Disusun Oleh:
Mahdalista Nadhifatul Aisyi 19/451176/FA/12395
Mela Septi Rofika 19/451180/FA/12399
Merry Ella Agustin S. 19/451181/FA/12400
Monica Mutiara A. 19/451183/FA/12402
Nadia Kusuma Putri 19/451188/FA/12407
Natalia Kristanti 19/451192/FA/12411
Nazah Savira 19/451194/FA/12413
Nisrina Hanin Nabila 19/451197/FA/12416
Nisrinan Nabiila Balqis 19/451198/FA/12417
Nisrina Shofiyatul Fuadah 19/451199/FA/12418
A. PENDAHULUAN
Atopic dermatitis adalah penyakit inflamasi kulit kronis yang sebagian besar
terjadi pada anak-anak. Atopic berasal dari kata "Atopy" yang artinya adalah afinitas
untuk mengeluarkan imunoglobulin E (IgE) karena adanya alergen dari lingkungan.
Sedangkan dermatitis menandakan timbulnya peradangan pada kulit. Atopic dermatitis
juga sering disebut dengan istilah eksim atau neurodermatitis (Afshari dkk, 2016).
Atopic dermatitis dapat disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor
internal meliputi; 1) genetik, 2) alergen, dan 3) imunopatologik. Atopic dermatitis pada
balita sebagian besar disebabkan oleh faktor genetik. Jika kedua orangtuanya menderita
atopic dermatitis, maka 81% anaknya berisiko menderita atopic dermatitis. Sedangkan
faktor eksternal meliputi: lingkungan dan hygiene (Boediardja, 2015).
B. PATOFISIOLOGI
D. PENATALAKSANAAN
Terapi Non Farmakologi :
1. Perawatan kulit pasien DA :
- Mandi 1-2x sehari menggunakan air hangat
- Menggunakan sabun yang mengandung pelembab, pH 5,5-6, surfaktan
ringan dan tidak mengandung penwangi dan pewarna
- Pelembab dioleskan segera dalam 3 menit setelah mandi.
2. Memakai pakaian yang ringan, lembut, halus dan menyerap keringat.
3. Menghilangkan faktor presipitasi dan pencetus yaitu :
- Bahan iritan seperti sabun antiseptik, deterjen, disinfektan dan lainnya.
- Bahan alergen seperti tungau debu rumah, binatang peliharaan atau
serbuk bunga
- Suhu ekstrik panas atau dingin
- Makanan : kacang, diary product, telur
- Stress.
4. Mengenali infeksi kulit dan mencari perawatan dengan segera
Terapi Farmakologi
1. Pelembab
Penggunaan pelembab secara rutin merupakan pengobatan lini
pertama pada dermatitis atopik. Pelembab yang direkomendasikan harus
mengandung humektan, emolien dan oklusif.
2. Kortikosteroid Topikal (KST)
Kortikosteroid topikal adalah pengobatan pilihan untuk
menghilangkan inflamasi pada kulit dengan terapi pemeliharaan durasi
yang lebih lama. Penggunaannya dimulai dari potensi paling rendah
yang masih efektif. KST diberikan sesudah mandi sekitar 15 menit
setelah penggunaan pelembab dengan frekuensi pengolesan 1-2x /hari
dan harus tetap digunakan sampai lesi kulit aktif terkontrol (sekitar 14
hari), bila lesi sudah terkontrol frekuensi pemberian KST dapat
dikurangi seperti KST 1x pada pagi hari dan IKT pada sore hari.
Fase Pemeliharaan dermatitis atopic KST digunakan pada daerah
"hot spot" (daerah kulit yang sering timbul lesi) 2 kali seminggu dan
dilanjutkan dengan sekali seminggu (terapi akhit pekan). Untuk lesi
berat pada wajah dan fleksor dikontrol dengan KST potensi sedang
selama 5-7 hari, kemudian diganti dengan KST potensi ringan atau IKT.
Hindari kortikosteroid fluorinated kuat pada wajah, genitalia, dan daerah
intertriginosa serta pada bayi. Menurut potensinya kotrikosteroid dibagi
menjadi 2 yaitu,
- Potensi rendah seperti Hidrokortison 1% cocok untuk wajah
- Potensi sedang seperti Betametason valerat 0,1% dapat digunakan
untuk tubuh. .
3. Inhibitor Kalseurin Topikal (IKT)
Jenis IKT yang dapat diberikan adalah pimecrolimus untuk lesi
inflamasi ringan-sedang dan tacrolimus untuk lesi inflamasi sedang-
berat. IKT digunakan sebagai terapi lini ke-2 untuk pengobatan DA
jangka lama, terapi intermiten, terapi pemeliharaan, bisa KST
merupakan indikasi kontra.
IKT diberikan kepada pasien diatas 2 tahun dengan pemakaian
dioleskan 1-2x sehari. sebelum penggunan IKT dianjurkan
menggunakan tabir surya selama pemakaian. Mereka dapat digunakan
pada semua bagian tubuh untuk jangka waktu lama tanpa menghasilkan
efek samping kortikosteroid. Contoh inhibitor kalseurin topical adalah :
- Salep Tacrolimus 0,03% untuk dermatitis atopik sedang hingga
berat pada pasien usia 2 tahun keatas.
- Salep Tacrolimus 0,1% untuk usia 16 keatas diterapkan dua kali
sehari.
- Krim Pimecrolimus 1% diterapkan dua kali sehari untuk dermatitis
atopik ringan hingga sedang pada pasien yang lebih tua dari usia 2
tahun.
E. EVALUASI PRODUK
F. SIMULASI KASUS
Nyonya P berusia 33 tahun datang ke apotek dengan keluhan ruam merah dan
gatal pada daerah lengan, lipatan siku, dan lipatan lutut. Hal tersebut dialami
sejak seminggu yang lalu. Gatal yang dirasakan bersifat terus-menerus dan
memberat pada malam hari. Pasien belum berobat ke dokter. Riwayat keluarga
dengan keluhan yang sama (-), riwayat penyakit kulit sebelumnya (-), riwayat
pengobatan (-).
Pengembangan Kasus
Keluhan:
- Ruam merah dan gatal pada daerah lengan, lipatan siku, dan lipatan lutut
sejak seminggu yang lalu
- Gatal terus menerus dan memberat di malam hari
Non Farmakologi:
Farmakologi:
Monitoring
A. PENDAHULUAN
Infeksi jamur kulit atau dermatomikosis merupakan penyakit pada kulit, kuku,
rambut dan mukosa yang disebabkan oleh infeksi jamur. Penyakit ini termasuk salah
satu penyebab utama berbagai penyakit kulit di Indonesia karena kelembapan
lingkungan yang tinggi sehingga menjadi tempat tumbuh yang ideal bagi jamur. Faktor
lain yang dapat memicu timbulnya penyakit ini antara lain sanitasi dan personal higiene
yang kurang, yang diperparah dengan penggunaan pakaian yang tidak menyerap
keringat.
Infeksi jamur kulit dapat dibagi atas infeksi superfisialis, infeksi kutan, dan
infeksi subkutan. Infeksi superfisialis merupakan infeksi jamur yang terjadi pada
permukaan kulit. Infeksi superfisialis yang paling sering ditemukan adalah pitiariasis
versikolor. Infeksi kutan merupakan penyakit jamur pada jaringan yang mengandung
zat tanduk seperti kuku, rambut, dan stratum korneum pada epidermis yang disebabkan
oleh golongan jamur dermatofita. Infeksi kutan meliputi dermatofitosis dan kandidosis
kutis. Sedangkan infeksi subkutan merupakan infeksi jamur kronis pada kutis atau sub
kutis yang disebabkan Sporotrichum schenkii. Infeksi subkutan meliputi sporotrikosis,
fikomikosis subkutan, aktinomikosis, dan kromomikosis.
B. PATOFISIOLOGI
Kulit kering atau xerosis ditandai secara klinis dengan kulit yang kasar,
bersisik, dan kulit sering terasa gatal. Kulit kering disebabkan oleh kurangnya
kelembapan pada stratum korneum akibat penurunan kadar air. Kerusakan pada stratum
korneum menyebabkan kadar air dibawah 10% (Sinulingga, 2018). Kulit kering juga
merupakan salah satu tanda dermatitis atopik.
Penyebab kulit kering dipengaruhi oleh faktor endogen (genetik, usia, jenis
kelamin, penyakit kulit dan penyakit sistemik) dan faktor eksogen (suhu dan
kelembapan udara, pajanan bahan kimia, radiasi sinar UV, polusi udara, dan nutrisi)
(Sinulingga, 2018).
Pada prinsipnya ada tiga mekanisme terjadinya kulit kering, yaitu:
1. Kadar air menurun pada stratum korneum
Pada keadaan normal, air mengalir secara difusi dari dermis menuju ke epidermis
melalui dua cara yaitu melalui stratum korneum dan ruang interseluler. Kulit secara
terus-menerus akan kehilangan cairan secara difusi kemudian akan menguap
melalui stratum korneum dan ruang interseluler, keadaan ini dikenal dengan
transepidermal water loss (TEWL). Stratum korneum merupakan barier hidrasi
yang sangat penting dalam mempertahankan kelembapan kulit. Bila daya pengikat
air pada stratum korneum menurun maka stratum korneum akan mengandung
sedikit air sehingga menyebabkan timbulnya skuama dan kulit kering.
2. Menurunnya faktor pelembap alami (Natural Moisturizing Factor)
Kulit mempunyai kemampuan untuk menyimpan kelembapan air sendiri yang
disebut dengan pelembap alami atau Natural Moisturizing Factor (NMF). Stratum
korneum terdiri dari 58% keratin, 30% NMF dan 11% lipid. NMF terdiri dari asam
amino bebas, urea, elektrolit garam dan fraksi gula. NMF memiliki peran yang
penting dalam mengatur kelembapan kulit. Jika NMF menurun akan mengurangi
elastisitas serta kelembapan kulit sehingga kulit menjadi kering.
3. Gangguan keratinisasi
Gangguan keratinisasi menyebabkan perubahan struktur dan kohesi korneosit.
Penurunan kadar air dalam stratum korneum pada kulit kering akan menyebabkan
gangguan deskuamasi abnormal pada korneosit (Sinulingga, 2018).
C. SASARAN DAN TARGET TERAPI
Sasaran Terapi: Jamur Penyebab
Target Terapi:
1. Menghilangkan rasa gatal, burning, dang ketidaknyamanan lainnya
2. Menghambat pertumbuhan jamur penyebab menyebar ke daerah lain
3. Mencegah infeksi berikutnya
(Berardi, 2009)
D. PENATALAKSANAAN
E. EVALUASI PRODUK
Nama Produk Canesten Cream Miconazol Cream
F. SIMULASI KASUS
Seorang mahasiswa laki-laki berumur 21 tahun adalah seorang konselor suatu
kelompok camp anak-anak yang berasal dari pendalaman. Sebagian besar anak-anak
tersebut berasal dari keluarga yang kurang mampu sehingga tidak memperhatikan
kebersihan diri (hygene). Sehingga, sebagian besar anak-anak tersebut menderita
penyakit kulit dan kulit kepala. Tugas laki-laki tersebut bertugas untuk mengawasi
kelas berenang dan aktivitas lain, dia juga bertugas untuk menjaga salah satu pondok
tempat anak-anak itu tidur dan mandi.
Sepulang dari pekerjaannya, ditemukan 7 lesi kulit yang bentuknya khusu dan
kasar pada tubuh pria itu. Berdasarkan pemeriksaan ditemukan lesi dengan diameter
rata-rata 2-8 cm dan memiliki tepi-tepi yang berwarna cerah. Tepi lesi meradang dan
ada sedikit peradangan di tengah. Batas lesi bersisik, sedikit terangkat, dan terlihat
memerah. Pusat-pusat beberapa lesi mengalami hipopigmentasi. Pria tersebut
mengungkapkan bahwa lesi pertama muncul sekitar tiga minggu sebelumnya dan
terus membesar hingga saat ini, cukup gatal, tetapi tidak terlalu menyakitkan. Tanda-
tanda vital pria itu normal, dan tidak ada temuan fisik lainnya.
Keluhan :
- Terdapat lesi pada kulit. Tepi lesi meradang dan ada sedikit peradangan di
tengah
- Batas lesi bersisik, sedikit terangkat, dan terlihat memerah
- Cukup gatal.
Berdasarkan keluhan menunjukkan tinea korporis atau lebih dikenal sebagai
kurap tubuh. Tinea corporis disebabkan oleh berbagai spesies jamur dermatofit,
terutama yang ada dalam genera Trychophyton dan Microsporum. Trichophyton
rubrum adalah agen penyebab yang paling sering ditemui.
Penyebab :
Non – Farmakologi:
- Menjaga hygene
- Memakai pakaian tipis
- Memakai pakaian yang berbahan cotton
- Tidak emamaki pakaian dalam yang terlalu ketat
Terapi Farmakologi:
1. Terapi Topikal
Derivat Azol
a. Krim miconazole 2% dua kali sehari penggunaan untuk 2 minggu.
b. Krim Clortimazole 1% diaplikasikan dengan cara sedikit memijat pada
area yang terkena infeksi dua kali sehari utnuk 2 minggu.
Krim Naftifine 1% 4 kali sehari.
2. Terapi Sistemik
Terapi sistemik hanya digunakan pada kasus-kasus yang sudah parah.
griseofulvin dosis 500 mg sehari selama 3-4 minggu
ketokonazol 200 mg sehari selama 3-4 minggu
itrakonazol 100 mg sehari selama 2 minggu
terbinfin 250 mg sehari selama 2 minggu
Monitoring
Afshari, J.T., Yousefi, M., Salari, R., 2016, Atopic dermatitis and the therapeutic
methods: a literature review, Rev Clin Med, 3(4): 158-162.
Akdis, C.A.,et al., 2006, Diagnosis and treatment in Children and Adult with Atopic
Dermatitis, Journal of Allergy and Clinical Immunology, 118(1), 152-169.
Berardi, R.R., Ferreri, S.P., Hume, A.L., Kroon L.A. & Newton, G.D. 2009. Handbook
of Nonprescription Drugs: An Interactive Approach to Self-Care, American
Pharmacists Association, Washington DC.
Boediarja, S.A., 2015, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Depkes RI, 2014, Dermatitis Atopik, diakese dari http://depkes.go.id.html diakses pada
10 Oktober 2019.
Ervianty. E., Suyoso, S., Widaty, S., Indriatmi, W., Bramono, K., Ramali, L.M., 2013,
Dermatomikosis Superfisialis, Edisi kedua, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Idris, J., dan Yulianti, L., 2010, Penatalaksanaan Lini Pertama Pada Dermatitis Atopik,
EBERS PAPYRUS, 16(3):171-187.
Kim, J., Kim, B. E., dan Leung D.Y.M., 2019, Pathophysiology of atopic dermatitis:
Clinical implications, Allergy Asthma Proc, 40:84 –92.
Kumar, K., Kindo, A.J., Kalyani, J., Anandan, S., 2007, Clinico – mycological profile
of dermatophytic skin infections in a tertiary care center – a cross sectional study,
Sri Ramachandra Journal of Medicine, 2 (1): 12-15.
Pandaleke, T.A., Pandaleke, H.E.J., 2014, Etiopatogenesis Dermatitis Atropi, Jurnal
Biomedik, 6 : (2)
Sinulingga, E. H., 2018, Efektivitas Madu Dalam Formulasi Pelembap Pada Kulit
Kering, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Watson W, dan Kapur S., 2011, Atopic dermatitis, Allergy, Asthma & Clinical
Immunology,7 (S4)