Anda di halaman 1dari 28

Case Report Session

DERMATITIS ATOPI

Oleh:

Arfan Gifari 1210313058

Preseptor:

Dr. dr. Qaira Anum, Sp. KK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2018
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Istilah atopi berasal dari kata atopos (out of place) yang berarti berbeda; dan yang

dimaksud adalah penyakit kulit yang tidak biasa, baik lokasi kulit yang terkena, maupun

perjalanan penyakitnya.1 Dermatitis adalah peradangan kulit yang bersifat akut, subakut,

atau kronis sebagai respon pengaruh faktor eksogen dan atau eksogen, menyebabkan

kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal.1, 2

Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit yang kronik residif, disertai rasa

gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada bayi (fase infantil) dan

bagian fleksural ekstrimitas (pada fase anak).3 DA kadang-kadang disebut juga eksim

susu, prurigo Besnier, atau eczema.1, 2 DA sering dihubungkan dengan abnormalitas

fungsi sawar kulit, sensitisasi alergen, dan infeksi kulit berulang.3 DA juga dikaitkan

dengan kondisi alergi lainnya, termasuk alergi makanan, asma, dan rinokonjungtivitis

alergik. Karena DA mendahului kemunculan kondisi atopik lainnya, diusulkan bahwa

DA merupakan langkah awal dalam suatu atopic march.4

1.2 Epidemiologi

Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin meningkat

sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang,

Australia dan Negara industri lain, prevalensi DA pada anak mencapai 10-20%,

sedangkan pada dewasa kira-kira 1-3%. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur,

Asia Tengah, prevalensi DA jauh lebih rendah. Perempuan lebih banyak menderita DA

daripada laki-laki dengan rasio 1,3:1.3


Penelitian di Hannover prevalensi DA (dengan kriteria Hannifin Rajka) pada anak

sekolah (5-9 tahun) ditemukan sebesar 10,5% dari 4.219 anak. Di negara berkembang,

10-20% anak menderita dermatitis atopik dan 60% diantaranya menetap sampai dewasa.1

Pada laporan Bagian Dermatologi Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP dr. M

Djamil Padang, didapatkan tahun 2009 sebanyak 49 kasus DA dari total kunjungan 8.971

pasien dan tahun 2010 terdapat 119 kasus DA dari total kunjungan 8.330 pasien.

Sekitar 50% kasus DA muncul pada tahun pertama kehidupan, dan mayoritas

terjadi dalam 5 tahun pertama kehidupan, dan sisa kasus DA dewasa biasanya muncul

sebelum usia 30 tahun. Atopi sekarang umum ditemukan pada populasi yang kebanyakan

individu memiliki riwayat keluarga dari atopi.4 Penelitian genetik menyatakan risiko DA

pada kembar monozigot sebesar 77% dan dizigot 25%. Apabila kedua orangtua

menderita DA, 81% anaknya berisiko menderita DA. Apabila hanya salah satu

orangtuanya yang menderita DA, maka risiko mendapat DA menjadi 59%.1

1.3 Etiopatogenesis

1.3.1 Etiologi

DA merupakan penyakit inflamasi kulit yang sangat gatal hasil dari interaksi

kompleks antara kerentanan genetik menghasilkan defek sawar kulit, defek sistem imun

bawaan, dan peningkatan respon imunologis terhadap alergen dan antigen mikrobial.3

1.3.2 Disfungsi sawar kulit

Dermatitis atopik erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit akibat

menurunnya fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan lorikrin),

berkurangnya volume seramid serta meningkatnya enzim proteolitik dan trans-

epidermal-water loss (TEWL) pada pasien DA 2-5 kali orang normal.1


Tambahan sabun dan deterjen pada kulit meningkatkan pH kulit, sehingga

meningkatkan aktivitas endogen protease juga meningkatkan perusakan pada fungsi

sawat kulit. Sawar epidermis juga dapat dirusak oleh paparan protease eksogen dari

tungau dan Staphylococcus aureus.3 Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas kulit

menyimpan air serta perubahan komposisi lipid esensial kulit, menyebabkan kulit

pasien DA lebih kering dan sensitivitas gatal terhadap berbagai rangsangan bertambah,

juga mempercepat absorbs antigen ke dalam kulit.1, 3

1.3.3 Perubahan Sistem Imun (Imunopatologi)

Penelitian genetik terhadap pasien asma memperlihatkan gen yang sama pada

pasien dermatitis atopik, yaitu gen 11q13 sebagai gen pengkode reseptor IgE. Ekspresi

reseptor IgE tersebut pada sel penyaji antigen dapat memicu terjadinya rangkaian

peristiwa imunologi pada DA.1

Alergen yang masuk ke kulit akan ditangkap oleh antigen-precenting cells,

diproses dan disajikan kepada sel Th2. Sel dendritik (DC) memiliki peran penting

mendeteksi alergen atau pathogen lingkungan melalui Toll-like receptor (TLR). Sel

Langerhans (LC) berikatan dengan IgE memfasilitasi penangkapan dan internalisasi

antigen sebelum disajikan kepada sel T. IgE penyandang LC biasanya mengaktivasi sel

Th2 langsung pada kulit atopi, namun dapat bermigrasi ke nodus limfe untuk

menstimulasi sel T naif untuk meningkatkan jumlah sel Th2 sistemik. Pada fase DA

akut, produksi sitokin dari Th2, terutama IL-4 dan IL-13 memediasi sintesis IgE dan

meningkatkan ekspresi molekul adesi pada sel endotel. IgE memacu degranulasi sel

mast melepas berbagai mediator serta IL-4 dan IL-5. IL-5 mampu menarik eosinofil

dan memeliharanya di jaringan. IL-31 yang juga produk Th2 meningkat pada kulit

pasien DA dan kadar serum IL-31 berkorelasi dengan tingkat keparahan lesi kulit.1, 3
Pada dermis saat lesi akut didapatkan influks sel T beserta monosit dan

makrofag. Infiltrasi limfositik ini terdiri dari sel T memori teraktivasi membawa CD3,

CD4, dan CD45. Eosinofil jarang didapatkan pada DA akut. Sel mast juga ditemukan

dalam jumlah normal dan aktif berdegranulasi.3 LC dan makrofag (sebagai sel

dendritic/DC) berfungsi sebagai antigen precenting cells dan mengeskspresikan IgE.1

Pada lesi kronik DA terdapat peningkatan LC dan IgE di epidermis, infiltrat di dermis

lebih banyak mengandung sel MN/makrofag, sel yang bergranulasi penuh, banyak sel

eosinofil yang diinduksi oleh IL-5.1 Rumatan DA kronik juga melibatkan produksi dari

sitokin Th1-like IL-12 dan IL-18, serta sitokin terkait remodeling seperti IL-11 dan

tumor growth factor-1 (TGF-1).3

Pada pasien DA diketahui IgE berjumlah lebih banyak dan menunjukkan daya

afinitas yang tinggi pada reseptor di keratinosit dan LC, sehingga patogenesis DA lebih

diperankan oleh reaksi tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tipe I (dimediasi IgE),

rangsangan zat/bahan langsung pada sel mast dapat menyebabkan sel mast

berdegranulasi dan melepaskan berbagai mediator, antara lain histamine, kinin, bradikini,

tripsin, papin, leukotriene B4, prostaglandin E2, dan 12 HETE. Mediator tersebut

menimbulkan vasodilatasi, reaksi inflamasi (migrasi sel, ekspresi adesi molekul, dan

lain-lain), rasa gatal, di kulit. Pasien DA secara genetik menunjukkan hipersensitivitas

terhadap berbagai antigen, misalnya debu, tungau, serbuk sari, makanan, dan S. aureus.1
1.4 Faktor Risiko

DA merupakan sindrom multifaktorial; berbagai faktor berkaitan dengan fenotip

penyakit sehingga perlu dicermati berbagai fakto risiko, yaitu:

a. Genetik: diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi diturunkan secara

autosomal dominan; 75% anak akan mengalami alergi bila kedua orang tua

mempunyai riwayat alergi, dibandingkan dengan 50% anak bila hanya 1 orang tua

mempunyai yang riwayat alergi.

b. Sosioekonomi: lebih banyak ditemukan pada status sosial yang lebih tinggi

dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal tersebut dapat diterangkan

dengan teori higiene.

c. Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan untuk mendapat

dermatitis atopik. Hal tersebut perlu dicermati karena perkembangan penyakit

berhubungan dengan alergen lingkungan dan status ibu (misalnya perokok)

d. Pengenalan makanan padat terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan meningkatkan angka

kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali. Sensitisasi umumnya terjadi terhadap

alergen makanan, terutama susu sapi, telur, kacang-kacangan dan gandum.

e. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi udara,

pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan

kelembaban udara, water hardeness, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang

berpengaruh pula pada kelembaban, penggunanan shampo dan sabun yang berlebihan,

dan detergen yang tidak dibilas dengan sempurna.5


1.5 Gambaran Klinis

Gejala utama DA adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi

umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga

timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi,

ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.

DA dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: DA infantil (terjadi pada usia 2 bulan

sampai 2 tahun; DA anak (2 sampai 10 tahun); dan DA pada remaja dan dewasa.1

1.5.1 DA fase infantil (usia 2 bulan-2 tahun)

DA lebih sering muncul pada usia bayi, umumnya terjadi pada usia 2 bulan.

Sebanyak 50% atau lebih dari kasus DA muncul pada tahun pertama kelahiran, namun

biasanya setelah usia 2 bulan. Eksim pada bayi biasanya diawali eritema dan sisik pada

ppi. Erupsi akan melebar ke kulit kepala, leher, dahi, pergelangan, ekstrimitas ekstensor

dan bokong.1, 4
Bisa terdapat eksudat signifikan, efek sekunder dari digaruk dan

digosok, infeksi termasuk krusta, infiltrat, dan pustul. Plakat eritematosa berbatas difus,

papulovesikuler, eksudatif, kadang dengan skuama halus. Daerah predileksi biasanya

simetris di pipi, kulit kepala, ekstensor ekstrimitas, kadang di badan.2, 4

Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur,

dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi,

krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun

jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif. Pola

infantil DA biasanya menghilang pada akhir usia kedua kehidupan. Fase infantil dapat

mereda dan menyembuh. Pada sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase anak

atau fase remaja. 1, 4


1.5.2 DA fase anak (usia 2-10 tahun)

Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau muncul tanpa didahului fase

infantil. Tempat predileksi lebih sering di fosa kubiti dan popliteal, fleksor pergelangan

tangan dan kaki, kelopak mata dan lipatan leher, tersebar simetris.1, 2 Lesi lebih kering,

tidak begitu eksudatif, terdapat indurasi papul, hyperkeratosis, kadang disertai

likenifikasi, dan sedikit skuama. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk;

dapat terjadi erosi, ekskoriasi, likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi sekunder.

Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal,

sehingga terjadi lingkaran “siklus gatal-garuk”. Rangsangan menggaruk sering di luar

kendali. Rasa gatal juga terjadi saat tidur, menyebabkan kurangnya istirahat dan

kelelahan kronik pada anak atopi, yang mempengaruhi performa sekolah.2, 4

1.5.3 DA fase remaja dan dewasa

DA fase remaja dan dewasa (usia > 13 tahun) dapat merupakan kelanjutan fase

infantil atau fase anak. Tempat predileksi mirip dengan fase anak, dapat meluas

mengenai kedua telapak tangan, jari-jari, pergelangan tangan, bibir, leher bagian

anterior, kulit kepala, dan puting susu, serta ekstensor tungkai bawah. Manifestasi klinis

bersifat kronis, berupa plak hiperpigmentasi, hiperkeratosis, likenifikasi, ekskoriasi,

dan skuamasi.1,2 Rasa gatal lebih hebat saat beristirahat, udara panas, dan berkeringat.

Pada orang dewasa sering mengeluhkan munculnya DA dicetuskan oleh rasa emosional

akut. Stres, cemas, dan depresi menurunkan ambang batas gatal yang dirasakan

sehingga menambah kerusakan pada sawar epidermis, memperparah kondisi DA.

Pendingin fisik dan emolien dapat memperbaiki kondisi ini, sehingga pasien atopi dapat

ikutserta dalam kompetisi olahraga1, 4


1.6 Kriteria Diagnosis

Diagnosis DA didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka (minimal 3

mayor dan 3 minor).1

Kriteria mayor
a. Riwayat dermatitis fleksural d. Riwayat personal asma
b. Onset di bawah usia 2 tahun e. Riwayat kulit kering
c. Terdapat ruam yang gatal f. Riwayat atopi pada keluarga

Gambar 2. Dermatitis pada muka dan fleksura

Kriteria minor
a. Xerosis/kulit kering n. Lipatan Dennie-Morgan
b. Iktiosis o. Keratokonus
c. Hiperlinearis palmaris p. Katarak subkapsular anterior
d. keratosis pilaris q. Orbita menjadi gelap
e. Alergi tipe I/peningkatan serum IgE r. Muka pucat atau eritem
f. Dermatitis tangan/kaki s. Gatal bila berkeringat
g. Keilitis t. Intoleran terhadap wol atau pelarut
h. Dermatitis papilla mamae lemak
i. Terdapat peningkatan S.aureus dan u. Aksentuasi perifolikular
virus herpes simpleks v. Hipersensitif terhadap makanan
j. Keratosis perifolikuler w. Perjalanan penyakit dipengaruhi
k. Pitiriasis alba faktor lingkungan dan atau emosi
l. Awitan usia dini x. White dermographism dan delayed
m. Konjungtivitis berulang blanch response
Gambar 2. Gambaran Kriteria Minor pada Dermatitis Atopik

Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:

Tiga kriteria mayor berupa:

a. riwayat atopi pada keluarga,


b. bukti dermatitis pruritik/gatal
c. dermatitis di muka atau ekstensor atau dermatitis terlikenifikasi
d. Area diaper dan atau bagian mulut/hidung bebas lesi

ditambah satu kriteria minor diantara:

a. xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris,
b. fisura belakang telinga,
c. Sisik kulit kepala kronis,
d. aksentuasi perifolikular.

1.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis dermatitis

atopik. Hasil yang dapat ditemukan pada dermatitis atopik, misalnya kenaikan kadar

IgE dalam serum, berkurangnya jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dalam imunitas

seluler, jumlah eosinofil dalam darah relatif meningkat.3


2. Dermatografisme putih

Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturut-turut:

garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama

beberapa detik, edema timbul setelah beberapa menit. Penggoresan pada penderita

atopi: garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik-5

menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih.3

1.8 Diagnosis Banding

Penyakit Gambaran klinis

Seboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada

Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail

Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada

Contact dermatitis Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga (-)

Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau

Immmunodefisiensi Riwayat infeksi berulang. 4

1.9 Penatalaksanaan

1.9.1 Edukasi

Kulit penderita DA cenderung rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu

penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memicu siklus

“gatal-garuk”, misalnya sabun dan deterjen; kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar,

pajanan terhadap panas atau dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang

berdaya larut minimal terhadap lemak dan pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci

terlebih dahulu sebelum. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik.

Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin yang biasanya

digunakan pada kolam renang. Stres psikis juga dapat menyebabkan eksaserbasi DA.
Acapkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar,

misalnya terlalu sering dimandikan; menggosok terlalu kuat; pakaian terlalu tebal, ketat

atau kotor; kebersihan kurang terutama di daerah popok; infeksi lokal; iritasi oleh

kencing atau feses; bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting diperhatikan

kebersihan daerah bokong dan genitalia; popok segera diganti, bila basah atau kotor.

Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak

memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan

(misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga tetap

tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma garukan.

Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari pembersih

antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi.1

1.9.2 Pengobatan topikal

Hidrasi kulit. Kulit penderita DA kering dan fungsi sawarnya berkurang,

mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan

dan allergen, sehingga perlu diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%;

dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai pelembab yang

mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5%, karena dapat

mengiritasi bila dermatitisnya aktif. Setelah mandi kulit dilap, kemudian memakai

emolien. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam.

Kortikosteroid topikal. Pengobatan DA dengan kortikosteroid topikal adalah

yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus

waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan. Pada bayi digunakan

salap steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1 %-2.5%. Pada anak dan

dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada

muka digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga
dipakai di daerah genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat.

Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali

seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan kortikosteroid

yang potensinya paling rendah.

Imunomodulator topikal

Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat

diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0,03%

dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA yaitu: sel

Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa

seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian

kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak mata.

Pimekrolimus. Golongan askomisin makrolaktam. Cara kerja sangat mirip

siklosporin dan takrolimus walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu

bekerja sebagai pro-drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik

imunofilin. Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin

pada makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin, sehingga

produksi sitokin Th1 (IFN-y dan IL-2) dan Th2 (IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin

menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi

dermatitis kontak alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan

sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin.

Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi 1%,

mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05% (steroid

superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman pada

anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada muka dan lipatan. Cara

pemakaian dioleskan 2 kali sehari.


Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2

tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk

memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut berpotensi

menimbulkan kanker kulit.

Antihistamin. Pengobatan DA dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan

karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi

topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal

tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas akan

menimbulkan efek samping sedatif.1

1.9.3 Pengobatan sistemik

Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk

mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan

berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering), kemudian segera

diganti kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai efek

samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul kembali.

Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal

yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu

antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin

atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid

yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamih H1 dan H2,

dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada orang dewasa.

Anti-infeksi. Pada DA ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang

belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang untuk

yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama

sefalosporin.
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid dihentikan

sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari selama 10 hari, atau

200 mg 4 kali per hari selama 10 hari.

Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan

proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan perbaikan

klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.

Siklosporin. DA yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat

diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek

yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif

kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin menjadi satu

kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan.

Tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan

segera kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin

dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi1.

1.9.4 Fototerapi

Untuk DA yang berat dan luas dapat digunakan PUVA seperti yang dipakai pada

psoriasis. Terapi UVB, atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi

UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan

eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan memblokade fungsi

sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.1


1.10 Komplikasi

1. Infeksi Sekunder Akibat Bakteri

Merupakan komplikasi yang paling sering pada dermatitis atopik. Biasanya

disebabkan oleh bakteri kelompok Strptococci B-hemolytic, studi lain

mengungkapkan Staphylococcus merupakan 93% penyebab infeksi sekunder lesi

dermatitis atopik. Infeksi tersebut menyebabkan folikulitis atau impetigo. Pioderma

yang berhubungan dengan dermatitis atopik biasanya ditemukan lesi eritema dengan

eksudasi dan krusta, skuama berminyak dan jerawat kecil pada ujungnya.5

2. Infeksi Jamur Kulit

Adanya gangguan sawar kulit, kelembaban dan maserasi mempengaruhi timbulnya

infeksi jamur. Faktor individu dan lingkungan sehari-hari juga berperanan penting

pada timbulnya komplikasi ini, seperti kaus kaki serta olahragawan. Pytiriosporum

ovale akhir-akhir ini dianggap meningkat pada kulit pasien DA.5

3. Infeksi Virus

Kutil karena virus dan moluscum kontagiosum ditemukan lebih sering pada

dermatitis atopik, sedangkan infeksi herpes simpleks dapat menimbulkan lesi yang

menyebar luas. Kelainan dikenal sebagai Eksim herpetikum atau eksim vaksinatum.

Perkembangan erupsi vesicular yang meningkat pada orang yang atopik dapat

menungkatkan kemungkinan terjadinya erupsi Kaposi’s variceliform.5

4. Eritroderma

Terjadi pada 4-14% kasus dermatitis atopik. Keadaan tersebut dapat terjadi akibat

adanya efek withdrawl pemakaian kortikosteroid sistemik pada kasus dermatitis

atopik berat. Komplikasi ini cenderung dapat mengancam hidup pasien bila terdapat

kegagalan fungsi jantung, sepsis, hipotermi dan hipoalbuminemia.5


1.11 Prognosis

Sulit meramalkan prognosis DA. pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua

orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan

sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30

tahun. Penyembuhan spontan DA. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi

setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya

juga ada yang melaporkan bahwa 84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada

pula laporan, DA. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang,

dan 65 % berkurang gejalanya. Lebih dari separo DA. remaja yang telah diobati kambuh

kembali setelah dewasa.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik yaitu:

a. DA luas pada anak

b. menderita rinitis alergik dan asma bronkial

c. riwayat DA. pada orang tua atau saudara kandung

d. awitan (onset) DA. pada usia muda

e. kadar igE serum sangat tinggi.

Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil akan berkembang menjadi asma

bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita dermatitis kontak

iritan akibat kerja di tangan.5


BAB 2

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. F

No Rekam Medis : 01.01.23.46

Umur : 24 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Mahasiswa

Suku : Minang

Agama : Islam

Alamat : Jati Rawang Padang

Tanggal pemeriksaan : 5 April 2018

2. ANAMNESIS

Seorang pasien perempuan usia 24 tahun dibawa ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP

DR. M. Djamil Padang pada tanggal 5 April 2018 dengan:

a) Keluhan Utama

Bercak kemerahan dengan sisik putih halus di kedua pipi, kedua kelopak mata,

hidung, dan bibir yang gatal sejak 5 hari yang lalu.

b) Riwayat Penyakit Sekarang

 Awalnya muncul berak kemerahan secara bersamaan di kedua pipi, kedua kelopak

mata, hidung, dan bibir, kemudian kulit terasa kering dan muncul sisik putih dan

rasa gatal sejak 5 hari yang lalu.

 Bercak merah pada tangan, kaki, lipat siku, lipat paha dan puting susu tidak ada.
 Pasien bertambah gatal jika berkeringat, namun tidak mengganggu tidur.

 Pasien sering begadang sampai malam untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah.

 Riwayat berkeringat berlebihan tidak ada.

 Riwayat rambut rontok dan botak setempat tidak ada.

c) Riwayat Pengobatan

Pasien sebelumnya pernah memakai krim yang dibeli di apotik, tetapi pasien tidak

ingat nama obat, frekuensi pemakaian, dan berapa lama pemakaiannya. Keluhan sisik

dan gatal berkurang, namun bercak kemerahan masih ada.

d) Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya pasien mengalami keluhan yang sama saat berumur 5 tahun yang lalu.

Keluhan yang dirasakan hilang timbul sampai saat ini.

e) Riwayat Penyakit Keluarga/ Riwayat Atopi/ Alergi

 Bersin pagi hari (+), asma (+), mata merah, gatal dan berair (+), alergi makanan

(+) seafood, alergi bulu kucing (+), alergi obat (-).

 Ayah pasien memiliki riwayat bersin-bersin pada pagi hari.

 Adik pasien memiliki riwayat bercak kemerahan yang gatal ada.

f) Riwayat Pekerjaan, Sosial, dan Kebiasaan

 Pasien seorang mahasiswa

 Pasien mandi 2 kali sehari, mengganti pakaian 2 kali sehari.

 Riwayat berpakaian tebal tidak ada.

 Pasien tidak memelihara anjing, kucing, atau ternak lainnya.

3. PEMERIKSAAN FISIK

a) Status Generalis

Keadaan Umum : Sakit ringan


Kesadaran : Komposmentis Kooperatif
Tekanan Darah : 120/700 cmHg
Nadi : 86 x/menit
Nafas : 22 x/menit
Suhu : Afebris
Berat Badan : 50 kg Tinggi Badan : 150 cm
Status Gizi : Normoweight (IMT: 22,23)
Pemeriksaan torak
Paru
Inspeksi : Normochest, gerakan simetris kiri = kanan
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi : Irama teratur, bising (-), gallop (-)
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Distensi abdomen (-)
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Pemeriksaan ekstremitas : Udem (-), sianosis (-), clubbing finger (-)

b) Status Dermatologikus

Lokasi : Kedua pipi, kedua kelopak mata, hidung, dan bibir

Distribusi : Terlokalisir

Bentuk : Tidak khas

Susunan : Diskret

Batas : Tegas

Ukuran : Plakat

Efloresensi : Makula eritem, makula hiperpigmentasi, skuama putih halus


c) Status Venerologikus : Tidak dilakukan pemeriksaan

Kriteria Hanifin dan Rajka pada pasien ini adalah:

 Mayor: 3 kriteria

- Dermatitis pruritik (+) - Kronik residif (+)

- Morfologi sesuai umur dan distribusi - Riwayat atopi pasien / keluarga (+)

lesi yang khas (-)

 Minor: 8 kriteria

- Hiperpigmentasi pada orbita (+) - Konjungtivitis rekuren (+)

- Dennie-Morgan fold (-) - Cheilitis pada bibir (+)

- White dermograpishme (-) - Eczema of the nipple (-)

- Ptiriasis Alba (-) - Gatal bila berkeringat (+)

- Fissura pre-aurikular (-) - Awitan dini (-)

- Dermatitis lipatan leher anterior (-) - Reaktivitas kulit tipe cepat (-)

- Facial pallor (-) - Intoleransi beberapa jenis bulu(+)

- Hiperliniar palmaris (-) - Intoleransi makanan (+)

- Keratosis palmaris (-) - Dipengaruhi faktor lingkungan (+)

- Papul perifokular hyperkeratosis (-) cuaca dingin

- Xerotic (+) - Tanda Hertoghe (-)

- Iktiosis pada kaki(-)

SCORAD

Luas area: Wajah (5)

A=5

B = 3 (eritema=2, papul=0, ekskoriasi=0, likenifikasi=0, krusta=0, kulit kering=1)


C = 5 (pruritus=5, ganggu tidur=0)

Nilai SKORAD = A/5 + 7B/2 + C

= 5/5 + 7(3)/2 + 5 = 16,5 (dermatitis atopik ringan)

4. RESUME

- Bercak kemerahan dengan sisik putih halus di kedua pipi, kedua kelopak mata, hidung,

dan bibir yang gatal sejak 5 hari yang lalu.

- Awalnya muncul berak kemerahan secara bersamaan di kedua pipi, kedua kelopak mata,

hidung, dan bibir, kemudian kulit terasa kering dan muncul sisik putih dan rasa gatal

sejak 5 hari yang lalu.

- Bercak merah pada tangan, kaki, lipat siku, lipat paha dan puting susu tidak ada.

- Pasien bertambah gatal jika berkeringat, namun tidak mengganggu tidur.

- Pasien sering begadang sampai malam untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah.

- Riwayat berkeringat berlebihan tidak ada.

- Riwayat rambut rontok dan botak setempat tidak ada.

- Pasien sebelumnya pernah memakai krim yang dibeli di apotik, tetapi pasien tidak ingat

nama obat, frekuensi pemakaian, dan berapa lama pemakaiannya. Keluhan sisik dan

gatal berkurang, namun bercak kemerahan masih ada.

- Sebelumnya pasien mengalami keluhan yang sama saat berumur 5 tahun yang lalu.

Keluhan yang dirasakan hilang timbul sampai saat ini.

- Riwayat bersin pagi hari (+), asma (+), mata merah, gatal dan berair (+), alergi makanan

(+) seafood, alergi bulu kucing (+), alergi obat (-).

- Riwayat atopi anggota keluarga lainnya (ayah dan adik) ada.

- Pasien mandi 2 kali sehari, mengganti pakaian 2 kali sehari.

- Riwayat berpakaian tebal tidak ada.

- Pasien tidak memelihara anjing, kucing, atau ternak lainnya.


- Status dermatologikus: makula eritem, makula hiperpigmentasi, skuama putih halus

berukuran plakat di kedua pipi, kedua kelopak mata, hidung, dan bibir.

- Kriteria Hanifin dan Rajka yang ditemukan yaitu; mayor: 3 kriteria; minor: 8 kriteria.

- Penghitungan SCORAD: 16,5; termasuk kelompok dermatitis atopik derajat ringan.

5. DIAGNOSA KERJA

Dermatitis Atopi derajat ringan

6. DIAGNOSA BANDING

 Dermatitis Seboroik

7. PEMERIKSAAN RUTIN

Kerokan kulit + KOH 10%

Hasil : negatif

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Kadar IgE serum (diharapkan kadar IgE serum meningkat)

 Skin patch test (Uji tempel)

 Skin prick test untuk menilai intoleransi terhadap makanan/alergen

9. DIAGNOSA DEFINITIF

Dermatitis Atopi derajat ringan

10. TERAPI

 Umum

a. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan pengobatan pasien, penyakit ini

bersifat kronik dan berulang.


b. Untuk mencegah kekambuhan, hindarkan pasien dari faktor pencetus yang

mungkin berpengaruh seperti cuaca terlalu panas atau terlalu dingin, berkeringat,

konsumsi makanan yang dicurigai sebagai pencetus.

c. Menjaga kelembaban kulit pasien dengan durasi mandi 10-15 menit (jangan terlalu

lama) dengan air hangat hangat kuku, kemudian diberi pelembab setelah mandi.

d. Hindari sabun dengan zat pewangi, sabun antiseptik.

 Khusus

Sistemik :
CTM 2 x 1 mg per oral
Topikal :

Emolien, Krim urea 10%, dosis 2 kali sehari segera setelah mandi

Krim Hydrocortisone 2,5% dosis 2 kali sehari pada lesi

11. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Bonam

Quo ad kosmetikum : Bonam


BAB 3

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien perempuan berumur 24 tahun dengan diagnosis

Dermatitis Atopik derajat ringan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 5 April 2018.

Dari anamnesis diperoleh keluhan bercak kemerahan dengan sisik putih halus di kedua

pipi, kedua kelopak mata, hidung, dan bibir yang gatal sejak 5 hari yang lalu. Pasien bertambah

gatal jika berkeringat, namun tidak mengganggu tidur menggambarkan derajat pruritus pada

pasien sebagai kriteria mayor. Kriteria minor lainnya yaitu kulit yang tampak kering dan

bersisik halus. Riwayat pasien mengalami keluhan yang sama saat berumur 5 tahun yang lalu,

dengan keluhan yang dirasakan hilang timbul sampai saat ini, menandakan keluhan residif

(berulang). Riwayat atopi keluarga (+) sebagai kriteria mayor.

Dari pemeriksaan fisik makula eritem, makula hiperpigmentasi, skuama putih halus

berukuran plakat di kedua pipi, kedua kelopak mata, hidung, dan bibir. Untuk Kriteria Hanifin

dan Rajka yang ditemukan pada pasien ini adalah 3 mayor dan 8 minor sehingga diagnosis

dermatitis atopik dapat ditegakkan. Kriteria mayor berupa pruritus, kronik residif, dan riwayat

atopi keluarga Sementara kriteria minor hiperpigmentasi pada orbita, konjungtivitis rekuren,

cheilitis pada bibir, kulit kering, gatal bila berkeringat, intoleransi makanan seafood, intoleransi

beberapa jenis bulu, dipengaruhi faktor lingkungan. Untuk penghitungan SCORAD didapatkan

hasil 16,5, termasuk kelompok dermatitis atopik derajat ringan.

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% dengan hasil

negatif. Pemeriksaan penunjang berupa kadar IgE dalam serum bisa dilakukan untuk

memastikan bahwa terjadi peningkatan kadar IgE dalam serum yang lebih menguatkan
diagnosis berupa dermatitis atopik, begitu juga dengan uji tempel. Uji tusuk untuk menilai

makanan yang dapat menjadi alergen.

Tatalaksana pada pasien ini ada dua, yaitu tatalaksana umum dan khusus. Untuk

tatalaksana umum berupa edukasi pasien mengenai penyakit yang dapat kronis dan berulang.

Hindari faktor pencetus atopi seperti cuaca, makanan, keringat. Jaga kelembaban kulit pasien,

karena kulit pasien DA cenderung kering dan fungsi sawar kulit terganggu.

Untuk tatalaksana khusus bisa diberikan emolien berupa krim urea 10% untuk menjaga

kelembaban kulit pasien dengan dosis 2 kali sehari setelah mandi. Lalu CTM 2 x 1 mg per oral,

selama 5 hari untuk mengurangi rasa gatal. Pasien juga mendapatkan Hydrocortisone 2,5%

dosis 2 kali sehari untuk mengatasi reaksi radang akut dan mengurangi gejala.
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi SL, dkk. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit

FKUI. Hlm. 167-85.

2. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia: Sebuah

Panduan Bergambar. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia. Hlm. 14-6.

3. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. 2012. Atopic Dermatitis (Atopic Eczema).

In: Goldsmith LA, et. al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Edition. New

York: McGraw-Hill Companies. Pp. 165-82.

4. James WD, Berger TG, Elston DM, Neuhaus IM. 2016. Andrews Diseases of the Skin:

Clinical Dermatology. 12th Edition. Philadelphia: Elsevier. Pp 62-9.

5. Atopic Dermatitis. Diunduh dari: http://emedicine.com/derm/topic457.htm

Anda mungkin juga menyukai