Anda di halaman 1dari 23

PREVALENSI CACING GASTROINTESTINAL PADA

ANJING LOKAL DI KOTA DENPASAR PROVINSI BALI

REZA MAHLEFI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2017

1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bali merupakan suatu provinsi yang terletak di bagian tengah Indonesia.
Provinsi Bali terdiri dari sembilan kabupaten atau kota. Kota Denpasar menjadi
kota yang mempunyai jumlah penduduk paling banyak yaitu 788.589 jiwa (BPS
2011). Sementara itu, kota Denpasar juga menjadi salah satu tempat tujuan wisata,
berdasarkan (Dinas Parawisata Kota Denpasar 2016) wisatawan yang berkunjung
per November 2016 adalah 550.643 orang. Tingginya populasi manusia membuat
interaksi manusia terhadap lingkungan sering terjadi termasuk dengan hewan.
Anjing salah satu hewan yang mempunyai populasi yang tinggi di kota Denpasar.
Populasi anjing di kota Denpasar yaitu 55.183 ekor, data tersebut membuat kota
Denpasar merupakan daerah dengan populasi anjing tertinggi di provinsi Bali
(Putra 2011).
Interaksi yang terjadi antar manusia dan hewan terutama anjing membuat
resiko penularan zoonosis akan meningkat. Zoonosis menjadi ancaman yang
sangat serius terhadap kesehatan manusia. Penyakit zoonotik yang disebabkan
oleh anjing dapat disebabkan oleh beberapa organisme diantaranya oleh virus,
bakteri, cacing, protozoa dan jamur (Soeharsono 2007). Sampai saat ini
pemerintah Bali beserta beberapa lembaga swadaya masyarakat pecinta hewan
hanya berfokus pada pemberantasan salah satu penyebab zoonosis oleh anjing
yaitu rabies (Dinas Peternakan Provinsi Bali 2015).
Cacing merupakan salah satu mikroorganisme yang dapat menginfeksi anjing.
Infeksi akibat cacing ada yang bersifat zoonosis ataupun tidak. Beberapa infeksi
akibat cacing yang bersifat zoonosis diantaranya infeksi cacing Ancylostoma sp,
Toxocara sp dan Diphyllobothrium sp. Infeksi oleh ketiga jenis cacing tersebut
sangat jarang diperhatikan oleh pemerintah provinsi Bali, sehingga resiko
penularan penyakit sangat mungkin terjadi. Penularan penyakit parasitik dari
anjing ke manusia dapat terjadi melalui tinja yang masih mengandung telur dari
cacing. Informasi mengenai studi terkait penyakit parasitik di Bali sangat sedikit
dilakukan. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan studi mengenai prevalensi
kejadian parasitosis pada anjing lokal di kota Denpasar, Bali.

Tujuan Penelitian

Mengetahui prevalensi cacing gastrointestinal pada anjing lokal di Bali dan


melakukan perhitungan telur tiap gram tinja (TTGT) pada tinja anjing yang
mengandung telur cacing.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cacing


yang menginfeksi anjing di kota Denpasar Bali. Informasi tersebut dapat menjadi
public awareness dan acuan pemerintah untuk menyusun program sebagai upaya
3

jenis yaitu Ancylostoma caninum dan Ancylostoma brazilliense. Selain menyebabkan


bahaya bagi anjing, cacing jenis ini juga menyebabkan terjadinya zoonosis dimana dapat
menginfeksi manusia dan menyebabkan bahaya bagi manusia. Cacing Ancylostoma sp ini
dapat menginfeksi inangnya melalui empat cara yaitu per kutan, per oral, transmammary
dan melalui inang paratenik (Ballweber 2001). Cacing jenis ini sangat rentan menginfeksi
anjing muda atau anjing berumur dibawah 2-3 bulan, karena anjing muda mempunyai
kekebalan yang masih rendah di bandingkan anjing tua (Alwi 2015).
Siklus hidup cacing ini dijelaskan pada gambar 3. Telur cacing yang
dihasilkan oleh cacing dewasa didalam tubuh akan keluar bersama tinja dari tubuh
inang. Apabila kondisi lingkungan menguntungkan (kelembaban, kehangatan)
telur cacing ini akan cepat menetas menjadi larva infektif. Larva dari telur menetas
dalam 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform yang telah menetas akan tumbuh dalam
tinja dan atau pada tanah. Setelah 5 sampai 10 hari larva akan tumbuh ke tahap
filariform (tahap ketiga) yang merupakan larva infektif cacing. Larva infektif
bertahan 3 sampai 4 minggu dalam kondisi lingkungan yang sesuai. Anjing akan
terinfeksi cacing ini apabila tidak sengaja memakan pakan yang terkontaminasi
dari telur cacing ataupun larva infektif yang akan bermigrasi ke cutaneous yang
kemudian larva akan berkembang didalam tubuh inang (Parasitipedia 2016).

Cacing Ancylostoma sp ini mempunyai dua fase siklus hidup yaitu fase di
dalam tubuh dan fase diluar tubuh. Fase di dalam tubuh adalah fase di mana cacing
ini berkembang biak dan fase diluar tubuh adalah fase dimana cacing ini akan
berubah menjadi larva infektif yang menginfeksi inang lainnya. Anjing yang
terkena kontak langsung dengan larva infektif dari cacing Ancylostoma sp akan
mengakibatkan larva infektif menembus cutaneus. Larva pada cutaneus dibawa ke
jantung oleh pembuluh darah kemudian ke paru paru. Larva akan menembus
alveoli pulmonari menuju bronkial dan faring. Pada hewan definitif larva infektif
yang menginfeksi faring menyebabkan reaksi batuk sehingga larva dapat tertelan
dengan mudah (Samosir 2008)
Larva didalam usus halus akan berkembang menjadi dewasa. Cacing dewasa
Ancylostoma sp akan menghisap darah di usus halus anjing guna melangsungkan
hidupnya. Cacing ini akan merusak mukosa usus halus hingga berdarah.
Pendarahan di usus halus akan berlansung lama karena cacing ini menghasilkan
toksin antikoagulan darah (Fadhilah 2016). Gejala klinis yang diakibatkan oleh
infeksi cacing Ancylostoma sp berupa melena, anorexia, serta anemia akut. Infeksi
cacing terhadap usus halus akan menyebabkan terjadinya perubahan patologi pada
usus halus meliputi anemia, radang usus ringan hingga berat, hipoproteinemia,
gangguan penyerapan makan serta penurunan imunitas pada anjing (Fadhilah
2016).
Ancylostoma sp menjadi ancaman zoonosis bagi manusia. Manusia terinfeksi
cacing melalui larva infektif yang ada di lingkungan. Larva bermigrasi dari
lingkungan ke kulit manusia (Cutaneous Larvae Migran). Migrasi dari larva
menyebabkan rasa gatal yang sangat luar biasa. Larva akan bermigrasi hingga ke
usus halus sampai berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa menempel
dan menginfeksi dinding usus sehingga manusia banyak kehilangan darah akibat
dari infeksi cacing pada dinding usus.
Sumber: CDC 2013
Gambar 3. Siklus hidup Ancylostoma sp

2.2 Toxocariasis
Toxocariasis merupakan penyakit akibat infeksi dari cacing bergenus dari
Toxocara sp. Cacing jenis ini sering menginfeksi anjing dan juga dapat
menyebabkan terjadinya zoonosis pada manusia. Infeksi Toxocara sp ke anjing
menurut (Subronto 2006) dapat secara langsung, melalui inang paratenik, intra-
uteri dan transmamaria. Anak anjing sangat rentan terinfeksi telur infektif
Toxocara sp karena infeksi sering ditularkan melalui intra-uteri. Pertahanan tubuh
menjadi faktor lain yang mempengaruhi infeksi telur infektif ke anak anjing.
Rute infeksi lansung bisa terjadi karena infeksi telur infektif dari
lingkungan terhadap anjing. Telur infektif dari Toxocara sp mengandung larva
kedua yang akan menetas didalam tubuh anjing. Larva stadium kedua dalam 2 hari
bermigrasi ke hati. Didalam hati larva stadium kedua akan berkembang menjadi
larva stadium ketiga (Maizels et al. 2000). Larva stadium ketiga bermigrasi ke
jantung dan menuju ke paru paru melalui arteri pulmonalis kemudian menuju
alveoli, bronkioli, bronki hingga ke trakhea. Setelah dari trakhea larva bermigrasi
hingga ke usus. Usus menjadi tempat moulting dari larva (Maizels et al. 2000).
Telur infektif yang menginfeksi anjing yang berumur lebih dari 2-3 bulan tidak
semuanya akan berkembang menjadi dewasa. Telur infektif tetap berkembang
hingga larva stadium kedua yang kemudian bermigrasi ke jaringan somatik dalam
bentuk kista. Kista akan berlanjut ke infeksi intrauteri pada anjing betina
sedangkan pada anjing jantan kista tidak berkembang (Fatmawati 2014).

Kista yang bertahan pada jaringan somatik dapat mengakibatkan infeksi


secara intrauteri pada anjing yang bunting. Larva akan menembus plasenta dan
bermigrasi ke fetus anjing. Saat dilahirkan larva pada anak anjing berada di paru
paru. Larva yang berada di paru paru merupakan larva stadium ketiga yang
kemudian berkembang menjadi larva stadium empat dalam waktu satu minggu.
Larva menuju ke usus dan berkembang menjadi cacing dewasa di usus. Menurut
penelitian (Schnieder et al. 2011) larva dapat menginfeksi fetus dalam tiga kali
berturut-turut kehamilan dari induk anjing. Hal tersebut membuat infeksi intrauteri
sangat mengancam kehidupan anjing.
Infeksi melalui inang paratenik terjadi ketika anjing memakan karkas atau
daging dari inang paratenik yang telah terinfeksi telur Toxocara sp. Hewan
Teuku Romi Imansyah Putra, Ascaiasis

Ascariasis

Teuku Romi Imansyah Putra

AbsrrrlL Inf€ksi cacing usus masih mcrupakan rnasalah kcschatatr masyankat di D€ga.a
b€rkcmbang tcrmasuk Indoocsia. Askariasis adalah penyakit kcdu. lcrbesar )ang dis.babkan ol€h
makhluk parasir Ascaris lumbri.oides dewasa dapar menimbulkar b€rbagai .kibat mckanik
seperii obstnrksi usus, perforasi ulkus usus, sumbatan pemapasan, ftrkuensi teriingi penyakit ini
diderita olch anak-anak. Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditcrnukar cacing dewasa dalam
tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dcnean bentuk yara khas. Pemerikaan tirja dapat
dilakukan dchgan 3 car., yejtu cara s€de an., cara konsentrasi (caE Kato) dan cara kuantitatif
(K.ato K.tz). Selair itu bba puh dilarorksn pcmcdksaan R diologi untuk methat adaDy. pengEruh
dari inflEat di prru saeni sindrom to€mer, pncumoniiis eosinovili. PeDc€gahao dipat dilalcukar
dengan clla penyrluhan kes.hakn tentang sanitasi yang baik dan tcpat guna, Hygicnc k€Iuarga
dan hygicnc pribadi. obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan ascariasis adalah
m€bendazol, pimntel parnoaq levamisol hidroklorida, dan garam piperazin. KoEplikasi yang
terjadi bisa disebabkan olch migrasi ascads lumbricoides, massa ascaris, lneumonia dan abses hepatis pads
anak-anak. ffit 2010;2:109-116)
K.tr kuDcl: askariasis, cacing, pengobarzr
Abstocl lnfcctio of intBtinc worm slill bccome public healfi problem in deveioping country
including Iodonesia. Ascadasis is the mosdy rccond pamcitic djs.!sc. Adult Ascaris lumbricoid€s
may caus. some mechanics troublc includ€ irtcstine obstruction, pcptic p€rfomtioq and airway
obstsuctio[ Highcst frcqu.tlcy could be found in childrerl Dirgnosc can be confirmcd if adult
juic€
worm was sccn ir faeces or g.slric lhat wss vomitted and charact€rictically worm egg. The
study offacccs csn b€ p€rlonncd in 3 ways, simplc, conseniration (Kato) and quaditslivG ( Kato
Katz). Nevenhel€ss, it is possiblc to hav€ mdiologic finding that show infiltrate involvinS lung tike
loeffIer syndrome, and pncumonitis eosinophily. This diseasa can be preventcd by health
counsellirg aboul good sanitalion, family hygicnc 6nd persoDal hygicrc. The current m€dicine rhat is
us€d for reaun€flt asclriasis arE mebendazolc, pyranlcl pamo6l, levamisol hydroclorido, and
piper.zin. Thc complication may be caused by migration of Asca;s lumbricoidcs, lhc mass of
Ascalis l, pncumonia and livcr abscess in thc children . (JES 2010;2:109- 6)

Key+oNl : ficariasis, wor t tredtmen,


Pendahuluan

Infeksi cacing usus masih merupakan Salah satu penyebab infeksi cacing
masalah kesehatan masyarakat di usus adalah Ascaris lumbricoides
negatu berkembang termasuk atau lebih dikenal dengan cacing
Indonesia. Dikatakan pula bahwa gelang yang penularauuya dengan
masyaBkat pedesa.n atau daerah pemntaraan tanah ("Soil TraNmited
perkotaan yang sangat padat dan Helminths').Infeksi yang
kumuh merupakan sasarafl yan disebabkan oleh cacing ini disebut
mudah terkena infeksi cacing.l Ascariasis.2
Ascaris lumbricoides merupakan
Tdku Roni Inansyah Ptta odaldh rlosen cacing bulat besar yang biasanya
pa.la bagian Porasitologi Fakubas bersarang dalam usus halus. Adaoya
Kedokteran cacing di dalam usus penderita akan
Uhirersitar Syiah K ala mengadakan gangguan

keseimbangan fisiologi yang normal.

109
ruRNAL KEDOXTEMN SIAH KUALA Tolume 10 Nomor 2 Agutt rs 2010

dalam usus, mengadakan iritasi Ascaris Lumbricoides


setempat sehingga mengganggu
Serakan peristaltik dan penyerapan Morfologi
makanan. Cacing ini merupakan
parasit yang kosmopolit yaitu Cacing betina dewasa mempunyai
t€rsebar diseluuh dunia, lsbih bentuk tubuh posterior yar\B
banvak di ternukan di daerah membulat (conical), berwama putih
be.ii.lim panas dan lembab.3 Di kemerah-meraharr dan mernpunyai
beberapa daerah tropik derajat ekor lurus tidak melengkung. Cacing
infeksi dapat mencapai 100% dari betina mempunyai pariar,9 22 - 35
pendudulc Pada umumnya lebih crn dan memiliki lebar 3 - 6 mm.
baayak diternukan pada anak-amk Sernentam cacing jantan dewasa
-
berusia 5 l0 tahutr scbagai host mernpunyai ukuran lebih kecil,
(penjamu) yang juga menunjukkan dengan panjangnya 12 - 13 cm dan
beban cac,ng yang lebrh tulggr. lebamya 2 - 4 mm, juga mempuryai
Cacing dapat mgmpgdahankan warna yaig sama dengan cacing
posisinya didalam usus halus karena betina, tetapi mempunyai ekor yang
aktivitas otot-otot ini. Jika otot-otot melengkung ke arah ventral.
somatik di lumpuhkan deogan obat-
Kepalanya mernpunyai tiga bibir
obat adelrnintik, cacing akan
pada ujung anterior (bagian depan)
dikeluarkan dengan pergoakao
peristaltik normal. Tanhrlar, K dan mempruryai gigi-gigi kecil atau
deotikel pada phggimya, bibimya
(1980) yang dikutip oleh dapat ditutup atau dipanjangkan
Moersintowarti'mengemukakan
untuk memasukkan makanan.6'7
bahwa 20 ekor cacing Ascaris
Pada potonga[ melintang cacing
lumbricoides dewasa didalam usus
mempunyai kutikulum tebal yang
manusia oampu mengkonzumsi berdampingan dengan hipodennis
hidrat arang sebanyak 2,8 gram dan
dan menonjol kedalam rongga badan
0,7 gram prctein setiap hari. Dari hal
tersebut dapat dip€lkirakan besamya sebagai koda lateral. Sel otot
keruBian yang disebabkan oleh somatik besar dan panjang dan
inf$tasi cacing dalam jumlah yang terletak di hipodermis; gambaran
histologinya merupakar sifat tipe
cukup banyaksehilgga
polyrnyarincoelomyarin. Alat
menimbulkan keadaan kuraog gizi
(malnutrisi).5
reproduksi dal saluran pencemruur
mengapung didalam rongga badan,
cacing jantan mempunyai dua buah
Definisi
spekulum ,,ang dapat keluar dari
kloaka dan pada cacing betina, \.ulva
Askariasis adalah penyakit parasir
terbuka pada perbatasan sepertiga
yang disebabkan cacing Ascaris badan antedor dan tengah, bagian ini
lumbricoides. Askariasis adalah lebih kecil dan dikenal sebasai cincin
penyakit kedua terbesar yang kopr.rlasi.a'6 7
parasit. I
disebabkan oleh makJrluk

'110
Teulat Romi Imonsyah PuEa, Ascoiasb

Tetu! yang dibuahi (fertilized) Irpisan albuminoid id kadang-


berbentuk ovoid dengan ukuran 60- kadang dilepaskan atau hilang oleh
70 x 30-50 mihon. Bila banr zat kimia yang menghasilkan telur
dikeluarkan tidak infektif dan berisi tanpa kulit (decorticated). Didalam
satu sel tutrggal. Sel ini dikeliliugi rongga usus, telur memp€role.h
suatu m€mbran vitelin yang tipis wama kecoHatan dari pigtren
untuk meningkatkan daya tahan telw smpedu. Telur yang tidak dibuahi
cacing tqsebut t€rhadap lingkmgan (mfertilized) berada dalan tinja,
s€kitamyA sehingga dapat bertahan b€ntuk telur l6ih lonjong dan
hidup smpai satu tahua. Di sekitar aempunyai ukuran 88-94 x 4G.14
membran ini ada kulit bening dan mikon, meriliki dirding yaog tipis,
tebal yang dikelili4i lagi oleh berwama coklat dengan lapisan
lapisan albuminoid yary albumhoid yaog kuraog sempuma
Dermukaatrva tidak teratur atau dan isinya tidak teratur.'
aJ
ierdungkui (mamillation).2

Grmbr 1. Cacing dewasa b*ina


Siklus Hidup Dalam panr-paru larva tumbuh dan
berganti kulit sebnayak 2 kali,
Manusia merupakan satu-satunya kemudian keluar dari kapiler, masuk
hospes definitif Ascaris
ke alveolus dan seterusnya lalva
masuk sampai ke bronkus, trakhq,
lumbricoides, jika tertelan telu yang
infektif, maka didalam usus halus laring dar kemudian ke faring
berpindah ke esophagus dan terlelart
bagiafl atas telu! akan pecah darl
melalui saliva atau mereyap melalui
melepaskan larva infektif dan
epiglottis masuk ke dalam traktus
m€nernbus dinding usus masuk
digestivus. Teraklir larva sampai
kedalam vena porta hati yang
kedalam usus halus bagian atas, larva
kemudian bersama denga[ aliran
berganti kulit lagi menjadi cacing
darah menuju jantmg kanan dar
selanjutoya melalui arteri pu.lmonalis dewasa. Umur cacing dewasa kira-
ke paru-paru dengan masa migrasi kira satu tahun, dan kemudian keluar
/ secara spontan.T
berlangsung selama sekitar l5 hari.

111
JURNAL KEDOKTEMN SYAH KUALA llolume 10 Nomor 2 Agsars 2010

€F;d-€A {t

iep*E{,4&5*!a
Gambar 3, Siklus hidup Ascaris

Pemeriksaan Laboratorium Penyuluhan Kesehatan

o Pemeriksaan tinja der:gan cara :7 Penluluhan kesehataa tentang


-dan
o Cara sederhana sanitasi yang baik tepat guna,
o Cara kons€nhasi (Cara kalo) Hygiene keluarga dan hygiene
o Cam kuantitstif (Kato katz) pribadi sepqti :
l. Tidak menggunakan tinja sebagai
Pemeriksaan Khqrus pupuk tanarnan.
2. sebelum melakukao persiapan
. Radiologi : Dapat dilihat adaoya makanan dan hendak makan,
intrlhat bila lawa s€rneotara Pngan dicuci terl€bih dahulu
bermigrasi dalam palu-palu dengan menggunkan sabun.
(sindrom loeffla, pneumonitis 3. Bagi yang mengkonsumsi sayuran
eosinovili). segar (mentah) sebagai lalapan,
. Secara kebetulan dapat didetoksi hendaklah dicuci bersih dan
disiram lagi dengan air hangat.
dengan USG atau foto perut.T
Karetra telur cacing Ascaris dapat
hidup dalam tanah selama bedahuo-
Pe[cegahan dan Upaya
tahun, pencegahan dan
Penanggulangan
pembcrantasatr di daerah endemik
Berdasarkan kepada siklus hidup dan adalah sulit. Adapun upaya yang
sifat telur cacing ini, maka upaya dapat dilakukan untuk mencegah
pencegahannya dapat dilakukan penyakit ini adalah sebagai bsrikut :
sebagai beriL-ut :6
7J lJ4 l. Mengadakan kemotapi massal
setiap 6 bulan sekali didaerah
endemik ataupur daerah yang

114
PREVALENSI INFEKSI CACING HATI (Fasciola sp.) PADA SAPI
BALI DI KECAMATAN LIBURENG KABUPATEN BONE

SKRIPSI

ANNA ANGGRIANA
O11110113

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
1

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Ternak sapi potong merupakan salah satu sumber penghasil daging yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan
masyarakat. Seekor atau kelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai
macam kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan berupa daging, di samping
hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit, dan tulang. Daging sangat
besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein hewani. Sapi sebagai
salah satu hewan pemakan rumput sangat berperan sebagai pengumpul bahan
bergizi rendah yang diubah menjadi bahan bergizi tinggi, kemudian diteruskan
kepada manusia dalam bentuk daging (Sugeng, 2008).
Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan
yang buruk seperti di daerah bersuhu tinggi dan mutu pakan yang rendah. Di
samping itu, tingkat fertilitas sapi bali cukup tinggi dibandingkan dengan jenis
sapi lain, yaitu mencapai 83%. Selain mempunyai keunggulan, sapi bali juga
memiliki beberapa kelemahan antara lain amat peka terhadap beberapa jenis
penyakit yang tidak dijumpai pada ternak lain. Sapi bali diketahui rentan terhadap
penyakit yang disebabkan oleh cacing, apalagi jika dipelihara secara ekstensif dan
semi intensif (Guntoro, 2002).
Berkaitan dengan aspek pemeliharaannya, sapi bali harus mendapat
perhatian agar angka kelahirannya dapat ditingkatkan, sedangkan angka
kematiannya ditekan serendah mungkin. Pengendalian terhadap penyakit infeksius
seperti parasit sering diabaikan karena pada umumnya tidak menimbulkan bahaya
dan sebagian besar bersifat subklinik (Subronto, 2007).
Permintaan akan kebutuhan daging sapi dimasyarakat terus meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang sangat cepat. Selain
itu, kesadaran akan pentingnya pemenuhan gizi bagi masyarakat juga semakin
meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka diperlukan suatu usaha
pengembangan dan pencegahan penyakit pada ternak. Usaha pencegahan
penyakit pada ternak dimaksudkan supaya menjaga ternak tetap sehat (Murtidjo,
2012).
Fasciolosis adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi cacing Fasciola
gigantica. Penyakit tersebut merupakan penyakit penting pada ternak di daerah
tropis seperti Afrika, sub-kontinen India dan Asia Tenggara. Di Indonesia,
fasciolosis lebih sering terjadi pada sapi dan kerbau daripada domba dan kambing,
umumnya disebabkan oleh Fasciola gigantica. Fasciolosis terjadi dalam sebaran
yang luas terutama di lahan-lahan basah (Martindah, dkk., 2005).
Hasil penelitian mengenai infeksi Fasciola sp. di Indonesia pernah
dilaporkan dibeberapa daerah, seperti di Daerah Istimewa Jogjakarta, kejadiannya
mencapai 40-90% (Estuningsih, dkk., 2004), di Karangasem Bali, Fasciola sp.
mencapai 18.29% dari 257 sampel feses yang diperiksa (Sayuti, 2007), dan di
Perusda RPH Tamangapa Kota Makassar, diperoleh 53.95% sampel terinfeksi
Gambar 2. Morfologi Fasciola sp. (Nguyen, 2012)

Fasciola gigantica berukuran 25-27 x 3-12 mm, mempunyai pundak sempit,


ujung posterior tumpul, ovarium lebih panjang dengan banyak cabang, sedangkan
Fasciola hepatica berukuran 35 x 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung
posterior lancip. Telur Fasciola gigantica memiliki operkulum, berwarna emas
dan berukuran 190 x 100 µ, sedangkan telur Fasciola hepatica juga memiliki
operkulum, berwarna kuning emas dan berukuran 150 x 90 µ (Baker, 2007).

Gambar 3. Morfologi telur Fasciola sp. (Purwanta, dkk., 2009)

Purwanta, dkk. (2009) mengemukakan unsur-unsur yang tampak jelas pada


telur Fasciola sp. yang dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10
ialah sel-sel kuning telur (yolk) dan sel germinal yang tampak transparan di daerah
operkulum pada salah satu kutubnya (Gambar 3).

2.2.2 Siklus Hidup


Siklus hidup berbagai spesies Fasciola sp. umumnya memiliki pola yang
sama, dengan variasi pada ukuran telur, jenis siput sebagai hospes perantaranya
dan panjang waktu yang diperlukan untuk berkembang di dalam hospes tersebut,
7

maupun pertumbuhannya dalam hospes definitif (Subronto, 2007). Secara umum,


siklus hidup Fasciola sp. seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Siklus hidup Fasciola sp. (Bogitsh, dkk., 2012)

Di dalam tubuh hospes yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing dewasa
hidup di dalam hati dan bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama dengan
feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh
permukaan tubuhnya yang disebut mirasidium. Larva mirasidium kemudian
berenang mencari siput Lymnea. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam
siput air tawar (Lymnea rubiginosa). Setelah berada dalam tubuh siput selama 2
minggu, mirasidium akan berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai
kemampuan reproduksi secara aseksual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh
siput, sehingga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya sporosis melakukan
paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian redia melakukan paedogenesis
menjadi serkaria. Larva serkaria kemudian berekor menjadi metaserkaria, dan
segera keluar dari siput dan berenang mencari tanaman yang ada di pinggir
perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah
menempel, metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat
bertahan lama pada rumput, tanaman padi, atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan
tersebut termakan oleh hewan ruminansia maka kista tersebut dapat menembus
dinding usus, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan menjadi
dewasa selama beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali
(Ditjennak, 2012).
INFEKSI CACING KREMI PADA PENDERITA HIV POSITIF DI MAKASSAR

Yenni Yusuf
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan km. 10 Makassar 90245
e-mail: yenniyusuf@med.unhas.ac.id

Abstract: Pinworm Infection among HIV Infected Patients in Makassar. Pinworm (Enterobius
vermicularis) infection commonly occurs world-wide. High prevalence is found among children,
institutionalized population, homosexuals, and family contacts. In this research, we screened HIV
patients in Makassar for incidence of pinworm infection. We conducted hospital-based research and
community-based research. Stool samples were collected and were examined by Kato Katz method.
Among 50 samples, we found one sample containing E vermicularis eggs. The positive sample was
collected from a 9 year old-girl. Thus, the incidence of pinworm infection among HIV infected patient
in Makassar is 2 %.

Abstrak: Infeksi Cacing Kremi pada Penderita HIV Positif di Makassar. Infeksi cacing kremi
(Enterobius vermicularis) merupakan salah satu infeksi cacing yang banyak terjadi di seluruh dunia.
Prevalensi tinggi ditemukan pada anak, populasi panti, homoseksual, dan keluarga penderita. Pada
penelitian ini dilakukan skrining infeksi cacing kremi pada penderita HIV di Makassar, baik yang
sedang dirawat di RS Wahidin Sudirohusodo, maupun yang berada di komunitas. Sebanyak 50
sampel tinja penderita diperiksa dengan menggunakan menggunakan metode apusan tinja tebal Kato
Katz. Ditemukan satu sampel yang positif mengandung telur cacing E vermicularis dari sampel tinja
penderita anak perempuan berusia 9 tahun. Dengan demikian, tingkat kejadian infeksi cacing kremi
pada penderita HIV di Makassar sebesar 2 %.

Kata kunci: cacing kremi, enterobiasis, HIV

A. PENDAHULUAN
Penyakit kecacingan dapat mengakibatkan keluarga penderita (Baker & Peppercorn 1982;
menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit Lohiya et al 2000).
dan pada anak dapat menyebabkan terhambatnya Cara penularan infeksi cacing ini adalah
tumbuh kembang karena cacing mengambil sari melalui telur yang tertelan (CDC 2013), Telur
makanan yang penting bagi tubuh seperti protein, tersebut berasal dari daerah sekitar anus penderita
karbohidrat, dan zat besi yang dapat menyebabkan yang diletakkan oleh cacing betina pada malam hari
anemia. Salah satu spesies cacing yang umum dan menimbulkan gatal yang cukup hebat sehingga
menginfeksi manusia adalah cacing kremi atau penderita menggaruk daerah sekitar anus.
Enterobius vermicularis. Kecacingan akibat spesies Penularan dapat terjadi baik secara langsung dari
tersebut dikenal sebagai infeksi cacing kremi atau kontak tangan penderita maupun tidak langsung
disebut juga enterobiasis. melalui perantaraan benda-benda yang telah
Infeksi cacing kremi merupakan salah satu tersentuh. Penularan secara langsung yang juga
infeksi cacing yang banyak terjadi di seluruh dunia, dapat terjadi adalah penularan secara seksual
bahkan merupakan infeksi cacing yang terbanyak melalui kontak oral-anal (Warren 1987;
di Amerika Serikat (CDC, 2013). Prevalensi pada Abdolrasouli & Hart 20090; Sklyarova & Bodnya
anak mencapai 50% sedangkan orang dewasa 2013).
sebesar 20%. Selain anak, prevalensi tinggi Pada penderita Human Immunodeficiency
ditemukan pada populasi panti, homoseksual, dan Virus (HIV), tidak terdapat hubungan antara
kecacingan dengan penurunan sistem imun tubuh.

54
56 Jurnal Bionature, Volume 16, Nomor 1, April 2015, hlm.54-57

Manusia dapat terinfeksi bila menelan telur bermigrasi ke cavum abdomen, uterus, tuba
infektif yang mengandung embrio. Larva dalam ovarium ataupun vagina (Young et al 2010; Van
telur berkembang dalam waktu 4-6 jam setelah Weyenberg & De Boer 2013). Cruz et al (2012)
diletakkan di sekitar anus. Terdapat resiko melaporkan kejadian apendisitis akut pada seorang
terjadinya auto-infeksi, di mana penderita menelan penderita HIV diakibatkan obstruksi apendiks oleh
kembali telur cacing tersebut. Hal ini terjadi E vermicularis dan cacing Strongyloides stercoralis
apabila anak menggaruk kulit sekitar anus yang di Brazil. Migrasi cacing ke organ genital juga
terasa gatal, kemudian memasukkan jari-jarinya ke berpotensi menyebabkan infertilitas (Young et al
dalam mulut (CDC 2013). 2010).
Resiko penularan bagi anggota keluarga Gejala utama adalah gatal di sekitar anus
penderita juga cukup besar dikarenakan telur akibat peletakan telur, dan dapat terjadi infeksi
cacing dapat melekat pada peralatan rumah tangga sekunder bakteri yang diakibatkan lesi garukan
yang tersentuh oleh penderita, misalnya mainan, (Otu-Bassey et al 2005). Karena cacing betina
pakaian, seprai, kursi, meja, ataupun dudukan toilet meletakkan telurnya di daerah anus, maka metode
(Van Weyenberg & De Boer, 2013). Telur di pengumpulan spesimen yang paling reliable adalah
dalam rumah dapat bertahan hingga 2-3 minggu. metode Scotch-tape (Van Weyenberg & De Boer
Dikatakan pula bahwa penularan dapat terjadi 2013). Caranya adalah dengan merekatkan selotip
melalui inhalasi telur yang ada di karpet atau tirai yang transparan di daerah sekitar anus lalu dilihat
jendela, karena ukuran telur cacing yang sangat di bawah mikroskop ada tidaknya telur cacing E
kecil (CDC, 2013). vermicularis. Pemeriksaan ini dilakukan ketika
Setelah telur tertelan, larva di usus halus baru bangun pagi sebelum mencuci bagian anus.
akan menjadi dewasa dalam waktu 1-2 bulan Akurasi pemeriksaan ini mencapai 90% apabila
kemudian menuju ke usus besar. Secara umum dilakukan tiga hari berturut-turut (CDC 2013).
enterobiasis tidak berbahaya. Namun cacing dapat

Gambar 2. Siklus Hidup Cacing Kremi (CDC,2013)


Yusuf, Infeksi Cacing Kremi pada Penderita HIV Positif di Makassar 55

Namun, kecacingan dapat menyebabkan gangguan C. HASIL DAN PEMBAHASAN


gastrointestinal yang dapat memperburuk kondisi
Total penderita yang setuju mengikuti
pasien. Infeksi berat enterobiasis dapat
penelitian ada 50 orang dengan rentang usia 9-56
menyebabkan hilangnya nafsu makan dan
tahun. Dari total 50 sampel yang diperiksa,
penurunan berat badan. Dengan demikian, penting
ditemukan 1 sampel yang positif mengandung telur
untuk mengetahui ada tidaknya enterobiasis pada
Enterobius vermicularis (Gambar 1.) Dengan
penderita HIV. Belum ada data mengenai tingkat
demikian, insidensi penyakit enterobiasis adalah
kejadian infeksi cacing kremi pada penderita HIV
sebesar 2 %. Hasil ini hampir sama dengan hasil
di Makassar, sehingga penelitian ini bertujuan
sebuah penelitian retrospective di Ethiopia yang
untuk mengetahui insidensi infeksi cacing kremi
melaporkan bahwa dalam tahun 2005-2009
pada penderita HIV positif di Makassar, agar
prevalensi infeksi E vermicularis cukup rendah,
ditemukan gambaran mengenai karakteristik
berkisar antara 1.4 % - 2.4 % (Chala, 2013).
penderita.
Penderita adalah seorang anak perempuan
berusia 9 tahun. Hal ini sesuai dengan data dari
B. METODE
Center for Disease Control and Prevention (CDC)
Penelitian ini merupakan penelitian cross- bahwa angka kejadian enterobiasis pada anak lebih
sectional dengan menggunakan data primer hasil banyak daripada orang dewasa (CDC, 2013). Selain
pemeriksaan sampel dari pasien. Sampel tinja itu, hasil ini juga sejalan dengan hasil pada sebuah
penderita HIV positif dikumpulkan dalam pot steril penelitian cross-sectional di sebuah daerah
kemudian diperiksa dengan menggunakan metode pedesaan di Tanzania, di mana dilaporkan bahwa
Kato-Katz untuk mengidentifikasi ada tidaknya prevalensi infeksi E. vermicularis pada bayi adalah
telur cacing kremi pada penderita. 4.2%, usia pra sekolah 16.7%, sedangkan anak usia
Pengambilan sampel dilakukan antara sekolah sebesar 26.3% (Salim et al 2014).
bulan Oktober 2014 hingga Desember 2014. Manusia merupakan satu-satunya inang
Subjek penelitian adalah penderita HIV yang bagi E vermicularis. Cacing jantan berukuran 2-5
sedang dirawat di Infection Center RS Wahidin mm, sedangkan cacing betina berukuran 8-13 mm.
Sudirohusodo, dan penderita HIV di komunitas di Parasit ini hidup di mukosa sekum dan kolon
Kota Makassar. Sebelum mengikuti penelitian, asendens dan di bagian distal usus halus. Setelah
dilakukan informed consent terlebih dahulu untuk kopulasi, cacing jantan mati sedangkan cacing
persetujuan penderita mengikuti penelitian ini. betina bermigrasi ke anus dan meletakkan telurnya
Penelitian ini telah mendapatkan perse- di kulit perianal, biasanya pada malam hari. Cacing
tujuan dari komisi etik penelitian Fakultas dapat bertelur sebanyak 10000 telur (Van
Kedokteran Universitas Hasanuddin. Weyenberg & De Boer 2013).

Gambar 1. Telur Enterobius vermicularis pada Apusan Tinja Penderita HIV Berusia 9 Tahun.
Tampak Telur Cacing Kremi yang Khas Berbentuk Lonjong Asimetris Berisi Embrio
pada Perbesaran Objektif 40X (Lab Parasitologi Unhas, 2014)
WARTAZOA Vol. 19 No. 2 Th. 2009

TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS MERUPAKAN PENYAKIT


ZOONOSIS PARASITER
SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

(Makalah diterima 5 Pebruari 2009 – Revisi 22 Mei 2009)

ABSTRAK

Taeniasis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pita dari genus Taenia dan infeksi oleh larvanya disebut
Sistiserkosis. Beberapa spesies Taenia bersifat zoonosis dan manusia sebagai induk semang definitif, induk semang perantara
atau keduanya. Manusia adalah induk semang definitif untuk Taenia solium, T. saginata dan T. asiatica, akan tetapi untuk Taenia
solium dan T. asiatica, manusia berperan sebagai induk semang perantara. Hewan, seperti babi adalah induk semang perantara
untuk T. solium dan T. asiatica, dan sapi sebagai induk semang perantara untuk T. saginata. Manusia dapat terinfeksi Taeniasis
dengan memakan daging sapi atau daging babi yang mengandung larva (sistiserkus). Penularan sistiserkosis dapat melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing Taenia spp. Penularan juga bisa terjadi secara autoinfeksi akibat
kurangnya kebersihan. Diagnosis taeniasis berdasarkan penemuan telur cacing atau proglotid dalam feses manusia. Diagnosis
pada hewan hidup dapat dilakukan dengan palpasi pada lidah untuk menemukan adanya kista atau benjolan. Uji serologik bisa
juga membantu dalam mendiagnosis sistiserkosis pada manusia ataupun hewan. Cacing pita dewasa di dalam usus dapat dibunuh
dengan pemberian obat cacing dan pencegahannya dengan menghindari daging mentah atau daging yang kurang matang, baik
daging babi untuk T. solium dan T. asiatica, dan daging sapi untuk T. saginata. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi
Taenia solium, T. saginata atau T. asiatica, ternak babi ataupun sapi dijauhkan dari tempat pembuangan feses manusia.
Kata kunci: Taeniasis, sistiserkosis, zoonosis, babi, sapi

ABSTRACT

TAENIASIS AND CYSTICERCOSIS AS A ZOONOTIC PARASITIC DISEASE

Taeniasis is a parasitic disease caused by tapeworms from the genus Taenia, and infection with the larvae form of Taenia is
called Cysticercosis. Some species of Taenia are zoonotic, and humans serve as the definitive host, the intermediate host or both.
Humans are the definitive hosts for Taenia solium, T. saginata and T. asiatica, however, humans also act as an intermediate host
for T. solium and T. asiatica. Animals, such as pigs, are the intermediate host for T. solium and T. asiatica, and cattle are the
intermediate host for T. saginata. Humans can be infected by taeniasis when they eat beef or pork that contains larvae
(cysticercus). While, cysticercosis is transmitted via food or water contaminated with the eggs of Taenia spp. The transmission
may also occur by autoinfection due to lack of hygiene. The diagnosis of taeniasis based on finding the eggs or proglotid in the
human feces. For diagnosing cysticercosis in live animals can be done by tongue palpation to find the presence of cysts or
nodules. Serological test may also help for diagnosing cysticercosis in humans or animals. Adult tapeworms in the intestine can
be killed by anthelmintic and prevention of taeniasis can be conducted by avoiding raw or undercooked pork (T. solium and T.
asiatica) and beef (T. saginata). Besides that, to prevent the infection of T. solium, T. saginata or T. asiatica, pigs or cattle should
not be exposed to human feces.
Key words: Taeniasis, cysticercosis, zoonotic, pig, cattle

PENDAHULUAN brauni dan T. asiatica. Larva dari cacing Taenia disebut


metasestoda, menyebabkan penyakit sistiserkosis pada
Taenia spp. adalah cacing pita (tapeworm) yang hewan dan manusia. Sedangkan, cacing dewasa yang
panjang dan tubuhnya terdiri dari rangkaian segmen- hidup di dalam usus halus induk semang definitif
segmen yang masing-masing disebut proglotid. Kepala (carnivora) seperti manusia, anjing dan sejenisnya,
cacing pita disebut skoleks dan memiliki alat isap penyakitnya disebut Taeniasis. Berdasarkan laporan dari
(sucker) yang mempunyai kait (rostelum). Cacing pita OIE (2005), T. asiatica merupakan spesies baru yang
ini termasuk famili Taeniidae, subklas Cestode dan ditemukan di Asia yang semula dikenal dengan nama T.
genus Taenia. Beberapa spesies cacing Taenia antara taewanensis. T. asiatica hanya ditemukan di beberapa
lain, Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps, T. ovis, negara di Asia seperti Taiwan, Korea, China (beberapa
T. taeniaeformis atau T. hydatigena, T. serialis, T. propinsi), Indonesia (di Sumatera Utara,

84
SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH: Taeniasis dan Sistiserkosis Merupakan Penyakit Zoonosis Parasiter

Papua dan Bali) dan Vietnam (EOM et al., 2002; ITO et menurut laporan yang ada hanya terjadi pada tahun
al., 2003). 1977 – 1980 dan 1988, prevalensinya masing-masing
T. saginata adalah cacing pita pada sapi dan T. adalah 0,31% (100/32.199), 0,30% (102/33.842),
solium adalah cacing pita pada babi, merupakan 1,51% (476/31.586), 2,39% (844/35.288) dan 1,93%
penyebab taeniasis pada manusia. Manusia adalah (674/34.887).
induk semang definitif dari T. solium dan T. saginata, Infeksi sistiserkosis pada babi yang tertinggi juga
dan juga sebagai induk semang definitif dari T. asiatica terjadi di Bali dan Papua. Di Papua dilaporkan 70,4%
(OIE, 2005). Sedangkan, hewan seperti anjing dan (50/71) babi positif T. solium secara serologi
kucing merupakan induk semang definitif dari T. ovis, (seropositif), dan dinyatakan bahwa babi tersebut telah
T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. terinfeksi oleh metasestoda dari T. solium (SUBAHAR et
serialis dan T. brauni. Pada T. solium dan T. asiatica, al., 2001), demikian juga 10,9% (7/64) anjing lokal
manusia juga bisa berperan sebagai induk semang dinyatakan seropositif terhadap sistiserkus dari T.
perantara. Selain manusia, induk semang perantara solium (SUROSO et al., 2006). Pada umumnya, T. solium
untuk T. solium adalah babi, sedangkan induk semang jarang ditemukan di daerah yang berpenduduk muslim
perantara T. saginata adalah sapi. karena tidak memakan daging babi. Akan tetapi, di
T. solium yang terdapat pada daging babi beberapa daerah seperti Papua dan Timor merupakan
menyebabkan penyakit Taeniasis, dimana cacing problem kesehatan masyarakat, karena penduduknya
tersebut dapat menyebabkan infeksi saluran pencernaan masih mengkonsumsi daging babi yang tercemar
oleh cacing dewasa, dan bentuk larvanya dapat sistiserkus.
menyebabkan penyakit sistiserkosis. Cacing T. Penyakit Taeniasis dan sistiserkosis sangat
saginata pada daging sapi hanya menyebabkan infeksi berkaitan erat dengan faktor sosio-kultural, seperti cara
pada pencernaan manusia oleh cacing dewasa. Penyakit pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan dan
Taeniasis tersebar di seluruh dunia dan sering dijumpai kebiasaan pengolahan makanan yang kurang matang
dimana orang-orang mempunyai kebiasaan serta kebiasaan makan yang kurang sehat dan masih
mengkonsumsi daging sapi atau daging babi mentah rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan
atau yang dimasak kurang sempurna. Selain itu, pada lingkungan. Untuk itu, pada tulisan ini akan
kondisi kebersihan lingkungan yang jelek, makanan disampaikan tentang beberapa jenis cacing Taenia, cara
sapi dan babi bisa tercemar feses manusia yang bisa penularan, metode diagnosis yang dilakukan serta
menyebabkan terjadinya penyakit tersebut. upaya pencegahan dan pengobatan penyakit Taeniasis/
Kejadian penyakit Taeniasis paling tinggi di sistiserkosis baik pada hewan maupun pada manusia.
Negara Afrika, Asia Tenggara dan negara-negara di
Eropa Timur. Di Indonesia terdapat tiga provinsi yang
BEBERAPA JENIS CACING TAENIA
berstatus endemi penyakit Taeniasis/sistiserkosis yaitu:
Sumatera Utara, Papua dan Bali (ITO et al., 2002a; b;
Genus cacing pita yang paling penting adalah
2003; 2004; MARGONO et al., 2001; SIMANJUNTAK et
Taenia. Cacing dewasa dan stadium larva dari beberapa
al., 1997). Kasus Taeniasis juga pernah terjadi di
spesies cacing Taenia merupakan bagian yang sangat
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, NTT dan
penting terhadap kesehatan manusia dan veteriner. Induk
Kalimantan Barat. Berdasarkan laporan dari
SIMANJUNTAK et al. (1997) dan MARGONO et al. semang definitif, induk semang perantara dan bentuk
(2000) prevalensi sistiserkosis di Indonesia bervariasi larvanya ditampilkan pada Tabel 1.
antara 2% di Bali dan 48% di Papua. Selanjutnya,
MARGONO et al. (2003) melaporkan bahwa ada sekitar Cacing Taenia yang bersifat zoonosis
8,6% (5/58) dari penduduk lokal di kota Wamena
terinfeksi cacing dewasa T. solium. Sedangkan, T. solium
prevalensi Taeniasis (T. saginata) di daerah urban
sekitar Denpasar, Bali selama tahun 2002 – 2004 Pada umumnya cacing dewasa T. solium berada di
adalah 14,1% (56/398) (WANDRA et al., 2006). Jumlah dalam usus halus manusia, panjangnya bisa mencapai 3
kasus tertinggi ditemukan pada laki-laki yang berumur – 5 meter dan dapat hidup selama 25 tahun (SOULSBY,
antara 30 – 40 tahun. Hal ini disebabkan karena di 1982). Manusia sebagai induk semang definitif,
desa-desa laki-laki sering menikmati/memakan daging sedangkan, induk semang perantara adalah babi
mentah bersama sambil minum tuak. Selanjutnya, domestik dan babi liar. Larva dari T. solium kadang-
berdasarkan laporan dari Direktorat Kesehatan Hewan, kadang juga bisa ditemukan pada induk semang
prevalensi sistiserkosis pada sapi di 4 kabupaten di Bali perantara lainnya termasuk domba, anjing, kucing,
(Badung, Gianjar, Klungkung dan Tabanan) tahun 1977 rusa, unta dan manusia (OIE, 2005). Larva T. solium
masing-masing adalah 3,3, 16,9, 1,2 dan 8,3% (SUROSO disebut Cysticercus cellulose. Sistiserkus T. solium
et al., 2006). Sistiserkosis pada sapi di Bali biasanya ditemukan pada otot daging, sangat

85
SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH: Taeniasis dan Sistiserkosis Merupakan Penyakit Zoonosis Parasiter

Tabel 1. Induk semang definitif dan induk semang perantara dari Taenia spp.

Tempat ditemukannya
Cacing dewasa Induk semang definitif Larva Induk semang perantara
Larva
T. saginata Manusia Cysticercus bovis Sapi Daging
T. solium Manusia Cysticercus cellulose Babi, manusia Daging
T. multiceps Anjing Coenurus cerebralis Domba, sapi Sistem syaraf pusat
T. hydatigena Anjing Cysticercus tenuicollis Domba, sapi, babi Peritonium
T. ovis Anjing Cysticercus ovis Domba Daging
T. pisiformis Anjing Cysticercus pisiformis Kelinci Peritonium
T. serialis Anjing Coenurus serialis Kelinci Connective tissue
T. taeniaeformis Kucing Cysticercus fasciolaris Tikus Hati
T. krabbei Anjing Cysticercus tarandi Rusa Daging
Sumber: URQUHART et al. (1996)

CARA PENULARAN DAN SIKLUS HIDUP (mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar
CACING Taenia spp. bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam
usus sapi akan tumbuh dan berkembang menjadi
Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. onkoster (telur yang mengandung larva). Larva
memerlukan 2 induk semang yaitu induk semang onkoster menembus usus dan masuk ke dalam
definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian
untuk T. saginata dan babi untuk T. solium). T. sampai ke otot/daging dan membentuk kista yang
saginata tidak secara langsung ditularkan dari manusia disebut C. bovis (larva cacing T. saginata). Kista akan
ke manusia, akan tetapi untuk T. solium dimungkinkan membesar dan membentuk gelembung yang disebut
bisa ditularkan secara langsung antar manusia yaitu sistiserkus. Manusia akan tertular cacing ini apabila
melalui telur dalam tinja manusia yang terinfeksi memakan daging sapi mentah atau setengah matang.
langsung ke mulut penderita sendiri atau orang lain. Dinding sistiserkus akan dicerna di lambung sedangkan
Siklus hidup cacing T. saginata dapat dilihat pada larva dengan skoleks menempel pada usus manusia.
Gambar 1. Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa
Di dalam usus manusia yang menderita Taeniasis yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat
(T. saginata) terdapat proglotid yang sudah masak menghasilkan telur. Bila proglotid masak akan keluar

Gambar 1. Siklus hidup cacing Taenia


Sumber: PUSTEKKOM (2005)

87
WARTAZOA Vol. 19 No. 2 Th. 2009

melaporkan bahwa dari 420 sampel serum babi yang oxfendazole pada sapi dan babi yang terinfeksi T.
diperiksa dengan ELISA, 47 ekor babi (11,2%) saginata dan T. solium kistanya mengalami degenerasi.
menunjukkan seropositif terhadap sistiserkosis dan dari
210 sampel serum sapi, 11 ekor sapi (5,23%)
KESIMPULAN
menunjukkan seropositif terhadap sistiserkosis. Uji
ELISA sangat spesifik untuk mendeteksi antibodi
Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang
sistiserkosis pada manusia dan babi (ITO et al., 1999).
Selanjutnya, ITO et al. (2002b) melaporkan bahwa disebabkan oleh cacing Taenia dewasa, sedangkan
sistiserkosis pada anjing dapat juga terdeteksi secara sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang
serologi, tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya masih disebabkan oleh larva dari salah satu spesies cacing
perlu dievaluasi. Sedangkan, kista yang ditemukan di Taenia.
anjing tersebut berdasarkan pemeriksaan morfologinya Induk semang definitif dari T. saginata, T. solium
adalah T. solium. dan T. asiatica hanya manusia, kecuali T. solium dan T.
asiatica manusia juga berperan sebagai induk semang
perantara. Sedangkan, babi adalah induk semang
UPAYA PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN perantara untuk T. solium dan sapi adalah induk
PENYAKIT semang perantara untuk T. saginata. Adapun induk
Penyakit sistiserkosis pada hewan dapat ditekan semang definitif dari cacing Taenia selain ketiga
dengan cara mengobati induk semang definitif yang spesies tersebut adalah hewan carnivora (anjing/
menderita Taeniasis. Anjing yang sering berkeliaran kucing).
dan bergabung dengan hewan ternak lain harus Penularan Taeniasis melalui makanan yaitu
dihindarkan dan dicegah supaya tidak memakan memakan daging yang mengandung larva, baik yang
bangkai hewan yang terinfeksi Taenia. Selain itu, untuk terdapat pada daging sapi (C. bovis) ataupun daging
mencegah terjadinya infeksi dengan T. solium, T. babi (C. cellulose atau C. vicerotropika). Sedangkan,
saginata dan T. asiatica, hewan ternak dilarang kontak penularan sistiserkosis pada manusia melalui makanan
langsung dengan feses manusia. Taeniasis pada kucing atau minuman yang tercemar telur cacing T. solium
dan anjing dapat ditekan dengan melarang hewan atau T. asiatica. Telur T. saginata tidak menimbulkan
tersebut memakan hewan pengerat (rodent) atau induk sistiserkosis pada manusia.
semang perantara lainnya dan dihindarkan dari Diagnosis dapat dilakukan dengan palpasi pada
memakan daging mentah. hewan terutama di daerah endemis. Palpasi dilakukan
Untuk mencegah Taeniasis pada manusia, dapat untuk melihat adanya benjolan/kista di jaringan bawah
dilakukan dengan menghindari memakan daging yang kulit atau intra muskular. Pemeriksaan feses dilakukan
kurang matang, baik daging babi (untuk T. solium) untuk menemukan adanya telur cacing atau proglotid
maupun daging sapi (untuk T. saginata). Daging yang pada penderita Taeniasis terutama pada manusia.
terkontaminasi harus dimasak dahulu dengan suhu di Diagnosis secara serologik dengan ELISA juga bisa
atas 56 C. Selain itu, dengan membekukan daging diterapkan untuk hewan maupun manusia.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan
terlebih dahulu, dapat mengurangi risiko penularan
menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati
penyakit. Menurut FLISSER et al. (1986), daging yang
penderita Taeniasis dan menghilangkan kebiasaan
direbus dan dibekukan pada suhu -20 C dapat
memakan daging setengah matang atau mentah.
membunuh sistiserkus. Sistiserkus akan mati pada suhu
Pemeriksaan daging oleh dokter hewan atau mantri hewan
-20 C, tetapi pada suhu 0 – 20 C akan tetap hidup
di Rumah Potong Hewan (RPH) perlu dilakukan, sehingga
selama 2 bulan, dan pada suhu ruang akan tahan selama
daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi
26 hari (BROWN dan BELDING, 1964).
masyarakat. Selain itu, ternak sapi atau babi dipelihara
Pengobatan Taeniasis pada hewan bisa dilakukan
pada tempat yang tidak tercemar atau dikandangkan
dengan pemberian obat cacing praziquantel,
sehingga tidak dapat berkeliaran.
epsiprantel, mebendazole, febantel dan fenbendazole.
Demikian juga untuk pengobatan Taeniasis pada
manusia, pemberian obat cacing praziquantel, DAFTAR PUSTAKA
niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat
membunuh cacing dewasa dalam usus. Adapun BROWN, H.W. and D.L. BELDING. 1964. Basic clinical
nd
sistiserkosis pada hewan bisa diobati dengan parasitology. 2 . Eds. New York, USA. Meridith
melakukan tindakan operasi (bedah). Berdasarkan Publishing Co. pp. 172 – 173.
laporan dari OIE (2005), hanya sedikit sekali informasi CHO, S.Y., Y. KONG, S.I. KIM and S.Y. KANG. 1992.
tentang penggunaan obat cacing terhadap penyakit Measurement of 150 kDa protein of Taenia solium
sistiserkosis pada hewan. OIE (2008) melaporkan metacestoda by enzyme-linked immunoelectrotransfer
bahwa pengobatan dengan albendazole dan blot technique. Korean J. Parasitol. 30(4): 299 – 307.

90
PROTOZOA PARASITIK DARAH DAN SALURAN
PENCERNAAN PADA ULAR SAWAH (PTYAS CORROS)
DI KABUPATEN NGAWI

FAJAR SAKTI NUR HARDIANSYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
tropozoit yang siap meginfiltrasi mukosa usus dan sebagian yang lain akan
4

membentuk kista yang akan dikeluarkan kembali bersama feses (Tampubolon


2004).

2. Balantidium sp.
Balantidium sp. merupakan protozoa yang diklasifikasikan kedalam kelas
Kinetofragminophora. Parasit ini memiliki flagel yang berfungsi untuk
menangkap dan menelan makanan. Ukuran Balantidium sp. berbeda tiap
spesiesnya. Bentuk dewasa (trofozoit) rata-rata berukuran 50-60, sedangkan
bentuk kistanya berukuran 40-60 mikron (Tampubolon 2004). Bentuk kista
merupakan bentuk yang siap dikeluarkan dari saluran pencernaan bersama feses.
Kista Balantidium sp. dapat bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang
ekstrim. Selain itu, bentuk kista yang keluar bersama feses memudahkan parasit
ini untuk menginvasi spesies lain melalui makanan atau minuman yang tercemari
oleh kista tersebut. Kista Balantidium sp. memiliki ciri, yaitu berbentuk bulat
ovoid, ellipsoidal, memiliki makronukleus yang besar dan dinding kistanya terdiri
dari dua lapis (Levine 1995).

Gambar 4 Sketsa morfologi Balantidium sp. (Chiodini et al. 2001).

Balantidium sp. memiliki dua bentuk, yaitu bentuk trofozoit dan kista. Kista
merupakan bentuk dari Balantidium sp. yang dapat melakukan transmisi ke
spesies lain. Kista yang tertelan oleh induk semang akan berubah menjadi
tropozoit dan melisiskan membran kistanya. Proses lisisnya membran kista
disebut dengan ekskistasis dan proses ini berlangsung di usus halus. Tropozoit
yang terbentuk dari kista dapat bermigrasi dan menginvasi usus besar. Di dalam
usus, Balantidium sp. menyerap eritrosit, leukosit jaringan granula tepung dan sisa
lain. Kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan yang cukup, membuat
tropozoit memperbanyak diri dengan cara membelah diri atau konjugasi sebelum
keluar dari usus dan membentuk kista kembali (CDC 2013)2.
Parasit ini dapat ditemukan di saluran pencernaan, terutama menginvasi
diantara lapisan mukosa dan submukosa colon sehingga dapat mengakibatkan
ulser pada kolon tersebut dan diare berdarah (Stephen dan Dwight 2006). Infeksi
sekunder akibat dari adanya ulser kolon menjadi faktor pendukung patogenitas
yang disebabkan oleh parasit ini.

tropozoit yang siap meginfiltrasi mukosa usus dan sebagian yang lain akan
4

membentuk kista yang akan dikeluarkan kembali bersama feses (Tampubolon 2004).

2. Balantidium sp.
Balantidium sp. merupakan protozoa yang diklasifikasikan kedalam kelas
Kinetofragminophora. Parasit ini memiliki flagel yang berfungsi untuk menangkap
dan menelan makanan. Ukuran Balantidium sp. berbeda tiap spesiesnya. Bentuk
dewasa (trofozoit) rata-rata berukuran 50-60, sedangkan bentuk kistanya berukuran
40-60 mikron (Tampubolon 2004). Bentuk kista merupakan bentuk yang siap
dikeluarkan dari saluran pencernaan bersama feses. Kista Balantidium sp. dapat
bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. Selain itu, bentuk kista yang
keluar bersama feses memudahkan parasit ini untuk menginvasi spesies lain melalui
makanan atau minuman yang tercemari oleh kista tersebut. Kista Balantidium sp.
memiliki ciri, yaitu berbentuk bulat ovoid, ellipsoidal, memiliki makronukleus yang
besar dan dinding kistanya terdiri dari dua lapis (Levine 1995).

Gambar 4 Sketsa morfologi Balantidium sp. (Chiodini et al. 2001).

Balantidium sp. memiliki dua bentuk, yaitu bentuk trofozoit dan kista. Kista
merupakan bentuk dari Balantidium sp. yang dapat melakukan transmisi ke spesies
lain. Kista yang tertelan oleh induk semang akan berubah menjadi tropozoit dan
melisiskan membran kistanya. Proses lisisnya membran kista disebut dengan
ekskistasis dan proses ini berlangsung di usus halus. Tropozoit yang terbentuk dari
kista dapat bermigrasi dan menginvasi usus besar. Di dalam usus, Balantidium sp.
menyerap eritrosit, leukosit jaringan granula tepung dan sisa lain. Kondisi lingkungan
dan ketersediaan makanan yang cukup, membuat tropozoit memperbanyak diri
dengan cara membelah diri atau konjugasi sebelum keluar dari usus dan membentuk
kista kembali (CDC 2013)2.
Parasit ini dapat ditemukan di saluran pencernaan, terutama menginvasi
diantara lapisan mukosa dan submukosa colon sehingga dapat mengakibatkan ulser
pada kolon tersebut dan diare berdarah (Stephen dan Dwight 2006). Infeksi sekunder
akibat dari adanya ulser kolon menjadi faktor pendukung patogenitas yang
disebabkan oleh parasit ini.

Anda mungkin juga menyukai