Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui

pada praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak. 1-
3
.Penyakit kulit ini diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus,

dan lesi eksematosa dengan episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat

mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarga dan orang-orang terdekat

pasien.
2,3,5
Sekitar 10-20% anak dan 1-3% dewasa di dunia menderita penyakit ini
1,2,4
dan insidensnya cenderung meningkat di berbagai belahan dunia. Onset DA

sering pada masa anak-anak mulai dari lahir sampai usia 5 tahun. 3-5 Meskipun DA

penyakit kronis, 60-70% penderitanya sembuh sebelum usia dewasa.

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik, inflamasi, yang ditandai

dengan lesi eksematosa gatal dengan episode eksaserbasi dan remisi. DA paling

sering terjadi pada bayi dan anak-anak. Patogenesisnya diduga sebagai interaksi

faktor genetik, disfungsi imun, disfungi sawar epidermis, dan peranan lingkungan

serta agen infeksius.

Tiga fase DA yaitu fase bayi, anak-anak, dan dewasa dengan distribusi lesi

yang khas untuk setiap fase. Tatalaksana meliputi penghindaran pencetus,

pengurangan gatal, perbaikan sawar kulit, dan obat anti infl amasi. DA tidak dapat

1
sembuh, tetapi dapat dikontrol dan untuk itu dibutuhkan kerja sama yang baik dari

pasien dan keluarganya.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi dan
diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi
bagi para pembaca, khususnya kalangan medis mengenai Dermatitis Atopik.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan penulisan dari Case report session ini adalah untuk mengetahui
definisi, etiologi, patogenesa, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan dan laporan
kasus Dermatitis Atopik.

1.3 Metode Penulisan


Case report session ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Dermatitis Atopik


Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang bersifat kronik

residif disertai rasa gatal yang hebat serta eksaserbasi kronik dan remisi, dengan

etiologi yang multifaktorial. Penyakit ini biasanya dihubungkan dengan penyakit

alergi lain seperti asma bronkial dan rhinokonjungtivitis alergi.

2.2 Sinonim
Banyak istilah lain dipakai sebagai sinonim dermatitis atopik ialah eczema
atopik, eczema konstitusional, ekzemafleksural, neurodermitis diseminata, prurigo
Besnier. Tetapi yang paling sering digunakan ialah dermatitis atopik.

2.3 Epidemiologi
Epidemiologi dermatitis atopik (DA) di seluruh dunia berkisar antara 15-20%
pada anak dan 1-3% pada dewasa. Epidemiologi di Indonesia sedikit lebih tinggi,
yaitu 23,67%. Prevalensi dermatitis atopik (DA) secara global adalah 15-20% pada
anak-anak dan 1-3% pada dewasa dengan peningkatan insidensi sekitar 2-3 kali lipat
dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara industri. Insidensi DA tertinggi
terjadi pada awal masa kanak-kanak dan bayi, dimana 85% kasus DA muncul pada
tahun pertama kehidupan dan 95% kasus DA muncul sebelum usia 5 tahun.

Prevalensi DA yang tinggi banyak terjadi di Amerika serikat, Eropa Utara dan
Barat, Afrika perkotaan, Jepang, Australia dan negara industri lainnya, namun
prevalensi DA lebih sedikit pada negara regio agrikultural seperti Cina dan Eropa
Timur, Afrika bagian pedesaan, dan Asia tengah.

3
Prevalensi DA di Amerika Serikat berkisar antara 10-12% pada anak-anak
dan 0.9% pada orang dewasa. Perbandingan orang keturunan Afrika dan Asia yang
berobat dengan kasus DA lebih tinggi dibandingkan dengan orang keturunan Eropa.
Sedangkan di Cina dan Iran, angka prevalensi berkisar antara 2-3%. Selain itu,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa imigran dari negara berkembang yang hidup
di negara maju memiliki tingkat insidensi DA yang lebih tinggi dari populasi asal.

Penelitian yang dilakukan oleh The International Study of Asthma and


Allergies in Childhood (ISAAC) menyatakan bahwa DA merupakan penyakit dengan
prevalensi yang tinggi dan dapat mengenai pasien baik pada negara berkembang atau
negara maju. ISAAC juga melaporkan perbandingan prevalensi DA berdasarkan jenis
kelamin dengan keseluruhan rasio wanita : pria adalah 1.3:1.0.

Di Indonesia, menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI), angka


prevalensi kasus DA mencapai sekitar 23,67%, dimana DA menempati peringkat
pertama dari 10 besar penyakit kulit anak.

2.4 Etiologi
Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya

sangat komplek, tetapi terdapat beberapa faktor yang dianggap berperan sebagai

faktor pencetus kelainan ini misalnya faktor genetik, imunologik, lingkungan dan

gaya hidup, dan psikologi.

2.5 Klasifikasi
Secara klinis dermatitis atopik dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1. Fase infatil (0-2 tahun)
Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama

kehidupan, biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi)

berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah,

4
eksudatif, akhirnya terbentuk krusta dan dapat menjadi infeksi

sekunder.Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian

besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya,

sebagian lagi akan berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita

tidak lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya

menyebabkan kambuhnya penyakit itu.

2. Fase anak (usia 2 - 12 tahun)

Merupakan kelanjutan bentuk infatil atau timbul sendriri (de novo).

Lesi pada dermatitis atopik anak berjalan kronis akan berlanjut sampai usia

sekolah dan predileksi biasanya terdapat pada lipat siku, lipat lutut, leher

dan pergelangan tangan. Jari-jari tangan sering terkena dengan lesi

eksudatif dan kadang-kadang terjadi kelainan kuku. Pada umumnya

kelainan kulit pada dermatitis atopik anak tampak kering, dibanding usia

bayi dan sering terjadi likenifikasi. Perubahan pigmen kulit bisa terjadi

dengan berlanjutnya lesi, menjadi hiperpigmentasi dan kadang

hipopigmentasi.

3. Fase Dewasa ( > 12 tahun)


Pada dermatitis atopik bentuk dewasa mirip dengan lesi anak usia

lanjut (8-12 tahun), didapatkan likenifikasi terutama pada daerah lipatan-

lipatan tangan. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung

bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, sering terjadi

eksoriasi dan eksudasi karena garukan, lambat laun terjadi hiperpigmentasi.

5
Selain gejala utama yang telah diterangkan, juga ada gejala lain yang tidak

selalu terdapat. Pada fase dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering

mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat,

misalnya bibir, vulva, puting susu, atau skalp. Kadang erupsi meluas, dan

paling parah di lipatan mengalami likenifikasi.

2.6 Patogenesis

2.6.1 Hubungan Disfungsi Sawar Kulit Dan Pathogenesis DA

Dermatitis atopic erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit

akibat menurunya fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan

lorikrin), berkurangnya volume seramid serta meningkatnya enzim proteolotik

dan Trans-Epidermal-Water Loss (TEWL). TEWL pada pasien DA meningkat 2-

5 kali orang normal. Sawar kulit dapat juga menurun akibat terpajan protease

eksogen yang berasal dari tungau debu rumah (haouse dust mite) dan

superantigen staphylococcus aures (SA) serta kelembaban udara.

Perubahan sawar kulit mengakibatkan peningkatan absorpsi dan

hipersensitifitas terhadap allergen (misalnya allergen hirup tungau rumah).

Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas kemampuan menyimpan air (skin

capacitance), serta perubahan komposisi lipid esensial kulit, menyebabkan kulit

DA lebih kering dan sensitifitas gatal terhadap berbagai rangsangan bertambah.

Garukan akibat gatal menimbulkan erosi atau ekskoriasi yang mungkin dapat

meningkatkan penetrasi mikroba dan kolonisasi mikroba di kulit. Peningkatan

6
hipersensitifitas tersebut berdampak pula pada meningkatnya sensitifitas respirasi

pasien DA terhadap allergen dikemudian hari.

Gambar 1. Hubungan Disfungsi Sawar Kulit dan Patogenesis DA

2.6.2 Perubahan System Imun (Imunopatologik)

Pada kulit pasien DA terjadi perubahan system imun yang erat

hubungannya dengan factor genetic, sehingga manifestasi fenotip DA

bervariasi. Penelitian genetic terhadap pasien asma memperlihatkan gen yang

sama dengan pasien dermatitis atopic , yaitu gen pada 11q13 sebagai gen

pengkode reseptor igE. Eksperi reseptor igE tersebut pada sel penyaji atigen

dapat memicu terjadinya rangkaian peristiwa imunologi pada DA.

7
Keratinosit, sel langerhans, sitokin, igE, eosinofil, dan sel T.

Kerusakan sawar kulit menyebabkan produksi sitokin keratinosit {IL-

1, IL-6, IL-8, tumor necrosis factor- α (TNF-α)} meningkat dan selanjutnya

merangsang molekul adhesi sel endotel kapiler dermis sehingga terjadi

regulasi limfosit dan leukosit.

Ishizaka dkk. Tahun 1996 menyatakan bahwa pada DA terdapat

peningkatan kadar igE yang menyebabkan reaksi eritema dikulit. Terjadi

stimulasi interleukin-4 (IL-4) terhadap sel T ( CD4+) dan IL-13 terhadap sel B

untuk memproduksi IgE, sebaiknya interferon y (IFN y) dapat memsupresi sel

B. jumah dan potensi IL-4 lebih besar dari pada IFNy. IL-5 berfungsi

menginduksi proliferasi sel eosinofil yang merupakan salah satu parameter

DA.

Lesi akut DA ditandai dengan edema interselular (spongiosis) dan

sebukan infiltrate di epidermis yang terutama terdiri atas limfosit T. Sel

langerhans (LC) dan makrofag (sebagai sel dendritik pemajan antigen/antigen

presenting cell) mengekspresikan molekul igE. Didermis serbukan sel radang

terdiri atas limfosit T dengan epitop CD3, CD4 dan CD45R, monosit-

makrofag, sedangkan sel eosinofil jarang terlihat, jumlah sel mast normal

tetapi aktif berdegranulasi.

Lesi kronik DA ditandai hiperplasi epidermis, pemanjangan rete

ridges, sedikit spongiosis dan hyperkeratosis. Terdapat peningkatan LC dan

jumlah igE di epidermis, infiltrate di dermis lebih banyak mengandung sel

mononuclear/makrofag, dan sel mast yang bergranulasi penuh, banyak sel

8
eosinofil, serta tidak ada neutrofil walaupun terdapat peningkatan kolonisasi

dan infeksi staphylococcus aureus.

Pada fase akut sel T-helper 2 (TH-2) melepaskan sitokin ( IL-4 dan IL-

13) yang menginduksi pembentukan igE dan ekspresi molekul adhesi sel

endhotel, sedangkan IL-5 menginduksi dan memilahara sel eosinofil pada lesi

kronik DA.

Pada fase kronik sitokin yang berperan adalah IL-12 dan IL-18 yang

dihasilkan oleh sel T helper-1 ( TH-1), IL-11 dan transforming growth factors

β-1. Sebagaimana tertera pada gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme Imunobiologi pada fase akut dan fase kronik DA

Sel efektor pada reaksi imunologik DA :

1. Keratinosit memiliki berbagai kemampuan, antara lain sebagai signal

transducer (pencetus signal), sebagai sel asesori, dan sebagai sel penyaji

antigen (SPA); oleh Karena itu, keratinosit sekarang lebih di anggap sebagai

pelaku aktif system imun di epidermis. Pada mekanisme inflamasi di

epidermis selain keratinosit, sel langerhans (LCs) merupakan SPA poten

9
( mengekspresikan MHCII dan memiliki reseptor IgE dan juga

mengekspresikan molekul B 7, ICAM-1, dan LFA-1 dalam jumlah besar.

2. Sel T dapat mengenal antigen berkat adanya T cell receptor ( TCR ) dengan

rantai α dan β yang membentuk kompleks reseptor dengan CD30. Sel T di

dermis dalam keadaan teraktifasi dapat mengenali antigen dalam ikatan major

histocompatibility-II (MHC-II) dan menampilkan reseptor IL-2. Pada DA sel

T helper ( T-CD4+) lebih banyak dari pada sel supresor (T-C8+), dan subset

sel T helper-2 (TH-2) lebih berperan. TH-2 memproduksi interleukin-4 (IL-4)

dan IL-5. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi sel B menjadi sel plasma

yang memproduksi igE, sedangkan IL-5 ( chemotatic factor 0 mampu menarik

dan memelihara eosinofil di jaringan. Selain mampu bermigrasi ke jaringan,

eosinofil mampu memproduksi major basic protein ( MBP) yang

menyebabkan kerusakan jaringan (toksik).

3. Sel endotel berfungsi mengatur lalu lintas leukosit pada inflamsi dan pada saat

di unduksi reaksi hipersensitifitas mengekspresikan berbagai molekul adhesi,

yaitu ICAM-1, ICAM-2, VCAM-1, ELAM-1.

Dapat disimpulkan bahwa pada reaksi inflamasi/allergic DA selain

factor allergen dan IgE, juga berperan berbagai sel inflamasi, mediator

(sitokin), sel endhotel, serta molekul adhesi. Allergen yang masuk kekulit

akan ditangkap oleh SPA, diproses dan disajikan pada sel T ( TH-2 ),

berkaitan dengan kompleks TCR, sehingga mampu mengeluarkan IL-4 dan

membantu sel B memproduksi IgE. IgE akan menempati reseptor di

permukaan sel mast. IgE berikatan dengan allergen memacu sel mast

10
berdegranulasi dan melepaskan berbagai mediator serta IL-4 dan IL-5.

Interleukin-3 (IL-3), IL-4 dan IL-5 mampu menarik eosinofil dan

memeliharanya dijaringan. Factor lain yang menyebabkan migrasi eusinofil

adalah eusinophylic Factor of Anaphylaxis (ECF-A), Leukotrien B4, dan

histamine.

Sitokin dan kemokin berperan penting pada reaksi inflamsi DA.

Beberapa sitokin, misalnya tumor necrotic factors-α (TNF-α) dan IL-1 yang

dihasilkan sel keratinosit, sel mas, dan LC, berikatan dengan reseptor sel

indotel kapiler, mengaktifkan sinyal jalur sel, dan mengaktifkan molekul

adhesi sel endotel. Peristiwa tersebut menyebabkan ekstravasasi sel inflamasi

ke kulit dan segera menuju tempat peradangan atau infeksi.

Pada pasien DA diketahui IgE berjumlah lebih banyak dan

menunjukkan daya afinitas yang tinggi pada reseptor dikeratinosit dan sel

langerhans, sehingga pathogenesis DA lebih di perankan oleh rekasi tipe I.

pada reaksi hipersensitifitas tipe I (IgE mediated), rangsangan zat / bahan

langsung pada sel mas dapat menyebabkan sel mas berdegranulasi dan

melepaskan berbagai mediator, antara lain histamine, himin, bradikinin,

tripsin, papain, leukotriene B4, prostaglandin E2, dan 12 HETE. Mediator

tersebut menimbulkan vasodilatasi, reaksi inflamasi (migrasi sel, ekspresi

adhesi molekul, dan lain – lain), rasa gatal , dan manifestasi inflamasi dikulit.

Pasien DA secara genetic menunjukkan hipersensitifitas terhadap berbagai

allergen, missal nya debu rumah, tungau debu rumah, serbuk sari

bunga/polen, makanan, dan staphylococcus aureus (Superantigen).

11
2.6.3 Alergen dan Superantigen

a. Allergen

Factor eksogen, terutama allergen hirup (debu rumah,tungau debu

rumah) berperan penting pada terjadinya DA. Allergen hirup lainnya yang

sering mempengaruhi adalah kuman dander, animal dander, molds, grasses,

tress, ragweed, dan pollen. Beberapa penelitian membuktikan peningkatan

kadar IgE spesifik ( IgE RAST ) terhadap tungau debu rumah

(D.Pteronyssinus) lebih tinggi pada pasien DA dibandingkan dengan kondisi

lain (OR>20). Kadar IgE spesifik meningkat terhadap debu rumah, bulu

anjing, bulu kucing, bulu kuda, dan jamur. Hasil uji tempel terhadap alergen

tungau debu rumah menginduksi perubahan histopatologik berupa

pembentukan infiltrate selular yang diperantarai sel T (TH-2) serta ditemukan

eusinofil dan basofil. Bukti lain adalah berkurangnya reaksi alergi bila

menghindari allergen. Penelitian Ridha Wati Muchtar tahun 2000 di Divisi

Kulit Anak, poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, pada 20

DA Anak kelompok usia 4-7 tahun didapatkan hasil uji tusuk terhadap TDR

Positif pada 14(70%) DA anak, dan uji atopic patch test (APT) positif pada

10(50%) DA Anak IgE spesifik terhadap TDR positif pada 12 (60%) DA

anak.

Hasil penelitian alergi terhadap makanan bervariasi dalam jenis dan

frekuensi. Selain dilakukan anamnesis riwayat alergi makanan pada

kekambuhan DA, atau dengan IgE RAST, dapat juga dibuktikan dengan uji

kulit antara lain uji tusuk (Prick Test), soft allergen food patch test (SAFPT)

12
atau atopi patch test dan double blind placebo controlled food challenge test

(DBPCFCT). Data hasil satu penelitian memperlihatkan urutan allergen yang

sering ditemukan dan uji kulit bereaksi positif pada DA adalah telur (69%),

susu sapi (52%), kacang – kacangan (42%), soya (34%), dan gandum (33%)

serta lainnya terhadap ikan dan ayam.

b. Superantigen

Berbagai hasil penelitian pada lesi DA menunjukkan peningkatan

kolonisasi staphylococcus aureus (SA). Walaupun demikian sangat jarang

terjadi komplikasi sepsis. Hasil intervensi antibiotic menurunkan jumlah

kolonisasi tersebut. Yang menarik adalah jumlah kolonisasi SA tersebut juga

menurun setelah pemberian kortikosteroid topical poten atau trakolimus

topical. Staphylococcus aureus mampu melekat dikulit karena interaksi antara

protein A2 dan asam teikoik (teichoic acid) pada dinding sel dengan

fibronektin, laminin, dan fibrinogen. Pada DA perubahan komposisi lipid

serta berkurangnya sfongosin dan natural antimicrobial agent memungkin kan

SA tumbuh dan berkolonisasi.

Sebagaian jalur SA memproduksi toksin yang bertindak sebagai

superantigen (SAg) antara lain enterotoksin A (SEA), enterotoksin B (SEB),

dan toksin SSS penyebab staphylococcal scalded skin syndrome (4S).

superantigen mempunyai efek imunomodulator, menyebabkan apoptosis sel

T, sel eusinofil, meningkatkan penglepasan histamine dan leukotrien, sintesis

IgE, serta menurunkan potensi glukokortikoid. Selain itu hasil penelitian

menunjukkan bahwa SAg menyebabkan inflamasi pada kulit DA (50-60%).

13
Penelitian lain memperlihatkan temuan IgE anti-staphylococcus pada

sekitar 25% pasien DA, sedangkan IgE antibody terhadap SAg didapatkan

pada 57% pasien DA dewasa dan pada 34 pasien DA anak. Demikian pula

terhadap peningkatan IgE spesifik terhadap SEB. Superantigen memacu

kekambuhan lesi DA menjadi rekalsitran dan kronik serta menginduksi

influks cutaneus lymphocyte antigen (CLA) pada reseptor sel T ( gambar 3).

Gambar 3. Mekanisme sag pada inflamasi DA

Pada tahap pengobatan DA terhadap SAg dapat diberikan obat

golongan makrolit, yaitu takrolimus atau pimekrolimus yang berpotensi

menghambat kalsineurin yang diproduksi sel T dan menghambat IL-2, IL-3,

IL-4, TNF-α, dan GSM-CSF. Tahun 1977 Aly dkk. Melaporkan bahwa 63%

SA resisten terhadap penisilin, 14 terhadap tetrasiklin dan 20% terhadap

eritromisin. Di Australia di temukan pada isolasi methicilin resistant

staphylococcus aureus (MRSA) pada 30% pasien dermatologi. Di Mancester,

14
dari pasien DA dapat di isolasi MRSA pada 6% dari 36 bayi, 10% dari 80

anak kelompok usia 1 – 5 tahun, dan 19% dari 78 kelompok usia diatas 6

tahun. Penelitian terhadap anak dengan DA oleh Deasy 2009 di RSCM, tidak

menemukan MRSA pada lesi DA dan nares.

2.6.4 Predisposisi Genetic

Penelitian genetic berdasarkan silsilah keluarga menyatakan bahwa

resiko DA pada kembar monozigot sebesar 77% dan pada kembar dizigot

25%. Dermatitis atopic sering dijumpai pada sebuah keluarga, namun

penurunannya tidak mengikuti hokum mandel. Ada kecenderungan lebih

banyak terjadi pada perempuan dan ditemukan banyak gen yang terlibat pada

DA, sehingga dapat disimpulkan bahwa pola warisan DA bersifat

multifaktorial. Uehara dan Kimura (1993) menyatakan bahwa 60% pasien DA

mempunyai anak atopi. Jika kedua orang tua nya menderita DA, maka 80%

anak nya akan beresiko mederita DA. Apabila hanya salah satu orang tua nya

menderita DA maka resiko menderita DA menjadi 59%.

Penelitian lain menemukan pada ibu berpenyakit DA menunjukkan rasio

Odds (RO) anak kandung 2,66 ; sedangkan bila ayah yang menderita DA

maka resiko nya menjadi 1,29. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa

penurunan DA cenderung bersifat maternal.

Sejak lama telah diketahui keterkaitan antara dermatitis atopic, asma

bronchial, rhinitis alergi, dan peningkatan kadar IgE dalam serum dengan

15
human leukocyte antigen (HLA) pada kromosom 6 dan lokus yang berbeda.

Hasil penelitian sebagai berikut.

1. Kromosom 5 (interleukin cluster) : banyak penelitian terhadap kromosom 5

memperlihatkan hubungan antara asma, atopi, dan dermatitis atopic dengan

5q23-31 yang merupakan cluster sitokin. Sitokin tersebut adalah IL-4, IL-13,

CD14 antigen dan IL-12B.

2. Kromosom 6-major Histocompatibility Complex (MHC): hasil penelitian

menunjukkan keterikatan antara asma dan atopi dengan gen MHC-II, yaitu

pada alel HLA-DR4 dan DR7.

3. Kromosom 16: telah terditeksi keterkaitan polimorfisme gen IL-4RA dengan

IL-4, IL-13, sitokin Th2, dan IgE dengan fenotip dermatitis atopic serta asma

bronchial.

Tidak semua fenotip DA diekspresikan oleh genotip. Gen predisposisi

atopi pada ras atau Negara tertentu hasilnya bervariasi. Keadaan ini lazim

ditemukan pada pola penurunan yang bersifat multifactor.

Wollenberg dan Bleiber tahun 2002 mengumpulkan berbagai hasil

penelitian hubungan antara gen yang diduga berperan ( candidate gene) pada

DA dengan regio gen terkait. Publikasi kluken, Weiner dan Bleiber 2003

menyampaikan temuan gen yang diduga berperan pada dermatitis atopic.

Tabel 1. memperlihatkan fenotip sel atau produk yang dihasilkan, keterkaitan

dengan sel atau produk dan regio gen yang berperan pada DA.

16
Farida Tabri pada disertasinya tahun 2011 membuktikan bahwa pada

pasien DA fase anak, terjadi mutasi gen polimorfisme CTLA-4 dan penurunan

kadar IL-6 dalam serum. Selain itu, tak seorangpun anak dengan DA yang

mengidap cacing usus.

2.6.5 Mekanisme Pruritus pada Dermatitis Atopik

Patofisiologis pruritus pada DA belum diketahui pasti. Pada umumnya

para pakar berpendapat bahwa sensai gatal dan nyeri disalurkan melalui saraf

C tidak bermielin di daerah taut dermoepidermal. Rangsangan kereseptor

gatal tersebut menjalar melalui saraf spinal sensorik kemudian ke hipotalamus

kontra lateral dan selanjutnya ke korteks untuk di persepsikan.

Rangsangan ringan dan superficial dengan intensitas rendah menyebabkan

rasa gatal, namun bila lebih dalam dan intensitas tinggi dapat menyebabkan

sensai nyeri. Pathogenesis DA berkaitan dengan factor genetic dan

hipersesitifitas tipe I fase lambat ( IgE Mediated, late phase). Namun,

kemudian dianggap pada DA dapat terjadi reaksi yang diperantarai

hipersensitifitas tipe IV dan tipe I.

Untuk memahami pathogenesis pruritus pada DA perlu memahami lebih

dulu berbagai factor yang berpengaruh pada DA, antara lain IgE, sel inflamasi

DA, mediator, sitokin, serta factor lain nya. Telah ditemukan peningkatan

kadar histamine dikulit pasien DA, namun peningkatan tersebut tidak disertai

dengan peningkatan didalam darah. Hasil salah satu penelitian

memperlihatkan antihistamin hanya member efek minimal sampai sedang

17
dalam mengatasi pruritus pada DA. Hal tersebut terjadi karena mungkin

histamine bukan satu – satu nya zat pruritogenik. Perlu dipikirkan

kemungkinan mediator lain yang dikeluarkan oleh sel mas atau factor non

imunologik yang diduga sebagai penyebab pruritus, yaitu zat tergolong

neuropeptida, protease, opoid, eikosanoid, dan sitokin.

Faktor lain penyebab pruritus pada DA :

Berbagai perubahan abnormal pada pasien DA menyebabkan pruritus

dan kelainan kulit, antara lain perubahan respon vascular dan farmakologik.

Demikian pula kulit yang kering pada DA menyebabkan ambang rangsang

gatal lebih rendah. Stimulus ringan (misalnya mekanis, elektris, termal) dapat

menyebabkan pruritus melalui jalur reflex akson terminal yang mengeluarkan

substansi P, sehingga menyebabkan vasodilatasi atau rangsangan terhadap sel

mas. Kulit yang kering menyebabkan diskontinuitas sel keratosit sehingga

bahan pruritogenik yang dikeluarkan merangsang reseptor dan dapat

meningkatkan reaksi hipersensitifitas kulit.

2.6.6 Faktor Psikologis

Pada psikoanalisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada DA

tergolong tinggi, antara lain berupa rasa cemas, stress, dan depresi. Rasa

gatal yang hebat memicu garukan yang terus menerus. Sehingga

menyebabkan kerusakan kulit, sebaliknya dengan melihat kerusakan kulit

rasa cemas makin meningkat. Rasa cemas bertambah manakala pasien

bertemu dengan saudara, teman disekolah, dan kesukaran menghentikan

18
garukan. Pasien DA mempunyai kecenderungan bersifat temperamental,

mudah marah, agresif, frustasi dan sulit tidur.

2.6.7 Teori atau Hipotesis Hygiene

Awalnya diduga infeksi merupakan salah satu pencetus DA atau sebagai

salah satu sumber superantigen ( antara lain sumber endoksin SA). Jumlah

anggota keluarga yangbsedikit menyebabkan sedikit pula pajanan terhadap

infeksi akibat kontak dengan saudara yang lebih tua ( kakak ) disatu keluarga.

Pajanan dini tersebut menyebabkan system imun pada anak berkembang

secara normal, sehingga tubuh membentuk pertahanan imun selular. Hal

tersebut akan meningkatkan kerentanan terhadap alergi sehingga menurunkan

resiko DA. Sampai saat ini hipotesis hygiene masih dalam penelitian.

Beberapa hasil diantaranya masih kontrofersial, termasuk penelitian probiotik

(lakto-bacilus acidophilus) pada pengendalian DA.

2.7 Manifestasi Klinis

Gejala dermatitis atopik dapat bervariasi pada setiap orang. Gejala yang

paling umum adalah kulit tampak kering dan gatal. Gatal merupakan gejala yang

paling penting pada dermatitis atopik. Garukan atau gosokan sebagai reaksi terhadap

rasa gatal menyebabkan iritasi pada kulit, menambah peradangan, dan juga akan

meningkatkan rasa gatal. Gatal merupakan masalah utama selama tidur, pada waktu

kontrol kesadaran terhadap garukan menjadi hilang. Gambaran kulit atopik

bergantung pada parahnya garukan yang dialami dan adanya infeksi sekunder pada

kulit. Kulit dapat menjadi merah, bersisik, tebal dan kasar, beruntusan atau terdapat

19
cairan yang keluar dan menjadi keropeng (krusta) dan terinfeksi (Dewi, 2004). Kulit

yang merah dan basah (eksim) disebabkan peningkatan peredaran darah di kulit

akibat rangsangan alergen, stress, atau bahan pencetus lain. Peningkatan aliran darah

diikuti dengan perembesan cairan ke kulit melalui dinding pembuluh darah. Kulit

kering dan bersisik membuat kulit lebih sensitif sehingga lebih mudah terangsang.

Bila sangat kering kulit akan pecah sehingga menimbulkan rasa nyeri. Penebalan kulit

(likenifikasi) terutama di daerah yang sering mengalami garukan, disertai dengan

perubahan warna menjadi lebih gelap akibat peningkatan jumlah pigmen kulit.

Daerah yang lebih sering mengalami likenifikasi ialah leher bagian belakang, lengan

bawah, daerah pusar, di atas tulang kering, dan daerah genital. Dermatitis atopik

dapat juga mengenai kulit sekitar mata, kelopak mata dan alis mata. Garukan dan

gosokan sekitar mata menyebabkan mata menjadi merah dan bengkak.

Gejala utama dermatitis atopik adalah gatal/pruritus yang muncul sepanjang

hari dan memberat ketika malam hari yang dapat menyebabkan insomnia dan

penurunan kualitas hidup. Rasa gatal yang hebat menyebabkan penderita menggaruk

kulitnya sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch mark) yang akan diikuti

oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya

akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis.

Gambaran lesi eksematous dapat timbul secara akut (plak eritematosa, prurigo

papules, papulovesikel), subakut (penebalan dan plak ekskoriasi), dan kronik

(likenifikasi). Lesi eksematous dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan terjadi

eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah (weeping)

dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut.

20
Lesi kering, papul datar, plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering

terjadi ekskoriasi dan eksudasi karena garukan. Terkadang dapat berkembang menjadi

eritroderma. Stres dapat menjadi faktor pencetus karena saat stres nilai ambang rasa

gatal menurun. Dermatitis atopik dapat disertai berbagai kelainan seperti hiperlinearis

palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris, tanda

Hertoghe, keilitis, liken spinulosus, dan keratokonus.

Sebagian orang yang mengalami dermatitis atopik pada masa anak juga

mengalami gejala pada masa dewasanya, namun penyakit ini dapat juga pertama kali

timbul pada saat telah dewasa. Gambaran penyakit saat dewasa serupa dengan yang

terlihat pada fase akhir anak. Pada umumnya ditemukan adanya penebalan kulit di

daerah belakang lutut dan fleksural siku serta tengkuk leher. Akibat adanya garukan

secara berulang dan perjalanan penyakit yang kronis, lesi ditandai dengan adanya

hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan likenifikasi. Distribusi lesi biasanya simetris.

Lokasi lesi menjadi lebih luas, selain fosa kubiti dan poplitea, juga dapat ditemukan

bagian lateral leher, tengkuk, badan bagian atas dan dorsum pedis. Namun, dapat pula

terbatas hanya pada beberapa bagian tubuh, misalnya hanya tangan atau kaki. Pada

fase remaja, area di sekitar puting susu juga dapat terkena.

2.8 Diagnosa

Sampai saat ini belum ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat digunakan

untuk memastikan penyakit dermatitis atopik. Pada umumnya diagnosis dibuat dari

riwayat adanya penyakit alergi, misalnya eksim, asma dan rinitis alergik, pada

21
keluarga, khususnya kedua orang tuanya. Kemudian dari gejala yang dialami pasien,

kadang perlu melihat beberapa kali untuk dapat memastikan dermatitis atopik dan

menyingkirkan kemungkinan penyakit lain serta mempelajari keadaan yang

menyebabkan iritasi/alergi kulit. Tidak ada ciri khusus maupun pemeriksaan

laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis dermatitis atopik, sehingga diagnosis

penyakit ini sepenuhnya bergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik dari

pasien.

Para ahli penyakit kulit telah membuat beberapa kriteria diagnosis dan saat ini

banyak digunakan adalah kriteria yang dikemukakan oleh sarjana Hanifin dan Rajka,

yang meliputi kriteria mayor dan kriteria minor.

Kriteria mayor :

 Rasa gatal

 Gambaran dan penyebaran kelainan kulit yang khas (bayi dan anak di muka

dan lengan)

 Eksim yang menahun dan kambuhan

 Riwayat penyakit alergi pada keluarga (stigmata atopik)

Kriteria minor :

 Kulit kering

 Luka memanjang sekitar telinga (fisura periaurikular)

 Garis telapak tangan lebih jelas (hiperlinearitas Palmaris)

 Bintil keras di siku, lutut (keratosis pilaris)

22
 White dermographisme : bila kulit digores tumpul, timbul bengkak bewarna

keputihan di tempat goresan

 Garis Dennie Morgan : garis lipatan di bawah mata

 Kemerahan atau kepucatan di wajah

 Kulit pecah/luka di sudut bibir (keilitis)

 Pitiriasis alba : bercak-bercak putih bersisik

 Perjalanan penyakit dipengaruhi emosi dan lingkungan

 Uji kulit positif

 Peningkatan kadar Immunoglobulin E dalam darah

Seseorang dianggap menderita dermatitis atopik bila ditemukan minimal 3

gejala mayor dan 3 gejala minor.

Dalam praktik sehari dapat digunakan kriteria William,dkk guna menetapkan

diagnosa DA,yaitu:

1. Harus ada : Rasa gatal pada kulit( pada anak-anak dengan bekas garukan).

2. Ditambah 3 atau lebih:

 Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar
leher (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun).

 Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat
penyakit atopi pada anak-anak).

 Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.

 Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4
tahun).

23
 Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4
tahun).

Kriteria William lebih sederhana, praktis, dan cepat, karena tidak

memasukkan beberapa kriteria minor Hanifin Rajka yang hanya didapatkan pada

kurang dari 50% pasien DA. Kriteria William lebih spesifik, sedangkan kriteria

Hanifin-Rajka lebih sensitif.

Indeks SCORAD

Indeks SCORing Atopic Dermatitis (SCORAD) adalah alat klinis yang

digunakan untuk menilai keparahan dermatitis atopik. Penilaian indeks SCORAD

berupa gejala objektif yang terdiri dari persentase area dan intensitas yang sering

muncul berupa eritema, papul, krusta, ekskoriasi, xerosis dan likenifikasi. Gejala

subjektif yang dinilai adalah pruritus dan insomnia yang didapatkan dari orang tua

dan dinilai dengan angka nol sampai 10.

Dari indeks SCORAD dapat dikelompokkan derajatnya yaitu ringan, sedang

dan berat. Dikatakan ringan bila nilai indeks SCORAD kurang dari 25, sedang bila

nilai indeks SCORAD 25 sampai 50 dan dikatakan berat bila nilai indeks SCORAD

lebih dari 50. Gejala dermatitis atopik berdasarkan usia adalah bentuk infantil, bentuk

anak dan bentuk dewasa. Selain indeks SCORAD, pengukuran derajat keparahan

dermatitis atopik dapat menggunakan Eczema Area and Severity Index (EASI),

Investigator Global Assessment (IGA) atau Three Item Severity Scale (TISS). EASI

menilai derajat keparahan dermatitis atopik dengan mengukur area yang terlibat

24
kepala dan leher, badan termasuk daerah genitalia, anggota gerak atas dan bawah

dengan 4 gejala eritema, ketebalan, ekskoriasi dn likenifikasi. IGA merupakan sistem

penilaian derajat keparahan dermatitis atopik dengan menilai gejala inflamasi tidak

dijumpai skor 0, skor 1 bila eritema dan papul , skor 2 dijumpai eritema dengan papul

ringan, skor 3 dijumpai eritema dengan papul sedang, skor 4 ditemukan eritema dan

papul yang berat dan skor 5 bila dijumpai eritema berat dengan krusta. TISS sistem

penilaian sederhana yang menggunakan tiga item intensitas indeks SCORAD yaitu

eritema, edema dan ekskoriasi dengan masing masing gejala dinilai pada skala 0

sampai 3. Total nilai indeks SCORAD: A/5 + 7B/2 + C

Untuk penilaian derajat sakit dapat dipakai score for atopic dermatitis

(SCORAD). Penentuan indeks SCORAD tidak sederhana. Pada pakar dermatitis

atopik di Europa telah mengadakan rapat kerja dan penelitian untuk menyusun satu

panduan secara menilai derajat sakit DA. Secara klinis lesi DA dinilai dengan

menggunakan acuan foto/slides berwarna pasien DA. Untuk akurasi penilaian

diperlukan pendapat dari 2 orang penilai, yang menilai masing-masing lesi. Penilaian

kedua orang tersebut tidak berbeda makna.

Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan bila ada keraguan klinis.

Peningkatan kadar IgE dalam serum juga dapat terjadi pada sekitar 15% orang sehat,

demikian pula kadar eosinofil, sehingga tidak patognomonik. Uji kulit dilakukan bila

ada dugaan pasien alergik terhadap debu atau makanan tertentu, bukan untuk

diagnostik.

25
2.9 Diagnosa Banding

Kelainan kulit dermatitis atopik sering menunjukkan gambaran morfologik

yang khas. Diagnosis banding DA bergantung pada fase atau usia, manifestrasi klinis,

serta lokasi DA. Pada fase bayi dapat mirip dermatitis seboroik, psoriasis, dan

dermatitis popok. Sedangkan pada fase anak dapat mirip dengan dermatitis numularis,

dermatitis intertriginosa, dermatitis kontak, dan dermatitis traumatika. Sedangkan

pada fase dewasa lebih mirip dengan neurodermatitis atau liken simpleks kronikus.

2.10 Penatalaksanaan Umum

Penatalaksanaan dermatitis atopik harus mengacu pada kelainan dasar, selain

mengobati gejala utama gatal untuk meringankan penderitaan penderita.

Penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama (long term control),

bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan.

Pengobatan dermatitis atopik kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:

2.10.1 Menghindari Bahan Iritan


Penderita dermatitis atopik rentan terhadap bahan iritan yang memicu

dan memperberat kondisi seperti sabun, deterjen, bahan kimiawi, rokok, pakaian

kasar, suhu yang ekstrem dan lembab. Pemakaian sabun hendaknya yang

berdaya larut minimal terhadap lemak dan dengan PH netral. Hindari sabun atau

pembersih kulit yang mengandung antiseptik atau antibakteri yang digunakan

rutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi sekunder.

Pakaian baru hendaknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai dengan deterjen

26
untuk menghindari formal dehid atau bahan kimia. Usahakan tidak memakai

pakaian yang bersifat iritan seperti wol atau sintetik yang menyebabkan gatal,

lebih baik menggunakan katun. Pemakaian tabir surya juga perlu untuk

mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan.

2.10.2 Mengeliminasi Alergen yang Telah Terbukti

Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan harus

dihindari, seperti makanan (susu, kacang, telur, ikan laut, kerang laut dan

gandum), debu rumah, bulu binatang, serbuk sari, tanaman dan sebagainya.

2.10.3 Pengobatan Topikal


1) Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Kulit penderita dermatitis atopik menunjukkan adanya transepidermal

water loss yang meningkat. Oleh karena itu hidrasi penting dalam

keberhasilan terapi, biasanya menggunakan pelembab. Pemakaian pelembab

dapat memperbaiki fungsi barier stratum korneum dan mengurangi kebutuhan

steroid topikal. Sebuah studi menunjukkan bahwa pelembab mungkin

mengurangi 50% kebutuhan pemakaian kortikosteroid topikal .

Pelembab dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pelembab humektan,

oklusif , dan emolien. Pelembab humektan merupakan bahan aktif dalam

komestik yang ditujukan untuk meningkatkan kandungan air pada epidermis.

Bahan-bahan yang termasuk ke dalam humektan terutama bahan-bahan yang

bersifat higroskopis yang dapat digunakan secara khusus untuk tujuan

melembabkan kulit, contoh humektan adalah gliserin. Pelembab oklusif

27
adalah bahan aktif kosmetik yang menghambat terjadinya penguapan air dari

permukaan kulit. Dengan menghambat terjadinya penguapan air pada

permukaan kulit, bahan-bahan oklusif dapat meningkatkan kandungan air

dalam kulit. Contoh oklusif adalah petrolatum. Pelembab yang digunakan bisa

berbentuk cairan, krim atau salep. Misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat

pula ditambahkan hidrokortison 1% didalamnya. Bila memakai pelembab

yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5% karena

dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif.

2) Kortikosteroid topikal

Kortikosteroid topikal adalah yang paling banyak digunakan

sebagai anti inflamasi. Selain itu dapat berguna pada saat ekserbasi akut,

anti pruritus dan sebagai anti mitotik. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Hoare C, dkk menggunakan kortikosteroid topikal pada 83 pasien

dermatitis atopik dengan menggunakan simple randomized control trials

hasil dari penggunaan kortikosteroid topikal kurang dari satu bulan 80%

menunjukkan pemulihan sangat baik

Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih potensi yang

paling lemah yang masih efektif, karena semakin kuat potensi semakin

banyak efek sampingnya. Potensi dari kortikosteroid topikal

diklasifikasikan berdasarkan potensi vasokontriksi pembuluh darah.

28
Tabel 1. Klasifikasi kortikosteroid

Group 1 Group 2 Grup 3 Grup 4

Potensi Rendah Potensi Sedang Potensi Tinggi Poten sangat


Tinggi

Alcometasone Betametason Beklometason Clobetasol


propionate
dipropionate 0,05% valerat 0,025% Dipropionat 0,05%

(Modrason) 0,025% (Dermovat)

(Propaderm)

Fluocinolone Klobetason butirat Betametason Diflukortolon


dipropionat
acetonide 0,0025% 0,05% (Eumovat) 0,05% valerat 0,3%

(Synalar 1:10) (Diproson) (Nerison forte)

Hidrokortison 0,5- Desosimetason Desosimetason Halcinonide

2,5% (Cobadex, 0,05% (Stiedex 0,25% (Stiedex) 0,1%

Dioderm, Efcortelan, LP) (Halsiderm)

E45 HC, Hidro)

Fluosinolon Diflukortolon
asetonid
0,00625% valerat 0,1%

(Synalar 1:4) (Nerison)

29
Tabel 1. Klasifikasi kortikosteroid lanjutan

Flurandrenolon Fluosinolon
0,0125% (Haelan) asetonid 0,025%

(Synalar)
Hidrokortison 17-
butirat 0,1%
(Lokoid)
Mometason furoat
0,1% (Elocon)
Triaminocolon
asetonid 0,1%
(Adcortyl, Ledecort

Pada bayi digunakan kortikosteroid topikal potensi rendah, misalnya

hidrokortison 1-2,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid potensi

menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka diberikan steroid

yang berpotensi lebih rendah. Pada daerah genitalia dan intertriginosa juga

digunakan kortikosteroid topikal yang berpotensi rendah jangan

digunakan yang berpotensi tinggi seperti Fluorinated glukokortikoid. Bila

aktivasi penyakit telah dikontrol dipakai secara intermiten, umumnya 2

kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh sebaiknya dengan

kortikosteroid yang potensinya paling rendah.

30
3) Preparat tar
Walaupun tidak sekuat kortikosteroid topikal Preparat tar batu bara

mempunyai efek anti-gatal dan anti-inflamasi. Preparat tar sebaiknya

dipakai pada lesi kronik tidak digunakan pada lesi akut karena dapat

menyebabkan iritasi. Efek sampingnya antara lain folikulitis,

fotosensitivitas, dan potensi karsinogenik.

4) Inhibitor kalsineurin topikal

Inhibitor kalsineurin topikal merupakan non-steroidal agen yang

bekerja melalui jalur immunologik baik menghambat atau meningkatkan

reaksi imun dan inflamasi. Inhibitor kalsineurin topikal terdiri atas

takrolimus dan pimekrolimus. Takrolimus (FK-506) adalah suatu

penghambat kalsineurin yang bekerja untuk menghambat aktivasi sel yang

terlibat seperti sel langerhans, sel T, sel mas dan keratinosit. Takrolimus

dapat diberikan dalam bentuk salep 0.03% untuk anak-anak 2-15 tahun

dan untuk dewasa 0.03% dan 0.1%. Sedangkan pimekrolimus (ASM 81)

merupakan suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan

makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces

hygroscopicusvar. Krim pimekrolimus dapat diberikan 1% untuk anak-

anak > 2 tahun dengan dermatitis atopik ringan sedang.

Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah terbukti efektif. Sebuah

penelitian dengan takrolimus 0,1%, dikatakan mempunyai potensi yang

sama dengan kortikosteroid topikal. Penelitian lain menunjukkan terapi

takrolimus topikal memberi hasil lebih dari 70% pasien mengalami

31
perbaikan sedang sampai baik dalam 3 minggu pemberian dan 30-40%

pasien mengalami tingkat perbaikan lebih dari 90%.

Kelebihan inhibitor kalsineurin topikal dibandingkan dengan

kortikosteroid adalah tidak menyebabkan penipisan kulit, namun pada

penggunaan awal akan menimbulkan sensasi terbakar di kulit. Takrolimus

dan pimekrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun .

2.10.4 Pengobatan Sistemik


1) Pemberian antihistamin
Antihistamin digunakan sebagai anti pruritus yang cukup

memuaskan, membantu untuk mengurangi rasa gatal yang hebat

terutama pada malam hari. Karena dapat mengganggu tidur,

antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif,

misalnya hidroksisin, difenhidramin dan sinequan. cetrizine dan

fexofenadine telah diuji keberhasilannya untuk mengatasi rasa gatal

pada penderita dermatitis atopik anak-anak dan dewasa.

Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin

hidroklorid yang mempunyai antidepresan dan memblokade reseptor

histamine H1 dan H2, dengan dosis 10-75 mg secara oral malam hari

pada dewasa. Pada suatu penelitian menyatakan bahwa penggunaan

antihistamin mempunyai bukti yang tidak adekuat untuk terapi

dermatitis atopik, meskipun antihistamin dianjurkan karena memiliki

efek sedative.

32
2) Pemberian antibiotik
Pada penderita dermatitis atopik lebih dari 90% ditemukan

peningkatan koloni Staphylococcus aureus. Untuk yang belum resisten

dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau klaritomisin, sedang

untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau

generasi pertama sefalosporin. Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus

herpes simpleks, kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan

oral asiklovir.

Meskipun kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik

digunakan dalam terapi dermatitis atopik, tetapi tidak ada bukti yang

baik bahwa kombinasi keduanya memiliki manfaat yang lebih

dibandingkan pemakaian kortikosteroid topikal saja .

3) Kortikosteroid Sistemik
Pada umumnya kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk

mengontrol eksaserbasi akut. Penggunaannya hanya dalam jangka

pendek, dosis rendah, berselang-seling, diturunkan bertahap dan

kemudian diganti kortikosteroid topikal .

4) Siklosporin
Dermatitis atopik yang sulit digunakan dengan pengobatan

konvesional dapat diberikan siklosporin jangka pendek. Siklosporin

oral sebagai terapi sistemik dermatitis atopik tersedia dalam bentuk

kapsul gelatin 25 atau 100 mg, durasi terapi singkat, namun

33
penggunaan lebih dari setahun tidak dianjurkan. Relaps dan rekurensi

sering terjadi setelah penghentian terapi siklosporin.

2.10.5 Mengurangi Stress


Stress emosi pada penderita dermatitis atopik merupakan pemicu

kekambuhan, bukan sebagai penyebab. Usaha-usaha mengurangi stress

adalah dengan melakukan konseling pada penderita dermatitis atopik,

terutama yang mempunyai kebiasan menggaruk.Pada suatu penelitian

small randomized trials , Pendekatan psiko-terapi perlu dilaksanakan

untuk mengurangi stress kejiwaan penderita. Relaksasi, modifikasi mood

dan biofeedback mungkin berguna pada penderita dengan kebiasaan

menggaruk.

2.10.6 Edukasi pada Penderita Maupun Keluarganya


Edukasi merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan

dermatitis atopik, yaitu perawatan kulit yang benar dan menghindari

penyebab. Memberikan edukasi tentang penyakitnya, faktor-faktor pemicu

kekambuhan, kebiasaan hidup dan sebagainya perlu diberikan pada

penderita untuk memperoleh hasil yang optimal

Pada suatu penelitian dikatakan bahwa program edukasi orangtua

tentang tatacara pengobatan topikal oleh penyedia pelayanan kesehatan

akan sangat berguna untuk penderita dermatitis atopik .

2.10.7 Terapi Sinar


Pengobatan dengan sinar ultraviolet seperti UVA, UVB,

narrowband UVB, UVA-1, kombinasi UVAdan UVB, atau bersama

34
psoralen (fotokemoterapi) dapat digunakan sebagai terapi tambahan

karena dapat menyebabkan remisi panjang, namun berisiko menimbulkan

penuaan kulit dini dan keganasan kulit pada pengobatan jangka lama.

Sinar UVB narrowband lebih aman dibanding PUVA, yang dihubungkan

dengan karsinoma sel skuamosa dan melanomamaligna. Fototerapi

dipertimbangkan pada dermatitis atopik yang berat dan luas yang tidak

responsif terhadap pengobatan topikal. Fotokemoterapi tidak dianjurkan

untuk anak usia kurang dari 12 tahun karena dapat mengganggu

perkembangan mata.

Pada randomized clinical trials menunjukkan bahwa sinar UV

(UVB, narrow-band UVB, dan high intensity UVA) lebih menguntungkan

untuk dermatitis atopik pada penggunaan jangka pendek. Rasa terbakar ,

gatal, dan efek karsinogen sering terjadi pada penggunaan jangka panjang.

Fototerapi biasanya digunakan sebagai terapi lini kedua atau ketiga .

2.10.8 Balut Basah (Wet Wrap Dressing)


Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai terapi
tambahan untuk mengurangi gatal, terutama untuk lesi yang berat dan
kronik atau yang refrakter terhadap pengobatan biasa. Bahan pembalut
(kasa balut) dapat diberi larutan kortikosteroid atau mengoleskan krim
kortikosteroidpada lesi kemudian dibalut basah dengan air hangat dan
ditutup dengan lapisan atau baju kering di atasnya. Cara ini sebaiknya
dilakukan secara intermiten dan dalam waktu tidak lebih dari 2-3 minggu.
Balut basah dapat pula dilakukan dengan mengoleskan emolien saja di
bawahnya sehingga memberi rasa mendinginkan dan mengurangi gatal

35
serta berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan sehingga
mempercepat penyembuhan. Penggunaan balut basah yang berlebihan
dapat menyebabkan maserasi sehingga memudahkan infeksi sekunder.
Balut basah juga memiliki potensial dapat menambah kekeringan kulit dan
menyebabkan fisura bila tidak disertai pelembab emolien .

Balut basah banyak dijadikan terapi lini kedua atau ketiga untuk
anak-anak yang resisten terhadap dermatitis atopik walaupun belum ada
data yang mendukung.

Tabel 2.Modalitas treatment berdasarkan U.S. Preventatitive Services Task


Force

Terapi Indikasi Dosis Rutin Strength of Level of


Recommendation Evidance
*

Emolien Xerosis ,pruritus Beberapa kali A Baik


sehari, khususnya
setelah mandi
Kortikosteroid Iritasi, pruritus 1-2 kali sehari A Baik
topikal
Inhibitor Refrakter 2 kali sehari A Baik
kalsineurin terhadap steroid
topikal topikal, tipis
sensitif
Antihistamin Sedasi, pruritus 2 kali sehari A Cukup

36
Antibiotik oral Infeksi yang luas Tergantung pada A Baik
patogen Dan
antibioti
k yang
telah sesuai
Siklosporin Refrakter 3-4 mg/kgbb B Baik
perhari pemberian
jangka
pendek
Fototerapi Refrakter Rata-rata 3 kali per B Cukup
minggu

*Keterangan:
A: Sangat direkomendasikan untuk pasien dalam praktik sehari-hari
B: Tidak direkomendasikan untuk pasien pada pemakaian rutin

2.11 Komplikasi
Barier kulit yang rusak, respon imun yang abnormal, penurunan produksi

peptide antimikroba endogen, semua presdiposisi mempengaruhi penderita

dermatitis atopik terkena infeksi sekunder. Infeksi kutan ini dapat menimbulkan

lebih resiko yang serius pada bayi dan pada waktu mendatang akan berpotensi

untuk infeksi sistemik. Penderita dermatitis atopik juga sangat rentan dengan

37
infeksi virus, yang paling berbahaya adalah herpes simplex dengan penyebaran

luas dapat mengakibatkan ekzema hepetikum yang dapat terjadi pada semua usia.

Komplikasi pada mata juga dihubungkan dengan dermatitis kelopak mata

dan blepharitis kronis yang umumnya terkait dengan dermatitis atopik dan dapat

mengakibatkan gangguan penglihatan dar ijaringan parut kornea.

Keratokonjungvitis atopik biasanya bilateral dan dapat memiliki symptom seperti

rasa gatal dan terbakar pada mata, mata berair dan mengeluarkan diskret yang

mukoid.

2.12 Prognosis

Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita dermatitis atopik.

Ada kecenderungan perbaikan masa spontan pada masa anak dan sering ada yang

kambuh pada masa dewasa.Sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik pada dermatitis


atopik adalah:

1. Dermatitis atopik luas pada anak

2. Menderita rhinitis alergik dan asma bronkial

3. Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudara kandung

4. Awitan dermatitis atopik pada usia muda

5. Anak tunggal

6. Kadar IgE serum sangat tinggi

38
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : An. A

Umur : 14 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Bukittinggi

Pekerjaan : Pelajar SMP

Suku : Minang

3.2. Anamnesa

Seorang pasien laki-laki berusia 14 tahun datang ke poliklinik Kulit dan


Kelamin RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada hari selasa 12 desember
2018 dengan:

Keluhan Utama

Timbul bercak merah kehitaman gatal di kedua lipat lengan sejak 2 bulan
yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang

 Timbul bercak merah kehitaman gatal di kedua lipat lengan sejak 2


bulan yang lalu

 Awalnya berupa bintik merah kemudian menyebar diikuti rasa gatal


terutama saat beraktivitas

39
 Penyakit ini hilang timbul dan sudah sering berobat ke puskesmas

 Pasien sering bersin di pagi hari dan mata sering merah jika kena
angin

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat alergi terhadap makanan : telur, kacang-kacangan

Riwayat penyakit Keluarga

Ayah pasien sedang menderita sesak nafas

Riwayat Kebiasaan

 Pasien seorang pelajar SMP, setiap hari bangun pagi untuk berangkat
ke sekolah dan pasien mengeluhkan sering bersin pada pagi hari dan
mata merah jika terkena angin

3.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata
Status gizi : Baik
Kesadaran : CMC
Pemeriksaan thoraks : Dalam batas normal
Pemeriksaan abdomen : Dalam batas normal

40
Status Dermatologikus
Lokasi : Lengan kiri dan kanan
Distribusi : Simetris
Bentuk : Tidak khas
Susunan : Tidak khas
Batas : Tidak tegas
Ukuran : Melier
Efloresensi : Tampak papul eritem, plak hiperpigmentasi

Status Venerologikus : Tidak ditemukan kelainan


Kelainan Selaput : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Kuku : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Rambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelaian Kelenjar Limfe : Tidak ditemukan kelainan
Ekstremitas : Tidak ada kelainan

41
3.4. Diagnosa Kerja

Dermatitis atopik tipe remaja

3.5. Pemeriksaan Anjuran


 Patch test
 IgE spesifik

3.6. Diagnosa Banding


 Dermatitis kontak
 Dermatitis seboroik
 Neurodermatitis

3.7. Penatalaksanaan

Umum:

• Memberikan informasi dan edukasi kepada orang tua, para pengasuh,


keluarga dan pasien tentang DA. Jelaskan bahwa penyakit ini
berulang.

• Pengobatan hanya sebatas mengurangi gejala.

• Identifikasi dan singkirkan faktor yang memperberat misalnya sabun


dan deterjen, kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan
terhadap panas atau dingin yang ekstrim.

• Hindari stress.

• Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap


lemak dan mempunyai PH netral.

• Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk


membersihkan bahan kimia tambahan.

42
• Lindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak
memperparah keadaan penyakit.

• Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembap, hindari


pembersih yang mengandung antibakteri.

Khusus:

Sistemik : CTM 1x4 mg (malam)


Loratadine 1x10 mg (pagi)
Topikal : Metilprednisolon 0,1% krim 2x1
Pelembab : Hidrofilik urea cream 10% (setelah mandi)

3.8. Prognosa
Quo ad sanationam : Bonam
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad kosmetikum : Dubia ad Bonam
Quo ad functionam : Bonam

43
RSUD dr. Acmad Mochtar Bukittinggi
Ruangan/Poliklinik: Kulit Dan Kelamin
Dokter: dr. A
SIP No: 185/SIP/2018

Bukittinggi, 12 Desember 2018

R/ Metilprednisolon 0,1% tube No.I

Sue

R/ CTM tab 4 mg No. IV

S1dd tab 1 on

R/ Loratadine tab 10 mg no. IV

S1dd tab 1 om

R/ Hidrofilik urea cream 10% No.I

Sue (setelah mandi)

Pro : An. A

Umur : 14 Tahun

44
BAB IV

PENUTUP

Dermatitis atopic (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis

residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada

bayi (fase infantile) dan bagian fleksura ekstremitas (pada fase anak).

Patogenesis DA sangat kompleks, melibatkan unsur alergi-imunologik dan

non-imunolgik. Factor endogen berupa disfungsi sawar kulit sangat berperan penting

karena memungkinkan penetrasi allergen maupun iritan. Pola pewarisan genetic

multifactor menunjukkan banyak gen yang terlibat dan berperan pada DA. Alel pada

region gen tertentu berkaitan erat dengan fenotip sel dana tau produk

(sitokin/mediator) yang dihasilkan. Factor psikologis merupakan factor yang dapat

memicu atau sebagai dampak perjalanan penyakit DA yang kronik residif serta

mengganggu estetika. Pasien umumnya agresif disertai stress ringan sampai berat.

Patogenesis penting dipahami agar dapat menangani DA secara lebih tepat.

Pengobatan holistic dan komprehensif meliputi medikamentosa dan non

medikamentosa, antara lain menghindari penyebab, memperbaiki sawar kulit, pruritus

dan inflamasi. Konseling perlu dilakukan pada DA yang rekalsitran guna

meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda S,Sularsito SA. Dermatitis Atopik. Dalam: Djuanda A,editor. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke- 6. Jakarta: FK UI; 2007. h.138-47.

2. Jamal ST. Atopic dermatitis: an update review of clinical manifestations and

management strategies in general practice. Bulletin of the Kuwait Institute for

medical specialization.

2007;6;55-62.

3. Williams HC, Chalmers JR, Simpson EL. Prevention of atopic dermatitis. F1000

Medicine Reports. 2012;4:24:1-5.

4. Watson W, Kapur S. Atopic dermatitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology.

2011;7: Suppl 1:S4.

5. Correa MCM, Nebus J. Management of patients with atopic dermatitis: the role of

emollient therapy. Dermatology Research and Practice. 2012;1-15.

6. Schneider L, Tilles S, Lio P, et al. Atopic dermatitis: a practice parameter update

2012. J Allergy Clin Immunol. 2013;131(2):295-9.

7. Brahmana ARB. Gambaran Dermatitis Atopik di Poliklinik Kulit dan Kelamin

RSUD DR.Pringadi Medan Tahun 2008. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara [Internet]. 2010. [Disitasi: 11 Januari 2014]; Tersedia pada:

http://repository.usu.ac.id/bitsream/12345678/3530/5/capter%201.pdf

46

Anda mungkin juga menyukai