Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH STUDI KASUS

PRAKTIKUM FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK


KASUS 3 “Benign prostatic hyperplasia (BPH)”

KELAS A1 / KELOMPOK 3

Dosen pengampu:
Wiwin Herdwiani, M.Sc., Apt.

Disusun Oleh:
Aliyah Nia Fauziah Daud (1820353872)
Amelia Wulandari (1820353873)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2018
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Benign prostatic hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
menggambarkan suatu proses proliferasi selular dari prostat, pembesaran atau
pembengkakan kelenjar prostat, atau disfungsi akibat pembesaran kelenjar prostat dan
obstruksi saluran kandung kemih namun tidak bersifat kanker. Kelenjar prostat
memiliki fungsi untuk memproduksi air mani dan terletak pada rongga pinggul antara
kandung kemih dan penis. BPH menggambarkan proses proliferatif unsur stroma dan
epitel kelenjar prostat. BPH muncul di area periuretra dan transisi prostat. BPH
merupakan fenomena yang sering terjadi dalam populasi laki-laki yang menua.
Sekitar 90% pria akan mengembangkan bukti histologis BPH pada usia 80 tahun.
BPH adalah gangguan yang makroskopiknya ditandai dengan pembesaran dari
kelenjar prostat dan histologisnya disebabkan oleh hiperplasia stroma yang progresif
dan hiperplasia kelenjar prostat. BPH bukan merupakan kanker.
BPH merupakan suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami
pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutup orofisium uretra.
Jaringan prostat yang terus berkembang ini pada akhirnya dapat
mengakibatkan penyempitan dari pembukaan uretra. Prostat terletak mengelilingi
urethra posterior, pembesaran dari prostat mengakibatkan urethra pars prostatika
menyempit dan menekan dasar dari kandung kemih. Penyempitan ini dapat
menghambat keluarnya urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
perubahan anatomi kandung kemih, dimana perubahan struktur ini oleh penderita
dirasakan sebagai keluhan/gejala LUTS.
LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) adalah istilah umum untuk
menjelaskan berbagai gejala berkemih yang dikaitkan dengan BPH. Keluhan pasien
BPH berupa LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi
(storage symptoms).
2. Etiologi
Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat multifaktor
dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen epithelial dan stromal
dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul nodul hiperplastik dengan gejala
yang berhubungan dengan BPH. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah:
a. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron didalam sel prostat
oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti
sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2003).
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : progesteron relatif meningkat.
Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel
prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir
dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar (Purnomo, 2003).
c. Interaksi stromal-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHT
dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu sendiri menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma (Purnomo, 2003).
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan masa prostat (Purnomo, 2003).
e. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,selalu dibentuk sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada
keberadaan hormon androgen sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti
yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel
pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2003).

3. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibro adenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuhdengan menekan kelenjar normal yang tersisa.
Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot
polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-
lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-
buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasiatau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase
kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisamengosongkan vesika
urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statisurin. Urin yang statis akan menjadi
alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan
aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih adaurin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami
kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi
urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan didalamnya
sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah
berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebihpendek (nokturia dan
frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih
yang mendesak/ urgensi dan nyerisaat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat
bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

4. Faktor Resiko
a. Kadar hormon
b. Usia
c. Ras
d. Genetik
e. Obesitas
f. Penyakit DM

5. Tanda dan Gejala


Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif.
a. Gejala obstruksi
- Hesistansi : kesulitan untuk mengeluarkan pancaran urine, akibat dari tekanan
pada uretra dan leher kandung kemih.
- penurunan volume urin
- rasa tidak tuntas saat berkemih
- double voiding : rasa ingin berkemih lagi sesudah berkemih
- mengejan saat berkemih
- urin menetes setelah berkemih
b. Gejala iritatif
- Urgensi : rasa segera untuk mengosongkan urin, akibat tekanan pada bladder.
- Frekuensi : memerlukan frekuensi yang lebih sering untuk berkemih, akibat dari
tekanan kandung kemih.
- Nokturia : terbangun pada tengah malam untuk mengeluarkan urin akibat tekanan
pada bladder.

Gejala-gejala tersebut disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower
Urinary Tract Syndrome (LUTS)
6. Diagnosis
a. Pemeriksaan rektal digital
Pemeriksaan rektal digital (DRE) merupakan bagian integral dari evaluasi pada pria
dengan dugaan BPH.
b. Studi Laboratorium
- Urinalisis : Periksa urin dengan menggunakan metode dipstik dan atau melalui
evaluasi sedimen disentrifugasi untuk menilai adanya darah, leukosit, bakteri,
protein, atau glukosa.
- Kultur urin : untuk menyingkirkan penyebab infeksi dari pembengkakan iritatif.
- Antigen spesifik prostat.
- Elektrolit, Blood Urea Nitrogen (BUN), dan kreatinin: Evaluasi ini adalah alat
skrining yang berguna untuk insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki
volume postvoid residual (PVR) tinggi.
c. Ultrasonografi
Ultrasonografi (abdominal, renal, transrectal) dan urografi intravena berguna untuk
membantu menentukan ukuran kandung kemih dan prostat dan tingkat hidronefrosis
pada pasien dengan retensi urin atau tanda insufisiensi ginjal.
d. Endoscopy saluran kemih bagian bawah
e. Sistoskopi
Sistoskopi dapat ditunjukkan pada pasien yang dijadwalkan menjalani perawatan
invasif atau di tempat yang diduga ada benda asing atau keganasan.
f. IPSS / AUA-SI
g. Tingkat keparahan BPH dapat ditentukan dengan International Prostate Symptom
Score (IPSS) / American Urological Association Symptom Index (AUA-SI) ditambah
dengan pertanyaan tentang quality of life (QOL) tertentu.
7. Terapi
Tujuan utama terapi adalah untuk mengendalikan gejala, mencegah perkembangan
komplikasi, dan menunda kebutuhan akan intervensi bedah. Pilihannya tergantung pada
beratnya tanda dan gejala.
a. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi sesuai untuk pasien dengan gejala BPH sedang dan sebagai
tindakan sementara untuk pasien dengan BPH berat.

Tabel 1. Kategori Keparahan Penyakit Benign Prostatic Hyperplasia


Berdasarkan Gejala dan Tanda

Keparahan
Kekhasan Gejala dan Tanda
Penyakit
Ringan Asimtomatik
Kecepatan urinari puncak < 10 mL/s
Volume urine residual setelah pengosongan > 25-50 mL
Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Sedang Semua tanda di atas ditambah obstruktif penghilangan
gejala dan iritatif penghilangan gejala (tanda dari
detrusor yang tidak stabil)
Parah Semua yang di atas ditambah satu atau lebih komplikasi
BPH

Tabel 2.Kategori BPH Menurut IPSS dan AUA


Tingkat Keparahan Skor menurut IPSS Skor menurut AUA
Ringan 0–7 ≤7
Sedang 8 – 19 8 - 19
Parah 20 – 35 ≥ 20
IPSS = International Prostate Symptom Score
AUA = American Urological Association

Tabel 3.Nilai Rata-Rata Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen)


Berdasarkan Umur
Umur (tahun) PSA (ng/ml)
40 – 49 2,5
50 – 59 3,5
60 – 69 4,5
70 - 79 6,5
- Watchful waiting (pemeriksaan rutin) sesuai untuk pasien dengan penyakit ringan
(Gambar 79-1). Pasien dievaluasi pada interval 6 sampai 12 bulan dan
diedukasikan tentang modifikasi perilaku, seperti pembatasan cairan sebelum
tidur, menghindari kafein dan alkohol, sering mengosongkan kandung kemih, dan
menghindari obat yang memperburuk gejala.
- Terapi farmakologis yang menghambat efek stimulasi testosteron terhadap
pembesaran kelenjar prostat (mengurangi faktor statis), melemaskan otot polos
prostat (mengurangi faktor dinamis), atau melemaskan otot detrusor kandung
kemih.
- Terapi dengan antagonis α1-adrenergik untuk onset cepat dari kelegaan gejala.
Pilih inhibitor 5α-reduktase pada pasien dengan kelenjar prostat lebih dari 40 g.
Pertimbangkan terapi kombinasi untuk pasien simtomatik dengan kelenjar prostat
lebih dari 40 g dan PSA 1,4 ng / mL atau lebih (1,4 mcg / L).
- Pertimbangkan monoterapi dengan inhibitor phosphodiesterase atau gunakan
kombinasi dengan antagonis α-adrenergik saat disfungsi ereksi dan ada BPH.
1) α-Adrenergic Antagonist
- α -adrenergik antagonis mengendurkan otot polos di leher prostat dan kandung
kemih, meningkatkan laju aliran urin dari 2 sampai 3mL/ detik dalam 60%
sampai 70% dari pasien dan mengurangi volume urin PVR.
- α1-adrenergik antagonis tidak mengurangi volume prostat dan tingkat PSA.
- Prazosin, terazosin, doxazosin, dan alfuzosin adalah generasi kedua antagonis α1-
adrenergik. Mereka mengantagonis α1-adrenergik reseptor pembuluh darah
perifer selain yang di prostat. Efek samping termasuk sinkop dosis pertama,
hipotensi ortostatik, dan pusing. Alfuzosin kurang cenderung menyebabkan efek
samping kardiovaskular dari agen generasi kedua lainnya.
- Titrasi perlahan untuk dosis pemeliharaan pada waktu tidur untuk meminimalkan
hipotensi ortostatik dan sinkop dosis pertama dengan formulasi pelepasan segera
dari terazosin dan doxazosin. Jadwal titrasi sampel untuk terazosin meliputi:

- Tamsulosin dan Silodosin, generasi ketiga antagonis α1-adrenergik, yang selektif


untuk prostatα 1A-reseptor. Oleh karena itu, mereka tidak menyebabkan
relaksasiotot polos pada pembuluh darah perifer dan hipotensi terkait.
- Tamsulosin adalah pilihan yang baik untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi
hipotensi; memiliki penyakit berat arteri koroner, penurunan volume, aritmia
jantung, Orthostasis berat, atau gagal hati; atau akibat dari beberapa
antihipertensi. Tamsulosin ini juga cocok untuk pasien yang ingin menghindari
penundaan dosis titrasi.
- Interaksi obat yang potensial termasuk penurunan metabolisme antagonis α1-
adrenergik dengan inhibitor CYP3A4 (misalnya, cimetidine dan diltiazem) dan
peningkatan katabolisme antagonis α1-adrenergik dengan penggunaan bersamaan
dari stimulator CYP3A4 (misalnya, carbamazepine dan fenitoin).
- Mengurangi dosis Silodosin pada pasien dengan gangguan ginjal sedang atau
disfungsi hati.

2) 5α Reductase Inhibitors
- 5α-reduktase inhibitor mengganggu efek stimulasi dari testosteron. Agen ini
memperlambat perkembangan penyakit dan mengurangi risiko komplikasi.
- Dibandingkan dengan antagonis α1-adrenergik, kerugian dari 5α-reductase
inhibitors termasuk 6 bulan penggunaan secara maksimal mengecilkan prostat,
cenderung menginduksi peningkatan objektif dan disfungsi seksual lebih.
- Apakah keuntungan farmakodinamik dari dutasteride memberikan keuntungan
klinis lebih dari finasteride tidak diketahui. Dutasteride menghambat jenis I dan
II5α-reduktase, sedangkan finasteride menghambat hanya tipe II. Dutasteride
lebih cepat dan benar-benar menekan DHT intraprostatic (vs 80% -90% untuk
finasteride) dan mengurangi serum DHT dengan 90% (vs 70%).
- 5α-reduktase inhibitor mungkin lebih disukai pada pasien dengan aritmia tidak
terkontrol, angina kurang terkontrol, menggunakan beberapa antihipertensi, atau
tidak dapat mentoleransi efek hipotensi antagonis α1-adrenergik.
- Mengukur PSA pada awal dan lagi setelah 6 bulan terapi. Jika PSA tidak
menurun sebesar 50% setelah 6 bulan terapi pada pasien compliant, mengevaluasi
pasien untuk kanker prostat.
- 5α-reduktase inhibitor pada kategori X untuk kehamilan menurut FDA dan
karena itu kontraindikasi pada wanita hamil. Wanita hamil dan berpotensi hamil
tidak harus memegang tablet atau memiliki kontak dengan air mani dari pria yang
mengkonsumsi inhibitor 5α-reduktase.

3) Phosphod iesterase Inhibitors


- Peningkatan siklik GMP dengan inhibitor phosphod iesterase (PI) dapat
mengendurkan otot polos diprostat dan leher kandung kemih. Efektivitasnya
mungkin akibat dari relaksasi langsung dari otot detrusor kandung kemih.
- Tadalafil 5mg sehari meningkatkan gejala berkemih tetapi tidak meningkatkan
laju aliran urin atau mengurangi PVR volume urine. Terapi kombinasi dengan
antagonis α-adrenergik menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam gejala
saluran kemih bawah, peningkatan laju aliran urin, dan penurunan volume PVR.

4) Anti cholinergic Agents


- Penambahan oxybutynin dan tolterodin untuk antagonis a-adrenergik mengurangi
gejala gangguan berkemih termasuk frekuensi kencing, urgensi, dan nokturia.
Mulailah dengan dosis efektif terendah untuk menentukan toleransi efek samping
CNS dan mulut kering. Mengukur volume urin PVR sebelum memulai
pengobatan (harus kurang dari 250ml).
- Jika efek samping anti kolinergik sistemik kurang ditoleransi, pertimbangkan
transdermal atau extended-release formulasi atau agen uroselective (misalnya,
dari fenacin dan solifenacin).

b. Terapi Non Farmakologi


- Membersihkan alat kelamin
- Menghindari alkohol
- Menghindari minum alkohol
- Batasi asupan cairan sebelum tidur
- Jangan menunda berkemih

Intervensi pembedahan (Surgical Intervention)


- “Standard gold” untuk terapi pasien dengan gejala BPH sedang atau parah dan
untuk semua pasien dengan komplikasi BPH dilakukan prostatetomi juga secara
transuretra atau suprapubically.

Prostatetomi tidak efektif untuk penghilangan gejala BPH iritatif. Pasien ini mungkin
memberikan respon terhadap senyawa antikolinergik oral seperti oksibutinin atau L-
hiosiamin
BAB II
PEMBAHASAN

Kasus 3: BPH

Kasus
Tuan GH lelaki berusia 38 tahun, 2 tahun yang lalu didiagnosa BPH ringan pasien
tidak mendapat pengobatan apapun kecuali hanya pemeriksaan rutin dan
mengatur gaya hidup. Tetapi akhir-akhir ini Tn. GH merasa keluhan BPH nya
bertambah parah dan disertai dengan gangguan ejakulasi dini, dan saat ini
demam. Saat ini Tn GH hanya mengikuti rawat jalan.

Pertanyaan

Lakukan Analisa Problem Pengobatan menggunakan metode SOAP, FARM, Atau


PAM

FORM DATA BASE PASIEN


UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT

A. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Tn GH BB/TB : 70/162


Umur : 38 thn
Alamat : Jln Kurawa Raya 753 Solo
Sex : Laki-laki
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Swasta
Status Perkawinan : Menikah

Tgl. MRS : -
Tgl. KRS : -

B. KELUHAN/TANDA UMUM
1. Data Subyektif
Tanggal
Keluhan
11-12-2017
Nyeri √
Demam √
2. Data Objektif
Data Klinis
Tanggal
Pemeriksaan Satuan
11/8
TD mmHg 120/90
Nadi x/menit 98
RR x/menit 88
0
T C 40

Data Laboratorium
Tanggal
Nilai
Parameter Pemeriksaan
Normal
11/8
Leukocytes 3500 – 10.000 8550
Hb 11.0 – 16.5 % 11
Hematocrite 35.0 – 50.0 % 35
Thombocytes 150.000 – 390.000 201.000
Glucose Random 60 - 110 mg/dl 90
Ureum/BUN 10 - 50 mg/dl 40
Creatinine 0.7 - 1.5 mg/dl 4,91
SGOT 11 – 41 U/I 78
SGPT 10 - 41 U/I 76
Albumin 3.5 - 5.0 g/dl 2,8
Na 135 - 145 mmol/l 138
Potassium/K 3.5 - 5.0 mmol/l 4,0
Chlorida/Cl 98 - 106 mmol/l 100
p.H 7.35 - 7.45 7.38
p.CO2 35 - 45 37.0
p.O2 80 - 100 87
HCO3 21 - 28 23
O2 saturated > 95% 98,9
Base Excess (-)3 - (+)3 (-)1

C. PROFIL TERAPI
Tanggal
No. Nama Obat Dosis Rute
11/8
1. Prazozin 500 mg Oral √

2. Ceftriaxon 500 mg Oral √

3. Paracetamol 500 mg Oral √


Rute
Nama Obat Indikasi Dosis Interaksi ESO Outcome Terapi
Pemberian
Pusing, sakit kepala,
penglihatan menurun,
Adanya makanan
Mengatasi nyeri Benign palpitasi, mual,
mengganggu Nyeri berkurang
Prazosin prostatic hyperplasia 500 mg Oral hipotensi ortostatik,
absorpsi dari
(BPH) frekuensi buang air
prazosin
kecil menurun, dan
impoten
Mengatasi berbagai
bentuk infeksi seperti Meningkatkan
infeksi pada saluran transaminase (SGOT, Infeksi mereda atau
Ceftriaxon 500 mg Oral - hilang
kencing oleh bakteri SGPT), disfungsi
gram positif dan gram hepatik, ruam, diare
negatif
Adanya makanan
menurunkan Hepatotoksik, ruam, Tidak demam atau
Paracetamol Meredakan demam 500 mg Oral suhu tubuh menurun
absorpsi dari anemia
paracetamol
D. OBAT-OBATAN YANG DIBERIKAN SAAT INI :
E. ASSESMENT
Problem Medik Subyektif Objektif Terapi Analisis DRP
Dosis Prazosin untuk mengatasi
BPH adalah 2 mg 2 kali sehari
(DIH) untuk pasien dengan kondisi
ginjal normal, dalam kasus pasien
diberikan 500 mg peroral, maka Dosis terlalu tinggi
perlu dikonfirmasikan kepada
dokter untuk disesuaikan dosisnya
Nyeri dan
dengan perhitungan kliren
mengalami Prazosin
- kreatinin.
gangguan
Pasien mengalami gangguan
ejakuasi dini
ejakulasi dini, selain itu efek
samping prazosin menyebabkan
BPH impoten. Membutuhkan
Direkomendasikan untuk tambahan terapi obat
dikombinasikan dengan Tadalafil
untuk mencegah terjadinya
disfungsi ereksi.
Paracetamol memiliki efek
samping hepatotoksik, sedangkan
nilai SGOT dan SGPT meningkat.
Suhu 40 oC
Paracetamol Maka direkomendasikan untuk Pemilihan obat belum
Demam SGOT = 78 U/I
diberikan kombinasi paracetamol + tepat
SGPT = 76 U/I
n-acetylcysteine untuk mencegah
efek samping hepatotoksik dari
paracetamol.
Infeksi Nyeri pada - Ceftriaxone Rute pemberian ceftriaxone tidak Rute pemberian
perut bagian tepat, karena ceftriaxone hanya tidak tepat
bawah, dapat diberikan secara injeksi
demam (IV/IM) atau infus.
Dosis ceftriaxone terlalu rendah,
konfirmasikan kepada dokter
Dosis terlalu rendah
untuk meningkatkan dosis menjadi
2x1 gram sehari secara IV.
Efek samping dari pemberian
ceftriaxone yaitu meningkatkan
Perlu tambahan
kadar SGOT dan SGPT, sehingga
terapi
perlu diberikan hepaprotektor
berupa kurkumin.
Terjadi penurunan kadar albumin,
dimana jika kadar albumin rendah
Kadar albumin Albumin = 2,8 maka kadar obat bebas akan tinggi Indikasi yang tidak
- -
rendah g/dl di dalam tubuh yang dapat diterapi
menyebabkan toksisitas. Maka
perlu diberi injeksi albumin.
F. CARE PLAN
1. Untuk terapi BPH, karena pasien mengalami gangguan ejakulasi dini maka
direkomendasikan terapi kombinasi prazosin 2 x 0,28 mg sehari peroral dan tadalafil
1 x 0,7 mg sehari peroral, namun karena tadalafil dapat meningkatkan efek prazosin
dengan risiko hipotensi, maka pemberian tadalafil diberi jarak 4 jam setelah
pemberian prazosin.
Rumus perhitungan dosis Prazosin dan Tadalafil:
 Menentukan IBW (Ideal Body Weight)
IBW = 50 + (tinggi badan – 152,4) x 0,89
= 50 + (162 – 152,4) x 0,89
= 58,54 kg
 Menentukan Clcr
( 140−usia ) × IBW
Clcr =
Cr ×72
( 140−38 ) ×58,54
=
4,91× 72
= 16,89 ml/m2
 Menentukan dosis Prazosin
Clcr normal = 120 ml/menit
Dosis awal Prazosin = 2 mg 2 kali sehari
Do Do
Cpss = ( Clcr ) pasiennormal=( Clcr ) pasien dengan gagal ginjal
2 mg Do
=
120 ml/m2 16,89 ml /m 2
Do = 0,28 mg 1 kali sehari
1 x Pakai = 0,28 mg
1 x Hari = 2 x 0,28 mg = 0,56 mg
 Menentukan dosis Tadalafil
Dosis awal Tadalafil = 5 mg sekali sehari
5 mg Do
=
120 ml/m2 0,7 ml /m2
Do = 0,7 mg 1 kali sehari
2. Antibiotik Ceftriaxon digunakan untuk profilaksis infeksi dimana menyebabkan BPH
bertambah parah yang kemungkinan disebabkan oleh adanya penumpukan bakteri di
dalam saluran kencing sehingga perlu pemberian antibiotik. Antibiotik Ceftriaxon
tetap diberikan untuk terapi.
3. Rute pemberian antibiotik ceftriaxone peroral sebaiknya diganti dengan rute secara
intravena (IV) karena ceftriaxone hanya dapat diberikan secara injeksi atau infus.
4. Rekomendasikan dosis ceftriaxone sebaiknya ditingkatkan menjadi 2x1 sehari dengan
dosis sekali pemberian adalah 140 mg secara IV.
 Menentukan dosis Ceftriaxone
Dosis awal Ceftriaxone = 1 gram 2 kali sehari
1000 mg Do
=
120 ml/m2 16,89 ml /m 2

Do = 140,75 mg ~ 141 mg 1 kali sehari


1 x pakai = 141 mg
1 x hari = 141 mg x 2 = 282 mg
5. Pemberian ceftriaxone menyebabkan peningkatan SGOT dan SGPT, sedangkan
pemberian paracetamol dapat menyebabkan efek samping hepatotoksik, maka
direkomendasikan untuk untuk pemberian Sistenol dengan kombinasi paracetamol
500 mg dan n-acetylcysteine 200 mg diminum 3 kali 1 kaplet sehari, dimana adanya
n-acetylcysteine berfungsi untuk mencegah efek samping hepatotoksik dari
paracetamol. Serta sebagai hepatoprotektor, direkomendasikan pemberian kurkumin
dengan dosis 5 mg 3 kali sehari 1 kaplet, berupa obat Hezandra [dengan komposisi
Nanocurcuminoid (Ekstrak Curcuma domestica Rhizoma) 5 mg, Sylimarin
pyhtostome (Ekstrak Sylibum marianum Fruit) 35 mg, Ekstrak Schizandra chinensis
Fruit 135 mg, Ekstrak Succus liquiritiae 135 mg, Choline l-bitartrate 150 mg, Vitamin
B6 2 mg, Vitamin E 10 mg].
6. Karena paracetamol memiliki efek samping hepatotoksik dan pada pasien terjadi
peningkatan kadar SGOT dan SGPT, maka direkomendasikan untuk diberikan
kombinasi paracetamol 70 mg + n-acetylcysteine 28 mg berupa sistenol untuk
mencegah efek samping hepatotoksik dari paracetamol.
 Menentukan dosis Parasetamol
Dosis awal Parasetamol = 500 mg
500 mg Do
=
120 ml/m2 16,89 ml /m 2

Do Parasetamol = 70,375 mg
 Menentukan dosis N-acetylcysteine
Dosis awal N-acetylcysteine = 200 mg
200 mg Do
=
120 ml/m2 16,89 ml /m 2
Do = 28,15 mg ~ 28,15 mg
7. Terjadi penurunan kadar albumin, dimana jika kadar albumin rendah maka kadar obat
bebas akan tinggi di dalam tubuh yang dapat menyebabkan toksisitas. Maka perlu
diberi injeksi albumin 20% atau 25%.

G. TERAPI NON FARMAKOLOGI


1. Rutin membersihkan alat kelamin dengan benar.
2. Menghindari minum kopi agar mengurangi frekuensi ingin berkemih.
3. Membatasi minum air sebelum tidur.
4. Membatasi aktivitas yang teralu berat untuk mengurangi rasa nyeri.
5. Jangan menunda berkemih.

H. MONITORING
1. Evaluasi kadar BUN dan kreatinin pasien secara rutin.
2. Monitoring laju aliran urin.
3. Monitoring kadar hemoglobin pasien.
4. Monitoring kadar SGOT, SGPT dan albumin pasien, karena penggunaan ceftriaxone
dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT.
5. Dilakukan kultur pada urin untuk menyingkirkan penyebab infeksi dari
pembengkakan iritatif.
6. Monitoring tekanan darah dan denyut nadi pasien karena penggunaan Prazosin dapat
menyebabkan efek samping hipotensi ortotastik.
7. Monitoring laju pernapasan pasien.
8. Monitoring nilai PSA (Prostate Specific Antigen) pasien.
9. Monitoring suhu tubuh.
10. Monitoring volume urin pasien.
11. Cek CT Scan untuk mengetahui perkembangan bentuk dan besar prostat.
12. Monitoring urinalisis untuk mengetahui adanya leukosituria dan hematuria, jika ada
maka terjadi komplikasi seperti ISK.
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro et al. 2014. Pharmacoteraphy a Phatofisiology Aproach, 9th edition,


McGraw Hill Companies, Manufacture in the United States of America.
Lacy, C.F., Lora L.A., Morton P.G., and Leonard L.L. 2008. Drug Information
Handbook. Ed. 17th, Hudson: Lexi-Comp Inc.
Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto
Sjamsuhidajat, R. dan De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Tatro, David S. dan Larry R. Borgsdorf. 2000. A to Z Drug Facts, 2nd edition.
Facts and Comparison.
http://pionas.pom.go.id/monografi/prazosin-hidroklorida, diakses pada tanggal 13
februari 2018.

Anda mungkin juga menyukai