Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM BIOMEDIK 2

Pertemuan 8 : Nematoda Jaringan dan Protozoa


Jaringan

Disusun oleh:
NAMA : KAMILAH ZAFIRAH
NIM : 2000029238
GOLONGAN : D1

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2021
Pertemuan 8b
Nematoda Jaringan dan Protozoa Jaringan

A. Tujuan
1) Memahami morfologi nematode jaringan dan protozoza jaringan pada
berbagai stadium
2) Mengidentifikasi nematoda jaringan dan protozoa jaringan dalam
berbagai stadium
B. Metode
a) Alat dan Bahan
1) Preparat Nematoda jaringan dan protozoa jaringan
2) Mikroskop
b) Cara Kerja
1) Letakkan preparat pada meja benda mikroskop
2) Lihat preparat pada perbesaran terkecil (4X), ubah perbesaran lensa
objektif hingga benda dapat terlihat jelas (mak 100X).
3) Identifikasi morfologi dari tiap preparat
4) Gambar dan beri keterangan pada lembar kerja praktikum.
C. Hasil Pengamatan

Brugia malayi

Microfilaria: Larva stadium 3


a. panjang 117-230 mikro mete Dapat ditemukan pada nyamuk
b. ruang kepala panjang = 2x mansonia/ Anopheles, Culex
lebar
c. ujung ekor ada 2 inti terpisah
d. badan mempunyai inti tidak
teratur
e. selubung: +
Toxoplasma gondii

Takizoit
a. Bentuk takizoit
menyerupai bulan sabit
dengan ujung yang runcing
dan ujung lain agak
membulat.
b. Ukuran panjang 4-8
mikron, lebar 2-4 mikron.
c. Mempunyai selaput sel,
satu inti yang terletak di
tengah bulan sabit dan
beberapa organel lain
seperti mitokondria dan
badan golgi
d. terdapat di dalam tubuh
hospes antara seperti
burung dan mamalia
termasuk manusia

D. Pembahasan
Brugia malayi (B. malayi) adalah sebuah nematoda (cacing)
parasit yang merupakan salah satu penyebab filariasis limfatik. Filariasis
(elephenthiasis/kaki gajah) merupakan penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah
bening. Terdapat tiga spesies cacing penyebab filariasis yaitu Wuchereria
brancofti; Brugia malayi; Brugia timori (Dirjen P2PL, 2008). B. malayi
dapat dibagi dalam 2 varian yaitu yang hidup pada manusia, dan yang
hidup pada hewan, misalnya kera, kucing, dan lain-lain (Gandahusada, S,
2003).
Filaria sp. memiliki siklus hidup sehingga dapat menginfeksi
manusia dan menimbulkan gejala. Siklus tersebut dimulai dari dalam
tubuh nyamuk sampai menimbulkan penyakit filariasis adalah sebagai
berikut: di dalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria yang ikut terhisap
waktu menghisap darah akan melakukan penetrasi pada dinding lambung
dan berkembang di dalam thorax hingga menjadi larva infektif yang akan
berpindah ke proboscis. Larva infektif (L3) akan masuk melalui lubang
bekas tusukan nyamuk di kulit dan selanjutnya akan bergerak mengikuti
saluran limfa. Sebelum menjadi cacing dewasa, larva infektif tersebut akan
mengalami perubahan bentuk sebanyak dua kali. Larva L3 (masa inkubasi
ekstrinsik dari parasit) Brugia malayi memerlukan waktu 3,5 bulan untuk
menjadi cacing dewasa (Depkes RI, 2006)

Filariasis pada manusia umumnya disebabkan oleh cacing


nematoda Brugia malayi, Brugia timori dan Wuchereria bancrofti,
sedangkan pada hewan disebabkan oleh cacing utama Dirofilaria
immitis dan Dirofilaria reppens (Mj. Taylor, dkk) . Oleh karena itu,
filariasis pada hewan juga dikenal dengan nama Dirofilariasis
atau penyakit cacing jantung anjing. Parasit ini berpotensi
zoonosis dan telah dilaporkan endemis di beberapa wilayah di Eropa,
Benua Amerika, Australia, dan sebagian Asia. Berbeda dengan
filariasis pada manusia yang mengakibatkan limfatik filariasis,
dirofilariasis pada manusia dapat mengakibatkan terjadinya lesi kulit,
membran konjungtiva, lesi pada pembuluh jantung, infeksi pada paru
dan pembuluh darah (M.Kronefeld, dkk, 2014). Infeksi pada area
abdomen dan organ sekspria juga pernah dilaporkan di Jerman.
Upaya pencegahannya dengan memberikan penyuluhan di daerah
endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor nyamuk.
Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam
nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi tempat
dan waktu menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya secara
tepat. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan apabila penularan
terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah
adalah dengan penyemprotan menggunakan pestisida residual, memasang
kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu (lebih baik jika sudah
dicelup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok anti nyamuk
(repellents) dan membersihkan tempat perkembangbiakan nyamuk seperti
kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan membunuh larva
dengan larvasida apabila penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit
pada malam hari di dalam rumah. Jika ditemukan Mansonia sp. sebagai
vektor pada suatu daerah, tindakan yang dilakukan adalah dengan
membersihkan kolam-kolam dari tumbuhan air yang menjadi sumber
oksigen bagi larva tersebut. Pengendalian vektor jangka panjang mungkin
memerlukan perubahan konstruksi rumah dan termasuk pemasangan
kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkan tempat
perkembangbiakan nyamuk. Melakukan pengobatan dengan menggunakan
diethilcarbamazine citrate. Pencegahan massal melalui kontrol vektor
(nyamuk) dapat dilakukan, namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat
masa hidup parasit yang panjang sekitar 4-8 tahun. Baru-baru ini diberikan
pengobatan dosis tunggal, satu kali per tahun, dengan dua regimen obat
yaitu Albendazol 400 mg dan Ivermectin 200mg/kgBB. Pencegahan
individu dengan mengurangi kontak dengan nyamuk melalui penggunaan
kelambu, obat oles anti nyamuk, serta insektisida (Depkes RI, 2006)
Toxoplasmosis merupakan suatu penyakit zoonosis yang
disebabkan oleh Toxoplasama gondii. Infeksi Toxoplasma gondii
menyebar pada sebagian besar penduduk dunia, tapi sedikit saja yang
bermanifestasi klinis secara nyata (Widagdo, 2012). Taksonomi dari
Toxoplasma gondii adalah sebagai berikut (Hill & Dubey, 2014):
Regnum : Protista Filum : Apicomplexa Kelas : Sporozoasida Subkelas :
Coccidiasina Bangsa : Eucoccidioridia Subbangsa : Eimeriorina Suku :
Toxoplasmatidae Marga : Toxoplasma Jenis : Toxoplasma gondii
Siklus hidup parasit ini terdiri dari dua fase yaitu fase intestinal dan
fase ekstraintestinal. Fase intestinal hanya terjadi pada golongan kucing
dan menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersama dengan tinja ke
lingkungan. Fase ekstraintestinal dapat terjadi pada semua hewan yang
terinfeksi termasuk kucing dan menghasilkan takizoit dan bradizoit
(Soedarto, 2012). Kucing meghasilkan ookista non-infektif yang
dikeluarkan ke lingkungan bersama dengan tinja. Dalam waktu 1- 5 hari di
lingkungan, ookista menjadi bentuk infektif yang mengandung 4 sporozoit
infekif. Hospes perantara atau manusia dapat tertelan ookista infektif
melalui makanan, tanah atau air yang mengandung ookista. Dalam usus
kecil, sporokista masuk ke epithelial usus. Sporozoit memperbanyak diri
dengan cara endodiogeni dan membentuk takizoit. Takizoit masuk ke
membran sel hospes melalui penetrasi aktif. Di dalam sel hospes, takizoit
membentuk vakuola parasitophorus dan memperbanyak diri secara
aseksual. Takizoit yang memperbanyak diri akan keluar dari sel hospes
dan masuk ke sel hospes lainnya, seperti otot, mata, otak, dan paru-paru
(Hill & Dubey, 2014). Pada hospes dengan sistem imun yang normal,
takizoit akan membentuk kista yang mengandung bentuk bradizoit yang
lambat dalam memperbanyak diri dan dapat bertahan hidup sepanjang
hidup hospes (Soedarto, 2012). Jika kucing memakan daging yang
mengandung kista yang berisi bradizoit, atau tertelan ookista dari kucing
lain yang terinfeksi, di dalam usus kucing akan terbentuk gamet jantan dan
betina. Gamet-gamet ini kemudian akan menghasilkan ookista, dan terus
menerus dikeluarkan dalam tinja kucing selama beberapa minggu. Ookista
yang dihasilkan akan mencemari lingkungan, seperti tanah, air, sayuran,
dan buah-buahan (Soedarto, 2012). Siklus hidup Toxoplasma gondii
sempurna apabila kucing memakan hospes perantara yang terinfeksi
sehingga perilaku hospes perantara dapat meningkatkan predasi yang
mengarah pada tingginya transmisi parasit ke kucing. Hal ini diperkirakan
adanya parasit Toxoplasma gondii di bagian tertentu pada otak yang dapat
mempengaruhi perubahan perilaku hospes perantara yang dapat
mendukung penyebaran parasit ke hospes definitive (Webster, 2001).
Seropositivitas dari Toxoplasma gondii di daerah Amerika Tengah,
Pasifik Selatan serta Eropa Barat mencapai angka 90% pada empat dekade
terakhir (Foster, 2007). Pada mayoritas populasi manusia, seroprevalensi
parasit meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan bervariasi pada
jenis kelamin. Ookista juga hidup lebih lama di lingkungan dengan tingkat
kelembaban tinggi dan pada daerah dengan ketinggian rendah. Infeksi
penyakit ini mempunyai prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada
masyarakat yang mempunyai kebiasaan makan daging mentah atau kurang
matang.
Di Indonesia factor-faktor tersebut disertai dengan keadaan sanitasi
lingkungan dan banyaknya sumber penularan terutama kucing dan famili
Felidae (Hendri, 2008). Dinamika kasus toxopolasmosis di Indonesia
cukup sulit diikuti secara tepat karena surveilans yang reguler tidak
diprogramkan dengan terencana. Prevalensi toxopolasmosis pada kucing
berkisar antara 5,56%-40%, pada kambing 23,5%-60%, pada domba
32,18%-71,97%, pada sapi 36,4%, pada kerbau 27,3%, dan pada babi
28%-32%. Secara serologis, kasus toxopolasmosis pada manusia tergolong
sangat tinggi yaitu di atas 40% (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan,
2014). Toxoplasmosis pada hewan banyak menimbulkan kerugian
ekonomi yang penting. Hal ini disebabkan karena dapat menyebabkan
abortus, kematian dini dan kelainan kongenital, serta biaya pemeliharaan
yang sangat besar pada suatu usaha peternakan rakyat dan skala industri
(Nurcahyo, 2012). Alasan untuk mengontrol lebih ketat dilakukan dengan
langkah-langkah untuk mencegah toksoplasmosis yang ditekankan pada
masalah penyakit dan ekonomi (Kijlstra dan Jongert, 2008).
Hewan paling potensial sebagai sumber infeksi utama Toxoplasma
gondii yaitu anjing dan kucing. Hal ini disebabkan karena hewan ini secara
umum hidup bebas dan makan daging mentah yang mengandung tropozoit
(Rampengan, 2008). Kucing akan terkena infeksi ketika menelan sekitar
20 juta ookista dalam waktu singkat yaitu 2 minggu, sebelum terbentuk
respon imun protektif yang kuat yang akan meminimalisir pecahnya
ookista di dalam tubuh hospes. Ookista yang keluar melalui feses dapat
mengkontaminasi lingkungan, makanan dan memberikan rute yang efektif
untuk infeksi pada manusia dan bahan pangan asal hewan seperti daging
(Weiss dan Kim, 2007).
Pencegahan infeksi Toxoplasma gondii masuk ke dalam tubuh juga
dilakukan dengan cara mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.
Pengolahan ayam juga harus diperhatikan dengan cara memasak ayam
secara matang sempurna, minimal 70˚C selama 10 menit, sehingga dapat
mematikan kista Toxoplasma gondii yang ada pada daging ayam. Alat
yang sudah dipakai untuk mengolah bahan makanan mentah (ayam)
hendaknya dicuci terlebih dahulu sebelum digunakan untuk mengolah
makanan lain, karena alat masak yang telah digunakan berpotensi
tertempel parasit Toxoplasma gondii sehingga berpotensi menular ke
makanan lain.
E. Kesimpulan
1) Kita dapat memahami mengenai morfologi nematode jaringan dan
protozoza jaringan pada berbagai stadium
2) Kita dapat mengidentifikasi tentang nematoda jaringan dan protozoa
jaringan dalam berbagai stadium
F. Daftar Pustaka
Depkes RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis. Jakarta:
Ditjen PP & PL; 2006
Depkes RI. Pedoman Pengendalian Filariasis. Jakarta: Direktorat Jenderal
PP & PL; 2005
Dirjen P2PL.2008.Pedoman Program Eliminasi Filariasis Di Indonesia.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. (2014). Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan Direktorat
Kesehatan Hewan
Foster, C S. (2007). Uveitis and Immunological Dissorders. Berlin:
Springer
Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. Parasitiologi Kedokteran Edisi
Ketiga. Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia; 2003.
Hendri. (2008). Parasit Toksoplasma Menyerang 30- 60% Penduduk
Dunia.
Hill DE, Dubey JP. (2014). Toxoplasmosis. USGS National Wildlife
Health Center. 84
Kijlstra, A. and Jongert, E. (2008). Control of the risk of human
toksoplasmosis transmitted by meat. International Journal of Parasitology
Vol. 38.
Kronefeld M, Kampen H, Sassnau R, Werner D. Molecular
detection of Dirofilaria immitis, Dirofilaria repens and Setaria
tundra in mosquitoes from Germany. Parasites and Vectors. 2014;7(1):1–
6.
Nurcahyo, W. (2012). Toksoplasmosis pada hewan dan manusia.
Yogyakarta: Samudra Biru
Rampengan, T H. (2008). Penyakit Infeksi Tropik pada Anak Edisi 2.
Jakarta: EGC
Soedarto. (2012). Toxoplasma gondii. Toksoplasmosis. Jakarta: Sagung
Seto. 2-53.
Taylor MJ, Hoerauf A, Bockarie M. Lymphatic filariasis and
onchocerciasis. Lancet. 2010;376(9747):1175–85.
Webster JP. (2001). Rats, cats, people and parasites: the impact of latent
toxoplasmosis on behaviour. Microbes Infect, 3: 1037–45.
Weiss, Louis M, Kim K. (2007). Toxoplasmosis gondii: The Model
Apicomplexan Perspective and Methods. San Diego: Academic Press.
Widagdo. (2012). Tatalaksana Masalah Penyakit Anak dengan Kejang.
Jakarta: Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai