Anda di halaman 1dari 26

Nama : Febby Mutia Safira

Kelas : A-04

NIM : 1707101010083

PERBANDINGAN ANGKA KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK


YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DAN ASI NON EKSKLUSIF DI RSUDZA
BANDA ACEH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dermatitis atopik (DA) adalah salah satu penyakit kulit inflamasi yang bersifat
kronis dan sering relaps. Umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak serta dapat
1
bertahan sampai usia dewasa. Penyakit ini ditandai dengan kulit kering dan gatal
kronis. Anak dengan DA, terutama mereka dengan kondisi parah, memiliki peningkatan
risiko untuk terkena insomnia, depresi, kecemasan dan masalah mental lainnya. Hal
tersebut dapat menurunkan kualitas hidup pasien DA dan orangtua pasien.2

Menurut data inisiatif Global Burden of Diseases WHO, diperkirakan bahwa DA


mempengaruhi setidaknya 230 juta orang di seluruh dunia dan menjadi penyebab utama
beban penyakit non-fatal pada kulit.2 Prevalensi dermatitis atopik pada anak mengalami
peningkatan sebanyak 2-3 kali lipat selama beberapa dekade terakhir, terutama di
negara industri seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang dengan prevalensi
maksimum hampir 30%.3

Awalnya dianggap sebagai penyakit anak usia dini, dengan perkiraan prevalensi
15% – 25% pada anak. Bukti yang lebih baru menunjukkan bahwa DA juga lazim
terjadi pada orang dewasa dengan prevalensi 1% - 10%. Meskipun DA dapat mengenai
usia berapa pun, puncak insiden terjadi pada masa kanak-kanak. Sekitar 45% dari semua
kasus dimulai ketika enam bulan pertama kehidupan, 60% selama tahun pertama, dan
80% – 90% sebelum tahun kelima kehidupan.4

Etiologi dan patogenesis DA belum diketahui secara jelas dan bersifat


multifaktorial. Beberapa faktor pencetus DA antara lain faktor intrinsik seperti genetik,
kelainan imunologi, dan stres. Sedangkan faktor ekstrinsik seperti bahan yang bersifat
iritan, alergen, makanan, mikroorganisme, dan cuaca.5 Diagnosis DA ditegakkan hanya
berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis. Kriteria diagnostik yang paling sering
digunakan yaitu kriteria mayor dan minor oleh Haniffin dan Radjka.6

Studi kohort berskala besar oleh Grulee dkk melaporkan peningkatan risiko
dermatitis atopik tujuh kali lebih besar pada bayi yang mendapat susu formula
dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI eksklusif.7 Hal ini disebabkan karena
ASI juga berperan dalam pembentukan kekebalan tubuh dan pencegahan penyakit
alergi. Imunoglobulin A sekretorik (sIgA) yang terdapat pada ASI akan berada di
mukosa saluran cerna dan mencegah melekatnya alergen / patogen lainnya di dinding
saluran cerna.8 Sejak itu, banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan
hipotesis ini, tetapi hasilnya masih kontroversi.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin melakukan sebuah penelitian mengenai


perbandingan angka kejadian dermatitis atopik pada anak yang diberi ASI eksklusif dan
ASI non eksklusif di RSUDZA Banda Aceh.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah perbandingan angka


kejadian dermatitis atopik pada anak yang diberi ASI eksklusif dan ASI non eksklusif di
RSUDZA Banda Aceh?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah perbandingan angka
kejadian dermatitis atopik pada anak yang diberi ASI eksklusif dan ASI non eksklusif di
RSUDZA Banda Aceh.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui angka kejadian dermatitis atopik pada anak yang diberi ASI
eksklusif di RSUDZA Banda Aceh.

2. Menganalisis angka kejadian dermatitis atopik pada anak yang diberi ASI non
eksklusif di RSUDZA Banda Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara ilmiah mengenai


pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian dermatitis atopik pada anak usia
0-2 tahun dan dapat menjadi sumber referensi tambahan terhadap pembelajaran serta
penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah:

1. Bagi praktisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan


dan acuan untuk memberi tatalaksana yang tepat bagi anak yang
didiagnosis dermatitis atopik.
2. Bagi masyarakat, data penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan mengenai gambaran
pemberian ASI eksklusif terhadap insiden dermatitis atopik.

3. Bagi klinik, sebagai acuan dalam memberikan informasi mengenai


gambaran pemberian ASI eksklusif terhadap insiden dermatitis atopik
sehingga dapat memberi masukan bagi klinik dalam rangka mengurangi
insiden dermatitis atopik.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Dermatitis Atopik
2.1.1. Definisi Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat kronis dan
sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi) terutama mengenai bayi dan anak-anak dapat
pula terjadi pada orang dewasa. Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar
IgE dalam serum serta adanya riwayat rinitis alergika dan asma pada keluarga maupun
penderita. Inflamasi kulit pada dermatitis atopik merupakan hasil interaksi yang
komplek antara kerentanan genetik yang menjadi kulit menjadi rusak, kerusakan sistem
imun bawaan, dan kekebalan tinggi terhadap alergen (imunologi) dan anti mikroba. 7

2.1.2. Epidemiologi

Dermatitis atopik menjadi salah satu masalah kesehatan dunia dengan


ditemukannya angka kesakitan yang selalu bertambah setiap tahunnya, menurut Study
of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) angka kesakitan ini mencapai 20% di
negara Asia seperti Korea Selatan, Taiwan dan Jepang. Di Amerika
Serikat,Eropa,Jepang, Australia dan negara industri lain pravelensi dermatitis atopik
pada anak mencapai 10 sampai 20 % ,sedangkan pada dewasa kira- kira 1 sampai 3
% .Di negara agraris, misalnya Cina,Eropa Timur,Asia Tengah, pravelensi dermatitis
atopik cenderung lebih rendah.Rasio gender sangat bervariasi antara studi, dilaporkan
lebih banyak terjadi pada wanita dengan perbandingan 1,3:1. Berdasarkan penelitian
Boediardja SA mendapatkan perbandingan pravelensi dermatitis atopik pada wanita dan
pria adalah 1:0,75. Sementara itu Indian Journal Of Dermatologymelaporkan berbeda
yaitu dominasi penderita dermatitis atopik di India,dominan laki-laki 2.13:1 untuk bayi
dan 1.09:1 untuk anak-anak. Pada suatu penelitian di Inggris yang melibatkan 1760
anak-anak dengan usia 1-5 tahun, didapatkan 84 % kasus ringan, 14 % kasus sedang dan
2 % kasus berat.8

2.1.3. Etiologi dan Patogenesis

Faktor endogen yang berperan, meliputi disfungsi sawar kulit, riwayat atopi, dan
hipersensitivitas akibat peningkatan kadar IgE total dan spesifik. Faktor eksogen pada
dermatitis atopik, antara lain adalah bahan iritan, allergen dan hygiene lingkungan.
Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen
cenderung menjadi faktor pencetus.2

1. Faktor Endogen

a. Disfungsi sawar kulit

Penderita dermatitis atopik rata-rata memilki kulit kering, hal tersebut disebabkan
kelainan struktur epidermis formasi protein (filaggrin) dan hilangnya ceramide di kulit
sebagai molekul utama sebagai pengikat air di ruang ekstraseluler stratum korneum,
dianggap sebagai kelainan fungsi sawar kulit. Kelainan fungsi sawar kulit menyebabkan
peningkatan transepidermal water loss 2-5 kali normal, sehingga kulit akan kering dan
menjadi pintu masuk (port d’entry) untuk terjadinya penetrasi allergen, iritasi, bakteri
dan virus.

b. Riwayat atopi

Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu “atopos” yang berarti “out of
place” atau “di luar dari tempatnya”, dan ditujukan pada penderita dengan penyakit
yang diperantarai oleh IgE. Penyakit yang berkaitan dengan atopi diturunkan secara
genetik dan dipengaruhi faktor lingkungan dan riwayat keluarga dijadikan sebagai
prediktor terbaik yang dihubungkan dengan penyakit yang berkaitan dengan atopi yang
akan timbul di kemudian hari. Hubungan antara kelainan atopi orang tua dan anaknya
bervariasi mengikut jenis kelainan atopi yang diderita orang tuanya. Anak yang lahir
dari keluarga dengan riwayat atopi pada kedua orang tuanya mempunyai risiko hingga
50% sampai 80% untuk mendapat kelainan atopi dibanding dengan anak tanpa riwayat
atopi keluarga (risiko hanya sebesar 20%). Risiko akan menjadi lebih tinggi jika
kelainan alergi diderita oleh ibu dibanding ayah

c. Hipersensitivitas

Gangguan imunologi yang menonjol pada dermatitis atopik adalah adanya


peningkatan IgE karena aktivitas limfosit T yang meningkat. Aktivitas limfosit T
meningkat terjadi karena adanya pengaruh dari IL-4. Sementara produksi IL-4
dipengaruhi oleh aktivitas sel T helper dan Sel T helper akan merangsang sel B untuk
memproduksi IgE. Sel langerhans pada penderita dermatitis atopik. bersifat abnormal,
yakni dapat secara langsung menstimulasi sel T helper tanpa adanya antigen, sehingga
sel langerhans akan meningkatkan produksi IgE. Secara normal antigen yang masuk ke
dalam kulit akan berikatan dengan IgE yang menempel pada permukaan sel langerhens
menggunakan FcεRI. FcεRI merupakan receptor pengikat IgE dengan sel langerhans.
Pada orang yang menderita dermatitis atopik jumlah FcεRI lebih banyak daripada orang
normal. Sehingga terdapat korelasi antara kadar FcεRI dengan kadar IgE dalam serum,
semakin tinggi FcεRI maka kadar IgE semakin tinggi pula.

2. Faktor Eksogen
1. Iritan
Kulit penderita dermatitis atopik ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan,
antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat gosok
untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol.
2. Lingkungan
Faktor lingkungan bersih berpengaruh terhadap kekambuhan dermatitis atopik
misalnya;

1)  Hewan peliharaan
Paparan dini terhadapa hewan peliharan (berbulu) disarankan untuk di
hindari karena Copenhagen Prospective Studies on Asthma in Child-hood
(COPSAC) melaporkan bahwa interasi yang siknifikan antara filaggrin dan
hewan dirumah dapat meningkatkan onset dermatitis atopik secara cepat.
2)  Mikroorganisme
Apabila pasien dermatitis atopik tinggal ditempat dengan higeinitas yang
kurang maka akan dengan mudah kulit yang mengalami disfungsi sawar
kulit terkena infeksi oleh patogen, S. aerus, yang akan mensekresi toksin
yang disebut superantigen untuk mengaktifkan sel T dan makrofag yang
akan mengakibatkan inflamasi. Selain itu ditemukan pula kulit pasien
dermatitis atopik mengalami defisiensi peptida antimikroba untuk melawan
patogen karena mutasi gen.

c. Alergen
Penderita dermatitis atopik mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa
alergen, antara lain:

1)  Alergen hirup, yaitu asap rokok, debu rumah dan

tungau debu rumah. Hal tersebut dibuktikan dengan peningkatan disfungsi sawar
kulit dengan meningkatnya kadar IgE RAST (IgE spesifik).

2)  Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1 tahun
karena sawar usus belum bekerja sempurna.

2.1.4. Gejala Klinis

Gejala dermatitis atopik dapat bervariasi pada setiap orang. Gejala yang paling umum
adalah kulit tampak kering dan gatal. Gatal merupakan gejala yang paling penting pada
dermatitis atopik. Garukan atau gosokan sebagai reaksi terhadap rasa gatal
menyebabkan iritasi pada kulit, menambah peradangan, dan juga akan meningkatkan
rasa gatal. Gatal merupakan masalah utama selama tidur, pada waktu kontrol kesadaran
terhadap garukan menjadi hilang.Insiden tertinggi dermatitis atopik ditemukan dalam 2
tahun pertama kehidupan meskipun penyakit dapat mulai hampir pada usia berapa pun.
Pada balita bagian yang sering terkena adalah batang tubuh, pipi dan ekstremitas atas.
Pasien dermatitis atopik dalam praktek klinis mengeluhkan menggosok lesi yang gatal
terus-menerus, kulit menjadi menebal dan mengembangkan penampilan kasar.
Karakteristik wajah pasien dermatitis atopik kronis adalah keriput kecil di bawah kedua
mata dan hilangnya lapisan ketiga alis luar karena menggosok.

2.1.5. Diagnosis

Adapun penggunaan kriteria diagnostik yang baik penting dalam diagnosis dermatitis
atopik, terutama untuk pasien yang termasuk dalam tipe fenoti dan diagnosis ini
dikembangkan oleh Hanifin dan Rajka yang secara luas diterima.

1. a)  Kriteria mayor

1)  Rasagatal

2)  Gambaran dan penyebaran kelainan kulit yang khas (bayi dan anak di muka
dan lengan)

3)  Eksim yang menahun dan kambuhan

4)  Riwayat penyakit alergi pada keluarga (stigmata atopik)

2. b)  Kriteria minor:
1. Hiperpigmentasi daerah periorbita
2. Tanda Dennie-Morgan
3. Keratokonus
4. Konjungtivitis rekuren
5. Katarak subkapsuler anterior
6. Cheilitis pada bibir
7. White dermatographisme
8. Pitiriasis Alba
9. Fissura pre aurikular
10. Dermatitis di lipatan leher anterior
11. Facial pallor
12. Hiperliniar palmaris
13. Keratosis palmaris
14. Papul perifokular hiperkeratosis
15. Xerotic
16. Iktiosis pada kaki
17. Eczema of the nipple
18. Gatal bila berkeringat
19. Awitan dini
20. Peningkatan Ig E serum
21. Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2)
22. Kemudahan mendapat infeki
23. Stafilokokus dan Herpes Simpleks
24. Intoleransi makanan tertentu
25. Intoleransi beberapa jenis bulu binatang
26. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi
27. Tanda Hertoghe ( kerontokan pada alis bagian lateral)

Seseorang dianggap menderita dermatitis atopik bila ditemukan minimal 3 gejala


mayor dan 3 gejala minor

2.1.6. Diagnosa Banding

Terdapat sejumlah penyakit kulit inflamasi, imunodefisiensi, penyakit genetik, penyakit


infeksi, dan infestasi yang mempunyai gejala dan tanda yang sama dengan dermatitis
atopik. Dermatitis atopik didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik, dermatitis
kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis, dematitis herpetiformis,
sindrom Sezary danpenyakit Letterer-Siwe. Pada bayi, dapat pula didiagnosis banding
dengan sindromWiskott-Aldrich dan sindrom hiper IgE.
2.1.7. Penatalaksanaan Umum

Penatalaksanaan dermatitis atopik harus mengacu pada kelainan dasar , selain


mengobati gejala utama gatal untuk meringankan penderitaan
penderita.Penatalaksanaan ditekankan padakontrol jangka waktu lama (long term
control), bukan hanyauntuk mengatasi kekambuhan. Pengobatan dermatitis atopik
kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:

1. Menghindari bahan iritan

Penderita dermatitis atopik rentan terhadap bahan iritan yang memicu dan memperberat
kondisi seperti sabun, deterjen, bahan kimiawi, rokok, pakaian kasar, suhu yang ekstrem
dan lembab.Pemakaian sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak
dan dengan PH netral. Hindari sabun atau pembersih kulityang mengandung antiseptik
atau antibakteri yang digunakanrutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada
infeksi sekunder. Pakaian baru hendaknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai
dengan deterjen untuk menghindari formaldehid atau bahan kimia. Usahakan tidak
memakai pakaian yang bersifat iritan seperti wol atau sintetikyang menyebabkan gatal,
lebih baik menggunakan katun. Pemakaian tabir surya juga perlu untuk mencegah
paparan sinar matahari yang berlebihan.

2. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti

Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan harus dihindari, seperti
makanan (susu, kacang, telur, ikan laut, kerang laut dan gandum), debu rumah, bulu
binatang, serbuk sari, tanaman dan sebagainya.

3. Pengobatan Topikal
1) Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)

Kulit penderita dermatitis atopik menunjukkan adanya transepidermal water loss


yang meningkat.Oleh karena itu hidrasi penting dalam keberhasilan terapi, biasanya
menggunakan pelembab.Pemaikan pelembab dapat memperbaiki fungsi barier stratum
korneum dan mengurangi kebutuhan steroid topikal. Sebuah studi menunjukkan bahwa
pelembab mungkin mengurangi 50% kebutuhan pemakaian kortikosteroid topikal.

Pelembab dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pelembab humektan, oklusif , dan
emolien. Pelembab humektan merupakan bahan aktif dalam komestik yang ditujukan
untuk meningkatkan kandungan air pada epidermis. Bahan-bahan yang termasuk ke
dalam humektan terutama bahan-bahan yang bersifat higroskopis yang dapat digunakan
secara khusus untuk tujuan melembabkan kulit, contoh humektan adalah gliserin.
Pelembab oklusif adalah bahan aktif kosmetik yang menghambat terjadinya penguapan
air dari permukaan kulit. Dengan menghambat terjadinya penguapan air pada
permukaan kulit, bahan-bahan oklusif dapat meningkatkan kandungan air dalam kulit.
Contoh oklusif adalah petrolatum.Pelembab yang digunakan bisa berbentuk cairan, krim
atau salep.Misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan hidrokortison
1% didalamnya.Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya
jangan lebih dari 5% karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif.

2) Kortikosteroid topikal

Kortikosteroid topikal adalah yang paling banyak digunakan sebagai anti


inflamasi.Selain itu dapat berguna pada saat ekserbasi akut, anti pruritus dan sebagai
anti mitotik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hoare C, dkk menggunakan
kortikosteroid topikal pada 83 pasien dermatitis atopik dengan menggunakan simple
randomized control trialshasil dari penggunaan kortikosteroid topikal kurang dari satu
bulan 80% menunjukkan pemulihan sangat baik. Pada prinsipnya penggunaan steroid
topikal dipilih potensi yang paling lemah yang masih efektif, karena semakin kuat
potensi semakin banyak efek sampingnya.Potensi dari kortikosteroid topikal
diklasifikasikan berdasarkan potensi vasokontriksi pembuluh darah.

4. Pengobatan sistemik
1) Pemberian antihistamin
Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan, membantu
untuk mengurangi rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari. Karena dapat
mengganggu tidur, antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif,
misalnya hidroksisin, difenhidramin dan sinequan. cetrizine dan fexofenadine telah diuji
keberhasilannya untuk mengatasi rasa gatal pada penderita dermatitis atopik anak-anak
dan dewasa. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang
mempunyai antidepresan dan memblokade reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis
10-75mg secara oral malam hari pada dewasa.

Pada suatu penelitian menyatakan bahwa penggunaan antihistamin mempunyai


bukti yang tidak adekuat untuk terapi dermatitis atopik, meskipun anti histamin
dianjurkan karena memiliki efek sedatif.

2) Pemberian antibiotik

Pada penderita dermatitis atopik lebih dari 90% ditemukan peningkatan koloni
Staphylococcus aureus.Untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin,
asitromisin atau klaritomisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin,
oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin. Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus
herpes simpleks, kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan oral asiklovir.
Meskipun kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik digunakan dalam terapi
dermatitis atopik, tetapi tidak ada bukti yang baik bahwa kombinasi keduanya memiliki
manfaat yang lebih dibandingkan pemakaiankortikosteroid topikal saja.

3) Kortikosteroid Sistemik

Pada umumnya kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengontrol


eksaserbasi akut. Penggunaannya hanya dalam jangka pendek, dosis rendah, berselang-
seling, diturunkan bertahap dan kemudian diganti kortikosteroid topikal.

4) Siklosporin
Dermatitis atopik yang sulit digunakan dengan pengobatan konvesional dapat
diberikan siklosporin jangka pendek. Siklosporin oral sebagai terapi sistemik dermatitis
atopik tersedia dalam bentuk kapsul gelatin 25 atau 100 mg, durasi terapi singkat,
namun penggunaan lebih dari setahun tidak dianjurkan. Relaps dan rekurensi sering
terjadi setelah penghentian terapi siklosporin.

2. 2 ASI Eksklusif
2.2.1 Definisi

ASI eksklusif adalah pemberian ASI segera setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal
dan tanpa makanan tambahan lain pada bayi umur 0-6 bulan. Selama usia 0-6 bulan,
bayi mendapatkan nutrisi dari ibu melalui ASI.

Definisi pemberian ASI atau menyusui menurut WHO adalah sebagai berikut:

1. Pemberian ASI eksklusif atau menyusui eksklusif adalah memberikan hanya


ASI pada bayi dan tidak memberikan makan atau minuman lain, termasuk air
putih, kecuali obat-obatan dan vitamin atau mineral tetes, ASI perah juga
diperbolehkan, yang dilakukan sampai bayi berumur 6 bulan.
2. Pemberian ASI atau menyusui predominan adalah menyusui bayi, tetapi pernah
memberikan sedikit air atau minuman berbasis air, seperti teh (biasanya sebagai
makanan/minuman pralakteal sebelum ASI keluar).
3. Pemberian ASI atau menyusui parsial adalah menyusui bayi serta memberikan
makanan buatan selain ASI, baik susu formula, bubur atau makanan lainnya
(baik diberikan secara kontinyu maupun diberikan sebagai makanan pralektal).

2.2.2 Kandungan ASI

ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur kekebalan faktor pertumbuhan, anti


alergi, serta anti inflamasi. Nutrisi dalam ASI mencakup hampir 200 unsur zat makanan.
Unsur ini mencakup karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral dalam jumlah
yang proporsional. Kandungan hormon ASI jumlahnya sedikit, tetapi sangat diperlukan
dalam proses pertumbuhan dan sistem metabolisme, antara lain hormon GnRH,
kalsitonin, insulin, neurotensin, oksitosin, steroid ovarium, prolaktin, relaksin,
somastotamin, triiodotironin, tiroksin, TRH, TSH, steroid adrenal, dan faktor
pertumbuhan. Faktor kekebalan nonspesifik dalam ASI mencakup laktobasilus bifidus,
laktoferin, lisozamin, dan laktoperoksida, sedangkan yang spesifik mencakup sistem
komplemen dan imunoglobulin seluler.

ASI merupakan pilihan asupan gizi terbaik bagi bayi karena ASI mengandung
lebih dari 100 macam zat gizi dan antibodi seperti AA, DHA, taurin, spingomyelin yang
tidak terdapat dalam susu sapi. Taurin adalah jenis asam amino kedua terbanyak dalam
ASI yang berfungsi sebagai neurotransmiter dan berperan penting dalam proses
pematangan sel otak bayi. Defisiensi taurin dapat menyebabkan gangguan pada retina
mata. AA dan DHA adalah asam lemak tak jenuh berantai panjang yang diperlukan
untuk pembentukan sel-sel otak yang optimal. AA dan DHA dalam ASI dapat dibentuk
oleh substansi omega 3 (asam linolenat) dan omega 6 (asam linoleat).

Salah satu kandungan ASI yang sangat fenomenal adalah kolostrum. Berdasarkan
penelitian, paling tidak ada 4 manfaat kolostrum pada ASI yang berguna bagi bayi
antara lain:

1. Mengandung zat kekebalan tubuh terutama IgA untuk melindungi bayi dari
penyakit infeksi dan alergi.
2. Jumlah kolostrum yang diproduksi bervariasi, tergantung isapan pada hari-hari
pertama kelahiran. Walaupun sedikit, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan
gizi bayi.
3. Mengandung protein dan vitamin A yang tinggi, serta mengandung lemak dan
karbohidrat yang rendah sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-
hari pertama kelahiran.
4. Membantu mengeluarkan mekonium, yaitu kotoran bayi yang pertama berwarna
hitam kehijauan.

2.2.3 Manfaat ASI

Sebuah penelitian menyatakan bahwa meningkatnya angka kesakitan dan kematian bayi
di Singapura disebabkan oleh meningkatnya pemberian susu botol pada bayi sebagai
pengganti ASI karena menunrunnya jumlah ibu yang menyusui anaknya. Begitupun di
Indonesia meningkatnya angka kesakitan dan kematian bayi akibat ketidaktahuan ibu
tentang pentingnya pemberian ASI pada bayi.

Untuk itu ASI perlu diberikan agar anak mendapat perlindungan. Efek protektif
terhadap anak meningkat dengan semakin sering ibu menyusui. Manfaat ASI antara
lain:

1. Komposisi ASI mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan gizi bayi,


dengan konsentrasi protein dan mineral menurun, sementara kandungan laktosa,
air, dan lemak meningkat pada minggu pertama kehidupan.
2. ASI bebas dari bakteri pengontaminasi.
3. ASI dapat meningkatkan kecerdasan.
4. Meningkatkan kebutuhan untuk pertumbuhan fisik otak.
5. Meningkatkan kebutuhan untuk perkembangan emosional dan spiritual.
6. Meningkatkan perkembangan intelektual dan sosialisasi.
7. ASI mengurangi alergi dan intoleransi susu sapi.
8. ASI memberi perlindungan imunologis sementara sistem kekebalan tubuh bayi
sedang berkembang.
9. ASI juga dapat mengurangi insiden kolik, otitis media, pneumonia, bakteremia,
meningitis, infeksi pernapasan, asma, infeksi saluran kemih, enterokolitis
nekrotikan (pada bayi kurang bulan), dan penyakit chron.
10. Bayi yang mendapat ASI terlihat lebih matur, merasa aman, dan mengalami
tumbuh kembang serta memiliki ketajaman visual yang cepat.
2. 3 Kerangka Teori

ASI Eksklusif atau ASI Non


Eksklusif
Terpapar Aeroalergen Penggunaan Antibiotik
dalam Ruangan Sejak Dini

Kebiasaan Ibu Serum IgE Total


Merokok > 100 IU/mL

Jenis Kelamin Cara Persalinan

Riwayat Keluarga IgE Spesifik


Alergen

Anak Atopi

Allergic march

Alergi Makanan Dermatitis Atopik Asma Rhinitis Alergi

Gambar 2.9 Kerangka Teori


= Diteliti

= Tidak diteliti

2. 4 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian teori di atas, maka hipotesis penelitian ini
adalah “Terdapat perbedaan antara pemberian ASI eksklusif dan ASI non eksklusif
terhadap angka kejadian dermatitis atopik pada anak di RSUDZA Banda Aceh”.

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik komparatif yaitu


penelitian yang berupaya melihat perbandingan antara satu variabel
pada sampel yang berbeda, dengan rancangan cross sectional yaitu
jenis penelitian yang pengukuran variabelnya dilakukan hanya satu
kali pada satu saat dalam waktu yang bersamaan. Dalam hal ini,
peneliti melihat perbandingan antara ASI eksklusif dan ASI non
eksklusif pada anak dengan dermatitis atopik.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Anak RSUD dr. Zainoel


Abidin Banda Aceh. Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Mei – Oktober 2020.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak yang
didiagnosis menderita penyakit dermatitis atopik dan datang berobat
ke Poliklinik Anak RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada
bulan Agustus, September, dan Oktober 2020. Responden pada
penelitian ini adalah semua orang tua yang membawa anaknya
untuk berobat dan anak didiagnosis menderita dermatitis atopik oleh
dokter ahli anak.

3.3.2 Sampel Penelitian


Sampel penelitian ini adalah semua anak yang didiagnosis
menderita penyakit rinitis alergi dan datang berobat ke Poliklinik
Anak RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada bulan Agustus,
September, dan Oktober 2020, yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Kriteria sampel penelitian ini antara lain:
32

Kriteria Inklusi:
1. Anak usia 0-2 tahun
2. Anak didiagnosis dermatitis atopik oleh dokter ahli anak
3. Anak pernah mendapatkan ASI
4. Orang tua bersedia menjadi
responden

Kriteria Eksklusi:
1. Orang tua yang tidak mengembalikan formulir informed consent
2. Anak mengkonsumsi obat antibiotik saat satu tahun pertama
kehidupan

3.3.3 Cara Pengambilan Sampel


Sampel penelitian ini dipilih berdasarkan metode non probability random
sampling dengan jenis accidental sampling, yaitu pengambilan sampel yang
dilakukan dengan mengambil kasus atau responsden yang ada atau tersedia yang
memenuhi kriteria saat dilakukan penelitian terhadap seluruh anggota populasi
selama periode yang ditentukan.(49)

3.3.4 Besar Sampel


Besar sampel pada penelitian ini disesuaikan dengan jumlah kasus anak
yang didiagnosis menderita penyakit rinitis alergi dan datang berobat ke Poliklinik
Anak dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang ada pada bulan Agustus, September,
dan Oktober 2020. Data yang akan dianalisis membutuhkan minimal 30
responden penelitian.
3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.4.1 Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini ada 2 yaitu variabel independen dan variabel
dependen:
a. Variabel independen pada penelitian ini adalah ASI eksklusif dan ASI
non eksklusif.
b. Variabel dependen pada penelitian ini adalah dermatitis atopik.

Variabel Independen Variabel Dependen

ASI Eksklusif atau Dermatitis


Anak usia 0-2 tahun
ASI Non Eksklusif Atopik

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.4.2 Definisi Operasional


Untuk memudahkan memahami variabel-variabel dalam penelitain ini,
dapat dilihat definisi operasional berikut ini:
1. ASI Eksklusif dan ASI Non Eksklusif
ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI pada bayi dan tidak
memberikan makanan atau minuman lain, termasuk air/cairan, kecuali obat-
obatan dan vitamin atau mineral tetes, selama 6 bulan pertama kehidupan bayi.
(11,40,51,52)
ASI non eksklusif adalah memberikan tidak hanya ASI dan memberikan
makanan atau minuman lain, termasuk air/cairan, kecuali obat- obatan dan
vitamin atau mineral tetes, selama 6 bulan pertama kehidupan bayi atau
memberikan hanya ASI dibawah 6 bulan pada bayi.(11) Alat ukur yang digunakan
adalah kuesioner. Pengukuran dilakukan dengan cara wawancara kepada
responden. Hasil ukur adalah ASI eksklusif atau ASI non eksklusif. Skala ukurnya
adalah nominal.(53)
2. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat kronis dan sering
terjadi kekambuhan (eksaserbasi) terutama mengenai bayi dan anak-anak dapat pula terjadi
pada orang dewasa. Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum
serta adanya riwayat rinitis alergika dan asma pada keluarga maupun penderita. Diagnosi yang
dipakai biasanya ialah Kriteria Haniffin dan Radjka.

3. Usia Anak
Usia anak di dalam penelitian ini adalah 0-2 tahun. Batas minimal usia 0-2
tahun dipilih karena disesuaikan dengan lama waktu pemberian ASI pada
umumnya.
Tabel 3.1 Alat Ukur, Cara Ukur, Hasil Ukur, dan Skala Ukur Variabel
Variabel Alat Ukur Cara Hasil Ukur Skala
Ukur Ukur
Variabel Independen
ASI eksklusif dan Kuesioner Wawancar ASI eksklusif Nomina
ASI non eksklusif a atau ASI non l
terpimpin eksklusif
Variabel Dependen
Dermatitis Rekam medik Diagnosis Dermatitis Ordinal
Atopik dan/atau buku dokter ahli Atopik
registrasi anak serta
poliklinik serta wawancar
kriteria a
Haniffin dan terpimpin
Radjka

3.5 Alat/Instrumen dan Bahan Penelitian

Alat/instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


1. Lembaran data rekam medik pasien dan/atau buku registrasi poliklinik
2. Lembaran data penelitian dan kuesioner

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan data primer dan


sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil
wawancara menggunakan kuesioner kepada responsden dan sudah mendapatkan
persetujuan (izin). Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari rekam
medik pasien dan/atau buku registrasi poliklinik yang menyatakan pasien adalah
pasien dermatitis atopik. Selanjutnya, hasil pemeriksaan dikumpulkan untuk
dilakukan pengolahan data.(53)
3.7 Analisis Data Penelitian

3.7.1 Analisis Univariat


Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing
variabel independen dan dependen. Data yang diperoleh kemudian disajikan
dalam bentuk tabel distribusi, frekuensi dan persentase. Adapun rumus yang
digunakan sebagai berikut:(49)

Keterangan:
P = Persentase
f1 = Frekuensi teramati
n = Jumlah seluruh sampel

3.7.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat digunakan untuk menguji perbedaan satu variabel pada dua
kelompok yang berbeda. Dalam penelitian ini, digunakan uji Mann-Whitney.(49)
3.8 Prosedur Penelitian
Mengajukan dan menerima surat dari Fakultas Kedokteran Unsyiah

Surat izin penelitian

Mengajukan dan menerima surat izin


penelitian di RSUDZA dengan melampirkan
surat izin penelitian ke Badan
Kesbangpolinmas

Menyerahkan surat izin penelitian dari


Badan Kesbangpolinmas ke pihak
RSUDZA

Melakukan Penelitian di RSUDZA

Populasi

Sampel

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder

Pengolahan Data

Analisis Data
DAFTAR PUSTAKA

1. Lin B, Dai R, Lu L, Fan X, Yu Y. Breastfeeding and Atopic Dermatitis Risk: A


Systematic Review and Meta-Analysis of Prospective Cohort Studies. Dermatology.
2019;315010(59).

2. Torres T, Ferreira EO, Gonçalo M, Mendes-Bastos P, Selores M, Filipe P. Update on


atopic dermatitis. Acta Med Port. 2019;32(9):606–13.

3. Silverberg JI. Public Health Burden and Epidemiology of Atopic Dermatitis. Dermatol
Clin [Internet]. 2017;35(3):283–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.det.2017.02.002

4. Lee BW, Detzel PR. Treatment of childhood atopic dermatitis and economic burden of
illness in Asia Pacific Countries. Ann Nutr Metab. 2015;66:18–24.

5. Page SS, Weston S, Loh R. Atopic dermatitis in children. Aust Fam Physician.
2016;45(5):293–6.

6. Halim A, Munasir Z, Rohsiswatmo R. Manfaat Pemberian ASI Eksklusif dalam


Pencegahan Kejadian Dermatitis Atopi pada Anak. Sari Pediatr. 2016;15(6):345.

7. Zielińska MA, Sobczak A, Hamułka J. Breastfeeding knowledge and exclusive


breastfeeding of infants in first six months of life. Rocz Panstw Zakl Hig.
2017;68(1):51–9.

8. Breastfeeding as prophylaxis against atopic disease : prospective. 1975;(1065):1065–9.

Anda mungkin juga menyukai