Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DERMATITIS ATOPIK

Disusun Oleh:

1. Fitri Robbidah Kurnia Putri (2020080056P)

2. Maria Ulfah (2020080057P)

3. Sumiati (2020080058P)

4. Nur laili (2020080059P)

5. Fahmi Ainur (2020080056P)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS GRESIK
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kata “dermatitis” berarti adanya inflamasi pada kulit. Ekzema merupakan

bentuk khusus dari dermatitis. Beberapa ahli memanfaatkan kata ekzema untuk

menjelaskan inflamasi yang dicetuskan dari dalam pada kulit. Prevalensi dari

semua bentuk ekzema adalah 4,66%, termasuk dermatitis atopik 0,69%, eczema

numular 0,17%, dan dermatitis seboroik 2,32% yang menyerang 2% hingga 5%

dari penduduk.

Eksim atau Dermatitis adalah istilah kedokteran untuk kelainan kulit yang

mana kulit tampak meradang dan iritasi. Keradangan ini bisa terjadi dimana saja

namun yang paling sering terkena adalah tangan dan kaki. Jenis eksim yang paling

sering dijumpai adalah eksim atopik atau dermatitis atopik. Gejala eksim akan

mulai muncul pada masa anak anak terutama saat mereka berumur diatas 2 tahun.

Pada beberapa masalah, eksim akan menghilang dengan bertambahnya usia,

namun tidak sedikit pula yang akan menderita seumur hidupnya. Dengan

pengobatan yang tepat, penyakit ini dapat dikendalikan dengan baik sehingga

mengurangi angka kekambuhan.

Dimanapun lokasi timbulnya eksim, gejala utama yang dirasakan pasien

adalah gatal. Terkadang rasa gatal sudah muncul sebelum ada tanda kemerahan

pada kulit. Gejala kemerahan biasanya akan muncul pada wajah, lutut, tangan dan

kaki, namun tidak menutup kemungkinan kemerahan muncul di daerah lain.

Daerah yang terkena akan terasa sangat kering, menebal atau keropeng.

Pada orang kulit putih, daerah ini pada mulanya akan berwarna merah muda lalu
berubah menjadi cokelat. Sementara itu pada orang dengan kulit lebih gelap,

eksim akan mempengaruhi pigmen kulit sehingga daerah eksim akan tampak lebih

terang atau lebih gelap.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu penyakit Dermatitis, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi

klinik, pemeriksaan penunjang dan diagnostik, penatalaksanaan medis dan

keperawatan, serta komplikasi Dermatitis?

2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien Dermatitis Kontak?

C.   TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu memahami definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi,

manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang dan diagnostik, penatalaksanaan

medis dan keperawatan, serta komplikasi Dermatitis.

2. Mahasiswa mampu melakukan askep kepada klien Dermatitis kontak.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik

2.1.1 Definisi

Dermatitis atopik (atopic dermatitis) adalah penyakit peradangan

kulit yang sifatnya menahun residif disertai rasa gatal hebat, eksaserbasi

kronik dan remisi, dengan etiologi yang sifatnya multifaktorial. Dermatitis

atopik biasanya berhubungan dengan penyakit alergi lainnya seperti asma

bronkial dan rhinokonjungtivitis alergi. Sinonim dermatitis atopik adalah

neurodermatitis, eksema atopik, eksema dermatitis atau prurigo Besnier

(Leung dkk. 2008; Lipozen dkk., 2007; Bieber dkk., 2008).

2.1.2 Faktor resiko

1. Faktor Genetik

DA merupakan penyakit genetik yang kompleks dan berkembang

berdasarkan latar belakang genetik dan interaksi genetik dengan lingkungan.

Hal ini dicirikan dari onset DA yang lebih banyak pada usia dini, prevalensi

penyakit pada keluarga, dan angka kejadian yang tinggi pada saudara kembar

(pada monozigot sebesar 77%, pada dizigot sebesar 15%). Gen yang terlibat

dalam DA antara lain: a. Gen pada kromosom 5q31-33 yang mengandung

famili gen sitokin Th2 yaitu IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF. b. Gen lainnya

yaitu pada kromosom 16p11.2-12 merupakan lokasi IL-4 reseptor gen alfa (IL-

4Rα). Polimorfisme pada minimal empat asam amino yang berbeda pada

lokasi sitoplasmik IL-4Rα mempengaruhi sinyal reseptor IL-4 dan

meningkatkan sekresi IgE. c. Gen pada 12q21-1q24.1, yaitu gen IFN-γ dan
faktor sel punca (KIT ligand/mast-cell growth factor) berlokasi berhubungan

dengan kadar IgE total yang tinggi. d. Lokus gen 11q13 sebagai daerah untuk

rantai β reseptor IgE terkait dengan fenotip dermatitis atopik. e. Dan varian

dari area pengkode IL-13, mutasi pada promotor proksimal gen RANTES dan

keterkaitan dermatitis atopik dengan kromosom 3q21, area yang mengkode

molekul kostimulator Cluster of Differentiation 80 (CD80) dan CD86 telah

diidentifikasi sebagai lokus yang rentan padda DA (Thomsen dkk., 2007;

McPherson, 2016).

Penelitian lain menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara DA

dengan mutasi gen filagrin pada kromosom 1. Gen filagrin merupakan risiko

genetik terkuat dimana sebanyak 50% penderita dengan DA mengalami

mutasi pada gen ini. Mutasi gen filagrin menyebabkan gangguan fungsional

pada protein filagrin dan menganggu fungsi sawar kulit. Manifestasi klinis

gangguan ini adalah kulit kering dengan fisura dan berisiko tinggi menjadi

eksema (Rerknimitr dkk., 2017; McPherson, 2016; Gutowska-Owsiak, 2012)

2. Faktor Lingkungan

Hanya sedikit faktor risiko dari aspek lingkungan yang diterima sebagai

penyebab potensial DA. Salah satu contoh faktor ini adalah gaya hidup barat

yang mengarahkan pada peningkatan kejadian eksema namun tidak mampu

menunjukkan faktor risiko lingkungan yang spesifik sehingga tindakan preventif

tidak dapat ditentukan (Benedetto dkk., 2012; Thomsen, 2014). Terdapat suatu

hipotesis yang menjelaskan peningkatan prevalensi eksema. Hipotesis tersebut,

dikenal sebagai hygiene hypothesis, menyatakan bahwa rendahnya paparan

terhadap infeksi protipikal seperti hepatitis A dan tuberkulosis pada masa awal

pada anak-anak meningkatkan kerentanan atau kecenderungan seseorang


untuk menderita dermatitis atopik. Hipotesis ini didukung oleh data bahwa

saudara termuda memiliki risiko dermatitis atopik terendah serta anak-anak

yang tumbuh di lingkungan pertanian (terpapar oleh berbagai jenis mikroflora,

susu sapi yang belum terpasteurisasi, dan hewan ternak) pada umumnya

memiliki efek proteksi dari penyakit alergi. Perkembangan penyakit DA juga

dipengaruhi oleh lamanya menyusui. Faktor-faktor gaya hidup modern (seperti

penggunaan antibiotic yang meningkat, jumlah anggota keluarga yang menurun,

dan higienitas yang meningkat) meningkatkan kemungkinan menderita DA

(Bloomfield dkk., 2016; Hong dkk., 2014).

2.1.3 Tanda dan Gejala

Gejala klinis dan perjalanan klinis DA bersifat sangat bervariasi. Gejala

utama DA adalah pruritus atau rasa gatal yang hilang timbul sepanjang hari,

tetapi biasanya lebih hebat pada malam hari. Akibat gejala ini penderita akan

menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit lain seperti papul,

likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta. Kulit penderita DA

biasanya kering, pucat atau redup, kadar lipid dalam epidermis berkurang, dan

terjadi peningkatan kehilangan air lewat epidermis (Eichenfield dkk., 2014). Lesi

akut pada DA dapat berupa eritema dengan papul, vesikel, edema yang luas dan

luka akibat menggaruk. Sedangkan lesi pada stadium kronik berupa penebalan

kulit atau likenifikasi. Selain itu dapat terjadi fisura yang nyeri terutama pada

fleksor, telapak tangan, jari dan telapak kaki. Pada individu yang berkulit hitam

atau coklat dapat ditemukan likenifikasi folikular (Leung dkk., 2012)

2.1.4 Klasifikasi

DA secara klinis terbagi menjadi 3 fase yaitu (Leung dkk., 2012; Karagiannidou

dkk., 2014): 1. Fase infantil (usia 0-2 tahun) DA paling sering muncul pada tahun
pertama kehidupan, umumnya setelah usia 2 bulan. Lesi diawali di kulit muka

(dahi, pipi) dalam bentuk eritema, papulovesikel halus, karena keluhan gatal

kemudian digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya membentuk krusta dan dapat

terjadi infeksi sekunder. Pada usia sekitar 18 bulan mulai timbul likenifikasi.

Sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun dan sebagian lagi

berlanjut ke bentuk atau fase anak. 2. Fase anak (usia 2 - 12 tahun) Fase anak

dapat sebagai kelanjutan dari bentuk infantil atau dapat timbul sendiri (de

novo). Lesi DA anak berjalan menahun akan berlanjut hingga usia sekolah.

Predileksi biasanya pada lipatan siku, lipatan lutut, leher dan pergelangan

tangan. Jari-jari tangan sering terkena berupa lesi eksudatif dan terkadang

disertai kelainan kuku. Umumnya kelainan kulit pada DA anak tampak lebih

kering bila dibandingkan pada bayi dan sering terjadi likenifikasi. Perubahan

pigmen kulit dapat terjadi sejalan dengan berlanjutnya lesi, dapat menjadi

hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi. 3. Fase Dewasa (usia > 12 tahun)

DA pada fase dewasa gambarannya mirip dengan lesi pada anak usia lanjut (8-12

tahun) dimana didapatkan likenifikasi terutama pada daerah lipatan tangan. Lesi

sifatnya kering, agak timbul, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak

likenifikasi dengan sedikit skuama, sering terjadi eksoriasi dan eksudasi karena

garukan yang lambat laun dapat menjadi hiperpigmentasi. Pada fase dewasa,

distribusi lesi bersifat tidak terlalu khas, sering mengenai tangan dan

pergelangan tangan, dapat juga bersifat lokal, misalnya bibir, vulva, puting susu,

atau kulit kepala. Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami

likenifikasi.

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis DA didasarkan pada keluhan dan gambaran klinis. Pada

awalnya diagnosis DA didasarkan atas berbagai gambaran klinis yang tampak

terutama gejala gatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis DA tidak

dapat dibuat tanpa disertai adanya riwayat gatal (McPherson, 2016). Hanifin dan

Rajka pada tahun 1980 telah membuat kriteria diagnosis DA berdasarkan pada

kriteria mayor dan minor. Hingga saat ini kriteria ini masih sering digunakan.

Diagnosis DA harus mempunyai mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria

minor.

Kriteria mayor meliputi :

1. Pruritus

2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak

3. Dermatitis di fleksura pada dewasa

4. Dermatitis kronis atau residif

5. Riwayat atopik pada penderita atau keluarganya (asma, rinokonjungtivitis

alergi, DA, urtikaria kontak).

Kriteria minor meliputi :

1. Xerosis (kulit kering)

2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus herpes simpleks)

3. Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki,

4. Iktiosis/hiperlinearitas Palmaris/keratosis pilaris,

5. Pitiriasis alba,

6. Dermatitis di papilla mama,

7. White dermographism dan delayed branch response,

8. Keilitis,

9. Lipatan infra-orbital Dennie-Morgan,


10. Konjungtivitis berulang,

11. Keratokonus,

12. Katarak subkapsular anterior,

13. Orbita menjadi gelap,

14. Muka pucat atau eritem,

15. Gatal bila berkeringat,

16. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak,

17. Aksentuasi perfolikular,

18. Hipersensitif terhadap makanan,

19. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi,

20. Tes kulit alergi tipe dadakan positif,

21. Kadar Ig E di dalam serum meningkat

22. Awitan pada usia dini

Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka

didasarkan pengalaman klinis yang cocok untuk diagnosis berbasis rumah sakit

dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi

karena kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol, disamping

itu belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan

(Thomsen, 2014; Leung dkk., 2012). The European Task Force on Atopic

Dermatitis pada tahun 1993 membuat suatu indeks untuk menilai derajat

dermatitis atopik, dikenal dengan istilah Score of Atopic Dermatitis (SCORAD).

SCORAD dapat menilai derajat keparahan inflamasi dermatitis atopik dengan

menilai (A) luas lesi, (B) tanda- tanda inflamasi, dan (C) keluhan gatal dan

gangguan tidur. Tanda inflamasi yaitu eritema, indurasi, ekskoriasi, papul, dan

likenifikasi (Oranje dkk., 2007; Leung dkk., 2012)


Luas lesi (A) diukur dengan menggunakan the rule of nine dengan skala

penilaian 0-100. Tanda inflamasi (B) pada SCORAD terdiri dari 6 kriteria: eritema,

edema/papul, ekskoriasi, likenifikasi, krusta, dan kulit kering yang masing-

masing dinilai dari skala 0-3, dimana 0 = tidak ada, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 =

berat, jumlah skor tertinggi kategori B ini adalah 18. Gejala subjektif (C) terdiri

dari pruritus dan gangguan tidur yang dinilai dengan visual analogue scale dari

skala 0-10 sehingga skor maksimum untuk bagian ini adalah 20. Formula

SCORAD yaitu A/5 + 7B/2 +C. Pada formula ini A adalah luas lesi (0-100), B

adalah intensitas (0-18), dan C adalah gejala subjektif (0-20). Skor maksimal

SCORAD adalah 103. Berdasarkan dari penilaian SCORAD dermatitis atopik

digolongkan menjadi dermatitis atopik ringan, sedang dan berat. Dermatitis

atopik ringan dengan skor SCORAD 50 (Oranje dkk., 2007; Lipozen dkk.., 2007).

Berdasarkan dari penilaian SCORAD dermatitis atopik digolongkan menjadi:

1. Dermatitis atopik ringan (skor SCORAD < 15) perubahan warna kulit

menjadi kemerahan, kulit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada

infeksi sekunder.

2. Dermatitis atopik sedang (skor SCORAD antara 15–40): kulit

kemerahan, infeksi kulit ringan atau sedang, gatal, gangguan tidur,

dan likenifikasi.

3. Dermatitis atopik berat (skor SCORAD >40): kemerahan kulit, gatal,

likenifikasi, gangguan tidur, dan infeksi kulit yang semuanya berat

2.1.6 Etiologi

Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya

sangat komplek ,tetapi terdapat beberapa faktor yang dianggap berperan


sebagai faktor pencetus kelainan ini misalnya faktor

genetik,imunologik,lingkungan dan gaya hidup, dan psikologi.

1. Faktor genetik Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita

yang mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya. Kromosom 5q31-33

mengandung kumpulan familygen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF, yang

diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting

dalam ekspresi dermatitis atopik. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen

IL-4 mempengaruhi presdiposisi dermatitis atopik.Ada hubungan yang erat

antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan dermatitis atopik,

tetapi tidak dengan asma bronkial atau rhinitis alergik1,12 . Sejumlah bukti

menunjukkan bahwa kelainan atopik lebih banyak diturunkan dari garis

keturunan ibu daripada garis keturunan ayah. Sejumlah survey berbasis

populasi menunjukkan bahwa resiko anak yang memiliki atopik lebih besar

ketika ibunya memiliki atopik, daripada ayahnya. Darah tali pusat IgE cukup

tinggi pada bayi yang ibunya atopik atau memiliki IgE yang tinggi, sedangkan

atopik paternal atau IgE yang meningkat tidak berhubungan dengan

kenaikan darah tali pusat IgE1

2. Faktor imunologi

Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi

imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.

Beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada dermatitis atopik,

seperti kadar IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat,

adanya IgE spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah

serta diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans

epidermal.Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis


atopik dan alergi saluran napas, karena 80% anak dengan dermatitis atopik

mengalami asma bronkial atau rhinitis alergik. Pada individu yang normal

terdapat keseimbangan sel T seperti Th1, Th 2, Th 17, sedangkan pada

penderita dermatitis atopik terjadi ketidakseimbangan sel T. Sitokin Th2

jumlahnya lebih dominan dibandingkan Th1 yang menurun.Hal ini

menyebabkan produksi dari sitokin Th 2 seperti interleukin IL-4, IL-5, dan IL-

13 ditemukan lebih banyak diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadi

peningkatan IgE dari sel plasma dan penurunan kadar interferon-

gamma.Dermatitis atopik akut berhubungan dengan produksi sitokin tipe

Th2, IL-4 dan IL-13, yang membantu immunoglobulin tipe isq berubah

menjadi sintesa IgE, dan menambah ekspresi molekul adhesi pada sel-sel

endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan dalam perkembangan dan ketahanan

eosinofil, dan mendominasi dermatitis atopik kroni.

Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan imunogen

atau alergen dari luar yang mencapai kulit. Pada paparan pertama terjadi

sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh antigen presenting cell

untuk kemudian disajikan kepada sel limfosit T untuk kemudian diproses

dan disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas II.

Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenai alergen tersebut

melalui T cell reseptor. Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi

subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang

aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. Setelah ada

di sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast dan basofil.Pada paparan

alergen berikutnya IgE telah bersedia pada permukaan sel mast, sehingga

terjadi ikatan antara alergen dengan IgE.Ikatan ini akan menyebabkan


degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast akan mengeluarkan mediator

baik yang telah tersedia seperti histamine yang akan menyebabkan reaksi

segera, ataupun mediator baru yang dibentuk seperti leukotrien C4,

prostaglandin D2dan lain sebagainya 5 . Sel langerhans epidermal berperan

penting pula dalam pathogenesis dermatitis atopik oleh karena

mengekspresikan reseptor pada permukaan membrannya yang dapat

mengikat molekul IgE serta mensekresi berbagai sitokin 5 . Inflamasi kulit

atopik dikendalikan oleh ekspresi lokal dari sitokin dan kemokin pro-

inflamatori. Sitokin seperti Faktor Tumor Nekrosis (TNF-α ) dan interleukin 1

(IL-1) dari sel-sel residen seperti keratinosit, sel mast, sel dendritik mengikat

reseptor pada endotel vaskular, mengaktifkan jalur sinyal seluler yang

mengarah kepada peningkatan pelekatan molekul sel endotel vaskular.

Peristiwa ini menimbulkan proses pengikatan, aktivasi dan pelekatan pada

endotel vaskular yang diikuti oleh ekstravasasi sel yang meradang ke atas

kulit. Sekali sel- sel yang inflamasi telah infiltrasi ke kulit, sel-sel tersebut

akan merespon kenaikan kemotaktik yang ditimbulkan oleh kemokin yang

diakibatkan oleh daerah yang luka atau infeksi13 . Penderita dermatitis

atopik cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur, karena

imunitas seluler menurun (aktivitas TH1 menurun). Staphylococcus aureus

ditemukan lebih dari 90% pada kulit penderita dermatitis atopik, sedangkan

orang normal hanya 5%. Bakteri ini membentuk koloni pada kulit penderita

dermatitis atopik, dan eksotosin yang dikeluarkannya merupakan

superantigen yang diduga memiliki peran patogenik dengan cara

menstimulasi aktivitas sel T dan makrofag. Apabila ada superantigen

menembus sawar kulit yang terganggu akan menginduksi IgE spesifik, dan
degranulasi sel mas, kejadian ini memicu siklus gatal garuk yang akan

menimbulkan lesi. Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE spesifik dan

menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah dermatitis

atopic.

3. Faktor lingkungan dan gaya hidup

Berbagai faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh terhadap

pravelensi dermatitis atopik.Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada

status sosial yang tinggi daripada status sosial yang rendah.Penghasilan

meningkat, pendidikan ibu makin tinggi, migrasi dari desa ke kota dan

jumlah keluarga kecil berpotensi menaikkan jumlah penderita dermatitis

atopik1,12 . Faktor-faktor lingkungan seperti polutan dan alergen-alergen

mungkin memicu reaksi atopik pada individu yang rentan. Paparan polutan

dan alergen tersebut adalah:

1) Polutan : Asap rokok, peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas

ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban

udara, penggunaan pendingin ruangan.

2) Alergen:

a) Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah, serbuk sari

buah, bulu binatang, jamur kecoa

b) Makanan: susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum -

Mikroorganisme: Staphylococcus aureus, Streptococcus sp, P.ovale,

Candida albicans,Trycophyton sp.

c) Bahan iritan: wool, desinfektans, nikel, peru balsam


4. Faktor Psikologi

Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik, egois, frustasi,

merasa tidak aman yang mengakibatkan timbulnya rasa gatal. Namun

demikian teori ini masih belum jelas

2.1.7 Manifestasi Klinis

Gejala utama dermatitis atopik adalah gatal/pruritus yang muncul

sepanjang hari dan memberat ketika malam hari yang dapat menyebabkan

insomnia dan penurunan kualitas hidup. Rasa gatal yang hebat menyebabkan

penderita menggaruk kulitnya sehingga memberikan tanda bekas garukan

(scratch mark) yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula,

erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi

kronis. Gambaran lesi eksematous dapat timbul secara akut (plak eritematosa,

prurigo papules, papulovesikel), subakut (penebalan dan plak ekskoriasi), dan

kronik (likenifikasi). Lesi eksematous dapat menjadi erosif bila terkena garukan

dan terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat

basah (weeping) dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut.

dermatitis atopic dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan lokaliasasinya terhadap usia:

1. Dermatitis Atopik Infantil (0-1 tahun) Dermatitis atopi sering muncul pada

tahun pertama kehidupan dan dimulai sekitar usia 2 bulan. Jenis ini disebut juga

milk scale karena lesinya menyerupai bekas susu. Lesi berupa plak eritematosa,

papulo-vesikel yang halus, dan menjadi krusta akibat garukan pada pipi dan

dahi. Rasa gatal yang timbul menyebabkan anak menjadi gelisah, sulit tidur, dan

sering menangis. Lesi eksudatif, erosi, dan krusta dapat menyebabkan infeksi

sekunder dan meluas generalisata dan menjadi lesi kronis dan residif.
2. Dermatitis Atopik pada Anak (1- 4 tahun) Dapat merupakan kelanjutan bentuk

infantile atau timbul sendiri. Pada umumnya lesi berupa papul eritematosa

simetris dengan ekskoriasi, krusta kecil, dan likenifikasi. Lesi dapat ditemukan di

bagian fleksura dan ekstensor ekstremitas, sekitar mulut, kelopak mata, tangan

dan leher.

3. Dermatitis Atopik pada Anak (4- 16 tahun) Pada usia 4-16 tahun dapat

dijumpai dermatitis pada tubuh bagian atas dan wajah. Umumnya muncul

dermatitis yang simetris pada area fleksura, tangan, dan kaki.

4. Dermatitis Atopik pada Dewasa (4-16 tahun) Pada orang dewasa, lesi

dermatitis kurang karakteristik, dapat di wajah, tubuh bagian atas, fleksura, bibir

dan tangan Lesi kering, papul datar, plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan

sering terjadi ekskoriasi dan eksudasi karena garukan. Terkadang dapat

berkembang menjadi eritroderma. Stres dapat menjadi faktor pencetus karena

saat stres nilai ambang rasa gatal menurun. Dermatitis atopik dapat disertai

berbagai kelainan seperti hiperlinearis palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks,

ptiriasis alba, keratosis pilaris, tanda Hertoghe, keilitis, liken spinulosus, dan

keratoconus.

2.1.8 Gejala utama

Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus,dapat hilang timbul

sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari.Akibatnya,

penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit

berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta. Kulit

penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat atau redup, kadar lipid di

epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.


Lesi akut pada dermatitis atopik berupa eritema dengan papul, vesikel,

edema yang luas dan luka akibat menggaruk.Sedangkan pada stadium kronik

berupa penebalan kulit atau yang disebut likenifikasi.Selain itu, dapat terjadi

fisura yang nyeri terutama pada fleksor,telapak tangan,jari dan telapak

kaki.Pada orang berkulit hitam atau coklat dapat ditemukan likenifikasi folikular

2.1.9 Penatalaksanaan Umum

Penatalaksanaan dermatitis atopik harus mengacu pada kelainan dasar , selain

mengobati gejala utama gatal untuk meringankan penderitaan

penderita.Penatalaksanaan ditekankan padakontrol jangka waktu lama (long

term control), bukan hanyauntuk mengatasi kekambuhan5,19 . Pengobatan

dermatitis atopik kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:

1. Menghindari bahan iritan Penderita dermatitis atopik rentan terhadap

bahan iritan yang memicu dan memperberat kondisi seperti sabun,

deterjen, bahan kimiawi, rokok, pakaian kasar, suhu yang ekstrem dan

lembab.Pemakaian sabun hendaknya yang berdaya larut 14 minimal

terhadap lemak dan dengan PH netral. Hindari sabun atau pembersih kulit

yang mengandung antiseptik atau antibakteri yang digunakan rutin karena

mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksisekunder.Pakaian baru

hendaknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakaidengandeterjen untuk

menghindari formaldehid atau bahan kimia.Usahakan tidak memakai

pakaian yang bersifat iritan seperti wol atau sintetikyang menyebabkan

gatal, lebih baik menggunakan katun.Pemakaian tabir surya juga perlu untuk

mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan

2. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti Alergen yang telah terbukti

sebagai pemicu kekambuhan harus dihindari, seperti makanan (susu,


kacang, telur, ikan laut, kerang laut dan gandum), debu rumah, bulu

binatang, serbuk sari, tanaman dan sebagainya

3. Pengobatan Topikal

1) Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi) Kulit penderita dermatitis

atopik menunjukkan adanya transepidermal water loss yang

meningkat.Oleh karena itu hidrasi penting dalam keberhasilan terapi,

biasanya menggunakan pelembab.Pemaikan pelembab dapat

memperbaiki fungsi barier stratum korneum dan mengurangi kebutuhan

steroid topikal. Sebuah studi menunjukkan bahwa pelembab mungkin

mengurangi 50% kebutuhan pemakaian kortikosteroid topical Pelembab

dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pelembab humektan, oklusif , dan

emolien. Pelembab humektan merupakan bahan aktif dalam komestik

yang ditujukan untuk meningkatkan kandungan air pada epidermis.

Bahan-bahan yang termasuk ke dalam humektan terutama bahan-bahan

yang bersifat higroskopis yang dapat digunakan secara khusus untuk

tujuan melembabkan kulit, contoh humektan adalah gliserin. Pelembab

oklusif adalah bahan aktif kosmetik yang menghambat terjadinya

penguapan air dari permukaan kulit. Dengan menghambat terjadinya

penguapan air pada permukaan kulit, bahan-bahan oklusif dapat

meningkatkan kandungan air dalam kulit. Contoh oklusif adalah

petrolatum.Pelembab yang digunakan bisa berbentuk cairan, krim atau

salep.Misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan

hidrokortison 1% didalamnya.Bila memakai pelembab yang

mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5% karena

dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif


2) Kortikosteroid topikal

Kortikosteroid topikal adalah yang paling banyak digunakan sebagai anti

inflamasi.Selain itu dapat berguna pada saat ekserbasi akut, anti pruritus

dan sebagai anti mitotik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hoare

C, dkk menggunakan kortikosteroid topikal pada 83 pasien dermatitis

atopik dengan menggunakan simple randomized control trialshasil dari

penggunaan kortikosteroid topikal kurang dari satu bulan 80%

menunjukkan pemulihan sangat baik. Pada prinsipnya penggunaan

steroid topikal dipilih potensi yang paling lemah yang masih efektif,

karena semakin kuat potensi semakin banyak efek sampingnya. Pada

bayi digunakan kortikosteroid topikal potensi rendah, misalnya

hidrokortison 1-2,5%.Pada anak dan dewasa dipakai steroid potensi

menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka diberikan steroid

yang berpotensilebih rendah.Pada daerah genitalia dan intertriginosa

juga digunakan kortikosteroid topikal yang berpotensi rendah jangan

digunakan yang berpotensi tinggi seperti Fluorinated glukokortikoid.Bila

aktivasi penyakit telah dikontrol dipakai secara intermiten, umumnya 2

kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh sebaiknya

dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah

3) Preparat tar

Walaupun tidak sekuat kortikosteroid topikal Preparat tar

batubara mempunyai efek anti-gatal dan anti-inflamasi. Preparat tar

sebaiknya dipakai pada lesi kronik tidak digunakan pada lesi akutkarena

dapat menyebabkan iritasi. Efek sampingnya antaralain folikulitis,

fotosensitivitas, dan potensi karsinogenik.


4) Inhibitor kalsineurin topikal

Inhibitor kalsineurin topikal merupakan non-steroidal agen yang

bekerja melalui jalur immunologik baik menghambat atau meningkatkan

reaksi imun dan inflamasi. Inhibitor kalsineurin topikal terdiri atas

takrolimus dan pimekrolimus. Takrolimus (FK-506) adalah suatu

penghambat kalsineurin yang bekerja untuk menghambat aktivasi sel

yang terlibat seperti sel langerhans, sel T, sel mas dan keratinosit.

Takrolimus dapat diberikan dalam bentuk salep 0.03% untuk anak-anak

2-15 tahun dan untuk dewasa 0.03% dan 0.1%. Sedangkan pimekrolimus

(ASM 81) merupakan suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator

golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi

Streptomyces hygroscopicusvar.Krim pimekrolimus dapat diberikan 1%

untuk anak-anak > 2 tahun dengan dermatitis atopik ringan sedang.

Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah terbukti efektif. Sebuah

penelitian dengan takrolimus 0,1%, dikatakan mempunyai potensi yang

sama dengan kortikosteroid topikal. Penelitian lain menunjukkan terapi

takrolimus topikal memberi hasil lebih dari 70% pasien mengalami

perbaikan sedang sampai baik dalam 19 3 minggu pemberian dan 30-

40% pasien mengalami tingkat perbaikan lebih dari 90%7 . Kelebihan

inhibitor kalsineurin topikal dibandingkan dengan kortikosteroid adalah

tidak menyebabkan penipisan kulit, namun pada penggunaan awal akan

menimbulkan sensasi terbakar di kuli. Takrolimus dan pimekrolimus

tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun

2.1.10 Komplikasi
Barier kulit yang rusak, respon imun yang abnormal, penurunan produksi

peptide anti mikroba endogen, semua presdiposisi mempengaruhi penderita

dermatitis atopik terkena infeksi sekunder. Infeksi kutan ini dapat menimbulkan

lebih resiko yang serius pada bayi dan pada waktu mendatang akan berpotensi

untuk infeksi sistemik. Penderita dermatitis atopik juga sangat rentan dengan

infeksi virus, yang paling berbahaya adalah herpes simplex dengan penyebaran

luas dapat mengakibatkan ekzema hepetikum yang dapat terjadi pada semua

usia3,22 . Komplikasi pada mata juga dihubungkan dengan dermatitis kelopak

mata dan blepharitis kronis yang umumnya terkait dengan dermatitis atopik dan

dapat mengakibatkan gangguan penglihatan dari jaringan parut kornea.

Keratokonjungvitis atopik biasanya bilateral dan dapat memiliki symptom

seperti rasa gatal dan terbakar pada mata, mata berair dan mengeluarkan

diskret yang mukoid


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian

1. Identitas Pasien

2.  Keluhan Utama.

3. Biasanya pasien mengeluh gatal, rambut rontok.

4. Riwayat Kesehatan.
5. Riwayat penyakit sekarang
6. Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada
keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk
menanggulanginya.
7. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit
kulit lainnya.
8. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau
penyakit kulit lainnya.
9. Riwayat psikososial
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang
mengalami stress yang berkepanjangan.
10. Riwayat pemakaian obat
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai pada
kulit, atau pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap sesuatu obat
11. POLA FUNGSIONAL
a) Pola persepsi dan penanganan Kesehatan
Tanyakan kepada klien pendapatnya mengenai kesehatan dan
penyakit. Apakah pasien langsung mencari pengobatan atau
menunggu sampai penyakit tersebut mengganggu aktivitas pasien.

b) Pola nutrisi dan metabolisme


Tanyakan bagaimana pola dan porsi makan sehari-hari klien ( pagi,
siang dan malam )
Tanyakan bagaimana nafsu makan klien, apakah ada mual muntah,
pantangan atau alergi
c) Pola eliminasi
Tanyakan bagaimana pola BAK dan BAB, warna  dan
karakteristiknya
d) Pola aktivitas/olahraga
Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan
pada kulit.
Kekuatan Otot :Biasanya klien tidak ada masalah dengan kekuatan
ototnya karena yang terganggu adalah kulitnya
Keluhan Beraktivitas : kaji keluhan klien saat beraktivitas.
e) Pola istirahat/tidur
Kebiasaan : tanyakan lama, kebiasaan dan kualitas tidur pasien
f) Pola kognitif/persepsi
Kaji status mental klien, Kaji kemampuan berkomunikasi dan
kemampuan klien dalam memahami sesuatu, kaji tingkat anxietas
klien berdasarkan ekspresi wajah, nada bicara klien. Identifikasi
penyebab kecemasan klien
g) Pola persepsi dan konsep diri
h)  Tanyakan pada klien bagaimana klien menggambarkan dirinya
sendiri, apakah kejadian yang menimpa klien mengubah gambaran
dirinya
i) Pola peran hubungan
Tanyakan tentang system pendukung dalam kehidupan klien seperti:
pasangan, teman.
j) Pola seksualitas/reproduksi
Tanyakan masalah seksual klien yang berhubungan dengan
penyakitnya

3.2. Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan  integritas kulit berhubungan dengan kekeringan pada kulit

2. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas


3.3. Intervensi dan Implementasi

DIAGNOSA INTERVENSI DAN


No TUJUAN
KEPERAWATAN IMPLEMENTASI

1. Kerusakan  integritas Setelah dilakukan


1. 1. Lakukan inspeksi lesi
asuhan setiap hari
kulit berhubungan
keperawatan, 2. 2. Pantau adanya tanda-
dengan kekeringan
kulit klien dapat tanda infeksi
pada kulit kembali normal
3. 3. Ubah posisi pasien
dengan kriteria tiap 2-4 jam
hasil: 4. 4. Bantu mobilitas
        Kenyamanan pasien sesuai kebutuhan
pada 5. 5. Pergunakan sarung
kulit
meningkat tangan jika merawat lesi
        Derajat 6. 6. Jaga agar alat tenun
pengelupasan selau dalam keadaan
kulit berkurang bersih dan kering
        Kemerahan 7. 7. Libatkan keluarga
dalam memberikan
berkurang bantuan pada pasien
        Lecet karena 8. Gunakan sabun yang
garukan mengandung pelembab
berkurang atau sabun untuk kulit
        Penyembuhan sensitive
9.      Oleskan/berikan
area kulit yang
salep atau krim yang
telah rusak
telah diresepkan 2 atau

tiga kali per hari.

2. Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Lakukan tekni


asuhan aseptic dan
berhubungan dengan
keperawatan antiseptic dalam
penurunan imunitas
diharapkan tidak melakukan
terjadi infeksi tindakan pada
dengan kriteria pasien
hasil: 2. Ukur tanda vital
        Hasil pengukuran tiap 4-6 jam
tanda vital dalam 3. Observasi
 

batas normal. adanya tanda-


- RR :16-20 tanda infeksi
x/menit 4. Batasi jumlah
- N : 70-82 pengunjung
x/menit 5. Kolaborasi
- T : 37,5 C dengan ahli gizi
- TD : 120/85 untuk pemberian
mmHg diet TKTP
      Tidak ditemukan 6. Libatkan peran
tanda-tanda serta keluarga
infeksi dalam
(kalor,dolor, memberikan
rubor, tumor, bantuan pada
infusiolesa) klieN.
      Hasil 7. Kolaborasi
dengan dokter
pemeriksaan
dalam terapi
laborat dalam
obat
batas normal

Leuksosit darah :

5000-10.000/mm3
BAB IV

TINJAUAN KASUS

4.1. Pengkajian

a. Data Pasien

Nama : An. D

MR : 191818

Masuk ke RS : 13-08-2021

Tanggal Lahir : 23-8-2018

Umur : 2 tahun

Jenis kelamin   :P

Agama : Islam

Alamat : Ngagel raya

b. Pengkajian Riwayat Kesehatan

Riwayat kesehatan dahulu : Alergi susu sapi

Riwayat kesehatan keluarga : Ayah pasien memiliki alergi debu

Riwayat kesehatan sekarang : ibu pasien mengatakan anaknya gatal

disekujur tubuh, tampak kemerahan dikulit sejak 3 hari yang lalu setelah

mengganti susu soya ke susu sapi biasa, demam sejak kemarin.

c. Riwayat psikososial
Anak tampak rewel, selalu minta digendong
d. Riwayat pemakaian obat
Saat muncul kemerahan hanya diberi baby cream

POLA FUNGSIONAL
e. Pola persepsi dan penanganan Kesehatan
Saat muncul awal kemerahan ibu pasien hanya memberi baby cream, saat
sudah semakin merah ibu pasien baru membawa pasien berobat ke RS.
f. Pola nutrisi dan metabolisme
Pasien alergi susu sapi pada usia 6 bulan, lalu oleh ibu pasien diganti dengan
susu soya hingga usia 3 tahun. 1 minggu yang lalu ibu pasien mencoba untuk
mengganti ke susu sapi.
g. Pola eliminasi
Pasien BAB 1x perhari, warna kuning kecoklatan. BAK dalam batas normal
h. Pola aktivitas/olahraga
Pasien tampak rewel, tidak mau bermain, minta selalu digendong
i. Pola istirahat/tidur
Pasien tidak bisa tidur, bila tertidur sering terbangun karena gatal.
j. Higiene

Pasien tampak sering berkeringat, pasien mandi 2x per hari menggunakan

sabun mandi khusus bayi.

k. Pemeriksaan fisik

S: 38 C, N: 124x/m, rr 28x/m

Tampak kemerahan disekujur tubuh

l. Pemeriksaan Penunjang

Hb: 12,0 Leukosit: 16.100, trombosit: 189.000.

4.2. Analisa Data


DS: Pasien mengeluh gatal.

DO: Pasien tampak rewel, sering menggaruk tubuhnya, kulit tampak merah-

merah.

4.3. Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan  integritas kulit berhubungan dengan kekeringan pada kulit

2. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas

4.4. Intervensi dan implementasi

DIAGNOSA INTERVENSI DAN


No TUJUAN
KEPERAWATAN IMPLEMENTASI

1. Kerusakan  integritas Setelah dilakukan


8. 1. Lakukan inspeksi lesi
asuhan setiap hari
kulit berhubungan
keperawatan, 9. 2. Pantau adanya tanda-
dengan kekeringan
kulit klien dapat tanda infeksi
pada kulit kembali normal
10. 3. Ubah posisi pasien
dengan kriteria tiap 2-4 jam
hasil: 11. 4. Bantu mobilitas
        Kenyamanan pasien sesuai kebutuhan
pada 12. 5. Pergunakan sarung
kulit
meningkat tangan jika merawat lesi
        Derajat 13. 6. Jaga agar alat tenun
pengelupasan selau dalam keadaan
kulit berkurang bersih dan kering
        Kemerahan 14. 7. Libatkan keluarga

berkurang dalam memberikan

        Lecet karena bantuan pada pasien

garukan 8. Gunakan sabun yang

berkurang mengandung pelembab

        Penyembuhan atau sabun untuk kulit


sensitive
area kulit yang
telah rusak 9.      Oleskan/berikan

salep atau krim yang

telah diresepkan 2 atau

tiga kali per hari.

2. Resiko infeksi Setelah dilakukan 8. Lakukan tekni


asuhan aseptic dan
berhubungan dengan
keperawatan antiseptic dalam
penurunan imunitas
diharapkan tidak melakukan
terjadi infeksi tindakan pada
dengan kriteria pasien
hasil: 9. Ukur tanda vital
        Hasil pengukuran tiap 4-6 jam
tanda vital dalam 10.  Observasi
batas normal. adanya tanda-
- RR :16-20 tanda infeksi
x/menit 11. Batasi jumlah
- N : 70-82 pengunjung
x/menit 12. Kolaborasi
- T : 37,5 C dengan ahli gizi
- TD : 120/85 untuk pemberian
mmHg diet TKTP
      Tidak ditemukan 13. Libatkan peran
tanda-tanda serta keluarga
infeksi dalam
(kalor,dolor, memberikan
rubor, tumor, bantuan pada
infusiolesa) klieN.
      Hasil 14. Kolaborasi
dengan dokter
pemeriksaan
dalam terapi
laborat dalam obat
batas normal

Leuksosit darah :

5000-10.000/mm3

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dermatitis adalah peradangan kulit epidermis dan dermis sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen, menimbulkan kelainan
klinis berubah eflo-resensi polimorfik (eritema, edema,papul, vesikel, skuama,
dan keluhan gatal)
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan
kimia (contoh : detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (sinar dan suhu),
mikroorganisme (contohnya : bakteri, jamur) dapat pula dari dalam(endogen),
misalnya dermatitis atopik.
Pencegahan merupakan hal yang sangat penting pada penatalaksanaan
dermatitis kontak iritan dan kontak alergik. Di lingkungan rumah, beberapa hal
dapat dilaksanakan misalnya penggunaan sarung tangan karet di ganti dengan
sarung tangan plastik, menggunakan mesin cuci, sikat bergagang panjang,
penggunaan deterjen.

B. Saran
Jika memilki kulit yang sensitif, ada baiknya menggunakan sarung tangan
berbahan plastik saat mencuci pakaian menggunakan tangan untuk
menghindari terjadinya demratitis.
Dermatitis pun ada yang basah dan ada juga yang kering tergantung dari
reaksi yang ditimbulkan alergen pada tubuh. Pengobatannya pun menjadi
berbeda sehingga perlu dibedakan masing-masing dari klasifikasi dermatitis itu
sendiri agar tidak terjadi komplikasi yang lebih berat.

Anda mungkin juga menyukai