Anda di halaman 1dari 32

REFERAT Agustus, 2016

DERMATITIS ATOPIK REKALSITRAN

Disusun Oleh:

Nama : Bulan Putri Pertiwi


NIM : N 111 15 013

Pembimbing Klinik:

dr. Nur Hidayat, Sp.KK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit peradangan kronik hilang
timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada bayi
dan anak, menghilang pada 50% kasus saat remaja tetapi dapat menetap atau
bahkan dimulai pada masa dewasa. Gatal merupakan gejala yang sangat umum
dijumpai pada DA padahal menggaruk akan menambah gambaran klinis bahkan
memperberat keadaan dengan kemungkinan timbulnya infeksi sekunder.1
Dermatitis atopik rekalsiltran adalah kekambuhan yang terjadi >6 kali
dalam setahun, kurang atau tidak responsif terhadap kortikosteroid topikal,
biasanya lebih luas dari tempat predileksi, dapat terjadi generalisata.1
Patogenesis DA sampai saat ini masih banyak yang belum diketahui secara
pasti sehingga belum ada pengobatan yang dapat memberikan kesembuhan total
pada penderita DA. Penatalaksanaan DA saat ini ditujukan terutama untuk
mengurangi tanda dan gejala penyakit, mencegah/mengurangi kekambuhan
sehingga mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama, serta mengubah perjalanan
penyakit. Keberhasilan pengobatan DA memerlukan pendekatan sistematik dan
holistik. Walaupun berbagai cara pengobatan dasar telah digunakan masih banyak
kasus yang refrakter sehingga memerlukan pengobatan khusus.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1
2.1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang
didasari oleh faktor herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif
dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus yang hebat.
Bila residif biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat
bahan kimia atau iritan.2
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat
atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma
bronkhiale, dan konjungtivitis alergika).2
Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu
istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang
mempunyai kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis
alergika, dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika.2
Dermatitis atopik dibagi 2 tipe yaitu: 2
a. Tipe 1 : murni tidak disertai keterlibatan saluran napas, ada 2 tipe yaitu:
1) Intrinsik : tidak terdeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak
terdapat peningkatan IgE total serum.
2) Ekstrinsik : terbukti dengan adanya sensitasi terhadap alergen hirup
dan alergen makanan pada uji kulit dan pada serum.
b. Tipe 2 : bentuk campuran disertai gejala saluran napas dan terdapat
sensitasi IgE.
Dermatitis atopik rekalsiltran adalah dermatitis atopik yang
mengalami kekambuhan >6 kali dalam setahun, kurang atau tidak responsif
terhadap kortikosteroid topikal.1
2.2 Sinonim
Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya :
ekzema konstitusional, fleksural eczema, disseminated neurodermatitis,
prurigo basiler.3

2
2.3 Epidemiologi
Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat
utama di seluruh dunia dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan
prevalensi pada orang dewasa 1-3%. Dermatitis atopik lebih sering terjadi
pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1,5:1 . Dermatitis atopik
sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset dermatitis atopik).
Empat puluh lima persen kasus dermatitis atopik pada anak pertama kali
muncul dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu tahun
pertama dan 85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun.
Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa (late onset dermatitis
atopik), dan pasien ini dalam jumlah yang besar tidak ada tanda-tanda
sensitisasi yang dimediasi oleh IgE.4
D.A cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang
ibu yang menderita atopi akan mengalami D.A pada masa kehidupan tiga
bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh
jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan
meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko
mewarisi D.A lebih tinggi bila ibu yang menderita D.A dibandingkan dengan
ayah. Tetapi, bila D.A yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka
resiko untuk mewariskan untuk anaknya sama saja yaitukira-kira 50%.4,5

3
2.4 Etiopatogenesis
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus
diagnosis DA tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama
memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak
bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus
kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial
dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan
berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat
dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik.2
a. Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.
Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan
kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama
yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis
alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan
dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi. 2,3
Respons Imun Pada Kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan
kulit D.A. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1
menurun. Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita D.A.
bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita D.A.,
ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan
IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila
dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya
penderita D.A., menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak
banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.

4
Lesi kronis D.A. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan
mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-
5, GM-CSF,IL-12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang
akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis D.A. berperan dalam
perkembangan TH1. 2,3
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis
keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y
yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam
keratinosit.2,3
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit D.A. yang dapat
menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke
dalam kulit. 2,3
Pada D.A. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil
hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan
ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel
Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada D.A. memicu
kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada
keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on
activation, normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat
menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin proinflamasi yang lain dari
epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit D.A.2,3
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang
diproduksi oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi
TH1. Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2.
Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya
diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi
IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga
merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel
mas/basofilpada D.A. akan merangsang perkembangan sel TH2. 2,3

5
Sel mononuklear penderita D.A. meningkatkan aktivitas enzim
cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE),
yang akan meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh
sel T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh
penghambat PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit
juga meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan
oleh sel T. 2,3
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita D.A. adalah abnormal,
dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara
selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang
mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen
tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung
IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di
kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk
menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak. 2,3
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE,
yaitu FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI
mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui
reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan
penderita alergi saluran napas kadar ekpresi F ceRI di permukaan SLnya
rendah, sedangkan di lesi ekzematosa D.A. tinggi. Ada korelasi antara
ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL,
reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga ditemukan pada
permukaan sel mas dan monosit. 2,3
Kadar seramid pada kulit penderita D.A. berkurang sehingga
kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis
dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit.
Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen
menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik

6
atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan
tempat yang sensitif. 2,3
Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi
penderita D.A. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum me-
ningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi
reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi
meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4
dan IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson C
sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi
ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1
(vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan
fungsi sel TH1. 2,3
Sel monosit di darah tepi penderita D.A. diaktivasi, mempunyai
insidens apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi
apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya
produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada D.A. Perubahan
sistemik pada D.A. adalah sebagai berikut: 2,3
1) Sintesis IgE meningkat.
2) IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap
makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan auto-
alergen.
3) Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan
monosit meningkat.
4) Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
5) Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
6) Eosinofilia.
7) Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
8) Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
9) Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
10) Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai
peningkatan IL-10 dan PGE2.

7
b. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain
adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan
kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat,
dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan
menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan
rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan
termal akan mengakibatkan rasa gatal. 2,3
c. Faktor-faktor pencetus
1) Makanan
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge
(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat
mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan
alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar
IgE spesifik positif terhadap berbagai macam makanan. Walaupun
demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak
berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut,
oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi
terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya. 2,3

2) Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat
dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau
lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu
rumah (TDR), dimana pada pemeriksaan in vitro (RAST), 95%
penderita DA mengandung IgE spesifik positif terhadap TDR
dibandingkan hanya 42% pada penderita asma di Amerika Serikat.
Perlu juga diperhatikan bahwa DA juga bisa diakibatkan oleh alergen

8
hirup lainnya seperti bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed
di negara-negara dengan 4 musim. 2,3
3) Infeksi kulit
Penderita dengan DA mempunyai tendensi untuk disertai infeksi kulit
oleh kuman umumnya Staphylococcus aureus, virus dan jamur.
Stafilokokus dapat ditemukan pada 90% lesi penderita DA dan jumlah
koloni bisa mencapai 107 koloni/cm2 pada bagian lesi tersebut. Akibat
infeksi kuman Stafilokokus akan dilepaskan sejumlah toksin yang
bekerja sebagai superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T,
yang selanjutnya melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita DA
dan disertai infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap
kuman Staphylococcus dan steroid topikal. 2,3

2.5 Manifestasi Klinis


Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopik, yaitu bentuk infantil, bentuk
anak, dan bentuk dewasa. 2,3
a. Bentuk infantil (2 bulan - 2 tahun)
Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi
daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Bentuk ini
berlangsung sampai usia 2 tahun. Predileksi pada muka lebih sering pada
bayi yang masih muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul pada
bayi sel sudah merangkak. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah
vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang
infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok sel bayi gelisah
dan rewel dengan tidur yang terganggu. Pada sebagian penderita dapat
disertai infeksi bakteri maupun jamur. 2,3,6

9
b. Bentuk anak (3 - 11 tahun)
Seringkali bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantil, walaupun
diantaranya terdapat suatu periode remisi. Gejala klinis ditandai oleh kulit
kering (xerosis) yang lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah
fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita. 2,3,6

c. Bentuk remaja dan dewasa (12 - 30 tahun)


DA bentuk dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Umumnya
berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas dan
ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis kronik dengan gejala utama
likenifikasi dan skuamasi. 2,3,6

10
2.6 Diagnosis

Hanifin dan Lobitz (1977) menyusun petunjuk yang sekarang diterima


sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis DA Mereka mengajukan berbagai
macam kriteria yang dibagi dalam kriteria mayor dan kriteria minor.7
Dermatitis atopik dikenal sebagai gatal yang menimbulkan kelainan
kulit, bukan kelainan kulit yang menimbulkan gatal. Tetapi belum ada
kesepakatan pendapat mengenai hal ini, karena pada pengamatan, lesi di
muka dan punggung bukan diakibatkan oleh garukan, selain itu dermatitis
juga terjadi pada bayi yang belum mempunyai mekanisme gatal-garuk. 7

Kriteria diagnosis dermatitis atopik dari Hanifin dan Lobitz (1977): 7


Kriteria Mayor ( > 3)
- Pruritus dengan Morfologi dan distribusi khas :
- dewasa : likenifikasi fleksura
- bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor
- Dermatitis bersifat kronik residif

11
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Kriteria Minor ( > 3)
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks)
- Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki
- Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mammae
- White dermatografism dan delayed blanched response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat dan eritema
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi
- Tes alergi kulit tipe dadakan positif
- Kadar IgE dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini
Untuk mendiagnosis dermatitis atopik harus ada 3 kriteria mayor 3
kriteria minor.

12
Kriteria mayor

Gambar 1. Dermatitis pada muka dan fleksura

Kriteria minor

Gambar 2. Kriteria Minor

13
Untuk bayi kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu: 7,8

Tiga kriteria mayor berupa:

Riwayat atopi pada keluarga

Dermatitits di muka atau ekstensor

Pruritus

Ditambah tiga kriteria minor:

Xerosis/ iktiosis/ hiperliniaris palmaris

Aksentuasi perifolikular

Fisura belakang telinga

Skuama di skalp kronis

Kriteria William untuk dermatitis atopik:2

I Harus ada:
Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)
I Ditambah 3 atau lebih tanda berikut
I 1. Riwayat perubahan kulit/ kering di fosa kubiti, fosa poplitea,
bagian anterior dorsum pedis atau seputar leher ( termasuk
kedua pipi pada anak < 10 tahun )
2. Riwayat asma atau hay fever pada anak ( riwayat atopi pada
anak < 4 tahun pada generasi-1 dalam keluarga
3. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
4. Dermatitis di fleksural ( pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada

14
anak < 4 tahun )
5. Awitan dibawah umur 2 tahun ( tidak dinyatakan pada anak < 4
tahun )

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat
dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya
ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi
terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh
karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh
William memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka
menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis D.A. yang dapat diulang
dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan
sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas
membuat diagnosis.2

Gambar 3. Tempat Predileksi Dermatitis Atopik

15
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a.Dermatografisme putih, untuk melihat perubahan dari rangsangan goresan
terhadap kulit
b. Percobaan asetilkolin akan menimbulkan vasokonstriksi kulit yang
tampak sebagai garis pucat selama satu jam.
c.Uji kulit dan IgE-RAST
Pemeriksaan uji tusuk dapat memperlihatkan allergen mana yang
berperan, namun kepositifannya harus sejalan dengan derajat kepositifan
IgE RAST ( spesifik terhadap allergen tersebut). Khususnya pada alergi
makanan, anjuran diet sebaiknya dipertimbangkan secara hati-hati setelah
uji tusuk, IgE RAST dan uji provokasi. Cara lain adalah dengan double
blind placebo contolled food challenges (DPCFC) yang dianggap sebagai
baku emas untuk diagnosis alergi makanan.
d. Peningkatan kadar IgE pada sel langerhans
Hasil penelitian adanya IgE pada sel Langerhans membuktikan
mekanisme respon imun tipe I pada dermatitis atopik, adanya pajanan
terhadap allergen luar dan peran IgE di kulit.
e.Jumlah eosinofil
Peningkatan jumlah eosinofil di perifer maupun di jaringan kulit
umumnya seirama dengan beratnya penyakit dan lebih banyak ditemukan
pada keadaan yang kronis.
f. Faktor imunogenik HLA
Walaupun belum secara bermakna HLA-A9 diduga berperan sebagai
faktor predisposisi intrinsik pasien atopik. Pewarisan genetiknya bersifat
multifaktor. Dugaan lain adalah kromosom 11q13 juga diduga ikut
berperan pada timbulnya dermatitis atopik.
g. Kultur dan resistensi
Mengingat adanya kolonisasi Stapylococcus aureus pada kulit pasien
atopik terutama yang eksudatif (walaupun tidak tampak infeksi sekunder),

16
kultur dan resistensi perlu dilakukan pada dermatitis atopik yang
rekalsitran terutama di rumah sakit di kota besar.
h. Uji Tempel pada kasus kronik rekalsitran
Uji tempel pada kasus kronik rekalsitran berharga dilakukan untuk
eksklusi dermatitis kontak yang menyertai. Pada laporan kasus di India,
kurang dari separuh dari 50 pasien memberikan uji tempel positif terhadap
koloponi, nitrofurazon, neomisin sulfat, dan nikel sulfat. Level IgE normal.8

2.8 Diagnosis Banding

Penyakit Gambaran klinis


Dermatitis Seboroik Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted
nail
Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Dermatitis kontak Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat
keluarga tidak ada
Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau
Sistemik Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak
sesuai dengan penyakit
Dermatitis Vesikel berkelompok di daerah lipatan
herpetiformis
Dermatofitosis Plak dengan central healing, KOH negatif
Penyakit Riwayat infeksi berulang.2,6,8
Immmunodefisiensi

2.9 Penatalaksanaan
a. Umum
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap
individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor
tersebut.9

17
1) Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol,
astringen, pemutih, dll).
2) Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban
tinggi.
3) Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.
4) Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan
DA.
5) Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi,
seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu.
6) Menghindarkan stres emosi.
7) Mengobati rasa gatal.
b. Khusus
1) Pengobatan topikal
a) Hidrasi kulit
Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih
baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel
terhadap mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab
dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang
mengandung asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%.
Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah mandi.
b) Kortikosteroid topical
Walau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi
harus berhati-hati karena efek sampingnya yang cukup banyak.
Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah
intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi
menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas
penyakit telah terkontrol. Kortikosteroid diaplikasikan intermiten,
umumnya dua kali seminggu.
c) Imunomodulator topikal

18
(1) Takrolimus
Bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam
bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2 15 tahun dan dewasa
0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak
ditemukan efek samping kecuali rasa terbakar setempat.
(2) Pimekrolimus
Yaitu suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator
golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan
takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman
pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari.

(3) Preparat ter


Mempunyai efek anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit.
Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik misalnya mengandung
liquor carbonat detergent 5% - 10% atau crude coaltar 1% -
5%.
d) Antihistamin
Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi
kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin
5% dalam jangka pendek (1minggu) dapat mengurangi gatal tanpa
sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek
samping sedatif.9

2) Pengobatan sistemik
a) Kortikosteroid
Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut.
Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-
seling. Dosis diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka

19
panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba
dihentikan akan timbul rebound phenomen.
b) Antihistamin
Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin
harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik,
aktifitas penderita dll. Anti histamin yang mempunyai efek sedatif
sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan aktifitas disiang
hari (seperti supir). Pada kasus sulit dapat diberi doxepin
hidroklorid 10-75 mg/oral/2 x sehari yang mempunyai efek anti
depresan dan blokade reseptor histamine H1 dan H2.

c) Anti infeksi
Pemberian antibiotika berkaitan dengan ditemukannya
peningkatan koloni Staphylococcus aureus pada kulit penderita
DA. Dapat diberi eritromisin, asitromisin atau kaltromisin. Bila
ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 10
hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari.
d) Interferon
IFN bekerja menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan
proliferasi sel TH1. Pengobatan IFN rekombinan menghasilkan
perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total
dalam sirkulasi.
e) Siklosporin
Adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan
terikat dengan calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan
menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan.
Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu singkat, bila obat
dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya

20
adalah peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi
penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.
f) Terapi sinar (phototherapy)
Dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra violet
atau kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi
lebih baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada
SL dan eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek
imunosupresif dengan cara memblokade fungsi SL dan mengubah
produksi sitoksin keratinosit.
g) Antimetabolit
Mycophenolate mofetil adalah inhibitor biosintesis purin yang
digunakan sebagai imunosupresan pada transplantasi organ, telah
pula digunakan dalam terapi penyakit kulit inflamatori. Studi open
label melaporkan MMF oral (2 g/h) jangka pendek, dan
monoterapi menghasilkan penyembuhan lesi kulit DA dewasa
yang resisten terhadap obat lain (steroid oral dan topical, PUVA).
Obat tersebut ditoleransi baik (hanya 1 pasien mengalami retinitis
herpes). Supresi sumsum tulang (dose-related) pernah dilaporkan.
Bila obat tidak berhasil dalam 4-8 minggu, obat harus dihentikan.
h) Allergen immutherapy
Imunoterapi dengan aeroallergen tidak terbukti efektif dalam terapi
DA. Penelitian terbaru, imunoterapi spesifik selama 12 bulan pada
dewasa dengan DA yang disensitasi dengan alergen dust mite
menunjukkan perbaikan pada SCORAD dan pengurangan
pemakaian steroid.
i) Probiotik
Pemberian probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain GG) saat
perinatal, menunjukkan penurunan insiden DA pada anak berisiko
selama 2 tahun pertama kehidupan. Ibu diberi placebo atau

21
lactobasilus GG perhari selama 4 minggu sebelum melahirkan dan
kemudian baik ibu (menyusui) atau bayi terus diberi terapi tiap
hari selama 6 bulan. Hasil di atas menunjukkan bahwa lactobasilus
GG bersifat preventif yang berlangsung sesudah usia bayi. Hal ini
terutama didapat pada pasien dengan uji kulit positif dan IgE
tinggi.9

c. Terapi terkini untuk dermatitis atopik rekalsitran


Pemberian Tofacitinib pada sebuah penelitian dilaporkan pada
tahun 2015. Penelitian prospektif dilakukan pada enam pasien dengan
dermatitis atopik rekalsitran. Terapi sistemik lainnya dihentikan
setidaknya 2 minggu sebelum memulai tofacitinib, kecuali untuk
prednison dosis rendah pada satu pasien dengan pruritus parah. Dosis
tofacitinib yang ditentukan adalah 5 mg, dua kali sehari (dosis yang
disetujui untuk rheumatoid arthritis), kecuali pada satu pasien yang
diberikan hanya sekali sehari. Hasil penelitian ditentukan berdasarkan
Skoring Dermatitis Atopik (SCORAD) sebelum dan setelah terapi.
Hasil SCORAD menurun secara signifikan dari 54,8% menjadi
36,5% selama periode observasi awal dan menjadi 12,2% selama periode
kedua pengamatan ( P <0,05). Selain itu, ada penurunan serupa dalam
skor pruritus dan penilaian waktu tidur. Para pasien tidak mengalami efek
samping. Sampai saat ini, terapi ini mungkin dipertimbangkan untuk
pasien dermatitis atopik yang tidak berespon dengan terapi topikal,
fototerapi, atau berbagai penekan kekebalan tubuh (immunosupresan).10

22
Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit
Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh kepada keluarga
Algoritma penatalaksanaan dermatitis atopik:2
Pelembab, edukasi

Mengatasi prurits danTerapiinflamasi


ajuvan
akut
Remisi penyakit Kortikosteroid topikal atau
(tidak ada tanda
Penghambat dan gejala)
kalsineurin topikal Pimekrolimus 2 Hindari
kali sehari atau Takrolimus
faktor-faktor 2k
pencetus

Infeksi bakterial: antibiotik ora

Infeks viral: terapi antiviral

Terapi pemeliharaan Intervensi psikologis


Untuk penyakit persisten dan atau sering kambuh
Pada tanda dini rekurensi gunakan penghambat kalsineurin topikal untuk mencegah progresivitas penyakit Pimekrolimus
antihistamin
Penggunaan penghambat kalsineurin topikal jangka waktu lama untuk pemeliharaan
kortikosteroid topikal secara intermiten

Penyakit berat dan refrakter


Fototerapi
Kortiosteriid topikal poten
Siklosporin
Metotreksat 23
Kortiosteroid oral
Azatioprin
Psikoterapi
2.10 Komplikasi
a. Problem mata
Dermatitis palpebra dan blefaritis kronik dapat menyebabkan
gangguan visus dan skar kornea. Keratokonjungtivitis atopik biasanya
bilateral dan menimbulkan gejala gatal, terbakar, keluar air mata dan
sekresi mukoid. Keratokonus adalah deformitas konikal kornea akibat
gosokan kronik. Katarak dilaporkan terjadi pada 21% pasien DA berat.
Belum jelas apakah ini akibat manifestasi primer DA atau sebagai akibat
pemakaian ekstensif steroid topical dan sistemik.11
b. Infeksi
DA dapat mengalami komplikasi infeksi virus berulang yang
merupakan refleksi dari defek local fungsi sel T. Infeksi virus yang paling
serius adalah akibat infeksi herpes simpleks, menghasilkan Kaposi
varicelliform eruption atau eczema herpeticum. Setelah inkubasi 5-12
hari, lesi vesikopustular, multipel dan gatal timbul dalam pola diseminata;
lesi vesikuler ber umbilated dan cenderung berkelompok, dan sering
mengalami perdarahan dan berkrusta, menghasilkan erosi punch-out dan

24
sangat nyeri. Lesi dalam bergabung menjadi area besar (dapat seluruh
tubuh) yang mengelupas dan berdarah.11

Gambar 4. Eksema herpetikum.


Vaksinasi smallpox pada pasien DA (bahkan pajanan pasien dengan
individu yang mendapat vaksinasi), dapat menyebabkan erupsi luas berat
(eczema vaccinatum) yang tampak sangat mirip dengan eczema
herpeticum.11
Pasien DA menunjukkan peningkatan prevalensi infeksi T rubrum
dibandingkan kontrol nonatopik. Antibodi (IgE) terhadap M furfur biasa
dijumpai pada pasien DA, sebaliknya jarang pada kontrol normal dan
pasien asmatik. M furfur dan dermatofit lain penting karena setelah terapi
anti jamur, akan terjadi penurunan keparahan kulit DA.11
Staphylococcus aureus dijumpai pada > 90% lesi kulit DA. Krusta
kuning madu, folikulitis, pioderma dan pembesaran KGB regional,
merupakan indikasi adanya infeksi sekunder (biasanya oleh
Staphylococcus aureus) dan memerlukan terapi antibiotik. Pentingnya
Staphylococcus aureus pada DA didukung oleh observasi bahwa pasien
DA berat, walaupun tanpa infeksi berat, dapat menunjukkan respon klinis
terhadap terapi kombinasi dengan antibiotik dan steroid topikal.11
c. Dermatitis/eritroderma eksfoliatif

25
Komplikasi ini terjadi akibat superinfeksi, seperti S aureus penghasil
toksin atau infeksi herpes simpleks, iritasi berulang, atau terapi yang tidak
mencukupi. Pada beberapa kasus, penghentian steroid sistemik yang
dipakai mengontrol DA berat dapat menjadi factor pencetus eritroderma
eksfoliatif.11

2.11 Prognosis
Sulit meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Prognosis lebih
buruk bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan
spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja.
Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan
D.A. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun
sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada
yang melaporkan bahwa 84% D.A. anak berlangsung sampai masa remaja.
Ada pula laporan, D.A. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20%
menghilang, dan 65 % berkurang gejalanya. Lebih dari separo D.A. remaja
yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa.2,8
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik D.A. yaitu:8
a. DA luas pada anak
b. Menderita rhinitis alergik dan asma bronkial
c. Riwayat D.A. pada orang tua atau saudara kandung
d. Awitan (onset) D.A. pada usia muda
e. Anak tunggal
f. Kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen D.A. infantil akan berkembang
menjadi asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko
menderita dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan.2

26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Dermatitis atopik adalah salah satu dari sepuluh besar penyakit yang
sering terjadi, karenanya perlu pemahaman yang lebih mendalam. Selain
karena Dermatitis atopik dapat menyembuh dengan bertambahnya usia,
tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan memberat sampai usia
dewasa.
b. Dermatitis atopik rekalsiltran adalah kekambuhan yang terjadi >6 kali
dalam setahun, kurang atau tidak responsif terhadap kortikosteroid
topikal, biasanya lebih luas dari tempat predileksi, dapat terjadi
generalisata.
c. Dalam penegakan diagnosisnya pun, dermatitis atopik tidaklah terlalu sulit
namun juga tidak mudah. Karena kadang gejala dan ujud kelainan
kulitnya tidak khas. Namun kita sebagai dokter perlu mengetahui dan
memahaminya, sehingga diharapkan mampu mendiagnosis dan
memberikan terapi yang tepat terhadap pasien, oleh karena itu dermatitis
atopik perlu mendapat perhatian karena hingga saat ini belum bisa

27
disembuhkan, yang dilakukan hanya mengurangi dan menghilangkan
gejala.
d. Pemberian Tofacitinib dapat diberikan sebagai terapi untuk dermatitis
atopik rekalsitran.

3.2 Saran
Penting untuk mengetahui cara mendiagnosa dermatitis atopik rekalsitran
dengan tepat sehingga dengan demikian penanganan dapat teratasi dengan
tepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kariosentono, Harijono. Dermatitis atopik ( Eksema ) Dari gejala klinis, Reaksi


atopik, Peran eosinofil, Tungau debu rumah, Sitokin sampai kortikosteroid pada
penatalaksanaannya. UNS Press, Solo.2006.
2. Linuwih, Sri. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi VII. Balai Penerbit FK
UI, Jakarta, 2015.
3. Baratawijaya, K.G. Imunologi Dasar. Jakarta: FK UI. 2010.
4. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. EGC, Jakarta,
2004.
5. Judarwanto, Widodo dr. Dermatitis Atopik. Childrens Allergy Clinic.
http//www.childrenallergyclinic. Wordpress. Com.
6. Daili, Emmy S. Sjamsoe; Menaldi, Sri Linuwih; Wisnu, I Made. 2009. Panduan
Bergambar Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fkui/Rsupn Cipto Mangunkusumo. PT Medical
Multimedia Indonesia. Jakarta Pusat
7. Hanifin JM, Rajka G. Diagnostic features of atopik dermatitis. Acta Dem
Venereol 1980;92:44.
8. Leung DY et al. New insights into atopik dermatitis. J Clin Invest
2010;113:651.
9. Chair co, et.al,. 2013. Guidelines of care for the management of atopik
dermatitis Section 1. Diagnosis and assessment of atopik dermatitis . Hospitals

28
NHS Trust, Nottingham; Department of Dermatology, University of Alabama at
Birmingham; National Eczema Association,p San Rafael; American Academy
of Dermatology,q Schaumburg; and the Department of Dermatology,r Seattle
Childrens Hospital. American Academy of Dermatology, Inc.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2013.10.010
10. Levy LL et al. Treatment of recalcitrant atopic dermatitis with the oral Janus
kinase inhibitor tofacitinib citrate. J Am Acad Dermatol 2015 Sep; 73:395.
(http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2015.06.045).
11. Barnes. 2008. Dermatitis Atopic Basic Mechanisms And Clinical Management,
2nd ed. Academic Press.

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Bulan Putri Pertiwi


No. Stambuk : N 111 15 013
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Referat : Dermatitis Atopik Rekalsitran
Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


RSUD Undata Palu
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Tadulako

29
Palu, Agustus 2016

Pembimbing Klinik Mahasiswa

(dr. Nur Hidayat, Sp.KK) (Bulan Putri Pertiwi)

DAFTAR ISI
ii

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2
2.1 Definisi....................................................................................... 2
2.2 Sinonim ..................................................................................... 3
2.3 Epidemiologi ............................................................................. 3
2.4 Etiopatogenesis........................................................................... 4
2.5 Manifestasi Klinis...................................................................... 9
2.6 Diagnosis.................................................................................... 11
2.7 Pemeriksaan Penunjang.............................................................. 15
2.8 Diagnosis Banding..................................................................... 17
2.9 Penatalaksanaan......................................................................... 17
2.10...................................................................................................Kompl
ikasi............................................................................................ 24

30
2.11...................................................................................................Progno
sis................................................................................................ 25
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 27
3.1 Kesimpulan................................................................................. 27
3.2 Saran........................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. .. 28

iii

31

Anda mungkin juga menyukai