Anda di halaman 1dari 19

Referat

DERMATITIS ATOPIK

Pembimbing :
dr. Heryanto Syamsudin, Sp.KK

Oleh :
Nama : M. Hafidz Ramadhan
NIDM : 2306.834.2011

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


KEPANITERAAN KLINIK RSIJ SUKAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkanpuji syukur kehadirat ALLAH SWT, penulis telah berhasil
menyelesaikan Referat ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin RSIJ Sukapura DERMATITIS ATOPIK.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing yaitu dr. Heryanto Syamsudin, Sp.KK, atas bimbingan dan arahanya sampai
terselesaikan Referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran yang bersifat membangun penulis sangat harapkan guna perbaikan
dikemudian hari.
Harapan penulis semoga Referat ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan
serta dapat berguna untuk diterapkan dilapangan.

Jakarta, Maret 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang bersifat kronis dan residif yang umumnya
terjadi pada masa bayi dan anak dan dapat berlanjut hingga dewasa. Dermatitis atopik
merupakan beban untuk keluarga maupun komunitas. Dermatitis atopik akan berdampak pada
menurunnya kualitas tidur, waktu kerja yang hilang, biaya, dan waktu untuk berobat.
Penyakit ini sering berhubungan dengan disfungsi sawar kulit dan sensitisasi alergi yang
cenderung bersifat diturunkan, serta berhubungan dengan hipersensitivitas seperti asma dan
rinitis alergi. Dermatitis atopik merupakan manifestasi keadaan ini pada kulit.1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis menurut kriteria Hanifin dan
Rajka ditunjang dengan temuan laboratorium berupa peningkatan kadar IgE total dan
eosinofil. Hasil pengobatan pada dermatitis atopik sulit untuk diprediksi dan penyakit ini
cenderung menjadi lebih berat dan persisten pada anak. Keberhasilan terapi pada dermatitis
atopik memerlukan pendekatan sistematis dan menyeluruh, termasuk hidrasi kulit, terapi
farmakologis, serta identifikasi dan eliminasi faktor pencetus seperti iritan, alergen, infektan
dan stres emosional. Terapi bersifat individual, sesuai pola reaksi kulit dan faktor pemicu
yang khas pada tiap individu. Dermatitis atopik yang refrakter terhadap pengobatan
konvensional, memerlukan terapi alternatif seperti anti inflamasi dan imunomodulator.2

BAB II
DERMATITIS ATOPI
DEFINISI
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita
(dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale, dan konjungtivitis alergika). 3 Banyak
istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya : ekzema konstitusional, fleksural
eczema, disseminated neurodermatitis, prurigo basiler.3
Dermatitis atopik, atau eczema atopik adalah penyakit inflamasi kulit kronis dan
residif yang gatal yang ditandai dengan eritema dengan batas tidak tegas, edema, vesikel, dan
madidans

pada

stadium

akut

dan penebalan kulit (likenifikasi) pada stadium kronik

dan sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi
keluarga dan gangguan atopi lainnya seperti rhinitis alergika dan asma bronkial.3,4 Rajka
mendefinisikan dermatitis atopik adalah suatu inflamasi yang spesifik pada kompartemen
dermo-epidermal,terjadi pada kulit atopik yang bereaksi abnormal, dengan manifestasi klinis
timbulnya gatal dan lesi kulit inflamasi bersifat eczematous.1
EPIDEMIOLOGI
Dermatitis atopik

merupakan penyakit kulit yang sering menyerang anak-anak

dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3% di
Amerika, Jepang, Eropa, Australia, dan negara industri lain. Sedangkan pada negara agraris
seperti Cina dan Asia Tengah prevalensi dermatitis atopi lebih rendah. 3,5 Di Indonesia, angka
prevalensi kasus dermatitis atopik menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) yaitu
sebesar 23,67% dimana dermatitis atopic menempati peringkat pertama dari 10 besar penyakit
kulit anak. Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio
kira-kira 1,3:1.2. Pada anak, sekitar 45% kasus dermatitis atopic muncul dalam 6 bulan
pertama kehidupan, 60% muncul dalam tahun pertama kehidupan, dan 85% kasus muncul
sebelum usia 5 tahun.6
Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset dermatitis
atopic). Sekitar 45% kasus dermatitis atopic anak muncul dalam 6 bulan pertama kehidupan,

60% muncul dalam tahun pertama kehidupan, dan 85% kasus muncul sebelum usia 5
tahun. Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita dermatitis atopik anak, akan mengalami
remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa (late
onset dermatitis atopic ).6
Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi maka lebih
dari seperempat anaknya akan menderita Dermatitis atopik pada 3 bulan pertama. Bila salah
satu orang tua menderita atopi maka lebih separuh anaknya menderita alergi sampai usia 2
tahun dan bila kedua orang tua menderita atopi, angka ini meningkat sampai 75 %.4,6
ETIOPATOGENESIS
Etiologi dan patogenesis dermatitis alergi sampai saat ini belum diketahui dengan
jelas namun berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis dermatitis alergi. Faktor
penyebab dermatitis atopik merupakan kombinasi faktor genetik (turunan) dan lingkungan
seperti kerusakan fungsi kulit,

infeksi,

stres,

dan

lain-lain. Konsep dasar terjadinya

dermatitis atopik adalah melalui reaksi imunologi yang diperantarai oleh sel sel yang
berasal dari sumsum tulang.7
Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas akibat
peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit yang relatif kering
(disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Faktor eksogen pada DA, antara lain adalah
trauma fisik-kimia-panas, bahan iritan, allergen debu, tungau debu rumah, makanan (susu
sapi, telur), infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta
hygiene lingkungan. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan
faktor eksogen cenderung menjadi faktor pencetus.8
Kadar IgE dalam serum penderita dermatitis atopik dan jumlah eosinofil dalam darah
perifer umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis
atopik dengan alergi pada saluran pernapasan, karena 80% anak dengan dermatitis atopik
mengalami asma bronkial, arau rinitis alergika.4,7,8
Respons Imun Pada Kulit4,5
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit D.A. Jumlah TH2
lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1 menurun. Pada kulit 'normal' (tidak ada
kelainan kulitnya) penderita D.A. bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan
penderita D.A., ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila dibandingkan dengan
kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya penderita D.A., menunjukkan jumlah yang

lebih besar sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut
tidak banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12. Lesi kronis
D.A. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi
jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-5, GM-CSF,IL-12, dan IFN-y, meningkat bila
dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis D.A. berperan dalam
perkembangan TH1.
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit, sehingga
terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y yang dilepaskan sel T teraktivasi dan
meningkatkan Fas dalam keratinosit. Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit D.A. yang
dapat menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke dalam kulit.
Pada D.A. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih lama dan
menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup
dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada D.A.
memicu kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada keritinosit
epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell
expressed and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin
proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit
D.A.
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang diproduksi oleh
makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1. Subunit reseptor IL-12RP2
diekpresi pada TH1 tidak pada TH2. Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4,
tetapi sebaliknya diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi
IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga merupakan sumber sitokin
tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel mas/basofilpada D.A. akan merangsang
perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita D.A. meningkatkan aktivitas enzim cyclic-adenosine
monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE), yang akan meningkatkan sintesis IgE
oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat
diturunkan oleh penghambat PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga
meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel T.
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita D.A. adalah abnormal, dapat secara
langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif dapat mengaktivasi sel
TH menjadi fenotip TH2. SL yang mengandung IgE meningkat;sel ini mampu
mempresentasikan alergen tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang

mengandung IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di kulit
atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T nai've
sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu FceRII,
FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI mempunyai afinitas kuat untuk
mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada
orang normal dan penderita alergi saluran napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya
rendah, sedangkan di lesi ekzematosa D.A. tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan
FceRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI)
juga ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita D.A. berkurang sehingga kehilangan air
(transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini mempercepat
absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap
alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik atau jalan
udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif.
Respons Sistemik4,5,8
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita D.A.
menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN-y menghambat sintesis
IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di
darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan IL-13
merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson C sehingga terjadi
pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan
pembuluh darah, misalnya VCAM-1 (vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil,
dan menurunkan fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita D.A. diaktivasi, mempunyai insidens apoptosis
spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini
disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada D.A.
Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 tipe: (1) bentuk murni - tidak disertai keterlibatan
saluran pernafasan, dan (2) bentuk campuran - disertai gejala pada saluran pernafasan dan
terdapatnya sensitisasi IgE polivalen terhadap alergen hirup dan alergen makanan.
Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu (a) tipe intrinsik tidak tedeteksi adanya
sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapatya peningkatan IgE total serum, dan (b) tipe ekstrinsik
terdapat bukti sensitisasi terhadap alergen hirup dan alergen makanan pada uji kulit atau
pada serum.

GEJALA KLINIK
Gejala utama dermatitis atopik adalah gatal/pruritus yang muncul sepanjang hari dan
memberat ketika malam hari yang dapat menyebabkan insomnia dan penurunan kualitas
hidup. Rasa gatal yang hebat menyebabkan penderita menggaruk kulitnya sehingga
memberikan tanda bekas

garukan

(scratch

mark)

yang akan diikuti oleh kelainan-

kelainan sekunder berupa papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi
likenifikasi bila proses menjadi kronis. Gambaran lesi eksematous dapat timbul secara akut
(plak eritematosa, prurigo papules, papulovesikel), subakut (penebalan dan plak ekskoriasi),
dan kronik (likenifikasi). Lesi eksematous dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan
terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah (weeping)
dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut.1,4,6
Gambaran klinik dermatitis atopik dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan lokaliasasinya
terhadap usia. 4,6,9
1. Dermatitis Atopik Infantil (0 -1 tahun)
Dermatitis atopi sering muncul pada tahun pertama kehidupan dan dimulai
sekitar usia 2 bulan. Jenis ini disebut juga milk scale karena lesinya menyerupai
bekas susu. Lesi berupa plak eritematosa, papulo-vesikel yang halus, dan menjadi
krusta akibat garukan pada pipi dan dahi. Rasa gatal yang timbul menyebabkan anak
menjadi gelisah, sulit tidur, dan sering menangis. Lesi eksudatif, erosi, dan krusta
dapat menyebabkan infeksi sekunder dan meluas generalisata dan menjadi lesi kronis
dan residif.
2. Dermatitis Atopik pada Anak (1- 4 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantile atau timbul sendiri. Pada
umumnya lesi berupa papul eritematosa simetris dengan ekskoriasi, krusta

kecil,

dan likenifikasi. Lesi dapat ditemukan di bagian fleksura dan ekstensor ekstremitas,
sekitar mulut, kelopak mata, tangan dan leher.
3. Dermatitis Atopik pada Anak (4 - 16 tahun)
Pada usia 4-16 tahun dapat dijumpai dermatitis pada tubuh bagian atas dan
wajah. Umumnya muncul dermatitis yang simetris pada area fleksura, tangan, dan
kaki.
4. Dermatitis Atopik pada Dewasa (4 - 16 tahun)
Pada orang dewasa, lesi dermatitis kurang karakteristik, dapat di wajah, tubuh
bagian atas, fleksura, bibir dan tangan. Lesi kering, papul datar, plak likenifikasi

dengan sedikit skuama, dan sering terjadi ekskoriasi dan eksudasi karena garukan.
Terkadang dapat berkembang menjadi eritroderma.

Stres dapat menjadi faktor

pencetus karena saat stres nilai ambang rasa gatal menurun.


Dermatitis atopik dapat disertai berbagai kelainan seperti hiperlinearis palmaris,
xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris, tanda Hertoghe, keilitis,
liken spinulosus, dan keratokonus.4
DIAGNOSIS
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis yang tampak
menonjol, terutama gejala gatal. Dalam perkembangan selanjutnya untuk mendiagnosis
dermatitis atopik digunakan uji alergi yaitu uji tusuk (skin pricktest) dan pemeriksaan kadar
IgE total sebagai kriteria diagnosis. Pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka mengusulkan suatu
kriteria diagnosis dermatitis atopik yaitu terdiri dari 4 kriteria mayor dan 23 kriteria
minor.1,4
Kriteria mayor
-

Pruritus

Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak

Dermatitis di fleksura pada dewasa

Dermatitis kronis atau residif

Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

Gambar 1. Dermatitis pada muka dan fleksura

Kriteria minor

Gambar 2. Kriteria Minor


-

Xerosis

Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)

Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki

lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris

Pitiriasis alba

Dermatitis di papila mame

White dermographism dan delayed blanch response

Keilitis

Lipatan infra orbital Dennie-Morgan

Konjungtivitis berulang

Keratokonus

Katarak subkapsular anterior

Orbita menjadi gelap

Muka pucat atau eritem

Gatal bila berkeringat

Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak

Aksentuasi perifolikular

Hipersensitif terhadap makanan

Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi

Tes kulit alergi tipe dadakan positif

Kadar IgE di dalam serum meningkat

Awitan pada usia dini


Diagnosis D.A. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor. Untuk

bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:


Tiga kriteria mayor berupa:
-

riwayat atopi pada keluarga,

dermatitis di muka atau ekstensor,

pruritus,
ditambah tiga kriteria minor

xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular,

fisura belakang telinga,

skuama di skalp kronis


Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan

pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit
(hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis
populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping
juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability).
Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William
memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk
pedoman diagnosis D.A. yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang
dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu
dokter Puskesmas membuat diagnosis. Pedoman diagnosis D.A. yang diusulkan oleh
kelompok tersebut yaitu2,4:
-

Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya
bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.

Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:

1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan
pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun).
2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi
pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).

3. Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.


4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota
badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.

Laboratorium

Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat dipergunakan untuk
menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat ditemukan pada dermatitis
atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE dalam serum, mengurangnya jumlah sel T
(terutama T-supresor) dan imunitas seluler, jumlah eosinofil dalah darah relatif
meningkat.10
2.

Dermatografisme putih

Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturut-turut
akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna merah
disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa menit.
Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis merah tidak
disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit, sedangkan
edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih.4,10
3.

Percobaan asetil kolin

Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan hyperemia
pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan timbul vasokonstriksi
terlihat kepucatan selama satu jam.4,10
4.

Percobaan histamin

Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi eritema akan
berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut disuntikkan
parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit orang normal.4
DIAGNOSIS BANDING1,3,9
Penyakit
Seboroik dermatitis
Psoriasis
Neurodermatitis
Contact dermatitis

Gambaran klinis
Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail
Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga
tidak ada

Skabies
Sistemik

Papul, sela jari, positif ditemukan tungau


Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai

Dermatitis herpetiforme
Dermatofita
Immmunodefisiensi

dengan penyakit
Vesikel berkelompok di daerah lipata
Plak dengan sentral healing, KOH negatif
Riwayat infeksi berulang

disorder
PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa
Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol atau yang kasar karena dapat mengiritasi
kulit. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari kerusakan kulit (erosi,
eksoriasi) akibat garukan. Gatal dikurangi dengan emolien ataupun kompres basah.2,11
Mandi dengan air hangat teratur dua kali sehari lalu dibilas dengan air biasa dan
menggunakan pembersih yang lembut dan tanpa bahan pewangi akan membersihkan kotoran
dan keringat, juga skuama yang merupakan medium yang baik untuk bakteri.2,5 Keadaan
itu akan meningkatkan penetrasi terapi topikal.5 Hindari sabun atau pembersih kulit yang
mengandung antiseptik/antibakteri yang digunakan rutin karena mempermudah resistensi,
kecuali bila ada infeksi sekunder.2 Dalam tiga menit setelah selesai mandi, pasien
seharusnya mengaplikasikan pelembab untuk memaksimalkan penetrasinya.5 Salap
hidrofilik dengan ceramide-rich barrier repair mixtures akan memelihara kelembaban dan
berfungsi sebagai sawar untuk bahan antigen, iritan, patogen, dan mikroba.5,12-14 Hasil
sebuah penelitian me- nunjukkan bahwa penggunaan pelembab akan mengurangi
penggunaan kortikosteroid hingga 50%.2 Sebuah penelitian pada 100 pasien DA dengan
pelembab urea 5% atau losion urea 10% yang diaplikasikan topikal dua kali sehari efektif
dan aman untuk memperbaiki gejala DA derajat ringan- sedang.1
Berbagai makanan seperti susu, ikan, telur, kacang- kacangan yang dapat
mencetuskan DA harus diidentifikasi secara teliti melalui anamnesis dan beberapa
pemeriksaan khusus. Namun, eliminasi makanan esensial pada bayi/anak harus berhati-hati
karena dapat menyebabkan malnutrisi sehingga sebaiknya diberi makanan pengganti.2
Medikamentosa
Terapi Topikal

Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal merupakan terapi yang paling sering digunakan pada DA di
Amerika Serikat untuk DA fase akut.10,16,17 Terapi kortikosteroid untuk DA bersifat efektif,
relatif cepat, ditoleransi dengan baik, mudah digunakan, dan harganya tidak semahal terapi
alternatif lainnya.17 Pada sebuah penelitian dengan randomized controlled trials pada 83
kasus DA, 80% dilaporkan remisi total. Penelitian pada 231 anak dengan DA menerima terapi
0,05% fluticasone propionate dengan pelembab dua kali perminggu, menunjukkan bahwa pada
pasien kontrol lebih cenderung mengalami relaps.2 Kortikosteroid dengan potensi rendah
cukup bagi anak pada semua lokasi tubuhnya. Hanya sedikit perbedaan hasil terapi pada
penggunaan preparat potensi lemah jangka pendek dan panjang pada anak dengan derajat
penyakit ringan sedang.16 Efek samping yang dapat terjadi walaupun jarang adalah
terhambatnya pertumbuhan oleh supresi adrenal karena absorbsi sistemik, namun belum ada
bukti yang menyatakan bahwa penggunaan kortikosteroid pada anak mempengaruhi
pertumbuhan tinggi badan.16 Dibutuhkan penelitian lebih lanjut apakah penggunaan steroid
dua kali sehari lebih efektif dibandingkan sekali sehari.16,17
Inhibitor Kalsineurin Topikal2,16,17
Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah terbukti efektif. Sebuah penelitian dengan
takrolimus 0,1%, dikatakan mempunyai potensi yang sama dengan kortikosteroid topikal.
Kelebihan inhibitor kalsineurin topikal dibandingkan dengan kortikosteroid adalah tidak
menyebabkan penipisan kulit, namun pada penggunaan awal akan menimbulkan sensasi
terbakar di kulit. Takrolimus tersedia dalam bentuk salap 0,03% dan 0,1% untuk DA derajat
sedang hingga berat. Kadar 0,03% dapat digunakan untuk anak usia 2-15 tahun. Krim
pimekrolimus 1% diindikasikan untuk DA derajat ringan hingga sedang pada pasien diatas
usia 2 tahun. Penggunaan takrolimus dan pimekrolimus dua kali sehari terbukti aman, dengan
respon klinis pada anak dan dewasa akan terjadi dalam 1 minggu setelah terapi. Oleh karena
itu dapat digunakan di wajah serta daerah lipatan kulit (aksila, leher, inguinal) dan kulit yang
tipis (wajah, kelopak mata). Selain efek samping rasa terbakar pada kulit, juga eritem dan
pruritus. Belum ada bukti peningkatkan risiko hipertensi dan neurotoksik, namun
dibutuhkan penelitian dalam waktu jangka panjang untuk selanjutnya.
Ter2,16
Preparat ter batubara mempunyai efek anti-gatal dan anti-inflamasi, walaupun tidak
sekuat kortikosteroid topikal. Sampo yang mengandung ter dapat digunakan untuk lesi di

skalp. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis
detergen 5% sampai 10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.
Preparat ter sebaiknya tidak digunakan pada lesi akut karena dapat menyebabkan iritasi.
Efek sampingnya antara lain folikulitis, fotosensitivitas, dan potensi karsinogenik.
Antihistamin2,4
Pengobatan D.A. dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena berpotensi kuat
menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5%
dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi
perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif.
Hidrasi kulit2,4
Kulit penderita D.A. kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak sehingga
mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang
demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%; dapat pula
ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung
asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya
masih aktif. Setelah mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab.
Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam.
Strategi Terapi Kombinasi2,5
International Consensus Conference on Atopikc Dermatitis II (ICCAD II)
merekomendasikan kortikosteroid topikal untuk mengatasi eksaserbasi akut/flare, sedangkan
inhibitor kalsineurin topikal digunakan secara intermiten untuk terapi pemeliharaan.
Penelitian pada ko-aplikasi betametason valerat dengan takrolimus atau pimekrolimus
meningkatkan

penetrasi

keduanya

sehingga

efektifitasnya

meningkat.

Kombinasi

kortikosteroid dan antibiotik topikal dapat diberikan pada lesi dengan infeksi ringan.
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai terapi kombinasi dan untuk menetapkan
dosis optimal untuk kombinasi kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin atau alteransi.
Terapi Sistemik
Kortikosteroid2,4
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam
jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan
bertahap (tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian

jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih
berat akan muncul kembali.
Antihistamin2,4
Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama
malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah
yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang
lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan
memblokade reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam
hari pada orang dewasa.
Anti-infeksi2,4
Pada D.A. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang belum resisten dapat
diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten
diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid dihentikan
sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari selama 10 hari, atau 200 mg
4 kali per hari selama 10 hari.
Interferon2,4
IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2.
Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat
menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
Siklosporin2,4
D.A. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan
dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5
mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada
sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang
akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila pengobatan
dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera kambuh lagi. Efek
samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin dalam serum, atau bahkan terjadi
penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.
TERAPI SINAR (phototherapy) 2,4,16
Untuk D.A. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA (photochemotherapy) seperti
yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif.
Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel

Langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara
memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.
PROGNOSIS
Sulit meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua
orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan
sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30
tahun. Penyembuhan spontan D.A. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi
setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya
juga ada yang melaporkan bahwa 84% D.A. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada
pula laporan, D.A. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang,
dan 65 % berkurang gejalanya. Lebih dari separo D.A. remaja yang telah diobati kambuh
kembali setelah dewasa.4,8
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk D.A. yaitu7:
-

DA luas pada anak

menderita rinitis alergik dan asma bronkial

riwayat D.A. pada orang tua atau saudara kandung

awitan (onset) D.A. pada usia muda

anak tunggal

kadar igE serum sangat tinggi.


Diperkirakan 30 hingga 50 persen D.A. infantil akan berkembang menjadi asma

bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita dermatitis kontak
iritan akibat kerja di tangan.2,7

DAFTAR PUSTAKA
1. Kariosentono, H., 2006, Dermatitis Atopik ( Ekzema ) LPP U. N .S., Jawa Tengah :
hlm. 1-15.
2. Sugito TL. Penatalaksanaan terbaru dermatitis atopik. Dalam : Boediardja
SA, Sugito TL, Indriatmi W, Devita M, Prihianti S, editor. Dermatitis atopik.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. hlm.39-55.
3. Solomon WR. Dermatitis atopik dan urtikaria. Dalam: Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2005.
hlm. 191-7.
4. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2011. hlm. 129-53.
5. Spergel JM. Immunology and treatment of atopic dermatitis. Am J Clin Dermatol
[online].

2008

[dikunjungi

Maret 2016];

9(4): 233-34. Diunduh dari :

http://www.medscape.com/viewarticle/588548.
6. Bieber T. Atopic dermatitis. J Ann Dermatol [online]. Mei 2010 [dikunjungi Maret
2016]; 22(2): 125-137. Diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2883413.
7. Natalia, Menaldi SL, Agustin T. Perkembangan terkini pada terapi dermatitis atopik. J
Indonesia Medical Association. 2011 [dikunjungi Maret 2016]; 61(7): 299-304.
Tersedia dari: http://indonesia.digitaljournals.org/.
8. Boediardja, S.A., 2006. Etiopatogenesis Beberapa Dermatitis pada Bayi dan Anak.
Dalam: Djajakusumah, T.S., ed. Antiinflamasi Topikal pada Pengobatan Dermatitis
Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 11- 28.

9. Remitz

A,

Reitamo

S.

The clinical manifestations of atopic dermatitis. In:

Reitamo S, Luger TA, Steinhoff M, editors. Textbook of atopic dermatitis. United


Kingdom: Informa Healthcare UK Ltd.; 2008. p.1-12.
10. Jones SL, Mugglestone MA. Management of atopic eczema in children aged up to 12
years: summary of NICE guidance. BMJ. 2007;335:1263-4.
11. Kim HJ. Therapeutic implication of barrier cream. Prosiding Simposium Multi
Lamellar Emulsion (MLE) Moisturizer, The New Platform Technology for Skin
Barrier Function; 2011.
12. Lea Y. Non-steroid treatment for skin barrier function. Prosiding Simposium Multi
Lamellar Emulsion (MLE) Moisturizer, The New Platform Technology for Skin
Barrier Function; Jakarta. Indonesia. 2011.
13. Park BD, Youm JK, Jeong SK, Choi Eh, Ahn SK, Lee SH. The characterization of
molecular organization of multilamellar emulsions containing pseudoceramide and
type III synthetic ceramide. J Invest Dermatol. 2003;12(4):794-801.\
14. Bissonnette R, Maari C, Provost N, Bolduc C, Nigen S, Rougier A, et al. A doubleblind study of tolerance and efficacy of a new ureacontaining moisturizer in patients
with atopic dermatitis. J Cosm Dermatol. 2010;9:16-21.
15. Williams HC. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 2005;352(22): 2314-34
16. Gottlieb AB, Brunswick N. Therapeutic options in the treatment of psoriasis and
atopic dermatitis. Am Acad Dermatol. 2005;53: S3-16
17. Papp KA, Werfel T, Folster-Holst R, Ortonne JP, Potter PC, Prost Y, et al. Long-term
control of atopic dermatitis with pimecrolimus cream 1% in infants and young
children: A twoyear study. Am Acad Dermatol. 2005;52:240-6

Anda mungkin juga menyukai