Anda di halaman 1dari 13

Koasistensi Laboratorium Patologi

DEMODEKOSIS

Nama : Devy Kartika Hadi

NPM : 1902101020080

Kelompok : 10

Gelombang : 17

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
BANDA ACEH
2020
Pendahuluan

Demodekosis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau


Demodex sp. Tungau Demodex sp. hidup dalam folikel rambut dan kelenjar
sebasea hewan dengan memakan sebum serta debris (runtuhan sel) epidermis
(Shingenbergh et al., 1980). Terdapat tiga spesies dalam genus Demodex sp. yang
menyerang anjing, yaitu Demodex canis, Demodex cornei, dan Demodex injai
(Belot and Pangui, 1984). Demodex sp. terdapat dalam jumlah yang kecil pada
kulit dan tidak menunjukkan gejala klinis pada anjing yang sehat (Singh et al.,
2011).

Penularan Demodekosis ini terjadi dimulai anak anjing berumur 3 hari.


Dalam kondisi normal, parasit ini tidak memberikan kerugian bagi anjing, namun
bila kondisi kekebalan anjing menurun maka Demodex sp. akan berkembang
menjadi lebih banyak dan menimbulkan penyakit kulit (Rather dan Hassan, 2014).
Kerentanan anjing terhadap serangan Demodex dan perkembangan penyakit
secara klinis sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti status kekebalan,
endoparasit, bangsa/ras, umur, serta status nutrisi dan humoral, kelainan
imunologis lainnya seperti kelainan genetik, serta perubahan biokimia dan
struktur kulit (Fourie et al., 2015).

Etiologi
Demodex sp. merupakan fauna normal dan hidup pada folikel rambut dan
kelenjar sebaseus (Triakoso, 2006; Sharma dan Pokharel, 2019). Kebanyakan
kasus demodekosis pada anjing disebakan oleh Demodex canis (Tater dan
Patterson, 2008; Singh et al., 2011). Demodex sp. berbentuk seperti cerutu atau
wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang pendek dan gemuk serta memiliki 3 ruas.
Bagian perutnya terbungkus kitin dan bergaris melintang menyerupai cincin serta
memipih ke arah caudal. Ukuran tungau bervariasi antara 0,2 – 0,4 mm.
Menurut Manson (1993), Demodex cornei berbentuk lebih pendek (short-
bodied) dibanding Demodex canis, sedangkan Demodex injai bertubuh lebih
panjang (long bodied) dari Demodex canis dan Demodex cornei bertubuh lebih
pendek dibanding Demodex canis. Sedangkan Demodex injai yang bertubuh lebih
panjang dibanding Demodex canis.
Demodex hidup di dalam kelenjar minyak dan kelenjar keringat (glandula
sebacea) dan memakan epitel serta cairan limfe dari beberapa hewan, kecuali
unggas. Dalam kondisi tertentu tungau demodex dapat menginfestasi manusia
(Bunawan, 2009).
Patogenesis
Penularan demodekosis terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari. Dalam
kondisi normal, tidak menimbulkan kerugian bagi anjing, namun bila kondisi
kekebalan anjing menurun maka demodex akan berkembang menjadi lebih
banyak dan menimbulkan penyakit kulit. Pada anak anjing akan tertular oleh
induknya, namun setelah sistem kekebalan tubuhnya meningkat kira-kira pada
umur 1 minggu, maka parasit ini akan menjadi flora normal dan tidak
menimbulkan penyakit kulit (Sardjana, 2012).
Demodex yang menginfeksi kulit akan mengalami perkembangbiakan
(siklus hidup) di dalam tubuh hospes tersebut. Siklus hidup lengkap demodex
adalah 20-30 hari pada tubuh hospes. Ada empat tahapan perkembangan demodex
dalam tubuh hospes yaitu: telur (fusiform), larva berkaki enam (six legged), nimfa
berkaki delapan (eight legged), demodex dewasa (eight legged adult). Seluruh
tahapan perkembangan ini hanya terjadi pada satu hospes, jadi tidak ada
perkembangan pada hospes lain, sebagaimana yang terjadi pada parasit lain.
Penyakit ini akan menyebar luas melalui lesi dari moncong, mata, dan plantar kaki
depan dan akan meluas ke seluruh tubuh (Suartha et al., 2014).
Apabila demodex berkembang, maka akan di temukan di seluruh rambut,
yang akhirnya kanal tersebut membengkak karena meradang. Rambut mati dan
lepas, yang di ikuti terbentuknya lesi yang bersifat kering dan bersisik. Bagian
yang mengalami lesi mengalami alopecia, disertai perubahan hyperkeratosis
ringan, yang di lapisi oleh sisik atau keropemg yang berwarna abu-abu. Di sisi
lain lesi dapat meluas, hingga sebagian besar kulit penderita mengalami alopesia
di sertai hyperkeratosis, dengan keropeng berbentuk sisik sebagai akibat kematian
sel epitel kulit (Subronto, 2006).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak pada kulit berupa alopecia (kebotakan),
kemerahan, dan kulit mejadi berkerak. Pada tahap yang lebih lanjut, dapat terjadi
demodekosis general disertai dengan peradangan dan infeksi sekunder oleh
bakteri. Lapisan kulit yang terinfeksi terasa lebih berminyak saat disentuh.
Demodex sangat menyukai bagian tubuh yang kurang lebat bulunya, seperti
moncong hidung dan mulut, sekitar mata, telinga, bagian bawah badan, pangkal
ekor, leher sepanjang punggung dan kaki. Rasa gatal yang ditandai dengan hewan
selalu mengaruk dan menggosokkan badannya pada benda lain atau menggigit
bagian tubuh yang gatal, sehingga terjadi iritasi pada bagian yang gatal berupa
luka/lecet, kemudian terjadi infeksi sekunder sehingga timbul abses, sering luka
mengeluarkan cairan (eksudat) yang kemudian mengering dan menggumpal dan
membentuk kerak pada permukaan kulit (Shipstone, 2000).

Patologi

Demodekosis dapat terjadi secara lokal dan general. Demodekosis lokal


sering terjadi pada anjing muda dengan umur antara 3 sampai 6 bulan dengan lesi
yang tidak terlalu parah, namun apabila tidak dilakukan penanganan atau
perawatan maka dapat menjadi demodekosis yang bersifat general. Demodekosis
general adalah kejadian penyakit kulit yang terjadi baik pada hewan muda
maupun tua. Pada Demodekosis general, lesi terdapat hampir di seluruh tubuh dan
biasanya disertai dengan infeksi sekunder (Ballari et al., 2009).

Hasil pengamatan secara makroskopis pada kulit anjing kasus ditunjukkan


pada gambar berikut.
Gambar 1. Eritemia (Kemerahan).

Gambar 2. Hyperceratosis.

Gambar 3. Alopecia (Kebotakkan)


Gambar 4. Anjing mengalami kerontokan rambut pada tubuh, kaki dan sekitar mata

Gambar 5. Anjing mengalami kerontokan rambut yang bersifat general.

Berdasarkan pengamatan secara makroskopis pada kulit anjing kasus


terlihat pada kedua kaki depan anjing kasus mengalami eritema, alopesia yang
bersifat general, scale, pustula, dan crusta. Adanya infeksi tungau Demodex sp.
menyebabkan terjadinya peradangan pada bagian kulit yang terinfeksi dan disertai
gejala pruritus. Anjing yang terserang demodekosis akan terus menggaruk-garuk
bagian tubuh yang terinfeksi, sehingga akan menyebabkan crusta. Pada bagian
tubuh anjing juga terlihat adanya alopesia yang bersifat general (Gambar 2).
Henfrey (1990) melaporkan gejala klinis yang ditimbulkan penyakit demodekosis
yaitu pada kulit terjadi alopesia, berkerak, eritema, disertai rasa gatal.

Hasil pengamatan secara mikroskopis pada kulit anjing kasus sebagai


berikut.
Gamba
r 6. Ditemukan tungau Demodex sp. pada pemeriksaan mikroskopis deep skin scraping (→ )

Pada pengamatan pemeriksaan mikroskopis ditemukan tungau Demodex sp.


Tungau ini tidak terlihat dengan mata telanjang, untuk melihatnya diperlukan alat
bantu berupa mikroskop, demodekosis akan dapat didiagnosa melalui
pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit (deep skin scraping) hewan penderita
yang diduga terserang penyakit ini, parasit Demodex sp.berbentuk cerutu dengan
ukuran 250-300μm x 40 μm (Sardjana, 2012).

Histopatologi

Hasil Pengamatan histopatologi pada anjing kasus ditunjukan pada gambar


berikut.

Gambar 7. Peradangan pada dinding folikel rambut (Furunkulosis) (→).


Pewarnaan HE (Hematoxylin dan eosin).
Gambar 8. Adanya infiltrasi sel radang pada folikel rambut (→ ).
Pewarnaan HE (Hematoxylin dan eosin).

Berdasarkan pengamatan secara histologi pada kulit anjing kasus terlihat adanya
peradangan pada folikel rambut (folikulitis). Folikulitis ditandai dengan adanya
sel nekrotik dan sel-sel inflamasi, terutama neutrofil (Solanki et al., 2011). Selain
itu, terlihat adanya furunkulosis pada folikel rambut. Furunkulosis adalah
peradangan atau rupturnya dinding folikel rambut yang menyebabkan terjadinya
infeksi dan pembentukan abses dengan akumulasi nanah dan dapat menyebabkan
jaringan nekrotik. Furunkulosis tersebut muncul akibat dari adanya infeksi
Staphylococcus aureus (Ibler dan Kromann, 2014).
Gambar 9. Terlihat adanya potongan Demodex sp. Pada folikel rambut kulit (→).
Pewarnaan HE (Hematoxylin dan eosin).

Gambar 10. Adanya peradangan pada folikel rambut(folikulitis) (A) dan infiltrasi sel radang pada bagian
dermis kulit (B). Pewarnaan HE (Hematoxylin dan eosin).

Solanki et al., (2011) menyebutkan bahwa pada bagian dermis terdapat


beberapa jenis perubahan, perubahan yang paling konsisten adalah terdapat
infiltrasi sel radang limfosit, makrofag, sel mast, dan sel plasma, terkadang diikuti
oleh adanya neutrofil, eusinofil, dan oedema pada serat kolagen. Temuan lesi ini
mengindikasikan inflamasi yang bersifat kronis. Infiltrasi sel radang juga tampak
terlihat pada stratum korneum dan stratum spinosum. Caswell et al. (1995)
,menyatakan bahwa Demodex sp.selain terdapat pada lumen folikel rambut dan
infestasi pada kelenjar sebasea, juga ditemukan pada lapisan epidermis kulit
bagian stratum korneum yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan kulit.

Cholillurrahman (2012), menyatakan bahwa demodekosis sering


dikelirukan dengan scabiosis. Scabiosis secara histopatologi ditemukan adanya
hiperkeratosis epidermis, hiperplasia epidermal, adanya potongan segmen tungau
Sarcoptes scabiei pada lapisan stratun korneum, akumulasi keratin pada folikel,
infiltrasi sel radang pada stratum korneum epidermis dan dermis, peningkatan
jaringan ikat, dan ditemukan crusta. Demodekosis menunjukkan gejala klinis yang
hampir mirip dengan scabiosis yaitu berupa gangguan pada kulit. Pada scabiosis,
kulit mengalami penebalan, rambut rontok, cairan yang keluar dari luka akan
membentuk keropeng. Sementara itu pada demodekosis terdapat lesi yang sangat
menciri berupa nodul yang berisi nanah dan adanya tercium bau tengik dari
bagian tubuh yang mengalami infeksi demodekosis. Kasus demodekosis yang
ringan sering menunjukkan gejala klinis berupa eritema ringan dan alopesia lokal.

Dalam kasus yang lebih parah, alopesia lokal tersebut menjadi luas dan
timbul adanya papula, folikulitis dan furunkulosis folikular juga terjadi. Pada
kasus kronis, kulit akan mengeluarkan bau tubuh akibat produksi sebum berlebih
dari kelenjar sebasea. Lesi pada awalnya sering terlihat pada wajah dan kaki
depan dan kemudian berlanjut ke bagian tubuh lainnya. Anjing dengan
Demodekosis umum dapat menunjukkan limfadenopati, demam, dan kelesuan.
Sebagian besar kasus menunjukkan gejala pioderma akibat dari infeksi sekunder
oleh bakteri (Horne, 2010).

Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk
mengidentifikasi adanya tungau Demodex sp. Langkah diagnosis yang dapat
dilakukan adalah dengan melakukan deep skin scraping atau pengerokan kulit
hingga berdarah. Scraping dilakukan dengan memegang dan menggosok daerah
terinfeksi untuk mengeluarkan tungau dari folikel dengan menggunakan scalpel.
Scraping dilakukan pada beberapa tempat. Kerokan kulit yang agak dalam dari
bagian tengah lesi, kemudian diberi tetesan KOH 10 % untuk diamati di bawah
mikroskop. Apabila positif maka akan ditemukan parasit demodex yang
bentuknya seperti wortel atau cerutu dengan ukuran 250-300 μm x 400 μm.
Parasit ini tinggal di folikel rambut dan kelenjar sebaceus dan siklus hidupnya
terjadi pada tubuh induk semang 20-35 hari. Hewan penderita yang sering
diserang pada usia anjing di bawah umur 1 tahun namun demikian pada anjing di
atas umur tahun banyak mengalami kejadian infeksi penyakit ini (Scott et al.,
2001; Shipstone, 2000).

Diferensial Diagnosis
Diferensial diagnosa dari Demodekosis diantaranya ialah (Henfrey, 1990) :
Folikulitis/furunkulosis akibat bakteri; dermatophytosis, pemphigus kompleks,
dermatitis kontak, dermatomiositis, dan lupus erytrematous kompleks. Dermatitis
yang disebabkan oleh jamur atau Scabies.

Terapi
Pengobatan pada demodekosis bergantung pada tingkat keparahan kasus
yang terjadi. Pengobatan yang diberikan memerlukan waktu yang lama dan harus
dipantau secara berkala selama 4-6 minggu, untuk memastikan populasi Demodex
kembali normal. Pemeriksaan skin scrap perlu dilakukan dengan interval 2
minggu, jika hasil pemeriksaan menunjukkan tidak ditemukannya Demodex pada
2 kali pemeriksaan, maka hewan tersebut dapat dikatakan sudah sembuh, dan
pengobatan dapat dihentikan.
Pengobatan dilarang menggunakan kortikosteroid sistemik maupun
topikal, karena kortikosteroid dapat menyebabkan imunosupresi yang
kemungkinan akan memperparah demodekosis. Pengobatan pada demodekosis
lokal dapat dilakukan dengan memberikan salep yang mengandung 1 % rotenone
(goodwinol ointment) maupun gel benzoyl peroxide 5 % yang diaplikasikan sekali
sehari setiap hari selama 1-3 minggu. Selain itu, pengobatan harus disertai dengan
memandikan hewan dan melakukan pemberian shampoo yang mengandung
antiseboroik (benzoyl peroxide) secara berkala minimal semingu sekali.
Selanjutnya dapat memberikan amitraz yang diencerkan dengan konsentrasi 0,1 %
pada area alopecia sehari sekali selama dua minggu. Pemberian amitraz dilakukan
bila demodekosis sudah menyeluruh dan tanpa disertai komplikasi. Untuk
mengurangi efek samping dari amitraz dapat menggunakan yohimbin dengan
dosis 0,25 ml/10 kg BB secara intravena perlahan-lahan (Paradis, 1999).
Pada anjing yang memiliki bulu panjang dan lebat, harus dilakukan
pencukuran rambut terlebih dahulu agar obat lebih mudah meresap. Obat sistemik
yang dapat diberikan adalah ivermectin (300-600 µg/kg bb/hari), Milbemycin (1.0-
2.0 mg/kg bb/hari), Moxidectine (0.5 mg/kg bb 2 minggu 1x secara topikal), dan
vitamin E sebagai penguat efek terapi akarisida (400- 800 IU 3-5x/hari) (Paradis,
1999).

Daftar Pustaka
Ballari, S., Balachandran, C., Titus, G.V. and Murali, M.B. 2009. Pathology of
Canine Demodicosis. Journal of Veterinary Parasitology, 23(2): 179-
182.
Belot, J.R.P. and Pangui, J.L. 1984. Courte Communication : Demodecie canine,
Observations Cliniques a propos d’un essai de traitement par
l’ivermectine. Le Point Veterinaire, 16 (85): 66-68.
Bunawan, A. 2009. Demodecosis pada Anjing.
http://www.pietklinik.com/wmview. php?ArtID=34.
Caswell, J.L., Yager, J.A., Ferrer, L., Malcolm and Weir, J.A. 1995. Canine
Demodicosis: A Reexamination of The Histopathologic Lesions and
Description of The Immunophenotype of Infiltrating Cells. Veterinary
Dermatology, 6(1): 9-19.
Chollirurrahman. 2012. Studi Histopatologi Kasus Skabies Anjing Di Rumah
Sakit Hewan Jakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan: Institut
Pertanian Bogor.
Fourie, J.J., Liebenberg, J.E., Horak, I.G., Taenzler, J., Heckeroth, A.R. and
Frénais, R. 2015. Efcacy of orally administered furalaner (BravectoTM)
or topically applied imidacloprid/ moxidectin (Advocate®) against
generalized demodicosis in dogs. Parasites & Vectors, 8:187-194.
Henfrey, J. 1990. Canine demodicosis. In Practice, 12(5): 187-192.
Horne, K.L. 2010. Canine Demodicosis. University of Minnesota. Veterinary
Technician. CE Article, 1:3-5.
Ibler, K.S. and Kromann, C.B. 2014. Recurrent Furunculosis. Clinical, Cosmetic
and Investigational Dermatolog,y 7: 59–64.
Manson, J. D. and Eley, B. M. 1993. Buku Ajar Periodonti (Alih bahasa :
Anastasia). Jakarta, Hipokrates. p .22- 26 : 44 – 53.
Paradis, M. 1999. New Approaches to the Treatment of Canine Demodecosis.
Veterinary Clinics of North America, Small Animal Practice.
Putra, I.P.A.A., Budiartawan, I.K.A. dan Berata, I.K. 2019. Gambaran patologi
anatomi dan histopatologi kulit anjing yang terinfeksi demodekosis.
Indonesia Medicus Veterinus, 8(1): 90-98.
Rather, P.A. and Hassan, I. 2014. Human Demodex Mite: The Versatile Mite of
Dermatological Importance. Indian J Dermatol, 59(1): 60-66.
Sardjana, I.K.W. 2012. Pengobatan Demodekosis pada Anjing Di Rumah Sakit
Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Vet Medika J Klin Vet, 1(1): 9-14.
Scott, D.W., Miller, W.H. and Griffin, C.G. 2001. Small Animal Dermatology.
WB Saunders Company.
Sharma, S. and Pokharel, S. 2019. Diagnosis and Therapeutic Management of
Mixed Demodex and Sarcoptes Mite Infestation in Dog. Acta Scientific
Agriculture, 3: 163-166.
Shingenbergh, J., Mohamed, A.N. and Bida, S.A. 1980. Studies on bovine
Demodekosis in northern Nigeria. Veterinary Quartely, 2(2): 90-94.
Shipstone, M. 2000. Generalised Demodecosis in Dogs, Clinical Perspective. Aus.
Vet. J, 78 (4) : 240-242.
Singh, S.K., Kumar, M., Jadhav, R.K. and Saxena. 2011. An Update on
Therapeutic Management of Canine Demodicosis. Veterinary World,
4(1): 41-44.
Solanki, J.B., Hasnani, J.J., Panchal, K.M., Naurial, D.S. and Patel, P.V. 2011.
Histopathological Changes in Canine Demodicosis. Haryana Vet, 50: 57-
60.
Suartha, I. N., Reny, S. dan Ketut, I.G. 2014. Bentuk dan Sebaran Lesi
Demodekosis pada Sapi Bali. Jurnal Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Udayana, Bali.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Tater, K.C. and Patteson, A.P. 2008. Canine and feline demodicosis. Veterinary
Medicine, 103: 444-462.
Triakoso, N. 2006. Update: Demodecosis. Seminar Regional Penyakit
Dermatologi pada Anjing di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga 19 September 2006. Pp: 1-9.

Anda mungkin juga menyukai