Oleh:
GALLIH ARYA MULYADI / 19161011
FAUZIAH SRI KARMALA / 19161009
Dosen:
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memahami secara sederhana dari sebuah teori ialah dengan mengetahui apa yang
dimaksud dari teori itu sendiri. Secara umum, teori itu telah diterjemahkan kedalam bahasa yang
bisa dipahami secara abstrak maupun secara khusus. Tujuan dari penjelasan teori tersebut tidak
lain dan tidak bukan adalah untuk mengantarkan para penerjemah dan penelaah dalam
membedah masalah-masalah yang akan dianalisisnya.
Makalah ini menyoroti sosiologi yang telah berkembang ke banyak negara di dunia.
Sosiologi sebagai disiplin ilmu sosial terus berkembang seiring dengan perkembangan dan
perubahan dalam sejarahnya yang panjang, sekitar 600 tahun. Isu sosiologi, tidak terlepas dari
berbagai masalah terkait pemikiran dan teori sosiologi semasa, terutama aplikasi pembangunan
untuk kesejahteraan manusia. Karena itu, pemikiran dan teorisasi sosiologi dilakukan dengan
mengkaji fakta sosial yang terus mengalami perubahan yang bersumber dari filsafat pemikiran
sosial guna membangun teori-teori maupun model-model aplikasi sosiologi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah lahirnya sosiologi kontemporer?
2. Siapa saja ahli yang memberikan sumbangan terhadap teori sosiologi
kontemporer?
C. Tujuan
1. Menjelaskan sejarah lahirnya sosiologi kontemporer
2. Menjelaskan ahli yang ikut memberikan sumbangan pada teori sosiologi
kontemporer
BAB II
PENDEKATAN KONTEMPORER DALAM ILMU SOSIAL
A. Sejarah Lahirnya Sosiologi Kontemporer
Menjelang abad 21, sosiologi sebagai ilmu pengetahuan modern mendapat
serangan bertubi-tubi dari aliran-aliran sosiologi yang menyandang label postmodern,
seperti postmodernisme, poststrukturalisme, postpositivisme, postkolonialisme, dan
lain sebagainya. Memasuki abad 21, sejarah perkembangan sosiologi menuju variasi aliran
pemikiran dan disiplin yang semakin banyak. George Ritzer telah memformulasikan
sebelumnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berparadigma multiple. Artinya,
cara pandang sosiologi tidak tunggal sehingga sosiologi secara historis adalah ilmu
pengetahuan yang luas cakupannya. Abad millenium menandai sosiologi sebagai ilmu
yang sangat cair dan luas. Objek kajian tidak sebatas pada perubahan struktur sosial
dalam konteks industrialisasi, urbanisasi, perdesaan dan perkotaan, melainkan juga
sampai pada aspek dinamika masyarakat yang sifatnya kekinian. Seperti misalnya,
sosiologi pada masyarakat informasi. Sosiologi abad 21 adalah sosiologi kontemporer.
Indikasi semakin meluasnya ruang lingkup sosiologi bisa dilihat dari berkembang
biaknya subdisiplin yang menjadi cabang sosiologi. Beberapa diantaranya yang bisa
disebutkan adalah Sosiologi Digital, Sosiologi Turisme, Sosiologi Pemuda, Sosiologi
Kesehatan, Sosiologi Olah Raga, Sosiologi Sastra, Sosiologi Hukum, Sosiologi Ekonomi,
Sosiologi Gender, dan Sosiologi kontemporer lainnya. Kecenderungan lain yang bisa
diidentifikasi adalah semakin menjauhnya sosiologi dari tradisi positivisme. Sejarah
perkembangan sosiologi di era kontemporer cenderung menolak relevansi hukum-hukum
alam pada ilmu sosial. Saat ini, fakultas-fakultas ilmu sosial di seluruh dunia mulai
mengajarkan sosiologi terlepas dari bapak pendirinya. Tak heran, tokoh-tokoh seperti
Michel Foucault, Pierre Bourdieu dan Slavoj Zizek lebih diminati ketimbang Auguste
Comte dan Emile Durkheim yang memang makin usang. Teori sosial kontemporer dalam
rentang abad 20 sampai 21. Teori sosial yang membantah atau mengkritisi teori sosial
modern.
Konsep strukturasi dalam teori sosiologi Anthony Giddens cukup populer dalam kajian
sosiologi kontemporer, namun sebagai suatu teori atau metodologi konsep Giddens tersebut
terkesan agak sulit dipahami dan seolah abstrak. Tetapi ketika dipahami dan dielaborasi secara
lebih luas konsep strukturasi sebenarnya cukup menarik dan dapat dijadikan alat analisis yang
tajam terutama mengenai relasi antara agen (aktor) tian struktur (sistem) dalam kehidupan
masyarakat sebagai fakta sosial yang objektif. Strukturasi (Structuration) merupakan konsep
sosiologi utama Anthony Giddens sebagai kritik terhadap teori fungsionalisme dan
evolusionisme dalam teori strukturalisme. Inti teori strukturasi terletak pada tiga konsep utama
yaitu tentang "struktur'", "sistem", dan "dualitas struktur", lebih khusus lagi dalam hubunganya
antara agen (pelaku, aktor) dan sruktur. Menurut Giddens, seperti dikutip Ritzer clan Goodman,
bahwa "Setiap penelitian ilmu sosial atau sejarah pasti melibatkan pengaitan tindakan (seringkali
digunakan secara sinonim dengan agensi).
Menurut teori strukturasi, domain dasar ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman masing-
masing aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas kemasyarakatan, melainkan praktik-
praktik sosial yang terjadi sepanjang ruang dan waktu. Aktivitas-aktivitas sosial manusia, seperti
halnya benda-benda alam yaug berkembang biak sendiri, saling terkait satu sama 1ain.
Maksudnya, aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terus
menerus diciptakan oleh rnereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor.
Di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas mereka, para agen memproduksi kondisi-kondisi yang
memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas itu.
Teori strukturasi memang berpijak pada pandangan tentang struktur. Namun konsep atau
pandangan Giddens tentang struktur berbeda dengan pandangan strukturalisme atau pos-
strukturalisme, meskipun hingga batas tertentu konsep Giddens rnengenai struktur tidak mudah
untuk dipahami dan mengundang kritik. Dalam pandangan Giddens struktur itu sebagai "rules
and resources" yakni tata aturan dan sumber daya, yang selalu diproduksi dan direproduksi, serta
memiliki hubungan dualitas dengan agensi, serta melahirkan berbagai praktik sosial sebagaimana
tindakan sosial. Dalam teori strukturalisme struktur dipandang sebagai suatu penciptaan pola
relasi-relasi sosial atau fenomena-fenomena sosial serupa, sebagai kerangka atau morfologi
sebuah organisme atau tiang penyangga sebuah bangunan, yang berada di luar tindakan manusia.
Kritik Giddens kepada strukturalisme ialah, bahwa pandangan strukturalisme terutama
strukturalisme fungsional cenderung lebih tertuju pada "fungsi" daripada "struktur" dan
meletakkan struktur sebagai sesuatu yang berada di luar.
Bagi Giddens struktur merujuk pada aturan-aturan dan sarana-sarana atau sumber daya
yang memiliki perlengkapan-perlengkapan struktural yang memungkinkan pengikatan ruang dan
waktu yang mereproduksi praktik-praktik sosial dalam sistern-sistem sosial kehidupan
masyarakat. Giddens memformulasikan konsep struktur, sistem, dan strukturasi sebagai berikut:
Struktur menurut Giddens, ialah "ha1- hal yang menstrukturkan (aturan dan sumber
daya)...hal-hal yang memungkinkan adanya praktik sosial yang dapat dipahami kemiripannya di
ruang dan waktu serta yang memberi mereka bentuk sistemis. Menurut Giddens bahwa "struktur
hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia". Dalam pandangan Giddens,
berdasarkan konsep dualitas struktur dalam hubungan antara agen dan struktur (agency and
structure), bahwa 'struktur' merupakan medium sekaligus hasil dari tindakan yang ditata secara
berulang oleh struktur. Ditekankan pula tentang 'keterinformasian' aktor yang tergantung pada
pengetahuan dan strategi yang ada untuk meraih tujuan. Agen atau pelaku adalah orang-orang
yang konkret dalam arus kontinu antara tindakan dan peristiwa. Sedangkan struktur adalah
"aturan (tules) dan sumber daya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan
praktik sosial. Sedangkan sistem sosial, "memproduksi praktik sosial, atau memproduksi
hubungan antara aktor dengan kolektivitas yang diatur sebagai praktik sosial yang terorganisasi".
Karena itu Giddens melihat tiga gugus struktur. Pertama, struktur penandaan atau
signifikasi (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan
wacana. Contoh menyebut guru kepada pengajar atau menyalakan lampu kendaraan tanda belok
kiri merupakan praktik sosial pada gugus struktur signifikasi. Kedua, struktur penguasaan atau
dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal
(economy). Contoh menyimpan uang di bank merupakan bentuk struktur dominasi ekonomi
dalam bentuk kontrol atas uang atau barang. Contoh lain pemungutan suara dalam pemilihan
umum merupakan bentuk struktur dominasi politik yakni penguasaan atas orang. Ketiga, struktur
pembenaran (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan nomatif, yang terungkap dalam
tata hukum. Contoh dari praktik sosial dalam bentuk struktur legitimasi ialah razia polisi
lalulintas terhadap pengendara sepeda motor atau mobil yang tidak membawa SIM (Surat Izin
Mengemudi). Ketiga gugus struktur tersebut saling berkaitan satu sama1ain. Contohnya skemata
signifikasi orang yang mengajar disebut guru pada gilirannya menyangkut skemata dominasi
otoritas guru atas murid dan juga skemata legitimasi hak guru atas pengadaan ujian untuk
menilai proses belajar murid. Hal serupa terjadi dalam struktur dominasi dan legitimasi.
"The social enviroments in which we exist to do not just consist of random as-sortments
of events or actions – the are structured. Thereare underlying regularities in how people
behave and in the relationships in which they stand with one another. To some degree it
is helpful to picture the structural characteristicsof societies as resembling the structure
of a building. A building has walls, a floor and aroof, which together give it a particular
“shape” of form. But the metaphore can be very misleading if applied too strictly. Social
system are made up of human actions and relationships: what gives these their
patterning is their repetition across periods of time and distances of space, thus the ideas
of social reproduction and structure are very closely related to one another in
sociological analysis. We should understand human societies to be like buildings that are
at every moment being reconstructed by the very bricks that compose them. The actions
of all of us are influenced by the structural characteristics of the societies in which we
are brought up and live, at the same time, we recreate (and also to some extent alter)
those structural characteristics in our actions”.
Dalam teori strukturasinya Giddens mengaitkan struktur dan tindakan sosial itu dalam
relasi agensi yang melahirkan praktik-praktik sosial dalam kehidupan masyarakat yang terjadi
secara tersusun atau terstruktur yang berpola dan bukan sebagai suatu kebetulan. Fokus vang
penting dari teori strukturasi adalah hubungan antara agensi dengan struktur (agency and
structure), yakni untuk menjelaskan kualitas dan hubungan dialektis antara agensi dengan
struktur. Bahwa antara agensi dan struktur tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain keduanya
merupakan dua sisi dari koin yang sama. Semua tindakan sosial melibatkan struktur, dan semua
struktur melibatkan tindakan sosial. Agensi dan struktur terjalin erat dalam aktivitas atau praktik
yang terus menerus dijalankan manusia. Menurut Giddens, aktivitas "tidak dilakukan oleh aktor
sosial namun secara berkelanjutan diciptakan ulang melalui sarana yang mereka gunakan untuk
mengekspresikan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas mereka,
agen menghasilkan sejumlah kondisi yang memungkinkan aktvitas-aktivitas ini.
Agen adalah aktor, sedangkan agensi menurut Giddens terdiri atas peristiwa yang di
dalamnya individu bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, dan peristiwa itu tidak akan terjadi
jika saja individu tidak melakukan intervensi. Agen menurut Giddens memiliki kemampuan
menciptakan perbedaan sosial di dunia sosial. Lebih kuat lagi, agen tidak mungkin ada tanpa
kekuasaan; jadii, aktor tidak lagi menjadi agen jika ia kehilangan kapasitas untuk menciptakan
perbedaan . Giddens jelas mengakui adanya sejumlah hambatan terhadap aktor, namun tidak
berarti bahwa aktor tidak memiliki pilihan dan tidak menciptakan perbedaan. Bagi Giddens,
secara logis kekuasaan mendahului subjektivitas karena tindakan melibatkan kekuasaan, atau
kemampuan mengubah situasi. . Jadi teori strukturasi Giddens menempatkan kekuasaan pada
actor dan tindakan yang bertolak belakang dengan teori-teori yang cenderung mengabaikan
orientasi tersebut dan justru rnementingkan niat aktor (fenomenologi) atau struktur eksternal
(fungsionalisme struktural).
Menurut teori strukturasi Giddens, hubungan antara agen dan struktur bersifat dualitas,
bukan hubungan dualisme. Dalarn pandangan Giddens, merupakan sesuatu yang sudah jelas jika
dikatakan ada perbedaan antara pelaku (agen, aktor) dan struktur, sebagaimana dikatakan ada
keterkaitan antara struktur dan pelaku atau sebaliknya. Persoalannya adalah, apaksh perbedaan
dan hubungan antara pelaku dan struktur itu bersifat dualisme (tegangan atau pertentangan) atau
dualitas (timbal-balik)? Giddens melihatnya sebagai dualitas (duality) dan bukan dualism
sebagaimana yang telah menjadi pandangan umum ilmu-ilmu sosial yang mempertentangkan
pelaku (agen) versus struktur.
Dualitas antara struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial
merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik sosial. Struktur analog
dengan langue (yang mengatasi ruang dan waktu), sedangkan praktik sosial analog dengan
parole (dalam waktu dan ruang). Berdasarkan prinsip dualitas tersebut itulah dibangun teori
strukturasi. Adapun ruang dan waktu menurut Giddens, bukanlah arena atau panggung tindakan,
tetapi merupakan unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Artinya, tanpa
waktu dan ruang, tidak ada tindakan, karena itu waktu dan ruang harus menjadi unsur integral
dalarn teori ilmu-ilmu sosial. Mengenai relasi antara agen dan kekuasaan dalam struktur sosial,
Giddens mengajukan pertanyaan penting: apakah watak hubungan logis antara tindakan dan
kekuasaan? Berikut penjelasan Giddens tentang agen dan kekuasaan:
"...Mcskipun penjelasan tentang isu ini sangatlah kompleks, relasi mendasar yang ada bisa
dengan mudah di tunjukkan. Mampu ‘bertindak lain’ berarti mengintervensi dunia, atau
menjaga diri dari intervensi semacam itu, dengan dampak mempengaruhi suatu proses atau
keadaan khusus dari urusan-urusan. Hubungan ini mengandaikan bahwa menjadi seorang
agen harus mampu menggunakan (secara terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari)
sederet kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan
oleh orang lain. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk ‘memengaruhi’
keadaan urusan atau rangkaian peristiwa yang telah ada sebelumnya. Seorang agen tidak lagi
mampu berperan demikian jika dia kehilangan kemampuan individu untuk ‘memengaruhi’
yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Banyak kasus menarik bagi analisis sosial
berpusat di sekitar batasan-batasan dari apa yang dipandang sebagai tindakan, saat ketika
kekuasaan seseorang dibatasi oleh sederet keadaan tertentu. Akan tetapi, yang pertama
penting untuk diketahui adalah bahwa keadaan-keadaan dari pembatas sosial yang membuat
para individu ‘tidak memiliki pilihan’ tidak boleh disamakan dengan terputusnya tindakan
seperti itu. ‘Tidak memiliki pilihan’ bukan berarti bahwa tindakan telah tergantikan oleh
reaksi (seperti kedipan seseorang ketika ada gerakan cepat di dekat matanya). Mungkin
kondisi ini tampak begitu jelas sehingga tidak diperlukan lagi. Tetapi, sejumlah mazhab
sosial terkemuka, terutama yang bersinggungan dengan objektivisme dan ‘sosiologi
struktural’ belum mengakui perbedaan itu. Mazhab-mazhab sosial itu menganggap bahwa
pembatas-pembatas sosial bekerja mirip seperti kekuatan-kekuatan alam, seolah-olah ‘tidak
memiliki pilihan’ sama ketika tidak kuasa menahan dorongan dari tekanan-tekanan mekanis.
“Sarana atau sumber daya (yang terpusat melalui siginifasi dan legitimasi) merupakan
kelengkapan-kelengkapan terstruktur dari sistem-sistem sosial, yang diproduksi dan
direproduksi oleh para agen pintar selama terjadinya interaksi. Kekuasaan tidak terkait
secara intrinsic dengan pencapaian kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam konsep ini,
penggunaan kekuasaan menyifati bukan jenis perilaku, namun seluruh tindakan, dan
kekuasaan itu sendiri bukanlah sumber daya. Sumber daya-sumber daya merupakan sarana
penggunaan kekuasaan, sebagai unsur rutinisasi instansiasi perilaku dalam reproduksi sosial.
Kita tidak boleh memandang struktur-struktur diminasi yang melekat dalam institusi-
institusi sosial mirip seperti memerintah ‘tubuh-tubuh patuh’ yang bertindak laksana benda-
benda mekanis sebagaimana dalam pandangan ilmu sosial objektivis. Kekuasaan dalam
sistem-sistem sosial yang memiliki suatu kontinuitas di sepanjang ruang dan waktu
mengandaikan rutinisasi relasi-relasi kemandirian dan ketergantungan di antara para aktor
atau kelompok dalam konteks-konteks interaksi sosial. Akan tetapi semua bentuk
ketergantungan menawarkan sejumlah sumber daya yang memberikan kemampuan bagi
para bawahan untuk bisa memengaruhi aktivitas-aktivitas para atasan mereka. Inilah yang
saya sebut dengan dielektika kendali (dialectic of control) dalam sistem-sistem sosial.
Stuart Hall, Lahir di Jamaica tahun 1932. (Stuart Hall menjadi sosok yang sangat
terkenal dalam sejarah perkembangan kajian budaya di Inggris. Sebagai pemimpin, fasilitator,
teoritisi sekaligus editor, dia mengembangkan beberapa pendekatan kunci, juga beberapa teori di
dalam kancah kajian budaya). Banyak dari karya Hall yang dilakukan melalui kerjasama dengan
para koleganya dari Pusat Kajian Budaya Kontemporer Birmingham dan dari Universitas
Terbuka. Setelah pengangkatannya sebagai profesor sosiologi di Universitas terbuka (OU) pada
tahun 1979. Karya: Hall menerbitkan buku-buku yang berpengaruh lebih lanjut, termasuk The
Hard Road to Renewal (1988), Formasi Modernitas (1992), Pertanyaan Identitas Budaya (1996)
dan Budaya Perwakilan dan Praktek Menandatangani (1997). Melalui 1970-an dan 1980-an, Hall
terkait erat dengan jurnal Marxism Today Dia berbicara secara internasional tentang kajian
Budaya , termasuk serangkaian ceramah pada tahun 1983 di University of Illinois di Urbana-
Champaign yang direkam dan beberapa dekade kemudian akan membentuk dasar dari buku
2016 Cultural Studies 1983: A Theoretical History (diedit oleh Jennifer Slack dan Lawrence
Grossberg ).
Teori cultural studies atau disebut juga dengan teori kajian budaya adalah sebuah teori
karya Stuart Hall yang mengadopsi teori kritis Marx. Lahir di tengah semangat Neo-
Marxisme yang berupaya untuk meredefinisikan Marxisme, sebagai perlawanan terhadap
dominasi dan hegemoni budaya tertentu. Cultural studies dilatarbelakangi oleh gagasan Karl
Marx, yang mempunyai pandangan bahwa kapitalisme telah menciptakan kelompok elit kuasa
untuk melakukan eksploitasi terhadap kelompok yang tidak berkuasa dan lemah. Pengaruh
kontrol kelompok berkuasa terhadap yang lemah menjadikan kelompok yang lemah merasa tidak
memiliki kontrol atas masa depan mereka. Stuart Hall berpendapat bahwa suatu budaya pasti
memiliki dan menyimpan ideoogi yang lebih berkuasa. Teori ini menempatkan Komunikasi
Massa harus memahami konteks kultur yang ada, bukan hanya mencari tahu tentang sesuatu.
Cultural studies bukanlah sekumpulan teori dan metode yang monolitik. Cultural studies
senantiasa merupakan wacana yang membentang, yang merespons kondisi politik dan historis
yang berubah dan selalu ditandai dengan perdebatan, ketidaksetujuan, dan intervensi Budaya
dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politis ketimbang secara estetis. Objek kajian
dalam cultural studies bukanlah budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sempit, yaitu
sebagai objek keadiluhungan estetis (‘seni tinggi’); juga bukan budaya yang didefinisikan dalam
pengertian yang sama-sama sempit, yaitu sebagai suatu proses perkembangan estetis, intelektual,
dan spiritual; melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari.
Cultural studies juga menganggap budaya itu bersifat politis dalam pengertian yang
sangat spesifik, yaitu sebagai ranah konflik dan pergumulan. Cultural studies dilihat sebagai situs
penting bagi produksi dan reproduksi hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Cultural
studies didasarkan pada Marxisme. Marxisme menerangkan Cultural studies dalam dua cara
fundamental. Pertama, untuk memahami makna dari teks atau praktik budaya, kita harus
menganalisisnya dalam konteks sosial dan historis produksi dan konsumsinya. Namun, walau
terbentuk oleh struktur sosial tertentu dengan sejarah tertentu, budaya tidak dikaji sebagai
refleksi dari struktur dan sejarah ini.Sejarah dan budaya bukanlah entitas yang terpisah. Asumsi
kedua yang diambil dari Marxisme adalah pengenalan masyarakat industrial kapitalis adalah
masyarakat yang disekat-sekat secara tidak adil, misalnya saja garis etnis, gender, keturunan, dan
kelas. Cultural studies juga menegaskan bahwa penciptaan budaya pop (‘praktik produksi’) dapat
menentang pemahaman dominan terhadap dunia serta menjadi pemberdayaan bagi mereka yang
subordinat.
2) seluruh praktik, institusi, dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular,
kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa dari
sebuah populasi
3) berbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras, kelas, kolonialisme dan
sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan
yang biasa digunakan oleh agen-agen dalam mengejar perubahan, dan
4) Berbagai kaitan wacana di luar dunia akademis dengan gerakan sosial dan politik, para
pekerja di lembaga kebudayaan, dan manajemen kebudayaan.
Selain itu cultural studies juga mencakup budaya pop, ideologi, wacana, feminisme,
politik budaya, dan media. Namun, bukan berarti bahwa budaya pop selamanya
memberdayakan dan menentang. Lebih jauh menghadirkan sederetan teori dan metode
yang telah digunakan dalam cultural studies untuk melihat dan mengkaji budaya pop
kontemporer.
5) Cultural Studies melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan
dengan garis radikal tindakan politik. Tradisi Culturl Studies bukanlah tradisi
kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen bagi rekontruksi
sosial dengan melibatkan diri pada kritik politik. Jadi, Cultural Studies bertujuan
memahami dan mengubah struktur dominasi di mana-mana, namun secara khusus lagi
dalam masyarakat kapitalis industrial
Istilah ini sendiri dipromosikan pertama kali oleh Antonio Gramsci, terutama melalui
karyanya mengenai hegemoni kultural, yang mengidentifikasi kelompok-kelompok yang
dikecualikan, diekslusi, dan dikucilkan dalam tatanan sosial. Dari konotasi negatif tersebut,
Spivak mengembangkan bahwa subaltern bukan hanya kata berkelas yang ditunjukkan bagi
kelas yang tertindas atau bagi kelompok the Other. Bagi Spivak, di dalam istilah pascakolonial,
istilah tersebut merujuk pada segala sesuatu yang terkait dengan pembatasan akses. Ia menjadi
semacam ruang pembedaan.
Akan tetapi, Spivak menjelaskan paradoks yang selalu salah dipahami. Masalah utama
subaltern bukan hanya mengenai kategori orang yang tertindas atau kelas pekerja yang tertindas,
namun juga mengenai siapa saja yang suaranya terbatasi oleh suatu akses yang mewakilinya.
Misalnya, seorang pemimpin demonstrasi yang berkoar-koar mengenai hak asai kelas pekerja
atau juga perempuan, entah siapapun yang berada di sana (orang kaya, orang miskin, atau
siapapun), ketika suara mereka selalu terwakili dan mereka tidak memiliki kebebasan bersuara,
mereka dapat dilihat sebagai subaltern. Di sini, Spivak menekankan pentingnya melihat
mekanisme hegemonik yang tidak disadari mengenai penggunaan atribut kata subaltern. Mereka
berada dalam wacana hegemonik yang berarti ada semacam manipulasi secara tidak sadar atas
apa yang mereka lakukan (de Kock, 1992).
Tentu saja, Spivak di sini secara implisit mempertanyakan keterlibatan para akademisi
dengan the Other. Baginya, agar terbukti keterlibatan yang otentis dengan subaltern, para
akademisi harus menghapus dirinya sebagai sosok yang ahli di tengah hubungan sosial biner
antara Kita (Us) dan Mereka (Them), Pusat dan Pinggiran, dan oposisi biner lainnya. Pada
dasarnya, para
akademisi selalu ingin tahu tentang pengalaman subaltern dari kolonialisme, namun
mereka tidak ingin berada di tengah pengalaman dominasi pen-jajahan. Tentu saja, ada semacam
jarak yang memisahkan para akademisi dengan subaltern. Jarak tersebut menjelaskan bahwa
kebenaran subaltern merupakan kebenaran yang berasal dari para ahli atau akademisi. Subjek
yang tersubordinasi atau subaltern hanya menyerahkan pengetahuan tentang kolonialisme untuk
dimanfaatkan oleh para akademisi, terutama para akademisi Barat.
... no need to hear your voice, when I can talk about you better than you can speak about
yourself. No need to hear your voice. Only tell me about your pain. I want to know your
story. And then I will tell it back to you in a new way. Tell it back to you in such a way
that it has become mine, my own. Re-writing you, I write myself anew. I am still author,
authority. I am still colonizer, the speaking subject, and you are now at the center of my
talk (Hooks, 1990: 343).
... tidak perlu mendengarkan suaramu, ketika aku bisa membicarakanmu, itu lebih baik
dari yang bisa kau katakan sendiri. Tidak perlu mendengarkan suaramu. Katakan saja tentang
rasa sakitmu. Aku ingin tahu ceritamu. Dan kemudian aku akan menceritakannya kembali
kepadamu dengan cara baru. Katakan kembali kepadamu sedemikian rupa sehingga itu akan
menjadi milikku, milikku sendiri. Menulis kembali tentangmu, aku sendiri menulis (dengan
versi) baru. Aku masih sang penulis, yang memiliki otoritas. Aku masih penjajah, subjek yang
berbicara, dan kamu sekarang berada di pusat pembicaraanku.
Selain masalah kekuasaan hegemonik dalam suara para subaltern, Spivak juga
memperkenalkan istilah esensialisme dan esensial strategis sebagai fungsi kontrol masyarakat
pascakolonial. Spivak melihat bahwa esensialisme memiliki bahaya perseptual yang melekat
pada pada subaltern. Ia berfungsi untuk menghidupkan (kembali) suara-suara subaltern dengan
cara menawarkan heterogenitas dan menciptakan representasi stereotip dari berbagai identitas
orang-orang yang membentuk kelompok sosial tertentu. Esensialisme tersebut dapat dilihat
sebagai mimpi dari apa yang diharapkan oleh subaltern. Ia adalah sebuah manipulasi yang akan
dimanfaatkan oleh kelompok representatif dari subaltern.
Sementara itu, istilah esensialisme strategis merujuk pada identitas kelompok dalam
praksis wacana antarmasyarakat. Ia hadir untuk memfasilitasi komunikasi subaltern agar
diperhatikan, didengar, dan dipahami. Esensialisme strategis hadir seolah-olah agar membuat
suara-suara subaltern lebih mudah dipahami dan diterima oleh kalangan umum (antarkelompok).
Esensialisme strategis menawarkan pentingnya perbedaan (subaltern bukan sebagai the Other)
dan tidak mengabaikan keragaman identitas (budaya dan etnis) dalam kelompok sosial. Akan
tetapi, dalam fungsi praktisnya, esensialisme strategis secara politis hanyalah alat yang
memanfaatkan subaltern. Ini merupkan penerapan kekerasan epistemis Foucauldian yang
menggambarkan kehancuran cara pandang masyarakat non-Barat dalam memandang dunia.
Mereka dilindas dan dimanipulasi, sehingga memiliki cara pandang sebagaimana bangsa Barat
dalam memandang dunia. Jika keseluruhan masyarakat hanya memiliki satu cara pandang, cara
pandang Barat, maka di sanalah kita tidak menyadari adanya kolonialisme dalam bentuk yang
paling diskursif.
Bagi Spivak, kekerasan epistemik ini secara khusus berhubungan dengan perempuan, di
mana perempuan yang subaltern (perempuan dari Dunia Ketiga) tidak pernah benar-benar
dibiarkan untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Mereka hanya dimanfaatkan untuk memantik
rasa simpati yang nantinya akan bermanfaat untuk menjejalkan cara perspektif perempuan yang
paling esensial layaknya perempuan Barat yang anggun, bebas, mandiri dan lain sebagainya.
Itulah cara kekuasaan kolonial menghancurkan budaya non-Barat yang secara simultan
mendorong masyarakat Timur untuk memahami dan mengetahui dunia sebagaimana masyarakat
Barat memahami dan mengetahui dunia (Sharp, 2008: 109-130).
Terlebih lagi, Spivak lebih jauh memperingatkan agar tidak melihat orang-orang subal-
tern sebagai yang lain yang berbudaya (cultural Oth-ers). Ia menilai bahwa dunia Barat dapat
maju dan berkembang pesat melalui kritik serta introspeksi diri terhadap cita-cita dasar dan
metode investigasi (penalaran), sehingga hal itu menggiring mereka untuk mempelajari budaya
orang-orang non-Barat yang inferior. Di sanalah, bangsa Barat secara otomatis menjadi unggul
secara kultural karena budaya mereka ditetapkan secara otomatis sebagai standar kebudayaan.
Oleh karena itu, integrasi suara subaltern ke ruang intelektual studi sosial menjadi
masalah tersendiri karena adanya oposisi yang tidak realistis terhadap gagasan untuk
mempelajari the Other. Tentu saja, Spivak membuat banyak orang bertanya-tanya mengenai apa
yang bisa mereka (subaltern sebagai the Other) katakan. Spivak membuat kita menganggap
bahwa kritik pascakolonial secara serius dapat menjadi praktik akademisi Barat untuk
mendominasi melalui perkataan mereka tentang Dunia Ketiga. Namun, kita harus menyadari
bahwa Spivak secara tersirat menolak sikap anti intelektual karena baginya, menolak mewakili
budaya lain sama saja meniadakan nurani yang memungkinkan semua pihak untuk tidak
mengerjakan pekerjaan rumah mereka.
Dari sikap abu-abu Spivak tersebut, seharusnya kita dapat memahami secara tidak lang-
sung bahwa kita seharusnya dapat memikirkan suatu pertanyaan mengenai kemampuan para
subaltern untuk berbicara secara praktis, yang mewakili secara utuh apa yang ingin mereka ek-
spresikan, bukan dengan sepasukan kata-kata bersayap yang rumit dengan berbagai data, statistik
yang filosofis dan teoretis. Hal ini dikarenakan setiap kajian teori dapat mengandung unsur
kekuasaan wacana Barat yang nantinya akan menjebak mereka dalam lingkar setan kuasa Barat.
Selain itu, kunci utama yang juga dapat membuka borgol kekuasaan Barat adalah mengenai
infrastruktur yang menghasilkan pengetahuan tentang dunia. Misalnya media (sosial) dan
institusi pengepul pengetahuan seperti lembaga penelitian, universitas, dan perpustakaan yang
penuh dengan rak sesak buku berbahasa Inggris, Prancis, Spanyol, atau Latin (karena bahasa
mengancung wacana, kekusaan dan ironisnya, ia adalah cara kita memahami dunia). Di sanalah,
potensi terjadinya proses heroik Dunia Pertama yang mewakili Dunia Ketiga.
Kita harus mulai mempertanyakan bagaimana kondisi struktural global terbuka terhadap
suara lain atau apa yang membuat masyarakat Dunia Ketiga harus berkewajiban berbicara
dengan masyarakat Dunia Pertama dalam bahasa mereka (seorang turis asing yang tidak dapat
berbicara lokal dan warga setempat berusaha keras untuk mengikuti bahasa mereka, dan tidak
seharusnya begitu karena secara geografis, mereka adalah yang Lain). Ada juga pertanyaan
mengenai tanggung jawab jenis apakah yang membuat Geografer serta berbagai ahli Dunia
Pertama mewakili Dunia Ketiga. Mereka hadir seolah-olah menganggap Dunia Ketiga belum
mampu mewakili dirinya sendiri. Dari investigasi-investigasi semacam itu, studi pascakolonial
akan menolak penggambaran budaya masyarakat subaltern karena itu hanyalah tipu muslihat
kolonial Eropa Barat. Itu adalah cara Barat menguasai dan mempertahankan kekuasaannya atas
Dunia Ketiga (Spivak, 1994: 66-111).
Oleh karena itu, Spivak mencoba melihat secara dekonstruktif mengenai kehadiran
subjek subaltern tersebut dengan mengkritisi pihak representatif yang seolah-olah mengetahui
para subaltern. Terlebih, dengan memperjuangkan suara dan teks kelompok minoritas tersebut,
Spivak secara tidak langsung menentang dan menantang berbagai modus dan motif representasi
subalternitas untuk melepaskan subalternitas sebagai alat kepentingan mereka yang bertujuan
menegaskan dominasi dengan membungkam suara para minoritas. Kaitan antara kritik Spivak
dengan kritik dekonstruktif Derrida sangatlah dekat,
... when I first read Derrida, I didn’t know who he was, I was very interested to see that
he was actually dismantling the philosophical tradition from inside rather than outside,
because of course we were brought up in an education system in In-dia ... we were taught
that if we could begin to approach an internalisation of that human being, then we would
be hu-man. When I saw in France someone was actually trying to dismantle the tradition
which had told us what would make us human ... (Spivak, 1990: 7).
... ketika pertama kali membaca Derrida saya tidak tahu siapa dia, saya sangat tertarik
untuk melihat bahwa dia sebenarnya membongkar tradisi filosofis dari dalam, bukan dari luar,
karena tentu saja kami dibesarkan dalam sebuah sistem pendidikan di India ... kita diajari bahwa
jika kita bisa mulai memahami internalisasi manusia, maka kita akan menjadi manusia. Ketika
saya melihat di Prancis, seseorang benar-benar mencoba membongkar tradisi yang telah
diceritakan kepada kita apa yang akan membuat kita menjadi manusiawi, yang sepertinya juga
menarik.
Pengaruh dekonstruksi Derrida menjadi dasar kritis Spivak untuk melihat masalah dan
dampak kolonialisme bagi masyarakat Dunia Ketiga, bukan dari luarannya, melainkan dari
dalam diri masyarakat Dunia Ketiga. Bagi Spivak, dampak kolonialisme bangsa Eropa Barat
tidak akan begitu mudahnya lenyap, karena bias dari perjumpaan budaya melalui tradisi
kolonialisme, pasti akan menciptakan kekacauan identitas dan berbagai aspek budaya, terutama
bagi bangsa yang dijajah. Mereka terjerembab dalam arus wacana dominan, yaitu wacana Barat.
Masalah kultural, struktur sosial, politik dan ekonomi yang didirikan pada masa penjajahan
secara koorporatif meracuni bangsa pascakolonial seperti Asia, Afrika, atau Amerika tengah dan
Latin misalnya India (Inggris), Aljazair (Prancis), sampai Meksiko (Spanyol) dan Brazil
(Portugis).
The insertion of India into colonialism is generally defined as a change from semi
feudalism into capitalist subjection. Such a definition theorizes the change within the
great narrative of the modes of production and, by uneasy implication, within the
narrative of the transition from feudalism to capitalism. The most significant outcome of
this revision or shift in perspective is the agency of change is located in the insurgent or
the “subaltern.” “Subaltern” is a politi-cal signifier within the social text (Spivak, 1987:
197).
Spivak lebih lanjut menunjukkan bahwa kemunculan Amerika Serikat sebagai kekuatan
super ekonomi global setelah Perang Dunia II telah mendesain ulang kolonial klasik yang ber-
pusat pada kepentingan ekonomi, namun melalui trayek kapitalisme seperti perusahaan mul-
tinasional yang memiliki hak paten mendirikan perusahaan di atas tanah Dunia Ketiga. Itu
merupakan proses neokolonialisme dalam bentuk yang lebih lembut. Mereka menguasai pasar
ekonomi, memanfaatkan sisi ke-Baratannya sebagai persuasi kultural yang menjadikan produk
mereka unggul, merangkul Dunia Ketiga untuk mendapatkan status, dan lain sebagainya. Tentu
saja, intervensi kritis yang di tunjukkan secara kolektif ini, menjelaskan bahwa Spivak, berupaya
untuk menegaskan bahwa masalah kolonialisme belum usai, terutama masalah subalternitas yang
selalu diwakilkan, baik oleh kelompoknya ataupun bangsa Barat.
Apa yang menjadi ciri khas dalam diskusi teoritis Spivak tentu saja adalah mengenai
istilah Subaltern. Jika sebelumnya kita mengenal kata sub-altern sebagai orang pinggiran atau
orang yang secara sosial dan kultural dipinggirkan, maka apa yang harus ditekankan di sini
adalah bahwa istilah subaltern yang digagas oleh Spivak sebenarnya merujuk pada siapa saja
yang tidak memiliki kebebasan untuk bereksistensi. Artinya, siapa saja orang yang selalu
terwakilkan oleh dominasi wacana kekuasaan terutama dalam konteks pascakolonial.
Pertama-tama, Seperti apa yang ditulis Ste-phen Morton (2003) bahwa Spivak menyadari
adanya eksploitasi ekonomi yang begitu keji brutal yang dilakukan secara politis, sehingga ia
melihat bahwa ada semacam dan penindasan politik terhadap kelompok-kelompok subaltern
yang lemah dan tidak berdaya di dunia pascakolonial. Hal ini tentu saja menyajikan dilema etis
dan juga tantangan metodologis bagi Spivak.
Artinya, akan selalu ada dua masalah utama yang akan tergeletak di belakangnya; perta-
ma muncul dugaan pemanfaatan situasi mereka dari suatu kepentingan dan kedua, akan selalu
ada kelompok subaltern yang diabaikan (misalnya pemfokusan pada masalah kaum miskin, akan
menanggalkan kaum perempuan, memfokuskan kaum perempuan akan menanggalkan kaum di-
fabel, dan lain sebagainya). Dari sana, Spivak melihat bahwa kecurigaannya sangat logis, men-
gingat selalu lebih mudah membicarakan daripada mengalami, meski membicarakan bukan be-
rarti pernah mengalami.
Dari sini, Spivak melibatkan pengetahuan kognitif kelompok intelektual dan pengalaman
historis kelompok subaltern dalam suatu wadah pertanyaan untuk mengkritik upaya apapun yang
menjadikan subaltern sebagai objek diskusi. Bagian dari usaha kritis ini mencerminkan ke-
waspadaan terhadap kesalahan yang dilakukan secara eksploitatif terhadap orang-orang yang
kehilangan hak tersebut (Chow, 1993: 40). Spi-vak mengkritisi janji emansipatorisme
nasionalisme borjuis di India yang hadir untuk menawar-kan kepuasan ideologis, pembebasan
dan pem-berontakan. Akan tetapi, apa dengan menawarkan narasi petani yang memberontak,
perempuan India yang menentang lokalitas tradisi dan lain sebagainya, sudah menjelaskan inti
masalah masyarakat subaltern?
Politikus serta penulis yang melontarkan kalimat-kalimat suci pembelaan kaum yang
tertindas kemudian (politikus) menjadi pemimpin mereka dan (penulis) mendapatkan gelar dan
uang dari tulisan mereka. Kita mungkin tdak menyadari bahwa ini sebenarnya bukan mengenai
apa yang terlihat, siapa yang butuh dibebaskan atau siapa yang harus dibela, namun ini adalah
bagaimana mereka melontarkan ekspresi mereka sendiri tanpa diwakilkan. Jika hanya melihat
subaltern sebagai orang yang tertindas dan mereka harus dibela, maka hal ini justru menjelaskan
sisi Marxisme yang bekerja di masyarakat subaltern, bahwa suatu kepentingan ideologis akan
selalu ditunggangi oleh kepentingan ideologis lainnya, terlebih istilah subaltern merupakan
istilah Gramscian.
Sebagai catatan, istilah subaltern secara konvensional merujuk pada seorang perwira
berpangkat junior di tentara Inggris. Spivak sendiri mengembangkan istilah subaltern dari dari
pemikir Marxis awal, Antonio Gramsci (1891-1937). Di dalam bukunya, The Prison Notebooks
—buku yang berisi gugatan masa pemerintahan fasis Mussolini di Italia, Gramsci menggunakan
istilah subaltern yang ia asosiasikan dengan istilah bawahan yang menjelaskan adanya suatu
kelompok hegemonik, sehingga secara nyata, menjelaskan adanya kelas (Gramsci, 1978: xiv).
Secara implisit, subaltern di hadirkan sebagai sinonim kaum proletar (mungkin Gramsci
menggunakan istilah ini sebagai sebuah kode manipulatif agar manuskripnya tidak dibekukan)
(Morton, 2007: 96-97). Terlepas dari perdebatan alasan Gramsci menggunakan istilah subaltern
daripada langsung menggunakan kata kaum proletar, namun intinya adalah Gramsci sudah
menunjukkan konsep baru dalam teori politiknya yang menunjukkan adanya ketimpangan kelas
(Green, 2011: 385-402). Dengan demikian, kelompok sosial subaltern diwacanakan dengan
maksud terselubung untuk menumbangkan otoritas kelompok sosial yang memegang kekuasaan
hegemonik (Garcia-Morena, dkk., 1996: 191-207; Chambers & Curti, 1996: 210).
Dari ringkasan definitif tersebut, jelas secara konteks, Gramsci menggunakan istilah su-
baltern untuk merujuk secara khusus kepada kelompok petani pedesaan yang tidak terorganisir
yang berbasis di Italia Selatan. Mereka adalah kelompok masyarakat yang di bawah kontrol
kelompok dominan, sehingga mereka yang tidak memiliki kesadaran sosial atau politik sebagai
sebuah kelompok yang sebenarnya mampu melawan. Oleh karena itu, dari kontrol sosial
tersebut, hegemoni atas diri mereka memahat diri dan menguasai diri mereka. Mereka menjadi
rentan terhadap suatu serangan gagasan, pengaruh budaya, dan otoritas kepemimpinan yang
berkuasa di negara tersebut.
Catatan Gramsci tentang masalah sosial ini tentu saja telah dikembangkan lebih lanjut
oleh sekelompok sejarawan yang dikenal sebagai kelompok kolektif Studi Subaltern. Mereka
adalah kelompok yang memperluas definisi Gramsci dengan menyisipkan atribut mengenai
subordinasi yang juga berlaku di dalam masyarakat Asia Selatan. Konteksnya juga berkembang
ke dalam per-masalahan kelas, kasta, gender dan bahkan status pekerjaan di mata masyarakat
(Guha, 1983: 35).
Diskusi Gramsci tentang penindasan kaum tani pedesaan di Italia Selatan juga secara
tidak langsung menggambarkan secara tepat bagaimana penindasan kaum miskin di dalam
masyarakat India pascakemerdekaan. Ini yang menjadi topik utama Studi Subaltern, terutama
mengenai fakta bahwa negara pascakolonial, negara yang sudah memerdekakan diri, seperti
India, belum secara praktis merevolusi tatanan sosial yang sesuai. Oleh karena itu, Spivak
nampak ingin menjejalkan pendekatan Marxis klasik terhadap perubahan sosial dan historis,
mengolahnya dengan konteks perjuangan atas penjajahan (perjuangan penjajahan dalam
sejarahnya seakan mendiskreditkan perempuan) yang genderless, sehingga ia terkesan
mencurigai pemberian secara efektif hak istimewa kepada subjek subaltern laki-laki sebagai
protagonis dalam catatan sejarah, sementara perempuan hanya men-jadi objek subaltern.
Akan tetapi, Spivak tidak melenggang begitu saja atas kritiknya tersebut, ia justru
mendapati ada dua masalah utama yang perlu ditinjau ulang. Pertama, model Marxis klasik
sangatlah maskulin (hal ini dapat dibuktikan dengan sejarah ekonomi di mana laki-laki yang
menggerakkan mesin perekonomian), sehingga ini mengabaikan perjuangan perempuan,
terutama dalam kemerdekaan India (dalam tradisi umum, peperangan selalu mendis-kreditkan
perempuan, mereka selalu dilindungi, disetarakan dengan anak-anak dan para orangtua mungkin
secara hak, perempuan merasa istimewa, namun mereka juga harus menyadari bahwa mereka
hanyalah alat kesinambungan kehidupan, objek yang dapat melakukan reproduksi dan
regenarasi, dan tokoh utama dalam perjuangan adalah para laki-laki). Oleh karena itu,
perempuan akan terklasifikasikan lagi berdasar kan status kultural dan sosial, perempuan dari
Dunia Pertama yang sudah didominasi oleh laki-laki Dunia Pertama dan perempuan dari Dunia
Ketiga, yang merupakan objek subaltern. Kedua, model perubahan historis Marxis atau
perjuangan kelas khas Marxis klasik, yang oleh para pemimpin nasionalis antikolonial awalnya
diminta untuk memobilisasi wilayah subaltern, pada akhirnya justru mereformasi (menata ulang)
keadaan sosial dan ekonomi subaltern dalam kekuasaannya (ideologi bekerja dengan cara
mendorong kehadiran suatu resistensi dan me-nawarkan ideologi perlawanan sebagai solusi).
Oleh karena itu, subaltern jika dipaksa dimasuk-kan dalam kritik Marxis klasik, justru akan men-
jelaskan bahwa mereka hanyalah komoditas.
Dari kedua masalah tersebut, Spivak mengajukan definisi subaltern yang lebih bernuansa
post-Marxist; ia sekali lagi, akan menggerogoti masalah pascakolonial bukan dari dampaknya,
malinkan dari sumber bagaimana diskusi mengenai subaltern diawali, terutama dengan mem-
pertimbangkan kehidupan dan sejarah perempuan.
Lebih jauh lagi, sosiolog Boaventura de Sousa Santos dalam bukunya yang terkenal, To-
ward a New Legal Common Sense (2002), menjelas kan bahwa kaitan antara politik subaltern
tersebut justru menciptakan suatu kondisi kosmopolitanisme subaltern. Ini merupakan sebuah
istilah yang menggambarkan praktik kontra hegemonik, suatu gerakan sosial yang resisten,
sebuah perlawanan sosial, pergerakan melawan globalisasi neoliberal, dan sejenisnya, yang
justru terpelintir dan membelit kelompok yang diperjuangkan. Oleh karena itu,
kosmopolitanisme subaltern tersebut menjelaskan suatu proses legalitas kosmopolitan
kekuasaan. Ia menggambarkan kerangka normatif, mengatasnamakan keberagaman yang setara,
namun tetap saja secara khusus menunjuk secara intimidatif namun simpatik masyarakat
tertindas, berkoar akan perjuangan melawan globalisasi hegemonik, namun meregulasi kekuatan
tersebut di dalam tubuhnya. Kita pasti pernah mengirim ulang (re-post) sebuah gambar seorang
nenek rentah yang berdagang, kita mengasihinya dan mengajak semua untuk bersimpatik
kepadanya, kemudian seorang gubernur, walikota, atau bupati mengundangnya untuk datang ke
kantor mereka, mengundang awak media, menyebarluaskan beritanya, dan begitulah adanya. Itu
adalah praktik politis dengan menjadikan perempuan subaltern tersebut alat untuk memuluskan
kekuasaan.
Bagi Spivak. di India, perempuan, masyara-kat pedesaan, dan pekerja imigran adalah
bagian dari subaltern. Di antara mereka, ada orang perempuan buta huruf, orang pedesaan yang
miskin, pekerja imigran yang dideportase, sehingga subaltern menjadi bagian yang tidak akan
bisa diwakilkan dan tidak seharusnya diwakilkan demi kepentingan kelompok yang
mengatasnamakan intelektualitas dan kemajuan.
Catatan Gramsci mengenai subaltern, bagi Spivak, telah menyediakan sumber teoritis
uta-ma untuk memahami kondisi kaum proletar di India. Ia memahami pembagian kerja di Italia
era Mussolini dan menerapkannya pada pembagian kerja era kolonial di India. Gramsci melihat
bahwa penindasan kaum tani pedesaan di Italia Selatan dapat diruntuhkan melalui sebuah aliansi
kelas pekerja di perkotaan serta kesadaran kelas antarpetani sehingga tercapai revolusi Marxis
(kelas pekerja industri di Eropa membawa potensi masa depan untuk perubahan sosial dan
politik kolektif).
Masalahnya, Gramsci sendiri menyadari bahwa praktik sosial dan politik kaum tani
pedesaan tidak sistematis (tidak terkoordinir) dan itulah yang menyebabkan kegagalan mutlak
perjuangan kelasnya. Ini yang membedakan pengertian Gramsci tentang dunia subaltern dari
persepsi Marxis klasik tentang kesadaran kolek-tif kelas pekerja. Subaltern Gramscian ini men-
jelaskan kurangnya identitas politik dan membu-ka ruang bagi Spivak untuk melihat fakta men-
gapa subaltern di dunia pascakolonial bernasib jika suaranya diwakilkan.
Di sini juga harus di sadari, memang arti istilah subaltern cukup luas dan mencakup
berbagai konteks sosial yang berbeda. Dalam konteks sistem kelas dan sistem kasta di India
secara sosial, definisi subaltern akan menggembung karena sejarah kolonialisme dan
kemerdekaan bangsa yang berlapis-lapis. Menanggapi kondisi historis yang fluktuatif ini, Spivak
sejak awal berusaha menemukan metodologi yang tepat untuk mengartikulasikan sejarah dan
perjuangan kelompok subaltern ini.
Secara tradisional, sejarah kaum tani pedesaan dan kelas pekerja perkotaan telah dicatat
oleh kelompok sosial elit. Pada dasarnya, kolonialisme, bukan hanya Inggris, menggunakan
kekuasaan mereka dengan berbagai cara, dan salah satunya adalah pengarsipan segalah dokumen
mengenai bangsa yang mereka jajah. Oleh karena itu, sejarah subaltern didokumentasikan di
dalam arsip administrator kolonial. Mereka ditulis ulang dalam laporan sejarah elit kelas
menengah berpendidikan bangsa yang terjajah.
Catatan tersebut yang digunakan pada masa perjuangan kemerdekaan nasional. Dari
pemelintiran tersebut, historiografi nasionalisme, terutama di India, telah lama didominasi oleh
elitisme nasionalis borjuis. Keduanya berasal dari produk ide-ologis pemerintahan kolonial.
Mereka mengasimilasi ke dalam bentuk diskursus neokolonialis. Dalam konteks sejarah India,
tentu hal tersebut merujuk pada hubungan antara Inggris dan India (Guha, 1988: 37).
Itu adalah cara representasi sejarah dari berbagai kelompok subaltern kelas bawah
dibatasi, dimanipulasi, dan dikacaukan dalam kepentingan kekuatan yang berkuasa atau tiap
kelas sosial yang dominan. Dalam narasi elit kemerdekaan nasional borjuis, gerakan perlawanan
lokal para petani justru ancaman yang nyata bagi masyarakat pascakolonial karena sejarah sosial
dan politik yang kompleks dari kelompok subaltern tertentu pasti diwakili secara politis.
Dari sana kita juga memahami adanya suara politik dan agensi kelompok subaltern ter-
tentu yang seringkali menyamar. Mereka tidak dapat dibedakan dari suara murni masyarakat
subaltern yang spontan, tanpa isi, atau organ-isasi politik. Namun, ketika subaltern masih men-
jadi objek yang dipertaruhkan, maka di sanalah suara mereka tidak terdengar jelas. Bagi Spivak,
dalam pembahasannya tentang proyek Studi Subaltern, gagasan Marxis klasik tentang sejarah
menginformasikan pendekatan teoritis mengenai cara kerja ideologi yang justru akan memelinitr
dan membelit kelompok sosial. Oleh karena itu, Studi Subaltern, pastinya menawarkan gagasan
perubahan. Ia melihat bahwa studi tersebut dapat menjejalkan kasus subaltern di India ke dalam
diskusi kolonialisme yang berfungsi untuk melihat pergeseran sistem ideologis dari semi-
feudalisme menuju penindasan capitalisme. Perubahan dalam narasi besar mode produksi
menjelaskan bagaimana transisi tersebut berjalan dan korbannya tentu saja; masyarakat subaltern
(Spivak, 1987: 197).
Tentu saja, diskusi Spivak menekankan bagaimana sejarah pemberontakan petani dan
aksi sosial justru menghadirkan sebuah krisis. Spivak juga mempertanyakan metodologi Marxis
dalam pendekatan Studi Subaltern yang justru cenderung menggambarkan kompleks kekisruhan
pemberontakan subaltern.
Pemikiran Spivak sendiri tidak terjadi dalam kekosongan sejarah atau intelektual. Seperti
yang diketahui, pemikiran India berkembang ketika Marxisme telah memainkan peran sentral
dalam evolusi pemikiran politik di sana (Young, 2001: 312). Tidak mengherankan jika di India
juga pernah hadir komunisme yang terpengaruh dengan gagasan Lenin mengenai partai-partai
pro-letariat yang harus mendukung gerakan pembebasan dari kelompok nasional borjuis
((Young, 2001: 312). Hal ini juga pernah disinggung oleh Kiran Desai dalam novelnya, The
Inheritance of Loss (2006) di mana ia menceritakan kisah pemberontakan Gyan terhadap
bangsanya, India. Kisah yang menjelaskan partai komunis India yang menempatkan konflik
kolonial di atas konflik kelas internal. Prioritas pembebasan nasional di atas kelas perjuangan
jelas menjelaskan bagaimana kepentingan itu ada dan nyata dan secara pongah memanfaatkan
masyarakat subaltern. Dalam sejarahnya juga, Marxisme sudah mempengaruhi pemikiran politik
di India, baik dalam pemberontakan petani Naxalbari tahun 1967 melawan Partai Kongres
seperti yang pernah disinggung oleh Arundhati Roy dalam novel agungnya God of Small Things
(1998).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Giddens dengan teori strukturasinya menekankan kajian pada praktik sosial yang
tengah berlangsung sebagaimana dinyatakannya, bahwa ranah dasar studi ilmu-ilmu
sosial, menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individu, ataupun
eksistensi bentuk totalitas sosial apapun, melainkan praktik yang ditata di sepanjang
ruang dan waktu. Teori cultural studies menurut Hall sebagai suatu proses
perkembangan estetis, intelektual, dan spiritual; melainkan budaya yang dipahami
sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Cultural studies juga menganggap budaya
itu bersifat politis dalam pengertian yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah konflik
dan pergumulan. Menurut Spivak masalah utama subaltern bukan hanya mengenai
kategori orang yang tertindas atau kelas pekerja yang tertindas, namun juga mengenai
siapa saja yang suaranya terbatasi oleh suatu akses yang mewakilinya.
DAFTAR PUSTAKA
Chris Barker. 2009. Cultural Studies; Teori & Praktik (Cet. Ke-6), Terjemahan Nurhadi, Kreasi
Wacana, Bantul.
Nashir, haedar.2012. Memahami Strukturasi dalam Perspektif Sosiologi Giddens. 7 (1):1-8
Setiawan, Rahmat. 2018. Subaltren, Politik Etis, dan Hegemoni dalam Perspektif Spivak. VI
(1):13-24