Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH STUDI KASUS

FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK


“DERMATITIS ATOPIK”

Dosen Pengampu :

Dwi Ningsih, M.Farm., Apt.

APOTEKER XXXV

Kelompok 4 CI

1. Uni Susan Nugrametalina 1820353954

2. Uswatun Hasanah L. 1820353955

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit keradangan kulit kronik, ditandai dengan
gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai
penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga
berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya (Fauzi N., dkk.,
2009).
Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Pada 70% kasus dermatitis atopik umumnya
dimulai saat anak-anak dibawah 5 tahun dan 10% saat remaja/dewasa (William H.C., 2005).
Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan
hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari
eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa.
Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak <5 tahun sebesar
3,1% dan prevalensi DA pada anak  meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir (Judarwanto
W., 2009).
Pada penderita DA 30% akan berkembang menjadi asma, dan 35% berkembang menjadi
rhinitis alergi. Berdasarkan International Study of Ashma, and Alergies in Children prevalensi
gejala DA pada anak usia 6 atau 7 tahun sejak periode tahun pertama bervariasi yakni <2% di
Iran dan Cina sampai kira-kira 20% di Australia, Inggris dan Skandinavia. Prevalensi yang tinggi
juga ditemukan di Amerika. Di Inggris, pada survei populasi pada 1760 anak-anak yang
menderita DA dari usia 1-5 tahun ditemukan kira-kira 84% kasus ringan, 14% kasus sedang, 2%
kasus berat (William H.C., 2005). Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di Indonesia,
dermatitis atopik berada pada urutan pertama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum
ditemukan pada anak-anak. Di klinik Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada
Februari 2005-Desember 2007, terdapat 73 kasus DA pada bayi (Budiastuti M.,dkk., 2007).
Sedangkan di Unit Rawat Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo jumlah pasien DA
mengalami peningkatan 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien
(11.05%) tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%) (Zulkarnain I., 2009). Prevalensi pada anak
laki-laki sekitar 20%, 12 persen pada tahun-tahun sebelum studi, dan 19% anak perempuan (11%
pada tahun sebelum tahun 2000) (Tada J., 2002).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis berulang, disertai gatal yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan
peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan
atau asma bronchial) (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005). Nama lain untuk dermatitis atopik
adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo besnier, atau neurodermatitis.

B. KLASIFIKASI
Didapatkan dua tipe DA:
- Bentuk alergik yang merupakan bentuk utama (70-80% pasien) terjadi akibat sensitisasi
terhadap alergen lingkungan disertai dengan peningkatan kadar IgE serum.
- Bentuk intrinsik atau non alergik, terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah
dan tanpa sensitisasi terhadap alergen lingkungan.
Dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE bukan merupakan prasyarat pada
patogenesis dermatitis atopik. Terdapat pula konsep bentuk murni (Pure Type), tanpa berkaitan
dengan penyakit saluran nafas dan bentuk campuran (Mixed Type) yang terkait dengan sensitisasi
terhadap alergen hirup atau alergen makanan disertai dengan peningkatan kadar IgE (Soebaryo
R.W., 2009).

C. ETIOLOGI
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai
faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik,
kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan
disregulasi/ketidak seimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan
yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan
temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009).
Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus (Mansjoer A.,dkk.,
2001).
Faktor pencetus lain diantaranya
1. Makanan
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC), hampir
40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test)
dan kadar IgE spesifik positif terhadap berbagai macam makanan. Walaupun demikian uji
kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi
terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan
provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W.,
2009). Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik
berat. Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur, gandum, kacang-
kacangan kedelai dan makanan laut (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).
2. Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan dengan uji
tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat
pada alergi tungau debu rumah (TDR) bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di
negara-negara dengan 4 musim.
3. Infeksi kulit
Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang berperan memberi
kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik. Mikroorganisme utamanya adalah
Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada
jumlah koloni Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi
Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis
atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan
merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari
mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang
dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus
ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi.
Enterotoksin tersebut bersifat sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi
aktifasi sel T dan makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin
Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan memprovokasi
pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus, tetapi
menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk, 2009., tidak didapatkan korelasi antara jumlah
kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus.

D. PATOFISIOLOGI
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor genetik terkait
dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan (Soebaryo
R.W., 2009).
1. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33,
kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen
dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya
berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar
monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%.
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga akan
mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang tua menderita
atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan
meningkat sampai 79% bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih
tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami
berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya yaitu kira-kira
50%.
2. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air
diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar
kulit. Variasi ph kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan
fungsi sawar mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan semakin
kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri dan
virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi ceramide sehingga menyebabkan kulit makin
kering (Soebaryo R.W., 2009).
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi
dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi
sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil
memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4
dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g
serta infiltrasi makrofag dan eosinophil.
Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T
ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi
endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+
maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi
(CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand
yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena
mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut
mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya
peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang
diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment.
3. Lingkungan
Pada daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas ruangan
sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, asap rokok,
penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelembaban, penggunaan
sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna
(Soebaryo, 2004). Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi
pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan virus,
juga pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori
Hygiene Hypothesis (Roesyanto I.D., & Mahadi. 2009).
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun oleh
pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap
penyakit atopik (Sugito T.L., 2009).
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya
diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki
reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf
spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa
gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian
patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik.
4. Imunopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan menyebabkan
pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan produksi sel T. Sel mast
meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan
histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. Kemungkinan zat
tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal
menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan
IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik. Demikian pula defisiensi sel T penekan
(suppressor). Defisiensi sel ini menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A., dkk,
2001).
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen
yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga
terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE.
• Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma
bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar
80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan
DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika
di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar
DA adalah suatu penyakit atopi.
• Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi
inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar
Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-
13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan
(makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I.
Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun
pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+),
sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun
dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah
vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya,
sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering
digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak
silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009).
Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya
diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya
eksema.
5. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE terhadap
protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan
karena kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada
dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya antigen endogen
manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit terkait dengan alergi
dan autoimunitas (Soebaryo R.W., 2009).

E. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan kehidupan,
mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak didapatkan tingkat keparahan yang
berbeda, tetapi secara umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I.,
2009).
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang dan
kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan
intelegensia diatas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
Subyektif selalu terdapat pruritus dengan 3 bentuk, yaitu:
1. Fase infantil ( 0 - 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran, biasanya bersifat
akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi (Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya
didaerah pipi yang berkontak dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem
berbatas tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif,
eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan
ekstensor (Mansjoer A., dkk, 2001).
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan
sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta
dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat
terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. (Sularsito S.A., &
Djuanda A., 2005).
Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu pada
bulan kedua, biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, dan simetris. Pada bayi yang belum
dapat merangkak, lesi biasanya ditemukan pada wajah (dahi-pipi), kulit kepala dan
permukaan ekstensor ekstremitas. Umumnya diawali oleh plak eritema, papul, vesikel yang
sangat gatal di pipi, dahi, dan leher tetapi dapat pula mengenai badan, lengan dan tungkai.
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak menjadi gelisah, susah tidur, dan
sering menangis. Bila anak mulai merangkak lesi dapat timbul di tangan dan lutut. Karena
garukan terjadi erosi dan ekskoriasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Pada
sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur. Tipe ini cenderung kronis
dan residif. Sebagian besar penderita sembuh setelah dua tahun dan sebagian lagi berlanjut
ke fase anak.
Gambar Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
2. Fase anak (2 - 12 tahun)
Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan kelanjutan fase bayi.
Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat
adanya gatal dan garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks.
Tempat predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang diwajah
(Mansjoer A., dkk., 2001). Lesi DA pada anak juga bisa terjadi dipaha dan bokong
(Zulkarnain I., 2009).
Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor (luar) daerah
persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga dapat

terjadi.
Gambar Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

Dapat merupakan lanjutan bentuk dermatitis atopik infantil ataupun timbul sendiri
(de novo). Timbul pada masa kanak-kanak (2–12 tahun). Predileksi mendominasi daerah
antecubital dan fossa popliteal serta bagian belakang leher. Lesi kering, likenifikasi, batas
tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan krusta. Dapat
merupakan lanjutan dari tipe bayi atau baru timbul pertama kali. Sering ditemukan lipatan
Denni Morgan yaitu lipatan kulit dibawah kelopak mata. Dermatitis atopik berat yang lebih
dari 50% permukaan tubuh dapat mengganggu pertumbuhan
3. Fase dewasa (> 12 tahun)
Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-anak
(Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi.
Tempat predileksi tengkuk serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal terutama jika
berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis,
hiperlinearis Palmaris et plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-
papul miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh apabila mengalami
stress, mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang gatal. DA remaja cenderung
berlangsung lama kemudian menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang
sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua (Sularsito S.A., &
Djuanda A., 2005).
Bentuk lesi ini biasanya timbul pada usia lebih dari 12 tahun dan hampir serupa
dengan lesi kulit fase akhir anak-anak. Gejala utama adalah pruritus, kelainan kulit berupa
likenifikasi, papul, eksema, dan krusta. Pedileksi lesi secara klasik ditemukan pada daerah
fossa kubiti dan poplitea, leher depan dan belakang, dahi serta daerah sekitar mata.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal terutama jika berkeringat.
Dermatitis atopik remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik
setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung
sampai tua.

Gambar tempat
predileksi DA fase infantil (Judarwanto W., 2009).
Gambar tempat predileksi
DA fase anak-anak (Judarwanto W., 2009).

Kelainan yang biasa ditemukan pada dermatitis atopik, yaitu:


1. ‘White dermatographism’ merupakan goresan pada kulit penderita dermatitis atopik akan
menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang
menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya. Walaupun
peristiwa ini tidak patognomonik untuk dermatitis atopik, tetapi kadang-kadang dapat
digunakan sebagai diagnosis dermatitis atopik.
2. Reaksi vaskular paradoksal merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita
dermatitis atopik. Apabila ekstremitas penderita dermatitis atopik mendapat pajanan hawa
dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan dibandingkan
dengan orang normal. Hal ini diduga karena adanya pelebaran dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat di
jaringan sekelilingnya.
3. Lipatan telapak tangan/palmar hiperlinearlity of palms or soles yaitu terdapatnya
pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan
tanda khas untuk dermatitis atopik.
4. Garis Morgan atau Dennie merupakan kelainan berupa cekungan yang menyolok dan
simetris, namun dapat ditemukan satu atau dua cekungan di bawah kelopak mata bagian
bawah. Kelainan tersebut dapat ditemukan pada 50%-60% pasien dermatitis atopik dengan
berbagai variasi etnis. Keadaan ini muncul pada saat lahir, atau segera sesudah itu dan
bertahan sepanjang hidup, nampak seperti edema dari kelopak mata bagian bawah.
5. Sindrom ‘buffed-nail’ merupakan kuku yang terlihat mengkilat karena selalu menggaruk
akibat rasa sangal gatal.
6. ‘Allergic shiner’, sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan
garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan
peningkatan timbunan melanin.
7. Hiperpigmentasi, biasanya terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.
8. Kulit kering. Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan
berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah kelenjar sebasea
berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan
xerosis, terutama pada musim panas.
9. ‘Delayed blanch’. Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya
keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan dengan delayed
blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau peningkatan permeabilitas kapiler.
10. Keringat berlebihan. Penderita dermatitis atopik cenderung berkeringat banyak sehingga
pruritus bertambah.
11. Gatal dan garukan berlebihan. Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang
normal menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita dermatitis atopik
gatal dapat bertahan selama 45 menit.

F. DIAGNOSA
Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan gradasi berat-ringannya
DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Rajka sebagaimana berikut:
I. Luasnya Lesi Kulit
Fase anak/dewasa
<9% luas tubuh =1
9-36% luas tubuh = 2
>36% luas tubuh =3
Fase infantile
<18% luas tubuh =1
18-54% luas tubuh = 2
>54% luas tubuh =3
II. Perjalanan Penyakit
Remisi > 3 bulan/tahun =1
Remisi < 3 bulan/tahun =2
Kambuhan/terus menerus = 3
III. Intensitas Penyakit
Gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = +1
Gatal sedang, sering mengganggu tidur (tidak terus-menerus) = +2
Gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam (terus-menerus) = +3
Penilaian skor (Zulkarnain I., 2009):
 3 - 4 : ringan
4.5 - 7.5 : sedang
 8 - 9 : berat
Dermatitis atopik didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan gambaran klinis Hanifin dan Rajka yang menggunakan kriteria mayor
dan minor untuk dasar diagnosis dermatitis atopik. Kriteria mayor biasanya konsisten ditemukan
pada kasus dermatitis atopik, sedangkan kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok
kontrol. Menurut Hanifin dan Rajka gambaran diagnostik dermatitis atopik harus terdapat tiga
atau lebih kriteria mayor:
1. Pruritus
2. Morfologi dan regio yang khas, likenifikasi fleksural pada orang dewasa, lesi pada wajah
dan ekstensor pada bayi dan anak.
3. Perlangsungan kronik dan residif.
4. Riwayat atopi (asma, rhinitis alergi atau dermatitis atopik) pada diri sendiri atau keluarga.
Kriteria minor terdapat tiga atau lebih:
1. Xerosis, iktiosis atau hyperkeratosis palmaris atau keratosis pilaris.
2. Reaktifitas kulit tipe cepat.
3. Peningkatan Ig E serum.
4. Dermatitis di daerah palmo-plantar.
5. Kheilitis.
6. Dermatitis di daerah kepala.
7. Kemudahan mendapat infeksi Staphylococcus aureus dan herpes simpleks.
8. Papul perifolikuler hyperkeratosis di atas lesi hiperpigmentasi.
9. Pitiriasis Alba.
10. Dermatitis di puting susu.
11. White Dermographism.
12. Katarak dan keratokonus.
13. Garis Dennie Morgan.
14. Kemerahan atau kepucatan di wajah.
15. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi.

G. TERAPI FARMAKOLOGI
1. Pengobatan topikal
a. Hidrasi kulit
Hidrasi adalah terapi dermatitis atopik yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah
peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi selama 15-20 menit 2 kali
sehari tidak menggunakan air panas, sabun dengan moisturizers dan tidak
menambahkan minyak karena mempengaruhi penetrasi air serta menerapkan sawar
hidrofobik untuk mencegah evaporasi. Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar
kulit menjadi lebih baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih inpermeabel terhadap
mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim
hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung asam laktat dengan konsentrasi
kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah mandi.
b. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal mempunyai efek anti inflamasi, antipruritus, dan efek
vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal
adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi; tidak
lebih dari 2 kali sehari. Walaupun steroid topikal sering diberi pada pengobatan
dermatitis atopik, tetapi harus berhati-hati karena efek sampingnya yang cukup banyak.
Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah
genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila
aktifitas penyakit telah terkontrol, kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya
dua kali seminggu bila perlu dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi.
c. Imunomodulator topikal
Imunomodulator topikal yang dipakai dalam pengobatan dermatitis atopik adalah
takrolimus dan pimekrolimus. Takrolimus bekerja sebagai penghambat calcineurin,
sediaan dalam bentuk salep 0,03% untuk anak usia 2–15 tahun dan dewasa 0,03% dan
0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek samping kecuali rasa
terbakar setempat. Pimekrolimus merupakan senyawa askomisin yaitu suatu
imunomodulator golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan
takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat
dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari.
d. Antihistamin
Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada dermatitis atopik karena berpotensi kuat
menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam jangka pendek
(1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas
akan menimbulkan efek samping sedative.
2. Pengobatan sistemik
a. Kortikosteroid
Hanya dipakai untuk mengendalikan dermatitis atopik eksaserbasi akut. Digunakan
dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis diturunkan secara
tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-
tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen. Penggunaan kortikosteroid oral sangat
terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya
prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari.
b. Antihistamin
Pemberian antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin
harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik, aktifitas penderita
dll. Antihistamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada
penderita dengan aktifitas di siang hari. Pada kasus sulit dapat diberi doxepin
hidroklorid 10-75 mg/oral dan diberikan 2 kali sehari yang mempunyai efek anti
depresan dan blokade reseptor histamin H1 dan H2.
c. Antibiotika
Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi dermatitis atopik yang
luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin,
sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai bila ada krusta
yang luas, folikulitis, pioderma dan furunkulosis. Staphylococcus aureus yang resisten
penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi
penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama.
Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada
pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya.
Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin. Dari hasil pembiakan dan uji
kepekaan terhadap Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap penisilin, 20%
terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap
sefalosporin. Bila ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 x 400mg selama 10 hari
atau 4 x 200 mg untuk 10 hari.
d. Interferon
Interferon γ bekerja menekan respons Ig E dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel
Th1. Pengobatan IFN-γ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis karena dapat
menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
e. Siklosporin
Adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan
calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga
transkripsi sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu singkat, bila
obat dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya adalah
peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan fungsi ginjal dan
hipertensi.
3. Terapi sinar (phototherapy)
Dipakai untuk dermatitis atopik yang berat. Terapi menggunakan ultra violet ß atau
kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terapi kombinasi lebih baik daripada ultra
violet B saja. Ultra violet A bekerja pada sel langerhans dan eosinofil sedangkan ultra
violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel langerhans
dan mengubah produksi sitokin keratinosit.
4. Probiotik
Pemberian probiotik Lactobacillus rhamnosus GG perinatal akan menurunkan risiko
dermatitis atopik pada anak di usia 2 tahun pertama. Hasil pengobatan ini bisa dilihat dari
uji tusuk kulit dan kadar IgE dalam darah.

H. TERAPI NON FARMAKOLOGI


Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan didasarkan pada
keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama
(Long-Term Control) bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan. Pengobatan DA bertujuan
untuk menghilangkan wujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit, mencari faktor
pencetus dan mengurangi kekambuhan secara konvensional. Pengobatan DA kronik adalah
sebagai berikut:
1. Mengobati rasa gatal.
2. Menghindari bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih).
3. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti (makanan, mainan berbulu, kapuk, karpet),
4. Menghilangkan pengeringan kulit.
5. Mengurangi stress.
6. Dan memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga. (Kariossentono H., 2006).
BAB III
KASUS DERMATITIS ATOPIK

RR adalah seorang anak perempuan berusia 4 tahun yang baru saja mulai dititipkan
penitipan anak sekitar 1.5 bulan yang lalu. Tetapi dia tidak ingin tinggal di penitipan dan tidak
mau ditinggalkan ketika ibunya mencoba untuk meninggalkannya di TPA. Ibunya mengatakan
bahwa dermatitis atopik RR telah muncul lagi setelah dititipkan. RR telah memiliki dermatitis
atopik sejak ia berusia sekitar 6 bulan. Tetapi dapat dikendalikan dengan baik dengan
kortikosteroid topikal dan menggunakan pelembab.
Timbulnya kembali dermatitisnya dimulai sekitar 2-3 minggu yang lalu. Selama dia belum
tidur lelap, selalu mencoba untuk menggaruk kulitnya di malam hari.
Ibunya telah menggunakan seprei katun untuk tidur sejak dia masih bayi. Baju tidurnya
juga dibuatkan oleh ibunya dengan bahan 100% katun untuk mencegah RR dari goresan, karena
goresan dapat menyebabkan luka, yang kemudian terinfeksi. Pada siang hari, RR terus ingin
menggaruk kulitnya tetapi telah diberitahu untuk hanya "menepuk" daerah yang gatal. Pengasuh
di pusat penitipan anak mengawasi perilaku menggaruknya juga tapi tidak selalu mampu
mencegah dia dari menggaruk dirinya. Mereka juga menginformasikan ibunya bahwa RR suka
makan makanan bersama oleh anak-anak lain.
RR diberi ASI sejak lahir selama 7 minggu, sampai saat ibunya memutuskan untuk
kembali bekerja. RR kemudian dirawat di rumah oleh babysitter dan diberikan susu formula,
dengan diperkenalkan oatmeal sereal sebagai makanan padat pertama. Dia makan beberapa
lemon meringue pie (dibuat dengan putih telur) sekali, dan kemuadian gatal-gatal, sehingga
dikatakan bahwa RR memiliki alergi telur. Hal ini dikonfirmasi oleh pengujian alergi pada kulit.
Dermatitis Atopik RR terlihat pada umur 6 bulan. Orang tuanya baru-baru ini menjadi sadar
bahwa babysitter meninggalkan RR sendiri banyak (duduk di lantai / karpet dan bermain
sendiri). Itulah alasan utama untuk menitipkan RR ke pusat penitipan anak. Tetapi sejauh ini
yang telah terbukti menjadi masalah lain bagi RR. Dia tidak bermain dengan baik dengan anak-
anak lain. RR telah dilatih buang air ditoilet, tetapi sekarang tidak dilatih lagi toilet dan
menggunakan popok lagi.
Dari riwayat keluarga, terdapat sejarah keluarga yang kuat atopi. Ayah RR memiliki alergi
parah terhadap kerang, dan ibunya memiliki sejarah demam. Adik ayahnya memiliki beberapa
alergi makanan. Nenek dari pihak ibu menderita asma. Ayah sepupunya memiliki eksim infantil.
Ibu sepupunya memiliki alergi kacang parah (gatal-gatal umum).
Pengobatan:
Hidrokortison 1% krim dioleskan pada daerah yang terkena dermatitis 2-4 kali sehari, sekarang
krim dioleskan 3 kali sehari.
Vaselin dan Diphenhydramine 1/2 sendok teh 3-4 kali sehari dan sebelum tidur juga diberikan
jika diperlukan (saat kulit sangat gatal, agar RR tidur).
Alergi:
Alergi terhadap beberapa makanan: telur, strawberi,dan tomat.
Tanda vital:
BP 98/50, HR 96, RR 18, T 37°C; Wt 12.2 kg (10th percentile), Ht 98 cm (38.6''; 50th
percentile), head circumference 49.5 cm (19.5''; 50th percentile)
Kulit
Secara umum kering. Lesi eczimatic kulit di daerah lentur (belakang telinga, sendi pergelangan
tangan, siku, lutut). Papula pruritus di daerah lentur. Luka dari goresan. Beberapa perdarahan
dilihat tetapi tidak muncul terinfeksi. Beberapa lesi kulit retak terlihat di belakang telinga dan
lutut. Tidak ada lesi pada bagian ekstensor tubuhnya, tidak ada lesi di atas hidungnya, dan tidak
ada lesi di daerah popok. Sisa dari pemeriksaan fisik normal.
Hasil Laboratorium
Na 135 mEq/L Hgb 12.0 g/dL WBC differential AST 20 IU/L
K 4.0 mEq/L Hct 35% Neutros 50% ALT 7 IU/L
Cl 102 mEq/L Plt 230x103/mm3 Bands 3% IgE 300 IU/mL
CO2 26 mEq/L WBC 5.0x103/mm3 Eosinophils 18% D-dimer—90 ng/mL
BUN 8 mg/dL Lymphs 27% RAST elevated SCr 0.2 mg/dL
Basophils 1% INR 1.1 Monos 1% aPTT 30 sec

Identifikasi masalah :
Identifikasi Masalah
1. a. Buat daftar masalah terapi obat untuk pasien ini.
b. Apa tanda dan gejala dermatitis atopik tidak pasien ini menunjukkan?
c. Apa faktor risiko yang mungkin berkontribusi memberatkan dermatitis atopik pasien?
d. Mungkinkah tanda dan gejala yang dialami pasien disebabkan oleh penggunaan obat? Hasil
yang diinginkan?
2. Apa tujuan pengobatan untuk pasien ini?
Alternatif terapi
3. Sebutkan alternatif terapi nonfarmakologis dan farmakologis yang memungkinkan untuk
mengelola pasien pruritus dan dermatitis atopik? Rencana optimal
4. Apa rejimen pengobatan paling cocok untuk pasien ini? Evaluasi hasil
5. Khasiat dan efek samping apa yang harus dilakukan pemantauan atas strategi manajemen
Anda dianjurkan?
Pendidikan pasien
6. Bagaimana Anda akan menginformasikan kepada pengasuh pasien tentang rejimen
pengobatan untuk meningkatkan kepatuhan dan memastikan terapi sukses?
FORM DATA BASE PASIEN
UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : RR No Rek Medik:-
Tempat/tgl lahir :- Dokter yang merawat :-
Alamat :-
Ras :-
Umur : 4 tahun
Jenis kelamin :wanita
Sosial :-
Riwayat masuk RS :-
Riwayat penyakit : dermatitis atopik RR telah muncul lagi setelah dititipkan. RR
telah memiliki dermatitis atopik sejak ia berusia sekitar 6 bulan. Tetapi dapat dikendalikan
dengan baik dengan kortikosteroid topikal dan menggunakan pelembab. Timbulnya kembali
dermatitisnya dimulai sekitar 2-3 minggu yang lalu.
Riwayat penyakit dalam keluarga : terdapat sejarah keluarga yang kuat atopi. Ayah RR memiliki
alergi parah terhadap kerang, dan ibunya memiliki sejarah demam. Adik ayahnya memiliki
beberapa alergi makanan. Nenek dari pihak ibu menderita asma. Ayah sepupunya memiliki
eksim infantil. Ibu sepupunya memiliki alergi kacang parah (gatal-gatal umum).
Riwayat pengobatan : Hidrokortison 1% krim dioleskan pada daerah yang terkena
dermatitis 2-4 kali sehari, sekarang krim dioleskan 3 kali sehari. Vaselin dan Diphenhydramine
1/2 sendok teh 3-4 kali sehari dan sebelum tidur juga diberikan jika diperlukan (saat kulit sangat
gatal, agar RR tidur).
Riwayat Sosial :
Kegiatan
Vegetarian Tidak
Pola makan/diet Tidak
Merokok Tidak
Meminum alkohol Tidak
Meminum obat herbal Tidak
Riwayat alergi : telur, strawberi, dan tomat.

2. Keluhan / tanda Umum


Tgl Subyektif
2-3 minggu yang lalu Selalu mencoba untuk menggaruk kulitnya di malam hari dan
Pada siang hari, RR terus ingin menggaruk. Kulit secara
umum kering. Lesi eczimatic kulit di daerah lentur (belakang
telinga, sendi pergelangan tangan, siku, lutut). Papula pruritus
di daerah lentur. Luka dari goresan. Beberapa perdarahan
dilihat tetapi tidak muncul terinfeksi. Beberapa lesi kulit retak
terlihat di belakang telinga dan lutut. Tidak ada lesi pada
bagian ekstensor tubuhnya, tidak ada lesi di atas hidungnya,
dan tidak ada lesi di daerah popok. Sisa dari pemeriksaan fisik
normal.

Tanda Vital
Parameter Nilai normal Data obyektif Implikasi klinik
Tekanan darah (mmHg) 105/67 98/50 hipotensi
Denyut nadi (x/menit) 60-100 96 normal
Respiratory Rate (x/menit) 12-18 18 normal
Suhu tubuh (ºC) 35,3-36,8 37 Febris
Berat badan (kg) 16 12.2 kurus
Tinggi badan (cm) 101 98 normal
Head circumference (cm) 50 49.5 normal

Data pemeriksaan laboratorium


Parameter Nilai normal Data obyektif Implikasi klinik
Hemoglobin (g/dL) 12-16 12.0 normal
Hematokrit (%) 35-45 35 normal
Na (mEq/L) 135-145 135 normal
K (mEq/L) 3,6 – 5,8 4 normal
Cl (mEq/L) 98-110 mEq/L 102 normal
Plt 150-390 (103/mm3) 230x103/mm3 normal
Neutros (%) 36-73 Neutros 50 normal
Bands (%) 0- 12 Bands 3% normal
AST (IU/L) 5 – 35 20 normal
ALT (IU/L) 5-35 7 normal
IgE (IU/mL) <60 300 meningkat
CO2 (mEq/L) 20-28 26 normal
WBC (L) 3,5-10,0 (103/mm3) 5.0 x103/mm3 normal
Eosinophils (%) 0–6 18 Meningkat
D-dimer (ng/ml) <300 90 normal
BUN (mg/dl) 5-20 8 normal
Limfosit (%) 15 – 45 27 normal
SCr (mg/dL) 0.7-1.3 0.2 normal
Basophils (%) 0- 2 1 normal
INR 0,8 – 1,2 1,1 normal
Monosit (%) 0-11 1 normal
aPTT (detik) 21 – 45 30 normal
Obat-obatan yang digunakan saat ini
Rute
No. Nama Obat Indikasi Dosis Interaksi ESO Outcome Terapi
Pemberian
Dematitis atopik
terobati
Depigmentasi ringan yang
mungkin hanya sementara
Hidrokortison Dermatitis
1. 2-4 x sehari Topikal - tetapi bisa menetap sebagai
1% atopik
bercak-bercak putih,
Hipertrikosis

½ sendok teh
Pelembab
Vaselin dan 3-4x sehari Rasa terbakar lokal, rasa Inflamasi terobati
2. dan Anti Topikal -
diphenhydramin sebelum menyengat, iritasi, ruam
histamin
tidur

Assesment
Problem Subyektif Obyektif Terapi Analisis DRP
Medik
Dermatitis Gatal, kulit kering, lesi eczimatic IgE 300. Hidrocortisoon Terapi kurang tepat Terapi kurang tepat
Atopik kulit di daerah lentur (belakang Eosinophils 18% karena dermatitis
telinga, sendi pergelangan tangan, terjadi kekambuhan
siku, lutut), papula pruritus di
daerah lentur, luka dari goresan,
beberapa perdarahan dilihat tetapi
tidak muncul terinfeksi, beberapa
lesi kulit retak terlihat di belakang
telinga dan lutut
Demam - 37°C - Belum diterapi Indikasi belum
diterapi
Hipotensi - 98/50 mmHg - Belum diterapi Indikasi yang tidak
ditangani
Care Plan

Terapi farmakologi
 Pasien mengalami dermatitis atropik dilihat dari nilai IgE yang tinggi, pasien sudah
mendapatkan pegobatan Hidrokortison 1% krim yang dioleskan pada daerah yang terkena
dermatitis 3 kali sehari yang merupakan lini pertama pengobatan dermatitis atropik namun
dermatitis pasien tidak ada perbaikan. Sehingga rekomendasi pengobatan pasien sebaiknya
diganti dengan lini kedua yaitu untuk pasien yang mengalami dermatitis berulang, pasien
sebaiknya diberikan Imunomodulator tacrolimus 0,03% dan Pimecrolimus (golongan
Inhibitor Calcineurin). Golongan inhibitor calcineurin ini menghambat respons limfosit T
dengan menghambat calcineurin. FDA menyetujui penggunaannya sebagai lini kedua
penanganan DA derajat sedang hingga berat pada pasien imunokompeten berusia 2 tahun atau
lebih untuk jangka pendek dan tidak terus menerus..
 Untuk demam pasien direkomendasikan parasetamol sirup dengan dosis 3 kali sehari 1
sendok takar
 Vaselin dan Diphenhydramine 3-4 kali sehari dan sebelum tidur tetap diberikan untuk
mengatasi kulit kering dan gatal pada pasien
 Rekomendasi terapi untuk hipotensi sebaiknya pasien melakukan terapi non farmakologi
seperti minum air putih yang banyak, makan dalam jumlah kecil tapi sering.

Terapi Non Farmakologi


Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan didasarkan pada
keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama
(Long-Term Control) bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan.
 Menghindari makanan yang mengandung telur, strawberi, dan tomat.
 Penggunaan popok pada pasien sbaiknya dihentikan, karena dapat memicu timbulnya gatal
dan iritasi
 Menghindari mandi dengan air terlalu panas, karena dapat menambah rasa gatal,
 Jangan memakai handuk dengan menggosok pada kulit melainkan menepuk-nepuknya,
 Menghindari sabun/pembersih kulit yang mengandung antiseptik, karena dapat
mempermudah resistensi.
 Sebaiknya menggunakan pelembab secara teratur sangat penting untuk mengatasi
kekeringan kulit dan memperbaiki integritas sawar kulit.
 Selalu menjaga kebersihan anak terutama dari debu
 Gunakan baju yang berbahan katun

Monitoring
- Monitoring gejala gatal-gatal, luas dan penyebaran bercak merah di kulit
- Monitoring outcome terapi setelah penggunaan obat
- Monitoring suhu tubuh pasien
- Monitoring tekanan darah pasien

KIE
1. Hindari faktor pencetus alergen seperti debu dan makanan.
2. Informasikan pada keluarga pasien agar anak mencegah anak menggosok dan menggaruk
kulit terlalu kencang.
3. Jaga agar kuku tetap pendek dan bersih untuk mencegah timbulnya guratan ketika
menggaruk.
4. Gunakan pelembab sesering mungkin guna menjaga kulit tetap lembut dan halus (minimal
dua kali sehari).

DAFTAR PUSTAKA
Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk of atopic
dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran, Volume 39, No. 4, Hal. 192-
198.
Dipiro, dkk, 2015, Pharmacotherapy Handbook 9th edition, United State : McGraw-Hill
Education.
Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni Staphylococcus Aureus &
IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik.
Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo.
Surabaya.
Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information;
www.Childrenallergicclinic.wordpress.com.
Kariossentono H., 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS dan UNS Press.
Surakarta. Hal.8-12.
Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001. Dermatitis Atopik
dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta. Penerbit Media
Aesculapius FKUI
Roesyanto I.D., & Mahadi, 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik. dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis
Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20.
Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am Acad Dermatol.
53(1): 115-28.
Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito
T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK
UI. Jakarta. Hal. 39-55
Sukandar, dkk, 2011, Iso Farmakoterapi Buku 2, Jakarta: Isfi Penerbitan
Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
(Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.
Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W.,
Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-
51.
Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No. 11. 460-65.
William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24.
Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A.,
Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai
Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51

Anda mungkin juga menyukai