Anda di halaman 1dari 16

Pertanyaan MTE 2

Kelompok 1 :

1. Penanya Virna
Pada beberapa literatur dikatakan bahwa Dermatitis Atopi erat kaitannya dengan
alergi makanan, dimana pada bayi yang menderita dermatitis atopi akan cenderung
mengalami alergi makanan pada umur yang lebih tua. Bagaimana bisa dermatitis
atopi menyebabkan adanya alergi makanan?

Jawab:

Benar, dermatitis atopik umumnya berhubungan dengan reaksi alergi yang diperantari
oleh IgE, terutama alergi makanan. Prevalensi alergi makanan pada pasien DA memang
cukup tinggi, namun masih banyak perdebatan mengenai hal ini. Hipotesis yang ada
terkait hal ini adalah, karena pada DA, ada 2 kejadian penting yang berpengaruh, yaitu
terganggunya sawar kulit dan adanya perubahan pada sistem imun. Dengan adanya 2
kejadian tersebut, alergen makanan dapat masuk melewati sawar kulit sehingga
nantinya terjadi proses sensitisasi terhadap alergen tersebut.

Pada sebuah penelitian, anak-anak yang memiliki dermatitis atopi memunculkan 3 tipe
reaksi terhadap makanan saat dilakukan oral food challenge, yaitu tes yang dilakukan
untuk mengetahui adanya alergi makanan. Tiga bentuk reaksi yang muncul adalah:
Reaksi cepat yang diperantarai IgE (hipersensitivitas tipe 1), reaksi lambat dengan
eksaserbasi terhadap dermatitis atopi, dan campuran antara keduanya. (braja)

2. Penanya Jian
Mengapa DA pd anak membaik seiring peningkatan umur ?

Jawab: 60% anak dengan DA akan membaik keluhannya pada umur 10 tahun karena
perubahan imunitas tubuh serta bertambah fungsi skin barrier (sholehah)

3. Penanya Thariq
A.) Bagaimana perbedaan gejala klinis yang khas pada dermatitis kontak alergi
dengan dermatitis atopi? Apakah pasien dengan dermatitis atopik bisa terkena
dermatitis kontak alergi?

Jawab : DA onset pada bayi - anak. Pruritus lebih menonjol kemudian diikuti lesi pada
kulit. Kulit cenderung lebih kering. Predileksi pada daerah lipatan-lipatan
(intertriginosa). Perjalanannya kronik residif.
DKA tergantung saat terpajan alergen (fase sensistisasi dan fase elisitasi). Lesi akan
muncul saat terpapar alergen (pada fase elisitasi) terlebih dahulu. Keluhan gatal
muncul setelah ada paparan terhadap alergen. Predileksi sesuai daerah yang terpajan
alergen. Pasien DKA ini bisa dengan atopi ataupun tidak. Dari jurnal yang dibaca
mengatakan tidak ada hubungan antara riwayat DA dengan kejadian DKA. Namun
riwayat atopi tetap penting ditanyakan dalam anamnesis untuk memastikan
diagnostik.
gejala pruritus pada DA muncul terlebih dahulu kemudian diikuti oleh muncul lesi pada
kulit (Tasya Namira)

B.) Apakah ada perbedaan gambaran lesi akut subakut dan kronis pd DKA dan bgmn
pem fisiknya?

Jawab : Pada fase akut dermatitis kontak alergi (Dermatitis KA) ditandai dengan tanda
peradangan seperti eritema, vesikel, dan bula dengan dasar edematosa. Gambaran
papul eritema dan weeping mungkin didapati pada lesi subakut. Gambaran skuama,
fisura, dan likenifikasi didapati pada lesi kronik. Pada Dermatitis KA, lesi umumnya
memiliki batas, garis, dan sudut yang jelas.
Distribusi lesi sangat penting pada dermatitis kontak alergi. Lokasi lesi dapat
membantu mempersempit kemungkinan alergen penyebab. Contohnya, alergi
terhadap komponen logam pada celana atau ikat pinggang dapat menimbulkan lesi
periumbilikal. Lesi pada wajah, kelopak mata, bibir mungkin disebabkan kontak dengan
bahan kosmetik. Pada beberapa profesi, lokasi lesi pada tangan dapat menunjukkan
alergen berupa sarung tangan lateks, misalnya pada perawat dan dokter.

4. Penanya Rega
Dermatitis atopik sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum,
dalam penegakan diagnosis apakah perlu dilakukan pemeriksaan kadar IgE serum
atau hanya dengan menemukan 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor atau lebih
kriteria hanifin dan rajka sudah cukup untuk menegakkan diagnosis Dermatitis
atopik?

Jawaban :
Diagnosis DA sudah dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria william
(klinik/puskesmas) kriteria hanifin dan rajka (3 kriteria mayor dan 3 atau lebih kriteria
minor) Tidak ada pemeriksaan laboratorium atau gambaran histologik yang spesifik
untuk menegakkan diagnosis DA. Dengan demikian, anamnesis dan pemeriksaan fisik
menjadi dasar penegakan diagnosis DA.Peningkatan kadar IgE ditemukan pada 80%
pasien DA, tetapi hasil serupa juga dapat ditemukan pada keadaan atopik lain.Uji tusuk
kulit (skin prick test/SPT) atau pemeriksaan IgE spesifik yang hasilnya positif hanya
menunjukkan adanya sensitisasi terhadap alergen ber- sangkutan, tetapi tidak berarti
secara langsung menjadi penyebab.Hasil positif dapat digunakan sebagai panduan
dokter untuk mempertimbangkan kemungkinan pencetus pada pasien. (Dio)

5. Penanya Cici
A.) Bagaimana tatalaksana DA di layanan primer dan bagaimana perbedaan
tatalaksana pada anak atau dewasa?

Jawaban:
Tatalaksana DA di layanan primer
- Non medikamentosa: diberikan edukasi bahwa penyakit ini tidak bisa benar-
benar sembuh tapi dapat dikendalikan. Penyakit ini akan berulang jika
terpapar dengan faktor pencetus maka pasien harus manghindari faktor tsb.
Menjelaskan prinsip pengobatan penyakit ini adalah menghindari gatal,
menurunkan peradangan dan menghidrasi kulit. Dilakukan juga modifikasi
gaya hidup untuk menghindari bahan iritan yang mencetuskan gejala.
- Medikamentosa:
Topikal: untuk bayi dapat diberikan kortikosteroid lemah seperti desonit
krim 0,5%, hidrokortison 1-2%. Untuk anak dapat diberikan kortikosteroid
lemah-sedang seperti desonit krim, hidrokortison dan tiomsmolon. Untuk
dewasa diberikan kortikosteroid sedang-kuat seperti beta metoksalat.
Sistemik: dapat diberikan anti histamin sedatif seperti klorpheniramin
maleat, cetirizine 1-2 mg/hari selama 2 minggu, loratadin jika gatal sangat
mengganggu. Pelembab: emolien
- Prinsip terapi non farmakologi: memastikan kulit lembab, edukasi mandi 1-
2x/hari, air hangat 10-15 menit, dikeringkan setelah mandi dan berikan
pelembab.
Prinsip terapi pada anak: edukasi orang tua atau pengasuhnya dan penggunaan
kortikosteroid topikal dengan prinsip 1 finger atau 1 ruas jari. Pada laki-laki 0,5 gr dan
pada perempuan 0,4 gr. (Caca)

B. Bagaimana tatalaksana lesi basah dan kering pada DA?


Jawaban :
Prinsip lesi basah dapat dilakukan dengan cara mengkompres lesi, sedangkan pada lesi
kering menggunakan krim atau salep sesuai dengan fase DA, pada fase infantil dapat m
enggunakan krim sedangkan pada fase akut dapat menggunakan salep

6. Penanya Rahma
Apakah DA bisa sembuh?

Jawab : DA tidak dapat sembuh, karna berkaitan dengan genetik, lingkungan,


perubahan sawar kulit yg mengakibatkan perubahan imunologis pasien.
Namun, DA dapat membaik pada Remaja dan dewasa. Beberapa DA dapat membaik
pada usia 30 tahun. (Hawa)

7. Penanya Chintya
Kriteria diagnosis untuk DA ada banyak macamnya contohnya Hanifin Radjka dan
William. Apakah penggunaan kriteria tsb dapat digunakan juga pada anak-anak?
Jawab :
Kriteria diagnosis untuk DA ada banyak macamnya contohnya Hanifin Radjka dan
William. Kriteria wiliam digunakan pada PPK primer, sementara Hanifin Radjka dipakai
pada pelayanan sekunder dan tersier. Khusus pada bayi kriteria Hanifin Radja
dimodifikasi menjadi:
3 kriteria mayor:
·       Riwayat atopi keluarga

·       Dermatitis di muka atau ekstensor

·       Pruritus
3 kriteria minor:

·       Xerosis/iktiosis/hiprtlinearis palmaris

·       Aksentuasi perifolikular

·       Fisura belakang telinga

·       Skuama di scalp kronis

-    Bagaimana hubungan usia dengan manifestasi klinis DA?

Hubungan usia dengan manifestasi klinis pada DA dapat berkaitan dengan lokasi
predileksi. Dermatitis atopik dibagi menjadi tiga tahap:

a. DA fase infantil : usia 0-2 tahun. DA paling sering muncul pada tahun pertama
kehidupan, umumnya setelah usia 2 bulan. Tempat predileksi utama diwajah
diikuti kedua pipi dan tersebar simetris. Dengan bertambahnya usia, fungsi
motorik bertambah sempurna, anak mulai merangkak dan belajar berjalan,
sehingga lesi kulit dapat ditemukan di bagian ekstensor, misalnya lutut, siku
atau tempat yang mudah mengalami trauma.
b. DA fase anak : pada fase anak (2-10 tahun) dapat kelanjutan fase infatil atau
muncul tanpa didahului fase infantil. Tempat predileksi tersering di fosa kubiti
dan poplitea, fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher dan tersebar
simetris.
c. DA fase remaja dan dewasa : usia >13 tahun. Lesi khas pada fase ini adalah
eksim likenifikasi (penebalan kulit) pada daerah lipatan, plak hiperpigmentasi
(perubahan warna kulit menjadi lebih gelap), dan skuama (bersisik) di
pergelangan tangan, pergelangan kaki, leher dan kelopak mata. Gatal terutama
pada malam hari yang berkaitan dengan kondisi psikologis, sehingga pasien
dewasa sering mengeluh kelainan ini dicetuskan oleh gangguan emosional.
(Milda)

Kelompok 2 :

1. Apakah patch test ini selalu dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang untuk
membantu diagnosis DKA dan DKI? (Penanya : Braja)

Jawaban :
Untuk patch test dilakukan hanya untuk etiologi yang tidak jelas, jika alergennya
sudah jelas tidak dianjurkan patch test, dan uji ini hanya dilakukan pada lesi yang
sudah kering.

Pemeriksaan patch test dilepas setelah pajanan 48 jam. Pada 72 jam DKA akan
meluas, sedangkan DKI akan berkurang. Ini yang membantu membedakan antara
keduanya (KIKY)

2. Pada uji tempel untuk mengetahui apakah seseorang memang alergi dengan suatu
bahan atau zat kita perlu juga untuk memperhatikan mengenai kemungkinan
hasilnya positif palsu ataupun negative palsu. Apa saja kemungkinan penyebab
hasil uji menjadi tidak tepat? Sehingga kita dapat menghindari hal tersebut.
(Penanya : Soleha)

Jawaban :

Reaksi Positif Palsu :

a. Dalam bahan tes maupun unit uji tempel terdapat unsur unsur yang iritatif.

b. Bahan tes dengan konsentrasi yang terlalu tinggi atau jumlahnya terlalu
banyak.

c. Kulit dalam keadaan terlalu peka, misalnya bekas dermatitis, sedang


menderita dermatitis yang akut atau luas dan sebagainya.
Reaksi Negatif palsu : yaitu yang semestinya positif, tetapi oleh karena beberapa
kesalahan teknik, reaksinya negatif. Ini disebabkan antara lain oleh karena:

a. Nilai ambang konsentrasi belum tercapai.

b. Bahan tersebut bersifat photo-sensitiser, yang untuk terjadinya reaksi positif


diperlukan sinar matahari atau sinar ultra violet.

c. Bahan sudah rusak. (Rudi)

3. Apakah bisa terjadi DKI/DKA dengan gambaran klinis tidak khas, misalnya tidak
adanya eritem? Mengapa bisa terjadi? (Penanya : Thariq)

Jawaban :

Perubahan pada sistem imun (pada netrofil, makrofag, sel dendritic, sel NK)
menyebabkan berkurangnya tampilan eritema sebagai tanda iritasi kulit yg dapat
dilihat dan diobservasi. Namun kerusakan struktur dan sawar kulit tetap terjadi,
walaupun secara kasat mata tidak terlihat. Sehingga manifestasi DKI/DKA menjadi
sub-akut maupun kronik.

Kondisi: geriatri, immunosupresan, atau misalnya pada DKI dengan iritan lemah,
yang berulang -> manifestasi sub akut/kronik -> sulit didiagnosis. (Qonita)

4. Kapan harus merujuk DKA, apa tatalaksana di layanan primer? (Penanya : Dio)

Jawaban:
Penatalaksanaan
a. Keluhan diberikan farmakoterapi
berupa:
1. Topikal (2x sehari)
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
• Kortikosteroid
Desonid krim 0.05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon
asetonid krim 0.025%).
• Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan
hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan betametason valerat krim 0.1%
atau mometason furoat krim 0.1%).
• Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian
antibiotik topikal.
2. Oral sistemik
• Antihistamin hidroksisin (2 x 1 tablet) selama maksimal 2 minggu,
atau
• Loratadine 1x10 mg/ hari selama maksimal 2 minggu.
b. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahan-bahan yang
bersifat alergen, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis, memakai sabun
dengan pH netral dan mengandung pelembab serta memakai alat
pelindung diri untuk menghindari kontak alergen saat bekerja.

Konseling dan Edukasi


a. Konseling untuk menghindari bahan alergendi rumah saat mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
b. Edukasi menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu
boot.
c. Memodifikasi lingkungan tempat
bekerja.

Kriteria rujukan
a. Apabila dibutuhkan melakukan patch test.
b. Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan standar
dan sudah menghindari kontak (Silvi)

5. Pada DKA lesinya polimorfik.Kontaknya bisa bilateral tapi lesinya bisa muncul
tidak bilateral. Kira2 bagaimna cara kita menegakkan diagnosis DKA pada kasus
ini? (Penanya : Caca)
 Menegakkan DKA ini tentu sangat diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
- Anamnesis: tanyakan pekerjaan, hobi, obat2an topikal dan sistemik,
riwayat atopi pasien atau keluarga
- Pemeriksaan fisik: lihat lokasi dan pola kelainan kulit. Eg: ketiak :
deodorant. Tangan : jam tangan. Kaki: penggunaan sepatu atau sandal.
 Klinis DKA: lesi polimorfik yg dapat meluas ke daerah sekitar lesi dan
dengan batas tidak tegas.keluhan utama : gatal.
 Untuk mengetahui penyebabnya : bisa dilakukan uji tempel / patch test
pada pasien: allergen ditempelkan pada kulit pasien pada daerah yg
tidak berambut dan tidak basah. Syarat : Lesi sudah dalam keadaan
tenang. Tempat dilakukan patch test tidak boleh basah. Jika ada
allergen yg menyebabkan reaksi alergi -> patch test setelah dibuka yaitu
stelah 48 jam: nanti akan terlihat reaksi inflamasi pada kulit yg
ditempelkan patch test. Setelah dilepas reaksi dapat menetap atau
meningkat.
 Bisa juga kita bedakan dengan DKI : patch test saat dilepas reaksinya
akan berkurang.
 Hasil patch test tadi bisa juga dikaitkan dan dianalisis relevansinya
dengan kegiatan sehari2 dan pekejaan pasien, apakah benar berkontak
dengan allergen yg hasilnya positif dari patch test tadi.
 DKA yang tidak timbul bilateral juga bisa dibedakan dengan DKI
PEMBEDA DKA dan DKI:
- DKA: anamnesis : keluhan utama >> gatal, pemfis: lesi bisa meluas
keluar daerah yg berkontak dengan allergen, batas tidak terlalu tegas
- DKI: gejala utama : perih dan terbakar. Pemfis: lesi hanya terbatas pada
daerah yg berkontak, batas tegas

 Dan kenapa kontak bilateral dan lesi belum tentu muncul bilateral juga bisa
dipengaruhi oleh beberapa faktor :
- Potensi sensitisasi dari allergen
- Seberpa luas area yg dikena allergen
- Lama pajanan allergen
- Ph dan kelembababn
- Kondisi kulit pasien pada kulit yg berkontak: contohnya ketebalan pada
daerah2 tertentu berbeda2: pada mata, leher, genital biasanya lebih
tipis dibandingkan spt telapak tangan, telapak kaki -> shg bisa juga
mempengaruhi pajanan allergen dari DKA (Cahyu)

6. Kenapa prevalensi dermatitis kontak iritan pada perempuan lebih tinggi


dibandingkan pada laki-laki? (Penanya : Hawa)

Jawaban :

Kulit wanita lebih rentan terhadap bahan kimia dibandingkan dengan kulit pria.
Terdapat perbedaan antara pria dan wanita yaitu dari jumlah folikel rambut,
kelenjar sebaceous atau kelenjar keringat dan hormonal.

Kulit pria mempunyai hormon yang dominan yaitu androgen yang dapat
menyebabkan kulit pria lebih banyak berkeringat dan ditumbuhi lebih banyak bulu,
sedangkan kulit wanita lebih tipis daripada kulit pria sehingga lebih rentan terhadap
kerusakan kulit.
Kulit pria juga memiliki kelenjar aprokin yang tugasnya meminyaki bulu tubuh dan
rambut, kelenjar ini bekerja aktif saat remaja, sedangkan pada wanita seiring
bertambahnya usia, kulit akan semakin mengering dan kolagen pada kulit wanita
lebih cepat berkurang dibandingkan pria. Kolagen menjadi penunjang utama dalam
fungsi membangun jaringan komponen pada dermis.
Komponen-komponen tertentu dari kulit juga jadi berkurang seiring bertambahnya
usia karena kolagen yang berkurang. Kulit yang mempunyai kolagen lebih sedikit
menjadi lebih tua dan lebih rentan terhadap alergi, sensitifitas, dan iritasi bila
dibandingkan dengan kulit yang lebih muda karena sistem pertahanan yang
melemah.
Kulit pada wanita semakin mengering dan lebih rentan terkena dermatitis
dikarenakan wanita lebih sering terpapar dengan bahan iritan seperti sabun cuci
dan pekerjaan rumah tangga yang lembap serta pemakaian kosmetik yang
menyebabkan kolagen pada kulit wanita semakin cepat berkurang. Penggunaan
kosmetik merupakan salah satu penyebab utama cepat berkurangnya kolagen pada
kulit wanita sehingga karateristik dan struktur kulit yang melekat pada wanita
berbeda dengan pria. Hal ini yang membuat sistem pertahanan kulit wanita lebih
lemah daripada kulit pria, sehingga kulit wanita lebih rentan terkena dermatitis
kontak iritan dibandingkan pria. (Aidi)

7. Mengapa Dermatitis kontak sering terjadi pada orang berusia lanjut? (Penanya :
Milda)

Jawaban :
karena kejadian dermatitis kontak dipengaruhi oleh 2 faktor, eksogen dan endogen.
faktor eksogen merupakan faktor luar tubuh sepeti konsentrasi zat, daya larut,
kekerapan dan lama kontak dengan kulit, jumlah zat yang berkontak, dll, sdgkan
faktor endogen merupakan faktor individu spt ketebalan kulit, adanya penyakit
kulit, dan riwayat trauma pada kulit.
pada orang usia lanjut, terjadi perubahan secara struktural, fungsional, maupun
imonologis pada kulit. misalnya, kulitnya menjadi lebih tipis dan keriput, fungsi
sawar kulit yang menurun serta kerentanan terhadap patogen akibat penurunan
sistem imun. Sementara kita tahu patogenesis dari dermatitis kontak ini berkaitan
dengan hal di atas. selain itu pajanan iritan yang berulang selama hidup juga
meningkatkan kejadian dermatitis kontak pada orang lansia. ini dikenal dengan
dermatitis kontak iritan kronik kumulatif. begitu pula dengan akumulasi zat
sensititizer yang menyebabkan proses sensitisasi pada sistem imun yang dapat
menimbulkan suatu reaksi peradangan pada kulit. (Ise)

8. A.) Apakah patch test dapat dilakukan di layanan primer? Jika tidak apakah boleh
kita tatalaksana sebelum menegakkan diagnosa pasti pada pasien DKA di LP?
(Penanya : Alvin)

Jawaban:
Harus tatalaksana dulu. Uji tempel hanya dilakukan bila alergen tidak diketahui
secara pasti. Setelah membaik baru dirujuk untuk uji temple.
Uji tempel dilakukans saat lesi sudah tenang dan tida konsumsi KS 2 minggu.
Tatalaksana dengan KS topikal sesuai lesi. Dari potensi ringan sedang. Antihistamin
loratadin 1x10 mg maks 2 minggu.
Uji tempel di faskes lanjut. Harus memastikan pasien bebas pemakaian KS sebelum
rujuk ataupun lesi aktif. DKI batas tegas biasanya, keluhan panas dan nyeri. DKA
batas tidak tegas, keluhan gatal. (Tasyi)

B.) Indikasi pemberian AB untuk mencegah infeksi sekunder, kondisi lesi seperti
apa? dan bagaimana pemilihan topical dan sistemiknya? Obatnya apa?

Jawaban :
Lesi yang diberikan yaitu lesi dalam kondisi ada pustule, pus, nanah, krusta. Jika
ragu bisa dilakukan pemeriksaan gram atau kultur -> untuk menentukan bakterinya
Pemberian AB Oral / topical berdasarkan luas lesi yang terkena AB sistemik / oral ->
eritromicin
Untuk pemilihan AB : pemberian AB spekrum luas
Tatalaksana lain untuk DKA:
Pemberian KS sistemik untuk mengurangi inflamasi -> prednisone 1x20mg/hari.

Kelompok 3 :

1. Pada buku disebutkan DS disebabkan oleh produksi sebum dan infeksi jamur
malassezia, dan kejadian DS sering dialami pada masa remaja, namun pada remaja
yg mengalami DS itu produksi sebumnya normal, jadi apa sebenarnya faktor
pencetus DS? Apakah ada faktor lain yang dapat mencetuskan DS? ( penanya Kiky)
Jawaban: Peningkatan produksi sebum juga dapat disebabkan oleh faktor stress,
saat stress produksi hormon kortisol seseorang akan meningkat, ini juga akan
meningkatkan produksi sebum, saat remaja adalah masa2 transisi, masa mencari
jati diri, sering menghadapi ujian sekolah, yang bisa menjadi pencetus terjadinya
stress, stress tsb akan menyebabkan produksi sebum meningkat, menekan fungsi
imun, sehingga dapat menyebabkan terjadinya ketombe (DS)1. DS disebabkan oleh
produksi sebum dan infeksi jamur malassezia, pada buku yang dibaca, pada remaja
yg mengalami DS itu produksi sebumnya normal, jadi apa sebenarnya faktor
pencetus DS? (jawab Virna)

2. Pada DS sering di diagnosa banding dengan beberapa penyakit seperti psoriasis


vulgaris dan pitiriasis rosea, bagaimana cara membedakannya? (penanya Rudi)

Jawaban: Psoriasis vulgaris lebih sering ditemukan pada bagian ekstensor tubuh,
dengan skuama lebih tebal dan berlapis, berwarna transparan seperti mika, dan
terdapat fenomena koebner dan auspitz sign. Pada pitiriasis rosea ditemukan herald
patch dan setelahnya ditemukan lesi eritem dengan bentuk pine-like appearance.
(jawab Jian)

3. Bagaimana pengaruh cuaca, jenis kelamin dan imunocompromaise terhadap


dermatitis seboroik? Dan mana yang banyak berperan? (penanya Qoni)

Jawaban: Cuaca
Etiologi DS masih belum pasti yang berperan dominan, dan cuaca dihubungkan
dengan mekanisme imunitas sseluler, karena faktor predisposisi/agravasi nya
adalah aktivitas Kel. Sebasea dan kerentanan individu (cuaca, makanan, psikis)
salah satunya cuaca. Sering terjadi pada suhu dingin karena kurangnya paparan
cahaya matahari yang dapat mengganggu efek imunologi. Yang berhubungan
dengan sinar ultraviolet B, yang dibutuhkan untuk mengubah vitamin D3
menjadi vitamin D aktif, Vitamin D juga memiliki efek imunomodulator yang
dapat meningkatkan sistem imun tubuh. Selain itu, Rangsang cahaya dapat
menurunkan respon inflamasi.
Pada gangguan sistem imun karena faktor stres menyebabkan Malassezia dan
faktor lainnya berkembang sehingga dapat mengakibatkan terjadinya DS.
Terdapat juga sumber yang mengatakan DS cepat berkembang pada
cuaca/iklim dingin (masih dicari jawaban ini).
Jenis kelamin
Remaja berjenis kelamin laki-laki sekresi sebumnya lebih banyak dari pada
perempuan, juga dikarenakan banyaknya kelenjar sebasea laki-laki dibanding
perempuan
Faktor terjadinya DS
1. Produksi sebum→ akan meningkatkan lapisan sebum pada kulit→ dipecah
menjadi asam lemak bebas
2. Perubahan imunitas selular, terhadap respon malasezia, Malassezia furfur
adalah spesies jamur lipofilik, dimorfik, yang terdapat pada kulit manusia
sebagai patogen oportunistik, menyebabkan munculnya ketombe bahkan
dermatitis seboroik disaat imunitas individu tidak baik dan tidak menjaga
higienitas.
3. Degradasi sebum , Malasezia pada kulit yang berminyak, dapat
mendegradasi sebum dengan lipase yang merupakan patogenesis terbentuknya
cradle cap. Ragi mendegradasi sebum, mengonsumsi (SFA) asam lemak jenuh,
dan kemudian meninggalkan (USFA) asam lemak tak jenuh proses tersebut
bermanifestasi terbentuknya skuama kekuningan, gatal dan menyengat. (jawab
Thariq)

4. A. Mengapa dapat terjadi Dermatitis seboroik pada bayi dan bagaimana perbedaan
tatalaksana DS pada bayi dengan dewasa? (penanya Silvia Rizka)

Jawaban:
Seperti DS secara umum, penyebab pasti DS pada bayi belum sepenuhnya
diketahui. Banyak faktor yang diperkirakan memengaruhi terjadinya DS. Salah satu
hipotesis untuk kejadian DS pada bayi adalah karena pengaruh hormone androgen
dari ibu, sehingga kelenjar sebasea bayi menjadi sangat aktif. Kejadia DS pada bayi
umumnya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan.
Dermatitis seboroik pada bayi umumnya ringan, dan biasanya dapat menghilang
dengan sendirinya pada usi 6-9 bulan. Pada algoritma penatalaksaan DS untuk bayi,
hanya dibedakan berdasarkan lokasi DS, yaitu scalp dan non-scalp, sedangkan pada
dewasa disesuaikan dengan tingkat keparahan penyakitnya. Pada bayi biasanya
pengobatan hanya berupa topical saja. Jika terpai topical tidak memberikan
perbaikan pada bayi, maka perlu dirujuk untuk evaluasi kelainan yang mendasari
atau kemungkinan diagnosis lain. (jawab: rega)

B. Penelitian menunjukkan DS, DA, dan DKA-DKI dapat berpengaruh pada psikologis
pasien, bagaimana pengaruhnya dan bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar penyakit tersebut memengaruhi pasien? (penanya
Silvia Rizka)

Jawaban:
Kelainan kulit yang sering kali muncul di wajah atau di area kulit yang terlihat dapat
menurunkan rasa percaya diri pasien, memiliki efek negative yang signifikan
terhadap quality of life, pengaruh ini lebih terlihat pada wanita, pasien usia muda,
dan yang memiliki pendidikan tinggi. Penilaian kualitas hidup dapat dilakukan
dengan menggunakan kuesioner dermatology life quality index (DLQI) yang berisi
sepuluh pertanyaan berkaitan pengaruh kondisi kulit terhadap pasien dalam 1
minggu terakhir. (jawab: rega)

5. A. Pada tatalaksana DS dibedakan berdasarkan tingkat keparahan, bagaimana cara


menentukan tingkat keparahan pada DS? (penanya Cahyu)

Jawaban:
Tingkat keparahan dinilai berdasarkan:
Ringan : Mengenai kulit kepala berupa skuama halus (ketombe/ptiriasis asika),
skuama yang berminyak (ptiriasis steatoides) dapat disertai eritema dan krusta.
Berat : bercak berskuama dan berminyak, eksudasi, dan krusta tebal, sering meluas
ked ahi, telinga, dll.
Lebih berat: Mengenai seluruh kepala ttertutup krusta kotor dan pada bayi terdapat
cradle cap (skuama kekuningan dan kumpulan debris yang melekat pada kulit
kepala)
Tatalaksana tingkat ringan cukup dengan antijamur saja, tingkat berat ditambah
dengan kortikosteroid.
B. Apa tujuan utama, penilaian serta factor yang harus diperhatikan dalam terapi
untuk dermatitis seboroik (penanya Cahyu)

Jawaban: Tujuan utama penatalaksanaan dermatitis seboroik (DS) adalah untuk


menghilangkan tanda klinis yang terlihat secara nyata, menghilangkan gejala yang
mengganggu seperti gatal, dan mempertahankan remisi dalam jangka waktu yang
lama.Penilaian utama dari keberhasilan terapi adalah perbaikan gejala, tingkat
kekambuhan, perubahan jumlah koloni Malassezia, kepuasan pasien, dan
akseptabilitas kosmetik dari terapi.
Faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan terapi adalah efikasi, efek samping,
kemudahan penggunaan dan usia pasien. Dikarenakan mekanisme patogenik utama
dari DS adalah adanya keterlibatan Malassezia sp., maka terapi yang paling umum
digunakan adalah antifungal topikal dan golongan antiinflamasi.
Kortikosteroid topikal potensi lemah seperti hidrokortison, desonide, dan
mometasone furoate menunjukkan respon yang efektif untuk DS fasial. Namun
penggunaan jangka panjang dari kortikosteroid topikal dikaitkan dengan penipisan
kulit dan telengiektasis.
Terapi lain yang sering digunakan ialah ter, dimana sering dipakai dalam sediaan
sampo dan terbukti memberikan hasil yang efektif dalam mengatasi DS. (jawab Cici)

6. DS bersifat kronis progresif, apakah bisa DS mengalami komplikasi atau hanya


menimbulkan gejala gatal saja? (penanya Aidi)

Jawaban: Sulit untuk ditangani karena bersifat multifactorial. DS mengenai daerah


yang berambut. Bisa kejadiannya berulang dan terjadi inflamasi akibat garukan,
dapat menyebabkan komplikasi, seperti folikel rambut menjadi rapuh dan rontok,
menyerupai tinea kapitis. Jika mengenai kelopak mata bisa menyebabkan blefaritis.
Bila mengenai daerah belakang telinga, bisa menimbulkan otitis.

Komplikasi yang sangat serius jarang terjadi, komplikasi yang terjadi bisa berupa
infeksi sekunder. Pada pasien HIV bisa menyebabkan eritroderma. (jawab Rahma)
7. Kenapa bisa terbentuk lesi berupa ketombe pada DS apakah sama dengan orang
normal? (penanya Ise)

Jawaban:
Ketombe adalah serpihan kulit kepala (mati) yang terkelupas. Epitel yang
menyusun kulit kepala merupakan epitel skuamus berlapis yang secara terus
menerus tumbuh, sehingga mendorong epitel lama diatasnya ke permukaan
yang kemudian akan mati dan akhirnya terkelupas (korneosit). Ketombe
merupakan penyatuan korneosit yang menyatu secara luas antara satu dan
yang lain serta menempel pada permukaan stratum korneum. Sel parakeratotik
merupakan salah satu sel penyusun ketombe. Jumlah sel tersebut tergantung
dari tingkat keparahan DS.
3 Faktor yang menyebabkan ketombe muncul pada kulit kepala seseorang
adalah
 Kolonisasi Malassezia dan metabolisme sebum nya terkait produksi
asam lemak bebas unsaturasi yang mengiritasi kulit,
 Produksi sebum oleh glandula sebaceous
 Faktor intrinsik individu sendiri (predisposisi atau suseptibilitas)
terhadap asam lemak bebas tersebut dan inflamasi.
Empat fase patofisiologi terjadinya ketombe yaitu:
 Lingkungan Malassezia dan interaksi dengan epidermis
 Inisiasi dan propagasi inflamasi
 Gangguan proses proliferasi dan differensiasi epidermis
 Gangguan pertahanan kulit secara fisik dan fungsional
Mikroba juga berperan dalam sekresi dan pemecahan sebum, merubah
sebum yang mengandung ester serta trigliserid ke dalam bentuk
digliserid, monogliserid, dan asam lemak bebas. Salah satu contoh asam
lemak bebas adalah asam oleic yang mengatur respon iritasi kulit,
terkait dengan hiperproliferasi kulit kepala, yang kemudian melanjut
pada deskuamasi berlebih dari penebalan kulit kepala. Ester kolesterol
dan kolesterol berperan dalam pembentukan hifa pada Malassezia.
Asam oleic yang menginisiasi pengelupasan kulit mati hanya terjadi
pada individu yang memiliki kerentanan. Metabolit asam lemak
tersebut memicu rasa gatal dan iritasi sebagai dasar dari terjadinya
ketombe yang berbeda pada tiap individu. (jawab Chintia)

8. Apa yang dapat kita lakukan sebagai dokter layanan primer ketika bertemu dengan
kasus Dermatitis Seboroik ini? Kapan kita perlu merujuk? (penanya Salsabila)

Jawaban : Di Indonesia, dalam buku standar kompetensi dokter tahun 2012


dinyatakan bahwa DS ringan merupakan kompetensi level 4A yang dapat
ditatalaksana pada tingkat layanan primer. Namun, DS berat atau bila pengobatan
lini pertama tidak terjadi perbaikan perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
lebih tinggi. (jawab Alvin)

Anda mungkin juga menyukai