KELAS A1 / KELOMPOK 3
Dosen pengampu:
Wiwin Herdwiani, M.Sc., Apt.
Disusun Oleh:
Aliyah Nia Fauziah Daud (1820353872)
Amelia Wulandari (1820353873)
1. Definisi
Benign prostatic hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
menggambarkan suatu proses proliferasi selular dari prostat, pembesaran atau
pembengkakan kelenjar prostat, atau disfungsi akibat pembesaran kelenjar prostat dan
obstruksi saluran kandung kemih namun tidak bersifat kanker. Kelenjar prostat
memiliki fungsi untuk memproduksi air mani dan terletak pada rongga pinggul antara
kandung kemih dan penis. BPH menggambarkan proses proliferatif unsur stroma dan
epitel kelenjar prostat. BPH muncul di area periuretra dan transisi prostat. BPH
merupakan fenomena yang sering terjadi dalam populasi laki-laki yang menua.
Sekitar 90% pria akan mengembangkan bukti histologis BPH pada usia 80 tahun.
BPH adalah gangguan yang makroskopiknya ditandai dengan pembesaran dari
kelenjar prostat dan histologisnya disebabkan oleh hiperplasia stroma yang progresif
dan hiperplasia kelenjar prostat. BPH bukan merupakan kanker.
BPH merupakan suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami
pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutup orofisium uretra.
Jaringan prostat yang terus berkembang ini pada akhirnya dapat
mengakibatkan penyempitan dari pembukaan uretra. Prostat terletak mengelilingi
urethra posterior, pembesaran dari prostat mengakibatkan urethra pars prostatika
menyempit dan menekan dasar dari kandung kemih. Penyempitan ini dapat
menghambat keluarnya urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
perubahan anatomi kandung kemih, dimana perubahan struktur ini oleh penderita
dirasakan sebagai keluhan/gejala LUTS.
LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) adalah istilah umum untuk
menjelaskan berbagai gejala berkemih yang dikaitkan dengan BPH. Keluhan pasien
BPH berupa LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi
(storage symptoms).
2. Etiologi
Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat multifaktor
dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen epithelial dan stromal
dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul nodul hiperplastik dengan gejala
yang berhubungan dengan BPH. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah:
a. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron didalam sel prostat
oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti
sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2003).
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : progesteron relatif meningkat.
Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel
prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir
dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar (Purnomo, 2003).
c. Interaksi stromal-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHT
dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu sendiri menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma (Purnomo, 2003).
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan masa prostat (Purnomo, 2003).
e. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,selalu dibentuk sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada
keberadaan hormon androgen sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti
yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel
pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2003).
3. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibro adenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuhdengan menekan kelenjar normal yang tersisa.
Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot
polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-
lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-
buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasiatau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase
kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisamengosongkan vesika
urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statisurin. Urin yang statis akan menjadi
alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan
aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih adaurin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami
kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi
urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan didalamnya
sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah
berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebihpendek (nokturia dan
frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih
yang mendesak/ urgensi dan nyerisaat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat
bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
4. Faktor Resiko
a. Kadar hormon
b. Usia
c. Ras
d. Genetik
e. Obesitas
f. Penyakit DM
Gejala-gejala tersebut disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower
Urinary Tract Syndrome (LUTS)
6. Diagnosis
a. Pemeriksaan rektal digital
Pemeriksaan rektal digital (DRE) merupakan bagian integral dari evaluasi pada pria
dengan dugaan BPH.
b. Studi Laboratorium
- Urinalisis : Periksa urin dengan menggunakan metode dipstik dan atau melalui
evaluasi sedimen disentrifugasi untuk menilai adanya darah, leukosit, bakteri,
protein, atau glukosa.
- Kultur urin : untuk menyingkirkan penyebab infeksi dari pembengkakan iritatif.
- Antigen spesifik prostat.
- Elektrolit, Blood Urea Nitrogen (BUN), dan kreatinin: Evaluasi ini adalah alat
skrining yang berguna untuk insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki
volume postvoid residual (PVR) tinggi.
c. Ultrasonografi
Ultrasonografi (abdominal, renal, transrectal) dan urografi intravena berguna untuk
membantu menentukan ukuran kandung kemih dan prostat dan tingkat hidronefrosis
pada pasien dengan retensi urin atau tanda insufisiensi ginjal.
d. Endoscopy saluran kemih bagian bawah
e. Sistoskopi
Sistoskopi dapat ditunjukkan pada pasien yang dijadwalkan menjalani perawatan
invasif atau di tempat yang diduga ada benda asing atau keganasan.
f. IPSS / AUA-SI
g. Tingkat keparahan BPH dapat ditentukan dengan International Prostate Symptom
Score (IPSS) / American Urological Association Symptom Index (AUA-SI) ditambah
dengan pertanyaan tentang quality of life (QOL) tertentu.
7. Terapi
Tujuan utama terapi adalah untuk mengendalikan gejala, mencegah perkembangan
komplikasi, dan menunda kebutuhan akan intervensi bedah. Pilihannya tergantung pada
beratnya tanda dan gejala.
a. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi sesuai untuk pasien dengan gejala BPH sedang dan sebagai
tindakan sementara untuk pasien dengan BPH berat.
Keparahan
Kekhasan Gejala dan Tanda
Penyakit
Ringan Asimtomatik
Kecepatan urinari puncak < 10 mL/s
Volume urine residual setelah pengosongan > 25-50 mL
Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Sedang Semua tanda di atas ditambah obstruktif penghilangan
gejala dan iritatif penghilangan gejala (tanda dari
detrusor yang tidak stabil)
Parah Semua yang di atas ditambah satu atau lebih komplikasi
BPH
2) 5α Reductase Inhibitors
- 5α-reduktase inhibitor mengganggu efek stimulasi dari testosteron. Agen ini
memperlambat perkembangan penyakit dan mengurangi risiko komplikasi.
- Dibandingkan dengan antagonis α1-adrenergik, kerugian dari 5α-reductase
inhibitors termasuk 6 bulan penggunaan secara maksimal mengecilkan prostat,
cenderung menginduksi peningkatan objektif dan disfungsi seksual lebih.
- Apakah keuntungan farmakodinamik dari dutasteride memberikan keuntungan
klinis lebih dari finasteride tidak diketahui. Dutasteride menghambat jenis I dan
II5α-reduktase, sedangkan finasteride menghambat hanya tipe II. Dutasteride
lebih cepat dan benar-benar menekan DHT intraprostatic (vs 80% -90% untuk
finasteride) dan mengurangi serum DHT dengan 90% (vs 70%).
- 5α-reduktase inhibitor mungkin lebih disukai pada pasien dengan aritmia tidak
terkontrol, angina kurang terkontrol, menggunakan beberapa antihipertensi, atau
tidak dapat mentoleransi efek hipotensi antagonis α1-adrenergik.
- Mengukur PSA pada awal dan lagi setelah 6 bulan terapi. Jika PSA tidak
menurun sebesar 50% setelah 6 bulan terapi pada pasien compliant, mengevaluasi
pasien untuk kanker prostat.
- 5α-reduktase inhibitor pada kategori X untuk kehamilan menurut FDA dan
karena itu kontraindikasi pada wanita hamil. Wanita hamil dan berpotensi hamil
tidak harus memegang tablet atau memiliki kontak dengan air mani dari pria yang
mengkonsumsi inhibitor 5α-reduktase.
Prostatetomi tidak efektif untuk penghilangan gejala BPH iritatif. Pasien ini mungkin
memberikan respon terhadap senyawa antikolinergik oral seperti oksibutinin atau L-
hiosiamin
BAB II
PEMBAHASAN
Kasus 3: BPH
Kasus
Tuan GH lelaki berusia 38 tahun, 2 tahun yang lalu didiagnosa BPH ringan pasien
tidak mendapat pengobatan apapun kecuali hanya pemeriksaan rutin dan
mengatur gaya hidup. Tetapi akhir-akhir ini Tn. GH merasa keluhan BPH nya
bertambah parah dan disertai dengan gangguan ejakulasi dini, dan saat ini
demam. Saat ini Tn GH hanya mengikuti rawat jalan.
Pertanyaan
A. IDENTITAS PASIEN
Tgl. MRS : -
Tgl. KRS : -
B. KELUHAN/TANDA UMUM
1. Data Subyektif
Tanggal
Keluhan
11-12-2017
Nyeri √
Demam √
2. Data Objektif
Data Klinis
Tanggal
Pemeriksaan Satuan
11/8
TD mmHg 120/90
Nadi x/menit 98
RR x/menit 88
0
T C 40
Data Laboratorium
Tanggal
Nilai
Parameter Pemeriksaan
Normal
11/8
Leukocytes 3500 – 10.000 8550
Hb 11.0 – 16.5 % 11
Hematocrite 35.0 – 50.0 % 35
Thombocytes 150.000 – 390.000 201.000
Glucose Random 60 - 110 mg/dl 90
Ureum/BUN 10 - 50 mg/dl 40
Creatinine 0.7 - 1.5 mg/dl 4,91
SGOT 11 – 41 U/I 78
SGPT 10 - 41 U/I 76
Albumin 3.5 - 5.0 g/dl 2,8
Na 135 - 145 mmol/l 138
Potassium/K 3.5 - 5.0 mmol/l 4,0
Chlorida/Cl 98 - 106 mmol/l 100
p.H 7.35 - 7.45 7.38
p.CO2 35 - 45 37.0
p.O2 80 - 100 87
HCO3 21 - 28 23
O2 saturated > 95% 98,9
Base Excess (-)3 - (+)3 (-)1
C. PROFIL TERAPI
Tanggal
No. Nama Obat Dosis Rute
11/8
1. Prazozin 500 mg Oral √
Do Parasetamol = 70,375 mg
Menentukan dosis N-acetylcysteine
Dosis awal N-acetylcysteine = 200 mg
200 mg Do
=
120 ml/m2 16,89 ml /m 2
Do = 28,15 mg ~ 28,15 mg
7. Terjadi penurunan kadar albumin, dimana jika kadar albumin rendah maka kadar obat
bebas akan tinggi di dalam tubuh yang dapat menyebabkan toksisitas. Maka perlu
diberi injeksi albumin 20% atau 25%.
H. MONITORING
1. Evaluasi kadar BUN dan kreatinin pasien secara rutin.
2. Monitoring laju aliran urin.
3. Monitoring kadar hemoglobin pasien.
4. Monitoring kadar SGOT, SGPT dan albumin pasien, karena penggunaan ceftriaxone
dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT.
5. Dilakukan kultur pada urin untuk menyingkirkan penyebab infeksi dari
pembengkakan iritatif.
6. Monitoring tekanan darah dan denyut nadi pasien karena penggunaan Prazosin dapat
menyebabkan efek samping hipotensi ortotastik.
7. Monitoring laju pernapasan pasien.
8. Monitoring nilai PSA (Prostate Specific Antigen) pasien.
9. Monitoring suhu tubuh.
10. Monitoring volume urin pasien.
11. Cek CT Scan untuk mengetahui perkembangan bentuk dan besar prostat.
12. Monitoring urinalisis untuk mengetahui adanya leukosituria dan hematuria, jika ada
maka terjadi komplikasi seperti ISK.
DAFTAR PUSTAKA