Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik merupakan suatu penyakit kulit yang sampai saat ini belum
diketahui penyebab dan mekanisme yang mendasari timbulnya penyakit ini.
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang paling sering terjadi pada anak-anak
namun juga dapat terjadi pada orang dewasa.1,5
Penyakit ini memiliki gejala klinis seperti gatal, ruam kemerahan berbatas
tegas dan kulit kering dan dapat eksaserbasi pada saat dewasa dan juga merupakan
penyakit yang dapat diwariskan atau genetik.2,3
Riwayat atopi yang dimiliki orang tuanya seperti penyakit asma, rhinitis alergi
dan dermatitis atopi berpotensi menurunkan penyakit dermatitis atopik terhadap
anaknya sebesar 50 % dan meningkat 75 % apabila kedua orang tua memiliki
riwayat atopi dan ini berlaku untuk wanita dan lelaki.4
Menurut survey yang dilakukan oleh American Academy of Physicians pada
tahun 2003 penderita dermatitis atopik di Amerika mencapai persentase 11%, dan
tahun 2007 berjumlah sampai 17,8 juta orang yang terkena dermatitis atopik dan
masih banyak kasus yang tidak terdeteksi. Prevalensi dermatitis atopik pada anak
berkisar 10-20 % dan dewasa 1-3 % di dunia. Meskipun dermatitis atopik
merupakan penyakit kronis namun 60-70 % pasien anak dapat sembuh sebelum
usia dewasa. Laki-laki dan perempuan sama2,11,12
Pada anak sekitar 45% kasus dermatitis atopic muncul dalam 6 bulan
pertama kehidupan, 60% muncul daalm tahun pertama kehidupan dan 85%
muncul sebelum usia 5 tahun.. sekitar 70% kasus penderita dermatitis atopik anak
akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga bisa
terjadi saat dewasa. 4
Penyebab dermatitis atopic umumnya belum diketahui tetapi diduga
merupakan interaksi dari faktor genetic. Dermatitis atopic cenderung diturunkan.
Bila seorang ibu menderita atopi maka >1/4 anaknya akan menderita dermatitis
atopic pada 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi maka lebih

1
separuh anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun. Dan apabla kedua orang
tua menderita atopi, angka ini meningkat sampai 75%.4,11
Faktor resiko dari Dermatitis atopi yaitu faktor iritan, faktor lingkungan berupa
hewan peliharaan dan mikroorganisme, dan faktor allergen berupa allergen hirup
maupun allergen makanan.
Gejala klinis pada pasien dermatitis atopik sangat tergantung kepada derajat
penyakit dan umur pasien. Kelompok umur pada pasien dermatitis atopik terbagi
tiga yaitu bayi, anak-anak dan dewasa. Gejala yang paling mengganggu pada
pasien ini adalah gatal berkepanjangan dengan kekambuhan.2,8
Tatalaksana DA yang efektif meliputi kombinasi penghindaran pencetus,
pengurangan gatal menjadi seminimal mungkin, perbaikan sawar kulit, dan obat
anti inflamasi.6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

a. Dermatitis Atopik
1. Definisi
Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit yang paling
sering terjadi pada awal masa bayi dan kanak-kanak. Sering dikaitkan dengan
kelainan pada fungsi sawar kulit, sensitisasi allergen dan infeksi kulit berulang.
Sepertiga dari anak-anak yang menderita dermatitis atopi juga akan menderita
asma/renitis alergi.2,9

2. Klasifikasi
Klasiikasi pada dermatitis atopik dibagi berdasarkan usia pasien saat
terjadinya Dermatitis Atopi dan juga merupakan tahapan fase terjadinya
kekambuhan DA menurut usianya. Tahapan tersebut terbagi atas 3 fase yaitu :
a. Dermatitis Atopik Fase Infantil (Usia 2 bulan sampai 2 tahun)
Dermatitis Atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan,
biasanya setelah usia 2 bulan. Tempat preileksi utama di wajah diikuti kedua pipi
dan tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher,
pergelangan tangan dan tungkai.15
Bila anak mulai merangkak dan belajar berjalan, lesi dapat ditemukan di
bagian ekstensor, misalnya, lutut, siku atau di tempat yang mudah mengalami
trauma. Biasanya anak mulai menggaruk setelah umur 2 bulan. Rasa gatal yang
timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur dan sering
menangis. Karena garukan menyebabkan lei mudah mengalami infeksi sekunder.
Pada sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase anak atau fase remaja. Pada
umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat
mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata, walaupun jarang juga dapat
terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif.15

3
Pada bayi kurang dari 1 tahun, beberapa allergen makanan seperti susu sapi,
telur, dan kacang-kacangan kadang masih berpengaruh, tetapi pada usia yang
lebih tua allergen hirup dianggap lebih berpengaruh. Namun hal tersebur masih
diperdebatkan.15

Gambar 1. Predileksi dermatitis atopi

b. Dermatitis Atopik Fase Anak (Usia 2 sampai 10 tahun)


Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil atau timbul sendiri (de novo)
tanpa didahului fase infantil. Tempat predileksi lebih sering di fosa kubiti dan
popliteal, fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher, dan tersebar
simetris. Lesi cenderung lebih kering, lesi dermatitis cenderung menjadi kronis,
disertai hyperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, krusta dan skuama.
Pada fase ini pasien dermatitis atopi lebih sensitif terhadap allergen hirup, wol,
bulu kucing dan anjing, bulu ayam, burung dan sejenisnya. DA berat yang
melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat pertumbuhan.15

c. Dermatitis Atopik Fase Remaja dan Dewasa (Usia >13 tahun)


Dapat merupakan kelanjutan fase infantile atau fase anak. Tempat predileksi
mirip dengan fase anak, dapat meluas mengenai kedua telapak tangan, jari-jari,
pergelangan tangan, bibir, leher, bagian anterior, scalp dan puting susu.
Manifestasi klinis bersifat kronis, berupa plak hiperpigmentasi, hyperkeratosis,
likenifikasi, ekskoriasi dan skuamasi.15

4
Lesi sangat gatal, terutama pada malam waktu beristirahat. Pada orang dewasa
sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stress. Mungkin
karena stres dapat menurunkan ambang rasa gatal. Penderita atopik memang sulit
mengeluarkan keringat, sehigga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik.
Pada umumnya DA remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung
menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang terjadi sampai usia
pertengahan, hanya sebagian kecil yang berlangsung sampai tua. Kulit penderita
DA yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang oleh bahan iritan
eksogen.15

3. Epidemiologi
Menurut survey yang dilakukan oleh American Academy of Physicians pada
tahun 2003 penderita dermatitis atopik di Amerika mencapai persentase 11%, dan
tahun 2007 berjumlah sampai 17,8 juta orang yang terkena dermatitis atopik dan
masih banyak kasus yang tidak terdeteksi. Prevalensi dermatitis atopik pada anak
berkisar 10-20 % dan dewasa 1-3 % di dunia. Meskipun dermatitis atopik
merupakan penyakit kronis namun 60-70 % pasien anak dapat sembuh sebelum
usia dewasa. Laki-laki dan perempuan sama2,11,12
Pada tahun 2000 kasus dermatitis atopic pada anak di Inodnesia ditemukan
sebanyak 23,67% dari 611 kasus baru penyakit kulit, dimana dermatitis atopi
menempati peringkat pertama dari 10 besar penyakit kulit anak. Sedangkan pada
tahun 2005 kejadian dermatitis atopi mencapai 36% dari keseluruhan diagnosis
dermatitis.4,5
Pada anak sekitar 45% kasus dermatitis atopic muncul dalam 6 bulan pertama
kehidupan, 60% muncul daalm tahun pertama kehidupan dan 85% muncul
sebelum usia 5 tahun.. sekitar 70% kasus penderita dermatitis atopik anak akan
mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga bisa terjadi
saat dewasa. 4

5
4. Etiologi
Penyebab dermatitis atopic umumnya belum diketahui tetapi diduga
merupakan interaksi dari faktor genetic. Dermatitis atopic cenderung diturunkan.
Bila seorang ibu menderita atopi maka >1/4 anaknya akan menderita dermatitis
atopic pada 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi maka lebih
separuh anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun. Dan apabla kedua orang
tua menderita atopi, angka ini meningkat sampai 75%.4,11

5. Patogenesis
Pathogenesis DA sepenuhnya belum dipahami, tetapi diduga merupakan
interaksi faktor genetic, disfungsi imun, disfungsi sawar epidermis dan peranan
lingkungan serta agen infeksius. Mutasi gen pada protein filaggrin diduga
menyebabkan dermatitis atopic dengan mengganggu epidermis.8,12
Filaggrin adalah protein kunci yang memfasilitasi diferensiasi terminal dari
epidermis dan pembentukan sawar kulit. Filaggrin merupakan sumber utama
komponen pelembab alami dari stratum korneum. Stratum korneum sendiri
berfungsi mengatur permeabilitas kulit dan mempertahankan kelembaban kulit,
melindungi kulit dari organisme dan radiasi ultraviolet, menghantarkan rangsang
mekanik dan sensorik. Telah terbukti bahwa mutasi gen pengkode filaggrin
merupakan faktor predisposisi yang sangat kuat untuk dermatitis atopic, sehingga
mengganggu pembentukan protein yang esensial untuk pembentukan sawar kulit.
Gangguan fungsi sawar epidermis ini menyebabkan gangguan permeabilitas dan
pertahanan terhadap mikroorganisme. Sehingga menyebabkan kandugan lipid
stratum korneum berubah, transepidermal water loss (TEWL) menjadi lebih
tinggi pada DA. Selain itu ukuran karneosit pada kulit DA lebih kecil dari kulit
normal, hal inilah yang menyebabkan bahan-bahan iritan, allergen dan mikroba
mudah masuk ke dalam kulit.8,11
Pada DA terjadi defek respon imun bawaan yang menyebabkan pasien DA
lebih rentan terkena infeksi virus dan bakteri. Pada fase awal DA respons sel T
didominasi oleh T helper 2 (Th2) tetapi selanjtnya terjadi pergeseran dominasi
menjadi respons Th1 yang berakibat pada pelepasan kemokin dan sitokin

6
proinflamasi, yaitu IL 4, IL 5 dan tumor necrosis factor yang merangsang
produksi gE dan respons inflamasi sistemik. Akibatnya terjadi pruritus pada kulit
pasien DA.11

6. Faktor Resiko
a. Iritan
Kulit penderita dermatitis atopik ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan,
antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat gosok
untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol.3,4,8

b. Lingkungan
Faktor lingkungan bersih berpengaruh terhadap kekambuhan dermatitis atopik
misalnya;
a) Hewan peliharaan
Paparan dini terhadap hewan peliharan (berbulu) disarankan untuk di hindari
karena Copenhagen Prospective Studies on Asthma in Child-hood (COPSAC)
melaporkan bahwa interasi yang siknifikan antara filaggrin dan hewan dirumah
dapat meningkatkan onset dermatitis atopik secara cepat.1,4,8
b) Mikroorganisme
Apabila pasien dermatitis atopik tinggal ditempat dengan higeinitas yang
kurang maka akan dengan mudah kulit yang mengalami disfungsi sawar kulit
terkena infeksi oleh patogen, S. aerus, yang akan mensekresi toksin yang disebut
superantigen untuk mengaktifkan sel T dan makrofag yang akan mengakibatkan
inflamasi. Selain itu ditemukan pula kulit pasien dermatitis atopik mengalami
defisiensi peptida antimikroba untuk melawan patogen karena mutasi gen.1,4,8

c. Alergen
Penderita dermatitis atopik mudah mengalami alergi terutama terhadap
beberapa alergen, antara lain:

7
a) Alergen hirup, yaitu asap rokok, debu rumah dan tungau debu rumah. Hal
tersebut dibuktikan dengan peningkatan disfungsi sawar kulit dengan
meningkatnya kadar IgE RAST (IgE spesifik).1,3
b) Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1 tahun
karena sawar usus belum bekerja sempurna.1,3

7. Gambaran Klinis
Gejala klinis pada pasien dermatitis atopik sangat tergantung kepada derajat
penyakit dan umur pasien. Kelompok umur pada pasien dermatitis atopik terbagi
tiga yaitu bayi, anak-anak dan dewasa. Gejala yang paling mengganggu pada
pasien ini adalah gatal berkepanjangan dengan kekambuhan.2,8
Gambaran kulit atopik bergantung pada parahnya garukan yang dialami dan
adanya infeksi sekunder pada kulit. Kulit dapat menjadi merah, bersisik, tebal
dan kasar, beruntusan atau terdapat cairan yang keluar dan menjadi keropeng
(krusta) dan terinfeksi. Kulit yang merah dan basah (eksim) disebabkan
peningkatan peredaran darah di kulit akibat rangsangan alergen, stress, atau
bahan pencetus lain. Peningkatan aliran darah diikuti dengan perembesan cairan
ke kulit melalui dinding pembuluh darah.3,15
Gejala dermatitis atopik dibedakan menjadi 3 kelompok usia yaitu dermatitis
atopik pada masa bayi (0-2 tahun), masa anak (2-12 tahun), dan saat dewasa (>12
tahun): Dermatitis atopik yang terjadi pada masa bayi dan anak mempunyai
gejala yang berbeda-beda, baik dalam usia saat mulai timbul gejala maupun
derajat beratnya penyakit. Pada masa bayi, umumnya gejala mulai terlihat sekitar
usia 6-12 minggu.4,8
Pertama kali timbul di pipi dan dagu sebagai bercak-bercak kemerahan,
bersisik dan basah. Kulit pun kemudian mudah terinfeksi. Kelainan kulit pada
bayi umumnya di kedua pipi sehingga oleh masyarakat sering dianggap akibat
terkena air susu ibu ketika disusui ibunya, sehingga dikenal istilah eksim susu.
Sebenarnya, pendapat tersebut tidak benar, pipi bayi yang mengalami gangguan
bukan akibat terkena air susu ibu. Bahkan bayi yang pada beberapa bulan
pertama diberi air susu ibu (ASI) secara ekslusif (hanya ASI saja) akan lebih

8
jarang terkena penyakit ini dibandingkan bayi yang mendapat susu formula.
Selain itu, sisik tebal bewarna kuning ‘kerak’ juga sering ditemui pada bayi di
kepala (cradle cap), yang dapat meluas ke daerah muka.2,15

Tabel 1. Gambaran klinis umum


Gejala Utama Gejala Tambahan
Gatal Kulit kering
Ruam pada wajah dan/atau Wajah pucat
ekstensor pada bayi dan balita
Likenifikasi pada daerah flexor Kehitaman daerah bawah mata
pada anak dengan umur di atas 5
tahun
Riwayat keluarga dengan penyakit Pityriasis alba, keratosis pillaris,
atopik seperti asma, rhinitis alergi ichthyosis vulgaris, conjunctivitis.
dan dermatitis atopik
Pada pasien dermatitis kronik Penebalan garis telapak tangan dan
kaki

Gambar 2. Ruam pada wajah dan ekstensor

8. Diagnosis
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis yang
tampak menonjol, terutama gejala gatal. Dalam perkembangan selanjutnya untuk

9
mendiagnosis dermatitis atopik digunakan uji alergi yaitu uji tusuk (skin pricktest)
dan pemeriksaan kadar IgE total sebagai kriteria diagnosis. 4

Gambar 3. Uji Tusuk

Pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka mengusulkan suatu kriteria diagnosis
dermatitis atopik yaitu terdiri dari 4 kriteria mayor dan 23 kriteria minor.
Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai 3 kriteria mayor dan 3 kriteria
minor jika menggunakan kriteria Hanifin and Rajka. Kriteria ini cocok digunakan
untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit dan eksperimental, namun tidak
cocok pada penelitian berbasis populasi. Oleh karena itu William, dkk pada tahun
1994 memodifikasi dan menyederhanakan kriteria Hanifin and Rajka menjadi satu
pedoman diagnosis dermatitis atopik yang dapat digunakan untuk diagnosis
dengan cepat. 4
Kriteria William,dkk yaitu: 4,15
a. Harus ada : Rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan).
b. Ditambah 3 atau lebih:
1) Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar leher
(termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun).
2) Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat
penyakit atopi pada anak-anak).
3) Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.
4) Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4 tahun).

10
5) Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4
tahun).

Kriteria Diagnostik Hanifin and Rajka4,15


Kriteria Mayor :
a. Pruritus (gatal)
b. Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas
c. Bersifat kronik eksaserbasi
d. Ada riwayat atopi individu atau Keluarga

Kriteria Minor :
a. Hiperpigmentasi daerah periorbita
b. Tanda Dennie-Morgan
c. Keratokonus
d. Konjungtivitis rekuren
e. Katarak subkapsuler anterior
f. Cheilitis pada bibir
g. White dermatographisme
h. Pitiriasis Alba
i. Fissura pre-aurikular
j. Dermatitis di lipatan leher anterior
k. Facial pallor
l. Hiperliniar palmaris
m. Keratosis palmaris
n. Papul perifokular hiperkeratosis
o. Xerotic
p. Iktiosis pada kaki
q. Eczema of the nipple
r. Gatal bila berkeringat

11
The Europian Task Force on Atopic Dermatitis membuat suatu indeks untuk
menilai derajat dermatitis atopik, dikenal dengan istilah SCORAD (Score of
atopic dermatitis). SCORAD dapat menilai derajat keparahan inflamasi dermatitis
atopik dengan menilai (A) luas luka, (B) tanda-tanda inflamasi, dan (C) Keluhan
gatal dan gangguan tidur. Tanda inflamasi yaitu eritema, indurasi, ekskoriasi,
papul, dan likenifikasi. Luas luka (A) diukur dengan menggunakan the rule of
nine dengan skala penilaian 0-100. Tanda-tanda inflamasi (B) pada SCORAD
terdiri dari 6 kriteria: eritema, edema/papul, ekskoriasi, likenifikasi, krusta, dan
kulit kering yang masing-masing dinilai dari skala 0-3. Gejala subjektif (C) terdiri
dari pruritus dan gangguan tidur yang masing-masing dinilai dengan visual
analogue scale dari skala 0-10 sehingga skor maksimum untuk bagian ini adalah
20. Formula SCORAD yaitu A/5 + 7B/2 + C. Pada formula ini A adalah luas luka
(0-100), B adalah intensitas (0-18), dan C adalah gejala subjektif (0-20).4,11,12,17
Keterangan :
A : adalah jumlah luas permukaan kulit yang terkena dermatitis atopik di luar
kulit kering dengan mengikuti rule of nine dengan jumlah skor tertinggi kategori
A adalah 100.
B : adalah jumlah dari 6 kriteria inflamasi yaitu eritema/kemerahan,
edema/papul/gelembung yang melepuh, oozing/krusta, ekskoriasi,
likenifikasi/berkerak/bersisik, keringan kulit, semua mempunyai nilai masing-
masing berskala 0-3 (0 = tidak ada, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat), jumlah skor
tertinggi kategori B ini adalah 18.
C : adalah jumlah dari nilai gatal dan gangguan tidur dengan skala 0 – 10 dengan
jumlah skor tertinggi kategori C adalah 20.5
Berdasarkan dari penilaian SCORAD dermatitis atopik digolongkan menjadi:
1. Dermatitis atopik ringan (skor SCORAD <15): perubahan warna kulit menjadi
kemerahan, kulit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada infeksi sekunder.
2. Dermatitis atopik sedang (skor SCORAD antara 15–40): kulit kemerahan,
infeksi kulit ringan atau sedang, gatal, gangguan tidur, dan likenifikasi.
3. Dermatitis atopik berat (skor SCORAD >40): kemerahan kulit, gatal,
likenifikasi, gangguan tidur, dan infeksi kulit yang semuanya berat.4

Rumus SCORAD = A/5 + 7B/2 + C


12
9. Diferensial Diagnosis
Sebagai diagnosis banding dari dermatitis atopik ialah dermatitis seboroik,
dermatitis kontak, dermatitis numularis.15

Gambar 4. Dermatitis Seboroik Gambar 5. Dermatitis Alergi

Gambar 6. Dermatitis Numularis Gambar 7. Psoriasis

10. Manajemen Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien adalah penerapan pelayanan


dokter keluarga yang berbasis bukti, patient centered dan family approach.
Penatalaksanaan terdiri dari medikamentosa, menghindari faktor pencetus dan
edukasi.

13
Pemberian antihistamin sebagai terapi sistemik bertujuan untuk mengatasi rasa
gatal sehingga mencegah terjadinya garukan yang dapat memperparah kondisi lesi
( generasi sedative atau non-sedatif sesuai kebutuhan) CTM merupakan anti
histamin bersifat sedative ringan, baik digunakan untuk anak-anak karena rasa
kantuk membuat anak-anak mudah tidur sehingga dapat istirahat lebih banyak
untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Sediaan CTM tablet adalah 4 mg, dengan
dosis untuk anak usia 2-5 tahun adalah 1 mg setiap 4-6 jam, dengan dosis
maksimal 6 mg/hari.7,11,15
Pemilihan obat topical yang digunakan pada DA bayi dan anak, sama dengan
dewasa. Meliputi: pelembab, kortikosteroid dan obat penghambat kalsineurin
1. Pelembab
Pelembab berfungsi memulihkan disfungsi sawar kulit. Beberapa jenis
pelembab antar lain: natural moisturizing factor ( misalnya urea 10% dalam
euserin hidrosa), emolien (contohnya lanolin 10%, petrolatum, minyak tumbuhan
dan sintesis), protein rejuvenator (misalnya asam amino), bahan lipofolik
(diantaranya asam lemak esensiel, fosfolipid dan seramid) 10
Pemakaian pelembab dilakukan secara teratur 2 kali sehari, dioleskan segera
setelah mandi.10,14
2. Kortikosteroid
Untuk pengobatan yang aman hendaknya memperhatikan lokasi anatomisnya,
luas area yang diobati, potensi kortikosteroid yang digunakan termasuk jenis dan
konsentrasinya, vehikulum, frekuensi pengolesan dan lama pemakaian. Bila
penggunaan kortikosteroid tersebut dilakukan dengan benar, diharapkan dapat
menguranig kemungkinan terjadi efek samping.14
Untuk bayi dan anak dianjurkan pemilihan kortikosteroid golongan VII-IV.
Pada DA fase bayi/anak yang ringan dapat dimulai dengan kortikosteroid
golongan VII, misalnya Hydrocortison crim 1-21/2%, metylprednisolon atau
flumetason. Pada DA dengan derajat keparahan sedang dapat digunakan
kortikosteroid golongan VI, misalnya desonid, triamsinolon asetonid,
prednikarbat, hidrokortison butirat, flusinolon asetonid.14

14
Tabel 2. Pemilihan Kortikosteroid Berdasarkan Stadium DA14
Stadium DA Morfologi Klinis Kortikosteroid Bahan Vehikulum
Stadium akut: Eritem, vesikel, Potensi ringan Krim O/W
Fase Infantil erosi, ekskoriasi (VII-VI)
(Tampak
eksudatif)
Stadium Subakut: Eritem ringan, Potensi sedang Krim O/W atau
Fase Anak erosi, skuama, dan (V-IV) W/O
krusta
Stadium Kronis: Hiperpigmentasi Potensi kuat Salap, salap
Fase Dewasa hyperkeratosis dan atau sedang kuat berlemak atau gel,
likenifikasi (III,II,I) propilen glikol, as.
Salisilat >3%

Penghindaran pencetus bersifat individual berdasarkan riwayat pasien dan


dapat mempertimbangkan hasil uji IgE spesifik. Pencetus dapat berupa aero-
alergen, alergi makanan, infeksi, suhu, kelembaban, bahan-bahan iritan, dan stres
emosional. Kebiasaan yang dapat menjadi pencetus diantaranya terlalu sering
mandi atau cuci tangan, menjilat bibir, berkeringat, atau berenang. Kontak dengan
deodoran, kosmetik atau pajanan sinar matahari yang berlebihan dapat
mencetuskan DA. Pencetus lain adalah pajanan panas berlebihan termasuk mandi
air panas, memakai baju berlapislapis, dan penggunaan handuk panas. Hindari
penggunaan handuk kasar karena dapat menyebabkan iritasi dan memicu gatal.
Intoleransi terhadap wol sangat khas pada penderita DA sehingga bahan ini harus
dihindari. 5,6
Beberapa jenis makanan dapat mencetuskan DA, misalnya kacang, telur, ikan,
produk makanan laut, susu, dan cokelat. Tetapi penghindaran total terhadap
makanan tertentu terutama pada anak-anak, memerlukan petunjuk ahli gizi agar
diet tidak terlalu ketat yang akan mengakibatkan kurang gizi. Faktor pencetus lain
adalah aeroalergen, misalnya kutu debu rumah dan rambut binatang. Meskipun
sulit dihindari, tetapi dapat diusahakan dengan menghindari penggunaan karpet

15
terutama di area tempat tidur atau tempat bermain anak dan tidak memelihara
binatang atau boneka berbulu, terutama pada anak-anak DA yang juga memiliki
asma dan/atau rinitis. Dampak pemberian ASI untuk pencegahan DA masih
diperdebatkan karena belum terdapat kesamaan metodologi dan kriteria
hipoalergenisitas maupun DA antara berbagai penelitian.5,7

11. Prognosis

b. Quo Ad Vitam:Ad Bonam

c. Quo Ad Santionam: Ad Bonam

d. Quo Ad functionam: Dubia ad Bonam

e. Quo Ad Comesticam: Dubia Ad Bonam

Kebanyakan pasien membaik; ini dapat terjadi pada semua usia. Sementara
frekuensi dermatitis atopik (AD) setinggi 20% di masa kanak-kanak. Sepertiga
pasien mengalami rinitis alergika. Sepertiga pasien mengidap asma.15

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Allergy and Immunology Awareness Program. (2015). Pediatrics Atopic


Dermatitis Guide. Doha: Hamad Medical Corporation.

2. British Association Of Dermatologist. (2017). Atopic Eczema. British


Association Of Dermatologist, 1-7.

3. Danny Stewart, D. P. (2014). Eczema. Starship Children’s Health Clinical


Guideline, 1-9.

4. Evina, B. (2015). Clinical Manifestations And Diagnostic Criteria Of


Atopic Dermatitis. J Majority, 23-28.

5. Hidayah, N. (2014). Penatalaksanaan Dermatitis Atopik Pada Balita


Dengan Riwayat Atopi Pada Keluarga. J Medula Unila, 189-196.

6. Jennifer Idris, L. Y. (2010). Penatalaksanaan Lini Pertama Pada Dermatitis


Atopik. Ebers Papyrus, 171 - 185.

7. Karagiannidou A, B. S. (2014). Atopic Dermatitis: Insights on


Pathogenesis, Evaluation and Management. Allergy & Therapy, 1-7.

8. Leung, D. Y. (2008). Atopic Dermatitis. Dalam L. A. Goldsmith,


Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine (hal. 165-181). New York:
The McGraw-Hill Companies.

9. Miriam Weinstein, K. B.-M. (2016). Atopic Dermatitis: A Practical Guide


Management. Canada: Eczema Society of Canada.

10. Movita, T. (2014). Tatalaksana Dermatitis Atopik. CDK, 828 - 831.

11. Rebecca Berke, A. S. (2012). Atopic Dermatitis: An Overview. American


Family Physician, 35-40.

12. Retno Danarti, D. E. (2016). Hubungan Kadar IgE Spesifik Dengan


Derajat Keparahan. MDVI, 94-96.

13. Shakti Indraprasta, I. Z. (2016). Peningkatan Kadar 8-


Hydroxydeoxyguanosine (8-OHdG) Urine pada Pasien Dermatitis Atopik
Anak. Periodical of Dermatology and Venereology, 1-8.

17
14. Sularsito, S. A., & Djuanda, S. (2013). Dermatitis Atopik. Dalam A.
Djuanda, M. Hamzah, & S. Aisah, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (hal.
138-147). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

15. Thomas Werfel, N. S. (2014). The Diagnosis and Graded Therapy of


Atopic Dermatitis. Deutsches Ärzteblatt International, 509-516.

18

Anda mungkin juga menyukai