Anda di halaman 1dari 3

Patofisiologi Askariasis

Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika tertelan


telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan menetas dan melepaskan
larva infektif (larva rhabditiform) dan kemudian menembus dinding usus masuk kedalam
vena portae hati, mengikuti aliran darah masuk kejantung kanan dan selanjutnya keparu-paru
dengan masa migrasi berlangsung selama 1 7 hari. Larva tumbuh didalam paru-paru dan
berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan
seterusnya larva masuk ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke
oesopagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglotis masuk kedalam traktus
digestivus dan berakhir sampai kedalam usus halus bagian atas, larva berganti kulit lagi
menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar
secara spontan bersama tinja. Siklus hidup cacing ini mempunyai masa yang cukup panjang,
dua bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan
200.000 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 4 minggu
untuk tumbuh menjadi bentuk infektif.
Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, di mana telur tersebut
keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I
sampai stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur ini tahan terhadap pengaruh cuaca buruk,
berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah
hiperendemik, anak-anak terkena infeksi secara terusmenerus sehingga jika beberapa cacing
keluar, yang lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Apabila makanan atau minuman
yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan
berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat
menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung
dengan kulit.1
Selama fase migrasi, larva askaris menyebabkan reaksi peradangan dengan terjadinya
infiltrasi

eosinophilia. Antigen askaris dilepaskan selama migrasi larva yang akan

merangsang respon imunologis dalam tubuh dan respon ini telah pernah dibuktikan adanya
pelepasan antibody terhadap kelas IgG spesifik yang dapat membentuk reaksi complementfixation dan precipitating. Selama fase intestinalis gejala utama berasal dari adanya cacing
dalam usus atau akibat migrasi kedalam lumen usus yang lain atau perforasi kedalam
peritoneum. Lebih lanjut askaris mengeluarkan antienzim sebagai suatu fungsi proteksi

terhadap kelangsungan hidupnya dan ternyata antienzim ini diduga berhubungan dengan
terjadinya malabsorpsi.2
Patofisiologi Ankilostomiasis.

Sekitar 1 minggu setelah masuk melalui kulit, larva akan sampai di usus. Larva
menancapkan dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan usus halus bagian atas
dan mengisap darah.
Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar memalui tinja. Bila telur tersebut jatuh
ke tempat yang hangat, lembab dan basah, maka telur akan berubah menjadi larva yang
infektif. Dan jika larva tersebut kontak dengan kulit, bermigrasi sampai ke paru-paru dan
kemudian turun ke usus halus; di sini larva berkembang menjadi cacing dewasa. Infeksi
terjadi jika larva filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan
menelan larva filariform. Telur dari kedua cacing tersebut ditemukan di dalam tinja dan
menetas di dalam tanah setelah mengeram selama 1-2 hari. Dalam beberapa hari, larva
dilepaskan dan hidup di dalam tanah. Manusia bisa terinfeksi jika berjalan tanpa alas kaki
diatas tanah yang terkontaminasi oleh tinja manusia, karena larva bisa menembus kulit. Larva
sampai ke paru-paru melalui pembuluh getah bening dan aliran darah. Lalu larva naik ke
saluran pernafasan dan tertelan. Sekitar 1 minggu setelah masuk melalui kulit, larva akan
sampai di usus. Larva menancapkan dirinya dengan kait di dalam mulut mereka ke lapisan
usus

Keterangan:

halus

bagian

atas

dan

mengisapdarah.1

1. Soedarmo, Sumarmo. 2015. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi
Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.
2. Rampengan, T.H. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak Edisi Kedua.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai