Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH MINOR ILNESS

ATOPIC DERMATITIS & DRY SKIN FUNGAL SKIN INFECTIONS

Disusun Oleh:
Mahdalista Nadhifatul Aisyi 19/451176/FA/12395
Mela Septi Rofika 19/451180/FA/12399
Merry Ella Agustin S. 19/451181/FA/12400
Monica Mutiara A. 19/451183/FA/12402
Nadia Kusuma Putri 19/451188/FA/12407
Natalia Kristanti 19/451192/FA/12411
Nazah Savira 19/451194/FA/12413
Nisrina Hanin Nabila 19/451197/FA/12416
Nisrinan Nabiila Balqis 19/451198/FA/12417
Nisrina Shofiyatul Fuadah 19/451199/FA/12418

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
ATOPIC DERMATITIS

A. PENDAHULUAN

Atopic dermatitis adalah penyakit inflamasi kulit kronis yang sebagian besar
terjadi pada anak-anak. Atopic berasal dari kata "Atopy" yang artinya adalah afinitas
untuk mengeluarkan imunoglobulin E (IgE) karena adanya alergen dari lingkungan.
Sedangkan dermatitis menandakan timbulnya peradangan pada kulit. Atopic dermatitis
juga sering disebut dengan istilah eksim atau neurodermatitis (Afshari dkk, 2016).

Atopic dermatitis merupakan penyakit kulit yang biasanya diturunkan secara


genetik. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering muncul pada
usia bayi dan anak usia dini yang dapat bertahan hingga dewasa ataupun baru muncul
ketika sudah dewasa. Pasien atopic dermatitis akan mengalami gejala seperti kulit
menjadi sangat gatal dan meradang, kemerahan, membengkak, terjadi pembentukan
vesikel (lepuh kecil), kulit pecah-pecah, berkerak, dan bersisik. Selain itu, kulit kering
menjadi gejala umum yang terjadi hampir pada semua pasien atopic dermatitis (Drucker
dkk., 2017).

Atopic dermatitis memiliki prevalensi tertinggi di negara-negara industri yang


mulai muncul sekitar abad ke-19 karena banyaknya jumlah alergen di lingkungan.
Prevalensi atopic dermatitis mengalami peningkatan tiga kali lipat sejak tahun 1960. Di
negara berkembang, atopic dermatitis lebih banyak menyerang anak-anak dengan
prevalensi sebesar 10-20% dan 60% diantaranya menetap sampai dewasa, sedangkan
prevalensi dewasa sebesar 1-3%. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar oleh Depertemen
Kesehatan RI tahun 2013, prevalensi nasional atopic dermatitis mencapai 6,8%
(Depkes RI, 2014). Di Indonesia, prevalensi atopic dermatitis mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan oleh Kelompok Studi Dermatologi Anak
(KSDAI) dari lima kota besar di Indonesia,atopic dermatitis masih menempati
peringkat pertama (23,67%) dari 10 besar penyakit kulit anak.

Atopic dermatitis dapat disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor
internal meliputi; 1) genetik, 2) alergen, dan 3) imunopatologik. Atopic dermatitis pada
balita sebagian besar disebabkan oleh faktor genetik. Jika kedua orangtuanya menderita
atopic dermatitis, maka 81% anaknya berisiko menderita atopic dermatitis. Sedangkan
faktor eksternal meliputi: lingkungan dan hygiene (Boediardja, 2015).
B. PATOFISIOLOGI

Dermatitis atopik dikaitkan dengan adanya peningkatan kadar immunoglobulin E


(Ig E) dan dapat muncul bersamaan dengan asma dan rhinitis alergi (Kim dkk, 2017
dan Akdis dkk, 2006). Dermatitis atopik ditandai dengan adanya lesi (luka) kulit berupa
xerosis (kulit kering), likenifikasi dan lesi eksematus yang muncul pada permukaan
fleksural tubuh (Akdis dkk, 2006). Penyebab dermatitis atopik belum diketahui dengan
jelas, namun banyak penelitian menunjukkan bahwa disfungsi sawar kulit dan
disregulasi sistem imun berkontrusi dalam patofisiologi dermatitis atopik (Kim, dkk.,
2019). Beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan dermatitis atopik berhubungan
dengan genetik dan faktor pemicu lainnya seperti faktor lingkungan maupun agen
infeksi (Watson dan Kapur, 2011).

1. Disfungsi Sawar Kulit


Kulit memiliki fungsi antara lain mencegah keluarnya cairan berlebihan
dari dalam tubuh dan menahan substansi yang merugikan masuk ke dalam tubuh;
hal ini terutama dilakukan oleh lapisan epidermis paling luar, yaitu stratum
korneum. Pada dermatitis atopik kulit menjadi kering; hal ini berhubungan
dengan disfungsi permeabilitas sawar epidermis yaitu hilangnya fungsi mutasi
gen filaggrin (FLG). Gen ini mengkode protein profilargin sebagai prekusor
struktur protein FLG pada diferensiasi kompleks epidermal. FLG terekspresi
pada granula keratohialin selama diferensiasi terminal epidermis. Setelah
keratinosit menjadi padat, protein FLG melepaskan natural moisturizing factor
(NMF) (Pandaleke dan Pandaleke, 2014).
2. Imunologi
Umumnya pasien dermatitis atopik memiliki peningkatan jumlah
eosinofil dan kadar serum Immunoglobulin E (IgE). Hal ini berhubungan
dengan mekanisme imunologi dan seluler yang berperan penting dalam
patogenesis dermatitis atopik. Kelainan imun utama dermatitis atopik berkaitan
dengan sel T helper (Th), yang berfungsi mengenali antigen dan mengatur
respon imun seperti inflamasi, pertahanan terhadap infeksi virus, serta
proliferasi sel T dan B spesifik. Sel Th berperan utama dalam patogenesis
dermatitis atopik dimana jumlah Th 2 lebih banyak pada penderita atopi
sedangkan jumlah Th1 menurun.
Pada dermatitis atopik terdapat 2 tipe sel dendritik dengan afinitas tinggi
terhadap IgE (reseptor IgE yang mengandung mieloid) yaitu sel Langerhans (SL)
dan sel epidermal dendritik inflamasi (SEDI). SL yang mengandung IgE
tampaknya berperan penting pada presentasi alergen kulit pada sel Th2 yang
memproduksi IL-4, dimana pada dermatitis atopik akut Th2 yang terlibat dan
sitokin terutama IL-4, IL-5 dan IL-13 serta pe-nurunan IFN-γ, yang memediasi
perubahan isotipe imunoglobulin ke sintesis IgE dan meningkatkan ekspresi
molekul adhesi pada sel-sel endotelial. Berbeda halnya dengan dermatitis atopik
kronis yang melibatkan pro-duksi sitokin Th1, IL-12, IL-18, dan IL-5, serta
IFN-γ yang mengalami upregulation dalam keratinosit (Pandaleke dan
Pandaleke, 2014).
3. Genetik
Bila salah satu orang tua memiliki riwayat dermatitis atopik, maka
insiden terkena dermatitis atopik menjadi dua kali lipat pada anaknya. Insiden
ini menjadi tiga kali lipat bila riwayat dermatitis atopik ditemukan pada kedua
orang tua. Terdapat 2 kromosom yang berkaitan erat dengan dermatitis atopik
yaitu kromosom 1q21 dan kromosom 17q25. Hal ini masih paradoksal karena
psoriasis dengan gambaran klinis yang berbeda juga terkait dengan kromosom
yang sama. Selain itu, kedua kromosom tersebut tidak terkait dengan penyakit
atopi lainnya. Juga ditemukan peran kromosom lainnya seperti 5q31-33 sebagai
penyandi gen sitokin Th2 (Pandaleke dan Pandaleke, 2014).
4. Faktor Pencetus Lain
a. Makanan
Banyak studi yang selama bertahun-tahun meneliti hubungan antara
dermatitis atopik dan hipersensitifitas terhadap makanan pada anak dan
dewasa. Diperkirakan 30-40% bayi dan anak usia muda menderita
dermatitis atopik sedang sampai berat dengan alergi makanan sebagai faktor
pencetus. Prevalensi tertinggi alergi makanan dijumpai pada bayi, menurun
pada usia anak, dan makin berkurang pada dewasa. Makanan yang paling
sering sebagai faktor pencetus ialah telur, susu, gandum, kedele, dan kacang
tanah (Pandaleke dan Pandaleke, 2014).
b. Aeroalergen
Paparan terhadap alergen inhalan seperti serbuk sari, jamur, tungau,
dan bulu binatang berhubungan dalam perjalanan penyakit pada beberapa
kasus dermatitis atopik. Alergen inhalan nampaknya sering pada anak-anak
yang lebih tua dan orang dewasa yang mengakibatkan rasa gatal dan lesi
atopik setelah individu tersebut tersensitisasi secara inhalasi bronkial.
Mekanisme bagaimana alergen dapat memasuki tubuh dan memperberat
eksema masih dalam perdebatan, namun hal ini berhubungan dengan fungsi
sawar kulit yang mendukung invasi alergen ke dalam epidermis. Penelitian
lain melaporkan bahwa sensitisasi terhadap alergen inhalan dapat juga
melalui transkutan (Pandaleke dan Pandaleke, 2014).
c. Staphylococcus aureus
Infeksi S. aureus paling sering terjadi, diperkirakan sekitar 90% pada
dermatitis atopik. Hal ini dikarenakan kemampuan bakteri tersebut untuk
menyekresi toksin yang dikenal sebagai superantigen. Bahan ini akan
menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Mekanisme meningkatnya
kolonisasi S. aureus pada dermatitis atopik masih belum diketahui pasti,
diduga akibat kombinasi berbagai faktor. Menggaruk merupakan salah satu
faktor penting karena dapat meningkatkan pengikatan bakteri akibat
terganggunya fungsi sawar kulit (Pandaleke dan Pandaleke, 2014).
d. Stres
Studi terbaru menunjukkan faktor-faktor psiko-neuro-imunologi dan
stres emosional berperan penting dalam terjadinya dermatitis atopik. Stres
dapat menyebabkan rusaknya fungsi sawar kulit dan memicu terjadinya
respon alergi atau Th2 (Pandaleke dan Pandaleke, 2014).

C. SASARAN DAN TARGET TERAPI


1. Identifikasi dan eliminasi faktor pemicu
Mengidentifikasi dan mengeliminasi faktro pemicu merupakan sesuatu
yang esensial, baik selama periode akut maupun di dalam perjalanan penyakit
untuk mencegah rekurensi. Penderita DA memiliki ambang rangsang yang
rendah dalam berespons terhadap bahan iritatif sehingga memicu terjadinya
siklus gatal-garuk-gatal. Bahan tersebut dapat berupa bahan kimia, makanan,
hewan, dan lainnya. Alergen yang berpotensi mencetuskan DA dapat
diidentifikasi dengan tes gores kulit, tes tempel atopic, radioallergosorbent test
(RAST), atau. pengukuran kadar IgE serum spesifik. Reaksi positif dengan
alergen makanan sebaiknya dikonfirmasi dengan diet eliminasi. Namun perlu
berhati-hati karena dapat menyebabkan malnutrisi sehingga sebaiknya diberi
makanan pengganti. Bagi penderita DA yang alergi dengan tungau debu
sebaiknya gunakan sarung bantal dan seprai anti tungau debu; cuci dengan air
panas setiap minggu, jangan memakai karpet, dan menurunkan kelembapan
ruangan dengan menggunakan pendingin ruangan. Berbagai upaya dalam
mengatasi aeroallergen lainnya yaitu tidak memelihara binatang berbulu, tidak
merokok di dalam rumah, dan menghindari penggunaan kapuk dan mainan
berbulu. Menggunakan bahan pakaian dari lyocel/ dapat mengurangi sensasi
gatal dan TEWL daripada katun. Struktur nanofibril dari /yocel/ bersifat
hidrofilik dan termoregulator. Olahraga tertentu, seperti berenang, yang tidak
menimbulkan perspirasi berlebihan diperbolehkan, tetapi secepatnya
membilas dengan air agar klorin hilang. Konseling atau evaluasi psikologik
perlu diterapkan pada penderita DA yang mengalami kesulitan dalam
mengontrol penyakitnya akibat masalah emosional. Terapi relaksasi dan
modifikasi perilaku berguna bagi penderita DA yang memiliki kebiasaan
menggaruk.
2. Mempertahankan fase remisi dan mengatasi fase rekuren
Terapi yang dilakukan dalam tatalaksana berupa terapi non-farmakologi
dan terapi farmakologi. Terapi non-farmakologi berupa perawatan kulit atopik
yang bertujuan untuk menjaga kulit agar tetap terhidrasi. Terapi farmakologi
menggunakan yang terdiri dari Anti-inflamasi Kortikosteroid, Inhibitor
Kalsineurin, Barrier Reapir Agent, Anti-pruritus (antihistamin, anestesi
topikal, terapi morfin, anti-infeksi), kemudian dapat dilakukan terapi alternatif
seperti penggunaan probiotik dan asam lemak esensial.
3. Menanggulangi tipe rekalsitran
Wet wrap untuk DA derajat berat dan atau tidak responsif dengan
pengobatan standar. Merupakan perangkat yang akan berperan sebagai lapisan
oklusif sehingga menambah penetrasi steroid topikal, dan meningkatkan
jumlah medikasi ke area yang paling parah.
Fototerapi untuk DA derajat ringan, sedang, maupun berat. Pemberian
sinar UV dengan frekuensi tertentu secara rutin efektif mencegah kekambuhan.
Terapi sistemik seperti siklosporin, azatioprin, mikofenolat mofetil,
metotreksat, dan interferon-𝛾 digunakan untuk pengendalian DA refrakter
yang tidak berhasil dengan pengobatan topikal biasa.

D. PENATALAKSANAAN
Terapi Non Farmakologi :
1. Perawatan kulit pasien DA :
- Mandi 1-2x sehari menggunakan air hangat
- Menggunakan sabun yang mengandung pelembab, pH 5,5-6, surfaktan
ringan dan tidak mengandung penwangi dan pewarna
- Pelembab dioleskan segera dalam 3 menit setelah mandi.
2. Memakai pakaian yang ringan, lembut, halus dan menyerap keringat.
3. Menghilangkan faktor presipitasi dan pencetus yaitu :
- Bahan iritan seperti sabun antiseptik, deterjen, disinfektan dan lainnya.
- Bahan alergen seperti tungau debu rumah, binatang peliharaan atau
serbuk bunga
- Suhu ekstrik panas atau dingin
- Makanan : kacang, diary product, telur
- Stress.
4. Mengenali infeksi kulit dan mencari perawatan dengan segera

Terapi Farmakologi
1. Pelembab
Penggunaan pelembab secara rutin merupakan pengobatan lini
pertama pada dermatitis atopik. Pelembab yang direkomendasikan harus
mengandung humektan, emolien dan oklusif.
2. Kortikosteroid Topikal (KST)
Kortikosteroid topikal adalah pengobatan pilihan untuk
menghilangkan inflamasi pada kulit dengan terapi pemeliharaan durasi
yang lebih lama. Penggunaannya dimulai dari potensi paling rendah
yang masih efektif. KST diberikan sesudah mandi sekitar 15 menit
setelah penggunaan pelembab dengan frekuensi pengolesan 1-2x /hari
dan harus tetap digunakan sampai lesi kulit aktif terkontrol (sekitar 14
hari), bila lesi sudah terkontrol frekuensi pemberian KST dapat
dikurangi seperti KST 1x pada pagi hari dan IKT pada sore hari.
Fase Pemeliharaan dermatitis atopic KST digunakan pada daerah
"hot spot" (daerah kulit yang sering timbul lesi) 2 kali seminggu dan
dilanjutkan dengan sekali seminggu (terapi akhit pekan). Untuk lesi
berat pada wajah dan fleksor dikontrol dengan KST potensi sedang
selama 5-7 hari, kemudian diganti dengan KST potensi ringan atau IKT.
Hindari kortikosteroid fluorinated kuat pada wajah, genitalia, dan daerah
intertriginosa serta pada bayi. Menurut potensinya kotrikosteroid dibagi
menjadi 2 yaitu,
- Potensi rendah seperti Hidrokortison 1% cocok untuk wajah
- Potensi sedang seperti Betametason valerat 0,1% dapat digunakan
untuk tubuh. .
3. Inhibitor Kalseurin Topikal (IKT)
Jenis IKT yang dapat diberikan adalah pimecrolimus untuk lesi
inflamasi ringan-sedang dan tacrolimus untuk lesi inflamasi sedang-
berat. IKT digunakan sebagai terapi lini ke-2 untuk pengobatan DA
jangka lama, terapi intermiten, terapi pemeliharaan, bisa KST
merupakan indikasi kontra.
IKT diberikan kepada pasien diatas 2 tahun dengan pemakaian
dioleskan 1-2x sehari. sebelum penggunan IKT dianjurkan
menggunakan tabir surya selama pemakaian. Mereka dapat digunakan
pada semua bagian tubuh untuk jangka waktu lama tanpa menghasilkan
efek samping kortikosteroid. Contoh inhibitor kalseurin topical adalah :
- Salep Tacrolimus 0,03% untuk dermatitis atopik sedang hingga
berat pada pasien usia 2 tahun keatas.
- Salep Tacrolimus 0,1% untuk usia 16 keatas diterapkan dua kali
sehari.
- Krim Pimecrolimus 1% diterapkan dua kali sehari untuk dermatitis
atopik ringan hingga sedang pada pasien yang lebih tua dari usia 2
tahun.
E. EVALUASI PRODUK

Nama Produk Betamethasone Krim 0,1% Desoximetasone 0,25%

Produsen Kimia Farma Dexa Medica


Golongan Kortikosteroid topikal Kortikosteroid topikal
Obat OWA OWA
Komposisi Betamethasone 0,1% Desoxymethasone 0,25%
Indikasi dermatitis, ekzema, termasuk Ekzema, dermatitis dan psoriasis
ekzema atopik, stasis & diskoid & ( daerah berambut)
prurigo.
Dosis Dioleskan 1-3 kali sehari Dioleskan 1-2 x sehari
Efek samping Folikulitis, hipertrikosis, akne,
perubahan pigmentasi kulit
Kontraindikasi Hipersensitif, TB kulit, infeksi
jamur dan virus pada kulit.
Peringatan Hamil dan laktasi, bayi dan anak, pemakaian jangka lama dan area yang
Perhatian luas, di sekitar mata
Maksimal 1 tube
Harga Rp2.795 (HET) Rp 27.285,- / Tube

Nama Produk Biocream Elidel Cream 1%

Produsen Merck Indonesia Meda Pharma


Transfarma Medica Indah
Golongan Obat Bebas Imunomodulator Topikal.
Obat NSAID.
Obat Keras
Komposisi Gliserol. Krim ambifilik Pimecrolimus 1%
hipoalergenik
Indikasi Pelembab untuk kulit kering, krim Dermatitis atopik
pelindung selama radioterapi.
Dosis Dioleskan 2-3x/hari Dewasa dan anak >3 bulan
Dioleskan 2x.hari
Efek samping Rasa hangat/terbakar, iritasi, gatal
dan kemerahan
Kontraindikasi
Peringatan Meningkatkan resiko eksim
Perhatian herpetikum, hamil dan laktasi
Harga Rp 35.724,- / Tube Rp 303.550,- / Tube

F. SIMULASI KASUS

Nyonya P berusia 33 tahun datang ke apotek dengan keluhan ruam merah dan
gatal pada daerah lengan, lipatan siku, dan lipatan lutut. Hal tersebut dialami
sejak seminggu yang lalu. Gatal yang dirasakan bersifat terus-menerus dan
memberat pada malam hari. Pasien belum berobat ke dokter. Riwayat keluarga
dengan keluhan yang sama (-), riwayat penyakit kulit sebelumnya (-), riwayat
pengobatan (-).
Pengembangan Kasus

Keluhan:

- Ruam merah dan gatal pada daerah lengan, lipatan siku, dan lipatan lutut
sejak seminggu yang lalu
- Gatal terus menerus dan memberat di malam hari

Riwayat pengobatan: (-)

Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)

Riwayat penyakit kulit sebelumnya (-)

Terapi Yang Disarankan

Non Farmakologi:

1. Menjaga hygene, mandi 2 kali sehari dengan air hangat


2. Hindari allergen/pencetus gatal. Sarankan pasien untuk tes alergi di
RS/laboratorium klinik
3. Gunakan sabun mandi yang melembapkan. Contoh: Cetaphil, Nivea
Crème, Dove
4. Tanyakan apakah pasien sudah rutin menggunakan pelembap badan (hand
and body lotion) dan edukasi agar pasien menjaga kelembapan kulit
5. Hindari pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat, gunakan pakaian
yang longgar dan menyerap keringat
6. Edukasi pasien agar tidak menggaruk daerah yang gatal

Farmakologi:

1. Kortikosteroid topikal potensi sedang-tinggi


Diberikan betametason valerat krim 0,1% 1 tube. Dioleskan 2 kali sehari
setelah mandi pada daerah yang gatal.
2. Antihistamin
Diberikan CTM (Chlorphenamine) 4 mg 1 strip, dapat diminum hingga 4-
6 kali sehari jika terasa gatal. Dapat menyebabkan kantuk, cocok untuk
keluhan gatal yang memberat di malam hari.
3. Pelembap
Diberikan pelembap badan Vaseline Petroleum Jelly 50 mL 1 buah,
digunakan 2 kali sehari (3 setelah mandi) pada seluruh tubuh, pemberian
pelembap dapat diulangi jika perlu.

Monitoring

1. Efektivitas: gejala gatal mereda, ruam merah mengecil/hilang


2. Efek samping obat: Mengantuk (CTM), panas dan nyeri tersengat di daerah
aplikasi (Betametason krim)
3. Sarankan pasien agar berobat ke dokter untuk dilakukan assessment dan
penegakkan diagnosis
DRY SKIN FUNGAL SKIN INFECTION

A. PENDAHULUAN

Infeksi jamur kulit atau dermatomikosis merupakan penyakit pada kulit, kuku,
rambut dan mukosa yang disebabkan oleh infeksi jamur. Penyakit ini termasuk salah
satu penyebab utama berbagai penyakit kulit di Indonesia karena kelembapan
lingkungan yang tinggi sehingga menjadi tempat tumbuh yang ideal bagi jamur. Faktor
lain yang dapat memicu timbulnya penyakit ini antara lain sanitasi dan personal higiene
yang kurang, yang diperparah dengan penggunaan pakaian yang tidak menyerap
keringat.

Epidemiologi infeksi jamur kulit di Indonesia berdasarkan data dari berbagai


rumah sakit pendidikan kedokteran negeri umum di Indonesia pada tahun 2009-2011
didapatkan angka proporsi dermatomikosis terhadap dermatosis terendah di
Yogyakarta sebesar 4,06% dan tertinggi di Semarang sebesar 26,4% (Ervianty dkk.,
2013). Prevalensi infeksi jamur kulit dari beberapa negara menunjukkan bahwa
prevalensi laki-laki lima kali lebih besar daripada wanita. Penelitian Kumar dkk (2007)
juga menunjukkan prevalensi laki-laki lebih dominan menderita infeksi
dermatomikosis dibandingkan wanita dengan ratio 1,12:1 (Kumar dkk., 2007).

Infeksi jamur kulit dapat dibagi atas infeksi superfisialis, infeksi kutan, dan
infeksi subkutan. Infeksi superfisialis merupakan infeksi jamur yang terjadi pada
permukaan kulit. Infeksi superfisialis yang paling sering ditemukan adalah pitiariasis
versikolor. Infeksi kutan merupakan penyakit jamur pada jaringan yang mengandung
zat tanduk seperti kuku, rambut, dan stratum korneum pada epidermis yang disebabkan
oleh golongan jamur dermatofita. Infeksi kutan meliputi dermatofitosis dan kandidosis
kutis. Sedangkan infeksi subkutan merupakan infeksi jamur kronis pada kutis atau sub
kutis yang disebabkan Sporotrichum schenkii. Infeksi subkutan meliputi sporotrikosis,
fikomikosis subkutan, aktinomikosis, dan kromomikosis.
B. PATOFISIOLOGI

Kulit kering atau xerosis ditandai secara klinis dengan kulit yang kasar,
bersisik, dan kulit sering terasa gatal. Kulit kering disebabkan oleh kurangnya
kelembapan pada stratum korneum akibat penurunan kadar air. Kerusakan pada stratum
korneum menyebabkan kadar air dibawah 10% (Sinulingga, 2018). Kulit kering juga
merupakan salah satu tanda dermatitis atopik.
Penyebab kulit kering dipengaruhi oleh faktor endogen (genetik, usia, jenis
kelamin, penyakit kulit dan penyakit sistemik) dan faktor eksogen (suhu dan
kelembapan udara, pajanan bahan kimia, radiasi sinar UV, polusi udara, dan nutrisi)
(Sinulingga, 2018).
Pada prinsipnya ada tiga mekanisme terjadinya kulit kering, yaitu:
1. Kadar air menurun pada stratum korneum
Pada keadaan normal, air mengalir secara difusi dari dermis menuju ke epidermis
melalui dua cara yaitu melalui stratum korneum dan ruang interseluler. Kulit secara
terus-menerus akan kehilangan cairan secara difusi kemudian akan menguap
melalui stratum korneum dan ruang interseluler, keadaan ini dikenal dengan
transepidermal water loss (TEWL). Stratum korneum merupakan barier hidrasi
yang sangat penting dalam mempertahankan kelembapan kulit. Bila daya pengikat
air pada stratum korneum menurun maka stratum korneum akan mengandung
sedikit air sehingga menyebabkan timbulnya skuama dan kulit kering.
2. Menurunnya faktor pelembap alami (Natural Moisturizing Factor)
Kulit mempunyai kemampuan untuk menyimpan kelembapan air sendiri yang
disebut dengan pelembap alami atau Natural Moisturizing Factor (NMF). Stratum
korneum terdiri dari 58% keratin, 30% NMF dan 11% lipid. NMF terdiri dari asam
amino bebas, urea, elektrolit garam dan fraksi gula. NMF memiliki peran yang
penting dalam mengatur kelembapan kulit. Jika NMF menurun akan mengurangi
elastisitas serta kelembapan kulit sehingga kulit menjadi kering.
3. Gangguan keratinisasi
Gangguan keratinisasi menyebabkan perubahan struktur dan kohesi korneosit.
Penurunan kadar air dalam stratum korneum pada kulit kering akan menyebabkan
gangguan deskuamasi abnormal pada korneosit (Sinulingga, 2018).
C. SASARAN DAN TARGET TERAPI
 Sasaran Terapi: Jamur Penyebab
 Target Terapi:
1. Menghilangkan rasa gatal, burning, dang ketidaknyamanan lainnya
2. Menghambat pertumbuhan jamur penyebab menyebar ke daerah lain
3. Mencegah infeksi berikutnya
(Berardi, 2009)
D. PENATALAKSANAAN

Terapi strategi infeksi jamur perlu memperhatikan strategi - strategi


seperti mengurangi gejala simptomatis seperti rasa gatal, rasa terbakar, atau rasa
tidak nyaman; mengobati infeksi dan menghambat berkembangnya jamur serta
mencegah infeksi berulang.
Terapi Non Farmakologi
1. Tidak berbagi handuk, baju, atau barang pribadi lain dengan anggota
keluarga terutama saat infeksi sedang terjadi.
2. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas,
kemudian jemur di tempat yang cukup terkena cahaya matahari.
3. Bersihkan kulit/mandi 2 kali setiap hari menggunakan sabun (sabun cair)
dan air bersih lalu keringkan sampai benar-benar kering untuk
menghilangkan minyak atau senyawa lain yang dapat memicu
tumbuhnya jamur.
4. Jangan menggunakan baju atau sepatu yang membuat kulit menjadi
basah (tidak menyerap keringat/air).
5. Mencegah kontak langsung dengan orang yang sedang terinfeksi jamur.
6. Menggunakan sandal atau alas kaki terbuka saat cuaca panas.
7. Mengganti kaos kaki dan pakaian dalam secara rutin
Terapi Farmakologi
Algoritma Fungal Skin Infection (Berardi et al., 2009)
Jenis atau klasifikasi obat antijamur yang diguanakan untuk pengobatan penyakit
kulit infeksi jamur antara lain
1. golongan polien : amfoterisin, nistatin. Keduanya tidak diabsorpsi secara
oral. Obat ini digunakan untuk infeksi oral, orofaringeal dan perioral yang
diberikan secara topikal di mulut.
2. golongan imidazol : kotrimoksazol, ketokonazol, ekonazol, tiokonazol,
bifonazol, mikonazol. Obat-obat ini digunakan untuk terapi lokal kandidiasis
vagina dan untuk infeksi dermatofit.
3. golongan triazol : flukonazol, itrakonazol
4. golongan antijamur lainnya : griseofulvin, terbinafin

E. EVALUASI PRODUK
Nama Produk Canesten Cream Miconazol Cream

Produsen Bayer Kimia Farma


Golongan Antijamur Antijamur dan Antiparasit Topikal
Obat Obat Bebas Terbatas Obat Bebas Terbatas
Komposisi Klotrimazol 1% Miconazole nitrate
Indikasi Kandidiasis kulit Infeksi kuku dan kulit karena
Ruam popok dermatofita, kandida atau jamur lain
dan bakteri gram positif
Dosis Dioleskan 2-3x/hari Dioleskan 1-2 x/hari selama 2-4
minggu. Lipatan-lipatan kulit
gunakan secara lebih sering.
Efek Samping Eritema, stinging, edema, pruritis, Sensasi rasa terbakar, maserasi,
burning, iritasi dermatitis alergik
Kontraindika Hipersensitif Hipersensitif
si
Peringatan Jangan digunakan pada mata Jangan digunakan pada mata, hidung,
perhatian Hamil trimester 1, laktasi mulut dan vagina. Kategori
Kehamilan : C
Harga 3 g Rp 19.371,- / Tube Rp 5.027,- / Tube
5 g Rp 23.771,- / Tube
10 g Rp 42.369,- / Tube
Nama Produk Canesten Cream Solinfec Cream 5g

Produsen Sanbe Farma Ifars


Golongan Antijamur Antijamur
Obat OWA Obat Bebas Terbatas
Komposisi Ketoconazole 2%
Indikasi Mengatasi: 1. Tinea corporis / kurap Infeksi jamur pada kulit : Tinea
pada badan 2. Tinea curis / kurap Korporis, Tinea Kruris, Tinea
pada lipat paha 3. Panu (Tinea Manus, Tinea Pedis, Tinea
versicolor) 4. Kutu air tetapi pada Versicolor, Kandidosis
tangan (Tinea manus) 5. Kutu air
(Tinea pedis) 6. Kandidiasis kulit 7.
Dermatitis seboroik
Dosis Dioleskan tipis 2x sehari selama 4 Oles tipis 1x sehari. Infeksi
minggu. resisten : 2 x sehari.
Lama terapi : Tinea Korporis 3-4
minggu, Tinea versikolor &
infeksi jamur/kandida : 2-3
minggu, Tinea kruris 2-4
minggu ; Tinea pedis 4-6 minggu
Efek Samping erythema, stinging, edema, pruritis, iritasi, gatal, rasa panas,
burning, iritasi dermatitis kontak
Kontraindikas Hipersensitif terhadap ketokonazol
i
Peringatan Tidak untuk digunakan pada mata. Hentikan pemakaian jika terjadi reaksi
perhatian hipersensitivitas atau iritasi. Hamil, laktasi
Harga Rp 25.997,- / Tube Rp 14.166,- / Tube

F. SIMULASI KASUS
Seorang mahasiswa laki-laki berumur 21 tahun adalah seorang konselor suatu
kelompok camp anak-anak yang berasal dari pendalaman. Sebagian besar anak-anak
tersebut berasal dari keluarga yang kurang mampu sehingga tidak memperhatikan
kebersihan diri (hygene). Sehingga, sebagian besar anak-anak tersebut menderita
penyakit kulit dan kulit kepala. Tugas laki-laki tersebut bertugas untuk mengawasi
kelas berenang dan aktivitas lain, dia juga bertugas untuk menjaga salah satu pondok
tempat anak-anak itu tidur dan mandi.

Sepulang dari pekerjaannya, ditemukan 7 lesi kulit yang bentuknya khusu dan
kasar pada tubuh pria itu. Berdasarkan pemeriksaan ditemukan lesi dengan diameter
rata-rata 2-8 cm dan memiliki tepi-tepi yang berwarna cerah. Tepi lesi meradang dan
ada sedikit peradangan di tengah. Batas lesi bersisik, sedikit terangkat, dan terlihat
memerah. Pusat-pusat beberapa lesi mengalami hipopigmentasi. Pria tersebut
mengungkapkan bahwa lesi pertama muncul sekitar tiga minggu sebelumnya dan
terus membesar hingga saat ini, cukup gatal, tetapi tidak terlalu menyakitkan. Tanda-
tanda vital pria itu normal, dan tidak ada temuan fisik lainnya.

Keluhan :
- Terdapat lesi pada kulit. Tepi lesi meradang dan ada sedikit peradangan di
tengah
- Batas lesi bersisik, sedikit terangkat, dan terlihat memerah
- Cukup gatal.
Berdasarkan keluhan menunjukkan tinea korporis atau lebih dikenal sebagai
kurap tubuh. Tinea corporis disebabkan oleh berbagai spesies jamur dermatofit,
terutama yang ada dalam genera Trychophyton dan Microsporum. Trichophyton
rubrum adalah agen penyebab yang paling sering ditemui.

Diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan gambara klinis dan lokalisasinya,


serta pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan KOH 10-20 %
untuk melihat hifa atau spora jamur.

Penyebab :

Karena pekerjaan mahasiswa tersebut yang memungkinkan lelaki tersebut


bersentuhan secara langsung dengan satu atau lebih anak yang keamungkinan
mempunyai tinea corporis.

Terapi Yang Disarankan

Non – Farmakologi:

- Menjaga hygene
- Memakai pakaian tipis
- Memakai pakaian yang berbahan cotton
- Tidak emamaki pakaian dalam yang terlalu ketat

Terapi Farmakologi:

1. Terapi Topikal
 Derivat Azol
a. Krim miconazole 2% dua kali sehari penggunaan untuk 2 minggu.
b. Krim Clortimazole 1% diaplikasikan dengan cara sedikit memijat pada
area yang terkena infeksi dua kali sehari utnuk 2 minggu.
 Krim Naftifine 1% 4 kali sehari.
2. Terapi Sistemik
Terapi sistemik hanya digunakan pada kasus-kasus yang sudah parah.
 griseofulvin dosis 500 mg sehari selama 3-4 minggu
 ketokonazol 200 mg sehari selama 3-4 minggu
 itrakonazol 100 mg sehari selama 2 minggu
 terbinfin 250 mg sehari selama 2 minggu

Monitoring

1. Efektifitas : gejala gatal mereda, lesi mengecil/hilang


2. Merekomendasikan pasien apabila infeksi berulang dan presisten, dirujuk ke
dokter kulit.
DAFTAR PUSTAKA

Afshari, J.T., Yousefi, M., Salari, R., 2016, Atopic dermatitis and the therapeutic
methods: a literature review, Rev Clin Med, 3(4): 158-162.

Akdis, C.A.,et al., 2006, Diagnosis and treatment in Children and Adult with Atopic
Dermatitis, Journal of Allergy and Clinical Immunology, 118(1), 152-169.
Berardi, R.R., Ferreri, S.P., Hume, A.L., Kroon L.A. & Newton, G.D. 2009. Handbook
of Nonprescription Drugs: An Interactive Approach to Self-Care, American
Pharmacists Association, Washington DC.
Boediarja, S.A., 2015, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Depkes RI, 2014, Dermatitis Atopik, diakese dari http://depkes.go.id.html diakses pada
10 Oktober 2019.

Danarti Retno, 2018, Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik di


Indonesia, PERDOSKI, Indonesia.
Dipiro, 2015, Pharmacotherapy Handbook, ed 9th,
Drucker, A.M., Wang, A.R., Li, W.Q., Sevetson, E., Block, J.K., Qureshi, A.A., 2017,
The burden of atopic dermatitis: Summary of a report for the National Eczema
Association, J Invest Dermatol, 137(1): 26-30.

Ervianty. E., Suyoso, S., Widaty, S., Indriatmi, W., Bramono, K., Ramali, L.M., 2013,
Dermatomikosis Superfisialis, Edisi kedua, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Idris, J., dan Yulianti, L., 2010, Penatalaksanaan Lini Pertama Pada Dermatitis Atopik,
EBERS PAPYRUS, 16(3):171-187.

Kim, J., Kim, B. E., dan Leung D.Y.M., 2019, Pathophysiology of atopic dermatitis:
Clinical implications, Allergy Asthma Proc, 40:84 –92.

Kim, B. S., James, W.D., 2017, Atopic Dermatitis : Practice Guideline,


http://emedicine.medscape.com/article/1049085-overview, diakses 10 Oktober
2019

Kumar, K., Kindo, A.J., Kalyani, J., Anandan, S., 2007, Clinico – mycological profile
of dermatophytic skin infections in a tertiary care center – a cross sectional study,
Sri Ramachandra Journal of Medicine, 2 (1): 12-15.
Pandaleke, T.A., Pandaleke, H.E.J., 2014, Etiopatogenesis Dermatitis Atropi, Jurnal
Biomedik, 6 : (2)

Sinulingga, E. H., 2018, Efektivitas Madu Dalam Formulasi Pelembap Pada Kulit
Kering, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Watson W, dan Kapur S., 2011, Atopic dermatitis, Allergy, Asthma & Clinical
Immunology,7 (S4)

Anda mungkin juga menyukai