Anda di halaman 1dari 7

TUGAS MATA KULIAH

ILMU PENYAKIT DALAM VETERINER I

“PODODERMATITIS PADA ANJING”

Disusun Oleh :
KELOMPOK 5 (2015 D)

1. Sri Wahyuningsih HS 1509005026


2. Suci Nur Qurani 1509005027
3. Gadis Ayu Septyawati 1509005029
4. Chairannisa Rustam 1509005062
5. Ni Luh Lasmi Purwanti 1509005064
6. Herdi Wahyu Adi Prananda 1509005065
7. Phebe Amadea Tanuwijaya 1509005066
8. Stefanie Nadya S.S. 1509005067
9. Agus Santika Putra 1509005069
10. Devi Latifah Puji. L. 1509005070
11. I Nyoman Kusumajaya 1509005109

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017

1
Pododermatitis Pada Anjing

1. Judul : Pododermatitis Pada Anjing

2. Definisi Penyakit
Pododermatitis didefinisikan sebagai radang pada kulit kaki. Jaringan yang
terkena yaitu kulit interdigital, footpads, lipatan kuku (paronychia), dan kuku.
Kasus pododermatitis pada anjing umum terjadi pada praktik dokter hewan. Satu
atau beberapa kaki dapat berpengaruh (Hnilca KA. 2011). Lesi dapat secara
spontan diatasi, hilang dan berkurang, atau dapat bertahan dalam waktu yang tidak
terbatas, disebut pedal folliculitis dan furunculosis, kondisinya kompleks,
multifaktorial, dan dapat susah untuk mendiagnosis dan mengobati (Bajwa, Jangi.
2016). Ras anjing yang sering terkena pododermatitis adalah English Bulldogs,
Basset Hounds, Irish Setters, Mastiffs, Great Danes, Bull Terriers, Dachshunds,
Boxers, Labrador Retrievers, Golden Retrievers, German Shorthaired Pointers,
Weimaraners, and German Shepherds.

3. Patofisiologi

Pododermatitis bisa diakibatkan oleh mekanisme patologis yang bervariasi


seperti (Côté, Etienne. 2014) :
1. Bersentuhan dengan substansi yang mampu mengiritasi ataupun trauma
fisik yang menyebabkan kulit cedera dan terjadi peradangan
2. Agen infeksi yang mengakibatkan terjadinya respon imun pada host, dan
menimbulkan terjadinya infiltrasi sel radang
3. Ketidakaturan hormonal seperti hipotiroidsm, hipertiroidsm, diabetes
mellitus. Adanya predisposisi ini menyebabkan terjadi infeksi
pododermatitis ini
4. Penyakit alergi, dimana trauma menyebabkan lesi pada kulit, alopesia
5. Kelainan imunne-mediated : pengaturan antibody atau pengaktifan
limfosit yang menyusun tubuh normal atau antigen penyebab ( obat,
bakteri, virus) bisa menyebabkan kerusakan jaringan
6. Infiltasi sel neoplasia bisa mengganggu struktur normal dari kulit.

2
4. Etiologi
Banyak penyakit kulit dan infeksi pada kaki anjing dapat menyebabkan
pododermatitis. Penyebab umumnya yaitu infestasi parasit, bakteri, jamur dan
alergi. Penyebab yang jarang terjadi meliputi penyakit autoimun, kondisi bawaan,
kelainan endokrin dan metabolik, dan kanker kulit. Penyakit dapat mempengaruhi
kuku tapi lebih sering melibatkan area kulit lainnya. Bentuk umum pododermatitis
anjing dapat di jelaskan sebagai berikut :
 Pododermatitis alergi dan infeksi sekunder
Paling sering diamati pada perawatan primer dan rujukan praktik
dermatologi. Di samping dermatitis atopik, reaksi makanan yang merugikan
kulit dan dermatitis kontak dapat menyebabkan pododermatitis serta bakteri
sekunder dan infeksi jamur superfisial. Penting untuk mengatasi penyakit
primer dan infeksi sekunder secara bersamaan untuk mengatasi
pododermatitis. Penyakit pada bantalan kaki seringkali menjadi kronis dan
tidak responsif terhadap terapi jika tidak ditangani sejak awal.
 Parasitik pododermatitis
Sangat umum terjadi, dengan tungau jenis demodex menjadi yang paling
sering terjadi. Setiap kasus pyoderma interdigital kronis harus dievaluasi
secara hati-hati untuk tungau demodex. Sementara skin scrapings dan hair
plucks adalah diagnostik yang andal untuk demodicosis, biopsi kulit mungkin
diperlukan untuk membuat diagnosis pada lesi bantalan kaki yang meradang
dan fibrosa. Demodectic pododermatitis dapat terjadi pada kaki anjing tanpa
lesi umum (Miller WH et al. 2013b). Demodikosis yang melibatkan kaki
pada anjing yang berusia lebih dari 4 tahun merupakan salah satu penyakit
kulit yang paling sering didiagnosa (Duclos DD. 2013).
 Pododermatitis pirogranulomatosa steril
Paling sering terjadi pada anjing berambut pendek seperti bulldog
Inggris, dachshunds, great Danes, dan Boxer (Miller WH. et al 2013a). Juga
disebut sebagai kista folikel interdigital menurut literatur, nodul interdigital
dengan atau tanpa pengeringan lesi berulang kali dan khususnya tidak
responsif terhadap terapi (Duclos DD. 2013).

3
5. Gejala dan Tanda Klinis

Pododermatitis pada anjing tidak berpatokan pada umur tertentu, jenis


kelamin dan breed yang spesifik. Boxers, Bulldogs, Bull terriers, German short-
haired pointers, German shepherd, Golden retriever, and Irish setter merupakan
jenis breed yang disebutkan pada beberapa literature (Duclos DD. 2013).
Beberapa tanda klinis yang lebih umum yang terkait dengan
pododermatitis adalah alopesia, eritema, pembengkakan, saliva berwarna,
hiperpigmentasi, pioderma, nodul, perdarahan hemoragik, penebalan kulit di
antara jaring kaki, dan absces. Nodul dan lesi perdarahan hemorrhagic cenderung
pecah dan terbuka. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan pada anjing dan
kebanyakan anjing akan menjilati terus-menerus lesi yang pecah (Duclos DD.
2013).
Dari pecahnya lesi ini akan timbul gejala klinis seperti rasa sakit pada pad,
paw, kuku dan pruritus pada anjing yang sangat terpengaruh enggan berjalan
akibat ada lesi pada paw atau kaki. Gejala lainnya anjing depresi dan inappetance
mungkin ada saat penyakit sistemik hadir (Bajwa, Jangi. 2016).

Gambar 1. Eritema dan lichenifikasi ringan dan hiperpigmentasi fokal


Sumber : Dr. Robert Hilton

4
Gambar 4. Peradangan kronis dan pioderma dalam dan furunculosis dalam
kasus pododemodicosis
Sumber : Dr Michelle Rosenbaum

6. Diagnosis
Pododermatitis disebabkan oleh banyak faktor sehingga diagnosis
dilakukan sesuai dengan penyebab (etiologi) pododermatitis. Secara umum,
diagnosis pododermatitis dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, kerokan
kulit, hair plucks (mencabut rambut anjing), dan kultur bakteri/jamur penyebab
pododermatitis. Tahapan awal diagnosis adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
fisik menunjukkan ada tidaknya lesi pada interdigitalis, footpads, lipatan kuku
(paronychia), dan kuku. Juga dapat menunjukkan tingkat keparahan lesi tersebut.
Selanjutnya pemeriksaan mikroskopis dengan spesimen yang diambil dari
kerokan kulit (deep skin scraping) atau rambut yang dicabut yang diduga
terinfeksi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui penyebab pododermatitis.
Selain itu, juga dapat dilakukan usap kulit (akibat kista pododermatitis) untuk
dijadikan spesimen pada pemeriksaan mikroskopis. Kemudian, identifikasi jenis
bakteri atau jamur terinfeksi dengan kultur bakteri atau jamur. Identifikasi
dilakukan dengan media tanam yang sesuai dengan jenis bakteri atau jamur
(Bajwa, Jangi. 2016). Terakhir, diagnosa dengan biopsi kulit pada kulit yang
mengalami peradangan. Biopsi dilakukan untuk mengetahui gambaran
histopatologi kulit yang terkena radang dan tingkat peradangannya.

5
7. Pengobatan
Pengobatan pada pododermatitis steril dapat dikelola dari waktu ke waktu
dengan steroid atau azatioprin, terapi siklosporin untuk mengendalikan tanda
klinis (Miller WH et al . 2013a), dan dalam beberapa kasus diobati dengan terapi
antimikroba lanjut dan vaksinasi. Bedah fusi podoplasti telah direkomendasikan
untuk kasus pioderma interdigital fibrosis kronis yang gagal merespons terapi
konvensional, namun diperlukan sejumlah upaya yang signifikan dalam
penanganan luka yang sedang berlangsung (Breathnach, R.M et al. 2008).
Pengobatan antibiotik yang berkepanjangan, biasanya selama 8 sampai 12
minggu, diperlukan pada kasus pododermatitis bakteri (Dawood, M.S. and
Salman, S.D. 2013; Posten, W et al. 2005). Pemulihan saat 2 sampai 4 minggu
pertama mungkin terlihat, namun terapi antibiotik tidak perlu dihentikan terlalu
cepat. Untuk lesi kronis atau kering, pembersihan topikal dan perendaman kaki
diindikasikan. Pemantauan untuk trauma (pruritus), perubahan gambaran pada lesi
dan palpasi lesi interdigital sangat penting untuk memantau respons terhadap
terapi dan untuk memastikan penanganan tepat.

6
DAFTAR PUSTAKA

Bajwa, Jangi. 2016. Canine pododermatitis. CVJ . VOL. 57 : 991-993.


Breathnach, R.M., Fanning, S., Mulcahy, G., Bassett, H.F. and Jones, B.R. (2008)
Canine pododermatitis and idiopathic disease. Vet. J., 176(2): 146-157.
Côté, Etienne. 2014. Clinical Veterinary Advisor Dogs and Cats. 3rd ed. Canada:
Elsevier.
Dawood, M.S. and Salman, S.D. (2013) Low level diode laser accelerates wound
healing. Lasers Med. Sci., 28(3): 941-945.
Duclos DD. 2013. Canine pododermatitis. Vet Clin Small Anim Pract. Vol. 43:57–
87.
Hnilca KA. Small Animal Dermatology: A color Atlas and Therapeutic Guide.
3rd ed. St. Louis, Missouri: Elsevier Saunders, 2011:60–62.
Miller WH, Griffin CE, Campbell KL. Muller and Kirk’s Small Animal
Dermatology. 7th ed. St. Louis, Missouri: Elsevier, 2013a:201–203.
Miller WH, Griffin CE, Campbell KL. Muller and Kirk’s Small Animal
Dermatology. 7th ed. St. Louis, Missouri: Elsevier, 2013b:309.
Posten, W., Wrone, D.A., Dover, J.S., Arndt, K.A., Silapunt, S. and Alam, M.
(2005) Low-level laser therapy for wound healing: Mechanism and
efficacy. Dermatol. Surg., 31(3): 334-340.

Anda mungkin juga menyukai