menyebabkan diare (Taylor et al., 2016).
c. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada infeksi berat C. punctata dan C. pectinata dapat
menyebabkan diare yang banyak, anoreksia, dan kekurusan, tetapi ternak tidak mengalami
anemia. Sedangkan C. oncophora dapat menyebabkan penurunan berat badan dan penurunan
a. Siklus Hidup
Bunostomum dapat menginfeksi hospes definitif melalui makanan dan minuman serta
melalui penestrasi kulit. Larva yang masuk melalui kedua jalur tersebut, akan bermigrasi ke
paru-paru, di dalam paru-paru larva akan berganti kulit (molting) menjadi L3. L3 kemudian
bermigrasi ke bronki dan trakea. Selanjutnya L4 yang sudah memiliki bukal kapsul mencapai
usus halus setelah 11 hari dan berkembang menjadi cacing dewasa (Subekti et al., 2011).
b. Patogenesis
Cacing dewasa menghisap darah dan infeksi 100-500 cacing dapat menyebabkan anemia
progresif, hipoalbuminemia, penurunan berat badan dan kadang-kadang diare. Beban cacing
sekitar 2000 dapat menyebabkan kematian pada ternak. Pada sapi yang dikandangkan, dapat
menyebabkan pruritus pada tungkai, ini mungkin disebabkan oleh penetrasi kulit oleh larva
c. Gejala Klinis
Gejala klinis yang terlihat nafsu makan menurun, diare dan kekurusan. Gejala ini lebih
sering terlihat pada hewan muda. Infeksi berat juga dapat menyebabkan edema submandibular
a. Siklus Hidup
Siklus hidup Strongyloides berbeda dengan siklus hidup nematoda lainnya, karena cacing
ini mempunyai fase parasitik maupun fase hidup bebas. Cacing betina parasitik menghasilkan
telur berembrio yang keluar bersama feses. L1 rabditiform akan hidup dari mikroorganisme
dalam feses. Larva ini akan berkembang menjadi L2 dan berkembang menjadi L3 dalam 2 tipe.
Beberapa L3 memiliki esophagus filariform (silindris). Hospes definitif akan terinfeksi ketika
penetrasi lewat kulit atau tertelan. Larva yang melalui penetrasi kulit, akan masuk dalam aliran
darah dan ke paru-paru kemudian akan merusak dinding kapiler dan menuju saluran pernapasan
yaitu ke trakea. Selanjutnya akan turun ke esophagus kemudian menuju usus halus dan
berkembang tanpa bermigrasi. Siklus hidup ini disebut tipe homogenik (Levine, 1990).
Larva L3 yang memiliki esophagus rabditiform. Larva ini melalui siklus hidup
heterogenik. Larva ini berkembang menjadi L4 dan menjadi cacing jantan dan betina dewasa
yang hidup bebas. Setelah kawin, cacing betina meletakkan telur yang menghasilkan larva
b. Patogenesis
Cacing dewasa bertelur dan sudah mengandung embrio akan langsung menetas di usus
halus. Larva yang menginfeksi hospes defenitif yang melalui kulit, larva akan terbawa aliran
darah dan sampai di paru-paru. Selanjutnya menuju pangkal tenggorok dan faring,dan sampai ke
lambung dan usus. Penetrasi melalui kulit dapat menyebabkan dermatitis (Subronto, 2004).
Periode prepaten cacing kurang lebih 10 hari. Infeksi pada hewan muda, misalnya pedet kurang
dari 6 bulan, dapat menyebabkan kematian mendadak, tanpa terdiagnosis. Larva infektif
membutuh waktu kurang dari 1- 2 hari untuk berkembang di bawah kondisi optimum (Subronto,
2004).
C. Gejala Klinis
Infeksi paling sering terjadi pada anak sapi muda, terutama sapi perah. Meskipun gejala
klinis jarang terlihat. Tetapi dalam infeksi berat dapat menyebabkan diare intermiten, kehilangan
nafsu makan dan berat badan, dan kadang-kadang terdapat darah dan lendir dalam feses (Fox,
2014). Menurut Noble dan Noble (1989), gejala klinis dapat berupa nafsu makan menurun,
anemia, penurunan berat badan, diare, pembengkakan dan pendarahan mukosa, bahkan sampai
kematian.
6. Nematodirus sp
a. Siklus Hidup
Telur yang keluar bersama feses berisi 4-8 sel. Telur akan berkembang menjadi larva infektif
dalam waktu 6 hari- 4 minggu. L3 yang berada dalam telur memelurkan waktu yang lama
sebelum menetas. Ruminansia terinfeksi ketika menelan telur atau larva pada saat merumput.
Larva akan menetas di usus halus dan menetap pada lumen paramukosa usus halus ketika
berkembang menjadi L4 dan kemudian menjadi dewasa. Masa prepaten 15-28 hari atau lebih
(Levine, 1990).
b. Patogenesis
Perkembangan L3 sampai cacing dewasa akan menyebabkan gangguan pada mukosa usus.
Hal ini ditandai dengan kerusakan parah pada vili dan erosi mukosa yang menyebabkan atrofi
vili. Kemampuan usus untuk bertukar cairan dan nutrisi menjadi terganggu. Hewan yang diare
Gejala klinis pada sapi umumnya meliputi diare dan anoreksia. Nematodirus sp akan
berkembang secara seksual pada minggu ketiga sebelum menjadi cacing yang matang. Infestasi
klinis Nematodirus sp dapat terlihat juga pada anak sapi yang berumur 6 minggu dan seterusnya
(Fox, 2014).
7. Toxocara vitulorum
a. Siklus Hidup
Siklus hidup T. viturolum relatif pendek. Telur yang keluar bersama feses hewan yang
terinfeksi akan berkembang menjadi L2 dan L2 yang ada di dalam telur akan berkembang
menjadi L3 (telur infektif) dalam waktu 17 hari. Telur infektif yang tertelan oleh ternak, maka
akan menetas di dalam usus, larva keluar dan menembus dinding usus (Sardjono, 2017). Larva
bermigrasi ke hati melalui vena porta dan mengikuti aliran darah ke di bronchus, paru-paru,
tenggorokan dan kemudian pindah ke pharynx, dengan ikut makanan, air minum atau saliva akan
sampai di usus halus lagi untuk tumbuh menjadi dewasa. Telur infektif sampai menjadi dewasa
dibutuhkan waktu kurang lebih 8-9 minggu. Pedet terinfeksi larva T. vitulorum dari induknya
melalui kolostrum. Telur cacing dapat ditemukan pada pada pedet umur 2-3 minggu (Subronto,
2004).
b. Patogenesis
Cacing dewasa yang berada di dalam usus mengambil makanan atau nutrisi dari hospes
definitif dengan menyebabkan kerusakan dinding usus dan mengambil makanan dari sirkulasi.
Berdasarkan siklus hidup, T. viturolum akan bermigrasi ke berbagai organ hal ini akan
menyebabkan lesi pada organ dan jaringan yang dilewatinya. Keparahan oragn tersebut
tergantung dari jumlah cacing dewasa maupun larva (Duri, 2015). Migrasi larva infektif melalui
paru-paru dan hati dapat menyebabkan edema pada kedua organ tersebut. Paru-paru yang
mengalami edema, hewan akan menunjukan batuk, dispnea, selesma, eksudat berbusa dan
c. Gejala Klinis
Infeksi cacing dewasa terjadi pada pedet yang berumur kurang dari 6 bulan. Gejala klinis
pada ternak tidak terlihat pada infeksi ringan sampai sedang, tetapi jika sudah infeksi berat maka
akan menyebabkan diare, penurunan berat badan, dan kematian pada ternak (Zajac dan Conboy,
2012). T. vitulorum dapat menyebabkan pneumonia pada anak sapi karena adanya migrasi larva
ke paru-paru. Selain itu, terjadi diare, kekurusan dan tidak ada napsu makan (Estuningsih, 2005).