2.1. Materi
2.1.1. Alat dan Bahan
1. Alat :
a. Object glass
b. Cover glass
c. Mikrosop
d. Pipet tetes
e. Tabung EDTA
f. Wadah
g. Meja
h. Kursi
i. Handscoon
j. Masker
2. Bahan :
a. Metanol
b. Aquades
c. Giemsa
d. Darah Anjing
e. Minyak emersi
f. Semischons carmine
g. Alkohol 30%, 50%, 70%, 90%, 100%
h. Xylol
i. HCl-Alkohol 0,5 1 %
j. Cacing (parasit)
2.2. Metode
1. Pewarnaan Cacing
a. Menyiapkan alat dan bahan
b. Mendehidrasikan cacing menggunakan alkohol bertingkat masing-
masing selama 15 menit.
c. Merendam dalam larutan Semichons carmine selama 1 jam
d. Mencuci menggunakan alkohol 70% selama 15 menit
e. Menetesi menggunakan HCl-alkohol 0,5 1 %
f. Mendehidrasikan dengan alkohol bertingkat
g. Merendam dalam Larutan Xylol selama 1 menit
h. Mengamati diatas Mikroskop
2. Pemeriksaan Parasit Darah
1. Uji Natif
a. Menyiapkan alat dan bahan
b. Menuangkan darah setetes diatas object glass
c. Menutup menggunakan Cover glass
d. Mengamati dibawah mikroskop.
2. Ulas Darah Tebal
a. Menyiapkan alat dan bahan
b. Menuangkan darah setetes diatas Object glass
c. Menggunakan object glass yang lain, hapus darah setetes tadi ke
kanan atau kiri, atau kedepan, Keringkan
d. Menfiksasi dengan metanol, keringkan.
e. Tuangkan Giemsa, Keringkan 15 menit.
f. Mencuci menggunakan air mengalir.
g. Tambahkan minyak emersi
h. Mengamati di mikroskop.
3. Ulas Darah Tipis
a. Menyiapkan alat dan bahan
b. Menuangkan darah setetes (lebih sedikit) diatas Object glass
c. Menggunakan object glass yang lain, hapus darah setetes tadi ke
kanan atau kiri, atau kedepan, Keringkan
d. Menfiksasi dengan metanol, keringkan.
e. Tuangkan Giemsa, Keringkan 15 menit.
f. Mencuci menggunakan air mengalir.
g. Tambahkan minyak emersi
h. Mengamati di mikroskop.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Hasil
1. Uji Natif
Gambar 3 Pengamatan
darah anjing dibawah
mikroskop
4. Pemeriksaan Darah Merpati
berfungsi sebagai penghilang lendir dari badan cacing. Lalu hasilnya diamati di
bawah mikroskop.
Pada pemeriksaan parasit darah dilakukan tiga cara yaitu uji natif, ulas
darah tipis, dan ulas darah tebal. Dimana percobaan pertama yaitu uji natif darah
yang dilakukan dengan menetesi darah pada object glass lalu ditutupi dengan
cover glass diperhatikan dibawah mikroskop. Lalu percobaan kedua yaitu ulas
darah tipis. Dilakukan dengan meneteskan darah pada object glass lalu
menggunakan object glass yang lain untuk menghapus darah ke depan hingga
tipis dan ada juga yang tebal. Setelah itu dibelikan metanol yang berfungsi untuk
fiksasi. Dikeringkan setelah kering diberikan larutan giemsa yang berfungsi
memberikan warna pada sel darah. Lalu cuci menggunakan aquades yang
mengalir untuk menghapus cairan giemsa pada object glass.
1. Parasit Darah
a. Babesia sp.
Klasifikasi
Phylum III : Apicomplexa
Subclass : Piroplasmia
Ordo : Piroplasmida
Family : Babesiidae
Genus : Babesia
Spesies : Babesia sp. (Levine 1990)
Babesia sp. adalah parasit darah yang dapat menyebabkan
babesiosis. Klasifikasi parasit ini menurut Levine (1990), termasuk dalam
subfilum Apicomplexa, kelas piroplasma dan famili babesiidae. Jenis
Babesia sp. yang menginfeksi sapi adalah Babesia bigemina, Babesia bovis,
Babesia divergens, Babesia argentina, Babesia major. Babesia sp. dapat
menyebabkan penyakit yang serius pada sapi, yaitu penyakit Cattle Tick
Fever, Texas Fever, Red Water Fever, Piroplasmosis (Soulsby, 1982).
Babesia sp. yang biasanya menginfeksi sapi-sapi yang ada di Indonesia
adalah Babesia bigemina dan Babesia bovis.
Morfologi
Menurut Levine (1990), merozoit dalam eritrosit berbentuk bundar,
atau tidak teratur. Pada Babesia bovis ditemukan bentuk cincin - signet
bervakuol, yang mempunyai merozoit-merozoit berukuran kira kira 1,5
2,4 m dan terletak di bagian tengah eritrosit. Sedangakan Babesia
bigemina dalam eritrosit berbentuk piriform, bulat, oval atau tidak teratur.
Merozoit yang piriform ditemukan secara khas berpasang pasangan dan
berbentuk bulat dengan diameter 2 3 m panjang 4 5 m
Siklus Hidup
Merozoit Babesia sp. terdapat dalam eritrosit sapi, parasit
bekembang biak dengan cara membelah diri. Pada beberapa spesies
dibentuk dua merozoit yang keluar dari eritrosit baru, sedangkan pada yang
lain terbentuk tetrat yang terdiri dari 4 merozoit.
Hewan yang terinfeksi Babesia sp. dengan jumlah besar dan
sekaligus, dapat menyebabkan kematian hewan tersebut. Sedangkan hewan
yang terinfeksi Babesia sp. dalam jumlah sedikit dan secara bertahap, maka
hewan akan memiliki kekebalan terhadap parasit ini. Menurut Soulsby
(1982) Babesia sp. ditularkan oleh caplak yaitu, Boophilus sp. dan
Rhipicephalus sp.
Setelah caplak menghisap darah yang mengandung eritrosit yang
berisi gametosit Babesia sp. dari sapi maka terjadi perkembangan di dalam
usus caplak betina kemudian parasit masuk ke dalam saluran reproduksi
caplak dan menginfeksi telur. Kemudian telur caplak menetas, keluar larva
yang kemudian berkembang menjadi caplak dewasa. Parasit berkembang di
dalam tubuah caplak dan akhirnya masuk ke dalam sel kelenjar ludah
caplak dalam bentuk sporozoit (Levine, 1992). Proses perkembangbiakan
ini memakan waktu 2-3 hari (Levine, 1961). Parasit stadium sporozoit
masuk kedalam tubuh sapi melaui gigitan caplak, sporozoit berkembang
menjadi tropozoit, tropozoit terjadi pembelahan dan berkembang menjadi
merozoit (Levine, 1992).
b. Theileria sp.
Klasifikasi
Phylum III : Apicomplexa
Subclass : Piroplasmia
Ordo : Piroplasmida
Family : Theileriidae
Genus : Theileria
Spesies : Theileria sp. (Levine 1990)
Theileria sp. menurut derajat patogenitasnya dibagi atas Theileria sp.
yang patogen dan Theleria sp. yang non patogen. Jenis Theleria sp. yang
patogen pada sapi adalah Theileria annulata, Theileria bovis, Theileria
laurenct dan Theileria parva, penyebab penyakit east coast fever,
mediterran theileriosis, corridor disease atau rhodensian red water disease.
Sedangakan jenis Theileria sp. yang bersifat non patogen adalah Theileria
mutan, Theileria buffeli, Theileria sergenti dan Theileria orientalis (Levine,
1990).
Morfologi
Menurut Soulsby (1982) bentuk Theileria sp. dalam eritrosit yang
paling menonjol adalah bentuk batang yang memiliki ukuran kira-kira 1,5
2,0 X 0,5 1,0 m. Bentuk lain yang umumnya dijumpai pada eritrosit
adalah bundar, oval dan dapat juga berbentuk koma.
Siklus Hidup
Daur hidup Theileria sp. terjadi dalam tubuh caplak dan di tubuh
induk semang. Mekanisme perkembangan di tubuh caplak Boophilus sp.
(Levine, 1990) dimulai sejak larva menghisap darah inang yang berparasit
dan ditemukan sporozoit di dalam kelenjar ludah nimfe atau pada caplak
dewasa. Mekanisme infeksi di tubuh inang dimulai dari masuknya
sporozoit yang dilepaskan oleh caplak dari kelenjar ludah caplak ketika
menggigit tubuh inang. Kemudian di dalam eritrosit inang ditemukan
piroplasma. Infeksi Theileria sp. pada larva caplak dimulai dari adanya
perubahan bentuk piroplasma menjadi mikrogamon, mikrogamet, zigot,
dan kinet di dalam usus caplak dan kemudian ditemukan sporozoit dalam
kelanjar ludahnya. Caplak yang telah kenyang menghisap darah inang yang
terinfeksi akan jatuh ke tanah. Bentuk Theileria sp. yaitu ada yang
berbentuk bundar, koma, dan berbentuk kumparan dengan ukuran 0,5 1
m. Di dalam tubuh caplak paada selang waktu 24 sampai 48 jam,
merozoit mengalami perubahan bentuk menjadi cincin yang berukuran 1
2 m, dengan sitoplasma bersifat basofilik. Dalam waktu 48 sampai 72 jam
bentuk cincin berubah bentuk menjadi makrogamet, yang berbentuk bundar
dan lonjong, berukuran 3 sampai 4 m dengan inti bersifat eosinofilik dan
sitoplasma bersifat basofilik. Makrogamet juga mengalami perubahan
bentuk menjadi mikrogamet, berbentuk seperti kumparan yang berukuran
panjang 5 m
Tiga sampai lima hari setelah infeksi, di dalam usus nimpa akan
ditemukan zigot yang berbentuk bundar lonjong berukuran 4 sampai 5 m
dengan sitoplasma berwarna biru terang. Hari ke-6 setelah infeksi, jumlah
zigot dalam usus akan mulai berkurang dan hari ke-8 zigot hilang dari
dalam usus. Hari ke-9 di dalam epitel usus nimpa akan ditemukan Theileria
sp. dengan ukuran 4 sampai 5 m dan sitoplasmanya berwarna biru gelap.
Pada hari ke-13, Theileria sp. membentuk kelompok seperti koloni bakteri
pada sitoplasma epitel usus. Ookinet akan terbentuk setelah terlihat bentuk
zigot, dan pada hari ke-50 sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah caplak
(Soulsby, 1982).
Setelah caplak menginfeksi inang sporozoit dilepaskan dengan
proses yang pasif melalui kelenjar ludah, sporozoit langsung menginfeksi
leukosit, sporozoit yang masuk ke dalam inang tergantung dari sel aktin
cytoskeleton. Kemudian di dalam limfosit, sporozoit membesar dan intinya
membelah berulang-ulang sehingga membentuk skizon dengan banyak inti
yang disebut makroskizon agamon (= kochs blue bodies) (Soulsby, 1982).
Makroskizon ini akan melekat pada mikrotubuli sel limfosit dan membelah
terus dengan proses mitosis. Selama memperbanyak diri, makroskizon akan
melepaskan makromerozoit untuk menginfeksi monosit, sehingga
makromerozoit akan berubah menjadi makroskizon baru yang akan
menyebar ke seluruh tubuh. Setelah itu dalam waktu 2 minggu sejak
makroskizon membelah dengan proses mitosis, maka akan ditemukan
mikroskizon yang akan menghasilkan mikromerozoit di dalam monosit.
Mikromerozoit akan langsung menginfeksi eritrosit dan akan berubah
bentuk menjadi piroplasma yang akan menulari caplak (Soulsby, 1982).
c. Anaplasma sp.
Klasifikasi
Subclass : Riketsiaeia
Ordo : Riketsiaeida
Famili : Riketsiae
Genus : Anaplasma
Spesies : Anaplasma sp. (levine, 1990)
Anaplasmosis merupakan penyakit infeksius yang ditularkan pada
hewan ternak yang ditandai dengan anemia. Cara penularanya melalui
vektor yaitu caplak Boophilus microplus. Infeksi Anaplasma sp. biasanya
dapat bersamaan dengan infeksi Babesia sp.. Anaplasma sp. telah lama
digolongkan kedalam protozoa, yang menyebabkan Tick-Borne Disease,
tapi saat ini secara taksonomi Anaplasma sp. telah digolongkan ke dalam
Rickettsia (Soulsby, 1982). Gejala klinis yang tidak jelas pada sapi , kurang
dari 1 tahun, dan kejadian fatal, per akut pada sapi lebih dari 3 tahun, gejala
klinis yang dapat ditemukan antara lain pyrexia, anemia, jaundice,
anoreksia, nafas cepat, penurunan produksi susu, abortus. Anaplasma
marginale yang dapat menyebabkan penyakit-penyakit High fever, Anemia,
Bilirubinemia, Bilirubinuria lebih patogen dibandingkan dengan
Anaplasma centrale, beberapa hewan yang dapat menjadi induk semang
dari Anaplasma sp. kerbau, antelops, Elk, bison, unta, biri-biri, kambing
(Soulsby, 1982).
Morfologi
Anaplasma sp. berukuran kecil dan berbentuk bulat seperti bola
mempunyai diameter 0,5 m dan berukuran 1-2 m terletak di pinggir atau
di tengah eritrosit dalam satu eritrosit biasanya terdapat satu Anaplasma
sp., tetapi jika sudah dalam infeksi tingkat tinggi bisa mencapai empat
Anaplasma sp. dalam satu eritrosit (Soulsby, 1982).
Siklus hidup
Anaplasma sp. relatif dalam bentuk yang non-patogen (Soulsby,
1982). infeksi Anaplasma sp. secara murni jarang terjadi, biasanya infeksi
Anaplasma sp. akan berasamaan dengan Babesia sp. dan atau Theileria sp..
Anaplasma sp. mempunyai masa inkubasi yang sama dengan Theileria sp..
Anaplasma sp. ini diperkirakan memperbanyak diri dalam eritrosit dengan
cara pembelahan ganda dengan pembentukan 8 badan-badan kecil initial
bodies yang bulat (Soulsby, 1982).
d. Asciridia sp.
Banyak spesies Ascaridia sp yang diketahui menyerang usus halus
unggas. Cacing ini meyebabkan enteritis terutama pada unggas muda.
Unggas yang diserang antara lain : ayam, kalkun, merpati, puyuh. Siklus
hidup cacing ini bersifat langsung, meskipun bisa juga melalui cacing tanah.
Salah satu contoh spesies yang sering menyerang ayam adalah Ascaridia
galli (Soulsby, 1982).
Anak ayam lebih peka terhadap cacing Ascaridia galli daripada ayam
dewasa. White Leghorn lebih peka daripada ayam ras yang lain. Lewat
umur tiga bulan ayam akan lebih tahan, hal ini berkaitan dengan
meningkatnya sel-sel goblet dalam usus. Cacing muda lebih banyak
menimbulkan kerusakan pada mukosa usus, karena larva cacing cenderung
membenamkan diri pada mukosa sehingga sering menyebabkan perdarahan
dan enteritis (Soulsby, 1982).
Morfologi
Penyakit cacing oleh Ascaridia galli menyebabkan kerugian ekonomi
yang cukup besar bagi peternak. Cacing dewasa hidup di saluran
pencernaan, apabila dalam jumlah besar maka dapat menyebabkan
sumbatan dalam usus. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa kerugian
disebabkan oleh karena cacing menghisap sari makanan dalam usus ayam
yang ditumpangi sehingga ayam akan menderita kekurangan gisi (Soulsby,
1982).
Ascaridi galli mempunyai ciri-ciri berwarna putih, bentuk bulat, tidak
bersegmen dan panjang 6 - 13 cm. Ascaridia galli umumnya yang jantan
berukuran lebih besar daripada betina. Pada cacing jantan diameter
berukuran 30 - 80 mm, sedangkan pada betina berdiameter 0,5 - 1,2 mm.
Gambar .2, memperlihatkan cacing Ascaridia galli (Soulsby, 1982).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada infeksi cacing A. galli tergantung pada
tingkat infeksi. Pada infeksi berat akan terjadi mencret berlendir, selaput
lendir pucat, pertumbuhan terhambat, kekurusan , kelemahan umum dan
penurunan produksi telur (Soulsby, 1982).
Siklus Hidup
Siklus hidup Ascaridia galli pada ayam berlangsung 35 hari. Telur
cacing akan keluar lewat tinja ayam dan menjadi infektif dalam waktu 5 hari
pada suhu optimum, yaitu 32 - 340C. Sewaktu ayam sedang makan, telur
infektif tertelan yang kemudian menetas di lumen usus. Larva cacing
melewati usus pindah ke selaput lendir. Periode perpindahan terjadi antara
10 - 17 hari dalam masa perkembangan. Dalam waktu 35 hari cacing
menjadi dewasa dan mulai bertelur. Sesudah cacing menjadi dewasa akan
meninggalkan selaput lendir dan tinggal di dalam lumen usus. Ayam yang
masih muda paling peka terhadap kerusakan yang disebabkan oleh cacing
ini. Apabila cacing genus Ascaris yang ditemukan dalam usus halus terlalu
banyak, ayam akan menjadi kurus. Hal ini terjadi karena cacing yang
memenuhi usus akan menghambat jalannnya makanan, bahkan cacing
mengeluarkan zat anti enzim yang menyulitkan pencernaan makanan
(Soulsby, 1982).
2. Tryponosoma sp
Trypanosomiasis Gambia adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Trypanosoma gambiense. Penyakit ini disebut juga West African
Trypanosomiasis atau West African Sleeping Sickness.Trypanosoma
gambiense merupakan protozoa berflagella yang hidup dalam darah
(Haemoflagellates) dan dikelompokkan dalam family Trypanosomidae
(Soedarto, 2008).
Lalat tsetse, jantan dan betina, bertindak sebagai vektor pambawa parasit
ini, terutama Glossina palpalis. Lalat ini banyak terdapat di sepanjang tepi-tepi
sungai yang mengalir di bagian barat dan tengah Afrika. Lalat ini mempunyai
jangkauan terbang sampai mencapai 3 mil (Soedarto, 2008).
Selain manusia, binatang peliharaan seperti babi, kambing dan sapi serta
binatang liar dapat menjadi hospes resevoir bagi parasit ini. Penyakit ini dapat
ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia atau dari manusia ke manusia.
Klasifikasi
Kingdom : Protista
Subkingdom : Protozoa
Phylum : Sarcomastigophora
Subphylum : Mastigophora
Class : Zoomastigophora
Order : Kinetplastida
Family : Trypanosomatidae
Genus : Trypanosoma (Levine, 1990)
Morfologi
Secara umum Trypanosomidae mempunyai 4 bentuk / morfologi yang
berbeda, yaitu (Levine, 1990) :
1. Bentuk Amastigot (Leismanial form) Bentuk bulat atau lonjong, mempunyai
satu inti dan satu kinetoplas serta tidak mempunyai flagela. Bersifat
intraseluler. Besarnya 2-3 mikron.
2. Bentuk Promastigot (Leptomonas form) Bentuk memanjang mempunyai
satu inti di tengah dan satu flagela panjang yang keluar dari bagian anterior
tubuh tempat terletaknya kinetoplas, belum mempunyai membran
bergelombang, ukurannya 15 mikron.
3. Bentuk Epimastigot (Critidial form) Bentuknya memanjang dengan
kinetoplas di depan inti yang letaknya di tengah mempunyai membran
bergelombang pendek yang menghubungkan flagela dengan tubuh parasit,
ukurannya 15-25 mikron.
4. Bentuk Tripomastigot (Trypanosome form) Bentuk memanjang dan
melengkung langsing, inti di tengah, kinetoplas dekat ujung posterior,
flagela membentuk dua sampai empat kurva membran bergelombang,
ukurannya 20-30 mikron
Daur Hidup
Trypanosoma gambiense mengalami perubahan bentuk morfologi selama
siklus hidupnya. Pleomorfik trypanosoma, yang merupakan bentuk infektif,
akan terhisap bersama darah , saat lalat tsetse menggigit penderita. Parasit akan
masuk ke dalam saluran pencernaan vektor dan mengalami beberapa kali
perubahan bentuk dan multiflikasi. Dalam waktu 3 minggu, parasit akan
berubah menjadi bentuk Epimastigot. Bentuk Epimastigot juga mengalami
perubahan menjadi bentuk menjadi metacyclic form dan memenuhi kelenjar air
liur lalat. Metacyclic form merupakan bentuk infektif pada vektor dan siap
untuk ditularkan ke korban selanjutnya (Soulsby, 1982).
Waktu yang diperlukan parasit ini untuk berkembang menjadi bentuk
infektif dalam tubuh vektor adalah 20-30 hari. Lalat yang mengandung bentuk
infektif ini akan tetap infektif seumur hidupnya (Soulsby, 1982).
Lalat tsetse menggigit manusia / hewan vertebrata biasanya pada siang
hari. Penularan kepada penderita melalui gigitan vektor disebut anterior
inoculation. Di dalam jaringan tempat gigitan tersebut, parasit mengalami
proses multiflikasa secara belah pasang memanjang. Proses multiflikasi,
diawali dengan pembelahan blepharoblast dan parabasal body. Kemudian
diikuti pembelahan inti, membran undulating dan terakhir pembelahan tubuh
parasit. Flagella dan axonema tidak ikut membelah, tetapi bentuk baru berasal
dari blepharoblast yang baru terbentuk tersebut (Soulsby, 1982).
Dalam perkembangan selanjutnya, baik hewan vertebrata maupun
manusia, Trypanosoma gambiense hidup di dalam darah, kelenjar getah
bening, limpa dan bahkan sampai ke susunan saraf pusat (Soulsby, 1982).
Patologi dan Gejala Klinis
Gejala dan tanda penyakit ini dapat bervariasi dan umumnya dibagi atas
3 fase (Soedarto, 2008) :
1. Fase awal (Initial stage) Ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi lokal
pada daerah gigitan lalat tsetse. Reaksi inflamasi dapat berkembang menjadi
bentuk ulkus atau parut ( primary chancre). Reaksi inflamasi ini biasanya
mereda dalam waktu 1-2 minggu.
2. Fase penyebaran (Haemoflagellates stage) Setelah fase awal mereda,
parasit masuk ke dalam darah dan kelenjar getah bening (parasitemia).
Gejala klinis yang sering muncul adalah demam yang tidak teratur, sakit
kepala, nyeri pada otot dan persendian. Tanda klinis yang sering muncul
antara lain : Lymphadenopati, lymphadenitis yang terjadi pada bagian
posterior kelenjar cervical (Winterbottons sign), papula dan rash pada kulit.
Pada fase ini juga terjadi proses infiltrasi perivascular oleh sel-sel endotel,
sel limfoid dan sel plasma, hingga dapat menyebabkan terjadinya pelunakan
jaringan iskemik dan perdarahan di bawah kulit (ptechial haemorhagic).
Parasitemia yang berat (toksemia) dapat mengakibatkan kematian pada
penderita.
3. Fase kronik (Meningoencephalitic stage) Pada fase ini terjadi invasi parasit
ke dalam susunan saraf pusat dan mengakibatkan terjadinya
meningoenchepalitis difusa dan meningomyelitis. Demam dan sakit kepala
menjadi lebih nyata. Terjadi gangguan pola tidur , insomnia pada malam
hari dan mengantuk pada siang hari. Gangguan ekstrapiramidal dan
keseimbangan otak kecil menjadi nyata. Pada kondisi yang lain dijumpai
juga perubahan mental yang sangat nyata. Gangguan gizi umumnya terjadi
dan diikuti dengan infeksi sekunder oleh karena immunosupresi. Jumlah
lekosit normal atau sedikit meningkat. Bila tercapai stadium tidur terakhir,
penderita sukar dibangunkan. Kematian dapat terjadi oleh karena penyakit
itu sendiri atau diperberat oleh penyakit lain seperti malaria, disentri,
pneumonia atau juga kelemahan tubuh.
Diagnosa
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menegakkan diagnosa adalah (Soedarto,
2008) :
1. Mengetahui riwayat tempat tinggal dan riwayat bepergian ke daerah
endemik.
2. Menemukan tanda dan gejala klinis :
Demam yang bersifat periodik
Dijumpai reaksi inflamasi lokal (primary chancre) pada tempat inokulasi,
rash pada kulit, lympadenopati pada bagian cervical posterior
(Winterbottons sign)
Gangguan neurologis, terutama pola tidur (diurnal somnolence, nocturnal
insomnia), gangguan status mental, gangguan keseimbangan otak kecil,
gangguan ekstrapiramidal.
3. Menemukan parasit pada pemeriksaan :
Darah tepi dengan pewarnaan.
Biopsi aspirasi pada primary chancre
Cairan cerebrospinal
4. Pemeriksaan Serologi
ELISA
Immunofluorescent indirek
Prognosa menjadi baik bila segera dilakukan pengobatan sebelum
mengenai susunan saraf pusat. Bila parasit sampai ke dalam susunan saraf
pusat, penyakit dapat berkembang dan menjadi kronis atau bahkan mematikan.
Pengobatan
Pengobatan dapat bervariasi dan biasanya berhasil bila dimulai pada
permulaan penyakit. Bila susunan saraf pusat telah terlibat, biasanya
pengobatan kurang baik hasilnya. Obat-obat yang sering digunakan antara lain
(Soedarto, 2008):
1. Eflornithine dengan dosis 400 mg/kg/hari IM atau IV dalam 4 dosis bagi,
selama 14 hari dan dilanjutkan dengan pemberian oral 300 mg/kg/hari
sampai 30 hari.
2. Suramin dengan dosis 1 gr IV pada hari ke 1,3,7,14,21 dimulai dengan 200
mg untuk test secara IV. Dosis diharapkan memcapai 10 gram. Obat ini
tidak menembus blood-brain barrier dan bersifat toksis pada ginjal.
3. Pentamadine, dengan dosis 4 mg/kg/hari/hari IM selama 10 hari.
4. Melarsoprol, dengan dosis 20 mg/kg IV dengan pemberian pada hari ke 1, 2,
3, 10, 11, 12, 19, 20, 21 dan dosis perharinya tidak lebih dari 180 mg.
Enchephalopati dapat muncul sebagai efek pemberian obat ini . Hai ini
terjadi oleh karena efek langsung dari arsenical (kandungan dari
melarsoprol) dan juga oleh karena reaksi penghancuran dari Trypanosma
(reactive enchepalopathy). Bila efek tersebut muncul, pengobatan harus
dihentikan.
Eflornithine, Suramin dan Pentamine digunakan pada pasien pada fase
awal dan penyebaran. Sementara Melarsoprol dapat digunakan pada ketiga fase
tersebut.
Pencegahan
Pencegahan penyakit ini meliputi (Soedarto, 2008) :
1. Mengurangi sumber infeksi
2. Melindungi manusia terhadap infeksi
3. Mengendalikan vektor
Pengurangan sumber infeksi dapat dilakukan dengan cara melakukan
pengobatan secara tuntas pada penderita, bahkan memusnahkan hewan
vertebrata yang terinfeksi (Soedarto, 2008).
Kontak terhadap vektor dapat dihindari dengan menjauhi habitat vektor,
memakai pelindung kepala dan tubuh, menggunakan kelambu serta memakai
reppellent. Dan oleh karena bahayanya penyakit ini, beberapa ahli
menyarankan untuk dilakukan skrining serologi pada semua orang yang
beresiko dan yang berasal/keluar dari daerah endemik (Soedarto, 2008).
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan mengurangi tempat hidup
dan perindukan vektor. Pengendalian juga dapat dilakukan dengan
menggunakan insektisida untuk mengurangi jumlah lalat dewasa. Profilaksis
secara umum tidaklah direkomendasikan oleh para ahli dan sampai saat ini
belum ditemukan vaksin bagi penyakit ini (Soedarto, 2008).
BAB IV
Lampiran
1. Pemeriksaan cacing pada darah/ uji natif
Gambar 11. Cacing diletakkan dalam alcohol 50% Gambar 12. Cacing
dipindahkan dalam alcohol
70%
Gambar 13. Cacing dipindahkan dalam alcohol 90% Gambar 14. Cacing
dipindahkan dalam
alcohol 100%
Gambar 15. Cacing diletakkan di objeck glass Gambar 16. Hasil mikroskop
5. Pemeriksaan darah pada Burung Merpati
Anonim. 2011. Parasit dan Jenis Parasit. Universitas Gadjah Mada : Malang
Center for Food Security and Public Health (CFSPH), 2005. Taenia Infections.
Available from: http://www.ivis.org/advances/Disease_Factsheets/taenia.pdf
Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. 2000. Parasitologi
Kedokteran.Universitas Indonesia : Jakarta.
Garca, H.H., Gonzalez, A.E., Evans, C.E.A., and Gilman R.H., 2003. Taenia
solium Cysticercosis. Lancet
Guntoro, S, 2002. Membudidayakan Sapi Potong . Kanisius, Yogyakarta.
Handojo, I., dan Margono, S.S., 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed 4.
Jakarta: Fakultas Kedoktguneran Universitas Indonesia
Ideham, B., dan Pusarawati, S., 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya:
Airlangga University Press
Johnson, P. 2003. Strongylus vulgaris. Gastrointestinal Parasites Grahame book
company : Sidney.
Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan
Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institur
Pertanian Bogor : Bogor
Levine. N.D., 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Medan : Universitas Sumatera Utara
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta : Gadjah Mada University.
World Health Organization (WHO), 2009. Report of the WHO Expert
Consultation on Foodborne Trematode Infections &
Taeniasis/Cysticercosis. Available from:
http://www.who.int/neglected_diseases/preventive_chemotherapy/WHO_H
TM_NTD_PCT_2011.3.pdf