Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit peradangan kronik hilang timbul yang
disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada bayi dan anak, menghilang pada
50% kasus saat remaja tetapi dapat menetap atau bahkan dimulai pada masa dewasa. Gatal
merupakan gejala yang sangat umum dijumpai pada DA padahal menggaruk akan menambah
gambaran klinis bahkan memperberat keadaan dengan kemungkinan timbulnya infeksi sekunder.

Dermatitis atopik dibagi 2 tipe yaitu: 1. Tipe 1 : murni tidak disertai keterlibatan saluran
napas, ada 2 tipe yaitu : - Intrinsik : tidak terdeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak
terdapat peningkatan IgE total serum. - Ekstrinsik : terbukti dengan adanya sensitasi terhadap
alergen hirup dan alergen makanan pada uji kulit dan pada serum. 2. Tipe 2 : bentuk campuran
disertai gejala saluran napas dan terdapat sensitasi IgE.

Patogenesis DA sampai saat ini masih banyak yang belum diketahui secara pasti sehingga
belum ada pengobatan yang dapat memberikan kesembuhan total pada penderita DA.
Penatalaksanaan DA saat ini ditujukan terutama untuk mengurangi tanda dan gejala penyakit,
mencegah / mengurangi kekambuhan sehingga mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama,
serta mengubah perjalanan penyakit. Keberhasilan pengobatan DA memerlukan pendekatan
sistematik dan holistik. Walaupun berbagai cara pengobatan dasar telah digunakan masih banyak
kasus yang refrakter sehingga memerlukan pengobatan khusus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang didasari oleh faktor
herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel,
kusta, skuama dan pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor
psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.

II.2. Epidemiologi

Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia
dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3% . Dermatitis
atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1.5:1 . Dermatitis
atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic). Empat puluh
lima persen kasus dermatitis atopik pada anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama,
60% muncul pada usia satu tahun pertama dan 85% kasus muncul pertama kali sebelum anak
berusia 5 tahun. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa ( late onset dermatitis
atopic ), dan pasien ini dalam jumlah yang besar tidak ada tanda-tanda sensitisasi yang dimediasi
oleh IgE.

II.3. Etiopatogenesis

Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui,
demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis DA tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal
dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf
C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral
dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah

menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa
nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik.
a) Reaksi imunologis DA

Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma
bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%),
terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama
yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari
(allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit
atopi.

b) Faktor non imunologis

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor
genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang
lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang
kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang
ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal.

c) Faktor-faktor pencetus

Makanan

Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC), hampir
40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan.
Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE
spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap
suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut,
oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut
untuk menentukan kepastiannya.

Alergen hirup

Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan dengan
uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat
pada alergi tungau debu rumah (TDR), dimana pada pemeriksaan in vitro (RAST), 95%
penderita DA mengandung IgE spesifik positif terhadap TDR dibandingkan hanya 42% pada
penderita asma di Amerika Serikat. Perlu juga diperhatikan bahwa DA juga bisa diakibatkan oleh
alergen hirup lainnya seperti bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara
dengan 4 musim.

Infeksi kulit

Penderita dengan DA mempunyai tendensi untuk disertai infeksi kulit oleh kuman
umumnya Staphylococcus aureus, virus dan jamur. Stafilokokus dapat ditemukan pada 90% lesi
penderita DA dan jumlah koloni bisa mencapai 107 koloni/cm2 pada bagian lesi tersebut. Akibat
infeksi kuman Stafilokokus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai superantigen,
mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya melepaskan histamin. Oleh karena itu
penderita DA dan disertai infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman
stafilokokus dan steroid topikal.

II.4. Manifestasi klinis

Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopik, yaitu bentuk infantil, bentuk anak, dan
bentuk dewasa.

1) Bentuk infantil (2 bulan - 2 tahun)

Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama
pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Bentuk ini berlangsung sampai usia 2 tahun. Predileksi
pada muka lebih sering pada bayi yang masih muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul
pada bayi sel sudah merangkak. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan
papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal
merupakan gejala yang mencolok sel bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu. Pada
sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur.
2) Bentuk anak (3 - 11 tahun)

Seringkali bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantil, walaupun diantaranya
terdapat suatu periode remisi. Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih bersifat
kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita.

3) Bentuk remaja dan dewasa (12 - 30 tahun)

DA bentuk dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Umumnya berlokasi di daerah
lipatan, muka, leher, badan bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis kronik dengan
gejala utama likenifikasi dan skuamasi

II.5. Diagnosis

Hanifin dan Lobitz (1977) menyusun petunjuk yang sekarang diterima sebagai dasar
untuk menegakkan diagnosis DA Mereka mengajukan berbagai macam kriteria yang dibagi
dalam kriteria mayor dan kriteria minor.

Dermatitis atopik dikenal sebagai gatal yang menimbulkan kelainan kulit, bukan kelainan
kulit yang menimbulkan gatal. Tetapi belum ada kesepakatan pendapat mengenai hal ini, karena
pada pengamatan, lesi di muka dan punggung bukan diakibatkan oleh garukan, selain itu
dermatitis juga terjadi pada bayi yang belum mempunyai mekanisme gatal-garuk.

Kriteria diagnosis dermatitis atopik dari Hanifin dan Lobitz, 1977

Kriteria mayor ( > 3)

- Pruritus dengan Morfologi dan distribusi khas :

- dewasa : likenifikasi fleksura

- bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor

- Dermatitis bersifat kronik residif

- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya


Kriteria minor ( > 3)

- Xerosis

- Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks)

- Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki

- Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris

- Pitiriasis alba

- Dermatitis di papila mame

- White dermatografism dan delayed blanched response

- Keilitis

- Lipatan infra orbital Dennie

– Morgan

- Konjungtivitis berulang

- Keratokonus

- Katarak subkapsular anterior

- Orbita menjadi gelap

- Muka pucat dan eritema

- Gatal bila berkeringat

- Intolerans perifolikular

- Hipersensitif terhadap makanan

- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi


- Tes alergi kulit tipe dadakan positif

- Kadar IgE dalam serum meningkat

- awitan pada usia dini untuk mendiagnosis dermatitis atopik harus ada 3 kriteria mayor 3
kriteria minor.

Untuk bayi kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu :

Tiga kriteria mayor berupa:

Riwayat atopi pada keluarga

Dermatitits di muka atau ekstensor

Pruritus

Ditambah tiga kriteria minor:

Xerosis/ iktiosis/ hiperliniaris palmaris

Aksentuasi perifolikular

Fisura belakang telinga

Skuama di skalp kronis

Kriteria William untuk dermatitis atopik

I Harus ada: Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil) II Ditambah 3 atau lebih
tanda berikut :

1. Riwayat perubahan kulit/ kering di fosa kubiti, fosa poplitea, bagian anterior dorsum pedis
atau seputar leher ( termasuk kedua pipi pada anak < 10 tahun )

2. Riwayat asma atau hay fever pada anak ( riwayat atopi pada anak < 4 tahun pada generasi-1
dalam keluarga

3. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun


4. Dermatitis di fleksural ( pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada anak < 4 tahun )

5. Awitan dibawah umur 2 tahun ( tidak dinyatakan pada anak < 4 tahun )

II.6. Pemeriksaan penunjang

1. Dermatografisme putih, untuk melihat perubahan dari rangsangan goresan terhadap kulit

2. Percobaan asetilkolin akan menimbulkan vasokonstriksi kulit yang tampak sebagai garis pucat
selama satu jam.

3. Uji kulit dan IgE-RAST Pemeriksaan uji tusuk dapat memperlihatkan allergen mana yang
berperan, namun kepositifannya harus sejalan dengan derajat kepositifan IgE RAST ( spesifik
terhadap allergen tersebut). Khususnya pada alergi makanan, anjuran diet sebaiknya
dipertimbangkan secara hati-hati setelah uji tusuk, IgE RAST dan uji provokasi. Cara laim
adalah dengan double blind placebo contolled food challenges (DPCFC) yang dianggap sebagai
baku emas untuk diagnosis alergi makanan.

4. Peningkatan kadar IgE pada sel langerhans

Hasil penelitian danya IgE pada sel langerhans membuktikan mekanisme respon imun tipe I pada
dermatitis atopik, adanya pajanan terhadap allergen luar dan peran IgE di kulit.

5. Jumlah eosinofil

Peningkatan jumlah eosinofil di perifer maupun di jaringan kulit umumnya seirama dengan
beratnya penyakit dan lebih banyak ditemukan pada keadaan yang kronis.

6. Faktor imunogenik HLA

Walaupun belum secara bermakna HLA-A9 diduga berperan sebagai factor predisposisi intrinsic
pasien atopik. Pewarisan genetiknya bersifat multifactor. Dugaan

lain adalah kromosom 11q13 juga diduga ikut berperan pada timbulnya dermatitis atopik.

7. Kultur dan resistensi


Mengingat adanya kolonisasi Stapylococcus aureus pada kulit pasien atopik terutama yang
eksudatif (walaupun tidak tampak infeksi sekunder), kultur dan resistensi perlu dilakukan pada
dermatitis atopik yang rekalsitran terutama di rumah sakit di kota besar.

II.7. Diagnosis Banding

1. Dermatitis seboroik Ditandai erupsi berskuama, salmon colored atau kuning berminyak yang
mengenai kulit kepala, pipi, badan, ekstremitas dan diaper area.

2. Dermatitis kontak Biasanya lesi sesuai dengan tempat kontaktan, lesi berupa popular miliar
dan erosif.

3. Dermatitis numularis Penyakit yang ditandai lesi yang berbentuk koin. Ukuran diameter 1 cm
atau lebih, timbul pada kulit yang kering.

4. Psoriasis Lesi psoriasis berwarna merah dan skuama seperti perak micaceous (seperti mika).
Predileksi psoriasis di permukaan ekstensor, terutama pada siku dan lutut, kulit kepala dan
daerah genital

5. Skabies Diagnosis ditegakkan dengan adanya riwayat rasa gatal di malam hari, distribusi lesi
yang khas, dengan lesi primer yang patognomonik berupa adanya burrow dan adanya kutu pada
pemeriksaan mikroskopik.

6. Penyakit Lettere-Siwe Biasanya teejadi pada tahun pertama dari kehidupan. Pada penyakit ini
erupsi kulit biasanya mulai dengan skuama, eritematosa, seborrhea-like pada kulit kepala, di
belakang telinga, dan pada daerah intertriginosa

7. Acrodermatitis enteropathica Suatu penyakit herediter yang ditandai dengan lesi


vesikulobullous eczematoid di daerah akral dan periorifisial, kegagalan pertumbuhan, diare,
alopesia, kekurangan gizi dan infeksi kandida.

8. Sindroma Wiskott-Aldrich Penyakit X-linked resesif, ditemukan pada anak lelaki muda
ditandai dengan dermatitis eksematosa rekalsitrant, disfungsi platelet, trombositopeni, Infeksi
pyogenik rekuren dan otitis media supuratifa.
9. Iktiosis

10.Dermatitis herpetiformis Penyakit yang menahun dan residif, ruam bersifat polimorfik
terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal.

11. Sindroma Sezary Ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang universial disertai
skuama dan rasa sangat gatal.

II.8. Penatalaksanaan dermatitis atopik

A. Umum

Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu, karena
itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut.

- Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dll)

- Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi.

- Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.

- Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan DA.

- Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti menghindari
penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu.

- Menghindarkan stres emosi.

- Mengobati rasa gatal.


B. Khusus

1. Pengobatan topikal

a. Hidrasi kulit

Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan penderita
tidak menggaruk dan lebih impermeabel terhadap mikroorganisme/bahan iritan.

Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab
yang mengandung asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab
beberapa kali sehari, setelah mandi.

b. Kortikosteroid topical

Walau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi harus berhati-hati karena
efek sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah
intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan
dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol. Kortikosteroid diaplikasikan intermiten,
umumnya dua kali seminggu.

c. Imunomodulator topikal

1) Takrolimus

Bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak
usia 2 – 15 tahun dan dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan
efek samping kecuali rasa terbakar setempat.

2) Pimekrolimus

Yaitu suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan makrolaktam.


Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%,
aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari.
3) Preparat

Mempunyai efek anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Sediaan dalam bentuk salap
hidrofilik misalnya mengandung liquor carbonat detergent 5% - 10% atau crude coaltar 1% 5%.

d. Antihistamin

Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi kuat menimbulkan


sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam jangka pendek (1minggu) dapat
mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek
samping sedatif.

2. Pengobatan sistemik

o Kortikosteroid

Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan dalam waktu


singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka
panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound
phenomen.

o Antihistamin

Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin harus diperhatikan
berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik, aktifitas penderita dll. Anti histamin yang
mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan aktifitas disiang hari
(seperti supir) . Pada kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10-75 mg/oral/2 x sehari yang
mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor histamine H1 dan H2.

o Anti infeksi

Pemberian anti biotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni S.aureus pada
kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin, asitromisin atau kaltromisin. Bila ada infeksi virus
dapat diberi asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 10 hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari.
o Interferon

IFN γ bekerja menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH1.
Pengobatan IFN γ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah
eosinofil total dalam sirkulasi.

o Siklosporin

Adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan
calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi
sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu singkat, bila obat dihentikan
umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya adalah peningkatan kreatinin dalam
serum dan bisa terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.

o Terapi sinar (phototherapy)

Dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra violet β atau kombinasi ultra
violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet
A bekerja pada SL dan eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan
cara memblokade fungsi SL dan mengubah produksi sitoksin keratinosit.

o Antimetabolit.

Mycophenolate mofetil adalah inhibitor biosintesis purin yang digunakan sebagai


imunosupresan pada transplantasi organ, telah pula digunakan dalam terapi penyakit kulit
inflamatori. Studi open label melaporkan MMF oral (2 g/h) jangka pendek, dan monoterapi
menghasilkan penyembuhan lesi kulit DA dewasa yang resisten terhadap obat lain (steroid oral
dan topical, PUVA). Obat tersebut ditoleransi baik (hanya 1 pasien mengalami retinitis herpes).
Supresi sumsum tulang (dose-related) pernah dilaporkan. Bila obat tidak berhasil dalam 4-8
minggu, obat harus dihentikan.

o Allergen immutherapy.

Imunoterapi dengan aeroallergen tidak terbukti efektif dalam terapi DA. Penelitian
terbaru, imunoterapi spesifik selama 12 bulan pada dewasa dengan DA yang disensitasi dengan
alergen dust mite menunjukkan perbaikan pada SCORAD dan pengurangan pemakaian steroid.
o Probiotik.

Pemberian probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain GG) saat perinatal, menunjukkan


penurunan insiden DA pada anak berisiko selama 2 tahun pertama kehidupan. Ibu diberi placebo
atau lactobasilus GG perhari selama 4 minggu sebelum melahirkan dan kemudian baik ibu
(menyusui) atau bayi terus diberi terapi tiap hari selama 6 bulan. Hasil di atas menunjukkan
bahwa lactobasilus GG bersifat preventif yang berlangsung sesudah usia bayi. Hal ini terutama
didapat pada pasien dengan uji kulit positif dan IgE tinggi. II.9. Prognosis Sulit meramalkannya
karena adanya peran multifaktorial. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik,
adalah :

- DA yang luas pada anak.

- Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.

- Riwayat DA pada orang tua atau saudaranya.

- Awitan (onset) DA pada usia muda.

- Anak tunggal.

- Kadar IgE serum sangat tinggi.

Diperkirakan 30 – 35% penderita DA infantil akan berkembang menjadi asma bronkiale atau hay
fever. Penderita DA mempunyai resiko tinggi untuk mendapat dermatitis kontak iritan akibat
kerja di tangan.
BAB III

KESIMPULAN

Dermatitis atopik adalah salah satu dari sepuluh besar penyakit yang sering terjadi,
karenanya perlu pemahaman yang lebih mendalam. Selain karena Dermatitis atopik dapat
menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan memberat
sampai usia dewasa.

Dalam penegakan diagnosisnya pun,dermatitis atopik tidaklah terlalu sulit namun juga
tidak mudah. Karena kadang gejala dan wujud kelainan kulitnya tidak khas. Namun kita sebagai
dokter perlu mengetahui dan memahaminya, sehingga diharapkan mampu mendiagnosis dan
memberikan terapi yang tepat terhadap pasien, oleh karena itu dermatitis atopic perlu mendapat
perhatian karena hingga saat ini belum bisa disembuhkan, yang dilakukan hanya mengurangi dan
menghilangkan gejala.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kariosentono, harijono. Dermatitis atopik ( Eksema ) Dari gejala klinis, Reaksi atopik, Peran
eosinofil, Tungau debu rumah, Sitokin sampai kortikosteroid pada penatalaksanaannya. UNS
Press, Solo.2006.

2. Djuanda, adi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi IV. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1999.
3. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. EGC, Jakarta, 2004.

4. Judarwanto, widodo dr. Dermatitis atopik. Children’s Allergy Clinic. http//www.


childrenallergyclinic. Wordpress. Com.

5. Barnes. 2008. Asthma and COPD basic mechanisms and clinical management, 2nd ed.
Academic Press.

6. Corwin, Elizabeth J. 1997. Buku saku patofisiologi/Handbook of Pathophysiology. Alih


Bahasa: Brahm U. Pendit. Cetakan 1. Jakarta: EGC.

7. Daili, Emmy S. Sjamsoe; Menaldi, Sri Linuwih; Wisnu, I Made. 2009. Panduan Bergambar
Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin
Fkui/Rsupn Cipto Mangunkusumo. PT MEDICAL MULTIMEDIA INDONESIA. Jakarta Pusat
8. Judarwato, Widodo. 2010. Allergy testing. Children Allergy Center Information Education
Network.

9. Hanifin JM, Rajka G. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acta Dem Venereol
1980;92:44.

10.Spergel & Schneider, 1999. Atopic dermatitis. The Internet Journal of Asthma, Allergy and
Immunology 1:

11. Leung DY et al. New insights into atopic dermatitis. J Clin Invest 2004;113:651.

Anda mungkin juga menyukai