Anda di halaman 1dari 13

Konteks social dan perkembangan

Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah Bahasa Indonesia pada
Semester Ganjil 2020/2021

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia


Dosen Pengampu : Nidar Yusuf, M.Pd.

Disusun Oleh :

Syifa Zakiyatul Adha ( 20200810200094 )

Wildani Fajri ( 20200810200098 )

Zahrah Maulida Rayyani ( 20200810200101 )

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020

BAB ll

PEMBAHASAN

2.1 pengertian teori kontemporer

 membahas tentang teori-teori sosial kontemporer; teori sosial “baru” yang lahir

dalam beberapa dekade terakhir (1), yaitu poststrukturalisme, teori sosial postmodern,

dan postkolonialisme.Senada dengan teori kritis, teori sosial kontemporer bersifat

multidisiplin, dan bukan merupakan bagian mutlak dari tradisi keilmuan manapun (2).

1. Mengenal Poststrukturalisme

Pembahasan mengenai apa itu poststrukturalisme harus didahului dengan penjelasan

mengenai teori sosial pendahulunya: strukturalisme.Fokus dari strukturalisme —

seperti yang tercantum dalam namanya — adalah struktur. Namun alih-alih membahas

tentang struktur sosial layaknya pendekatan struktural fungsional, strukturalisme justru

menjadikan struktur bahasa (linguistic structure) sebagai fokus kajiannya.(3) Bagi

strukturalisme, struktur bahasa merupakan elemen utama yang membentuk, dan

mengatur jalannya dunia sosial(4)

Salah satu tokoh yang berperan penting dalam lahirnya strukturalisme adalah Ferdinand de

Saussure, seorang ahli bahasa asal Swiss(5). Dalam Course in General Linguistic (1916),

Saussure membagi bahasa ke dalam dua elemen, yaitu langue dan parole. Langue mengacu

pada sistem formal yang mengatur sebuah bahasa, atau yang lebih dikenal dengan sebutan tata
bahasa (grammar); sedangkan parole mengacu pada bagaimana seorang individu

menggunakan bahasa secara subjektif, untuk mengekspresikan dirinya(6)

Bagi Saussure, para ilmuwan yang mempelajari bahasa tidak boleh terjebak dalam

subjektivitas parole (7) Sausurre menegaskan bahwa tujuan utama dari ilmuwan-ilmuwan

bahasa adalah menemukan underlying laws of language, atau hukum-hukum dasar bahasa (8).

Hukum-hukum tersebut hanya dapat ditemukan jika para ilmuwan memusatkan kajiannya

pada langue, atau struktur bahasa. Lewat hukum-hukum inilah seorang ilmuwan bahasa dapat

melihat bahwa masyarakat, dan dunia sosial sebenarnya merupakan produk dari struktur

bahasa(9)

Poststrukturalisme lahir sebagai kritik terhadap strukturalisme. Berangkat dari pemikiran

Jacques Derrida, poststrukturalisme menolak argumen utama strukturalisme yang menyatakan

bahwa dunia sosial dibentuk, dan diatur oleh struktur bahasa.

Menurut Derrida, bahasa tidak memiliki kekuatan untuk mengatur jalannya kehidupan

manusia. Derrida menyatakan bahwa makna dari sebuah kata tidak dapat dilepaskan dari

konteks yang melekat dalam kata tersebut.

Kritik Derrida menunjukkan bahwa bahasa tidak memiliki hukum-hukum dasar yang bersifat

universal(10), dan upaya yang dilakukan oleh para strukturalis untuk menemukan hukum-

hukum dasar bahasa merupakan sesuatu yang sia-sia.

Derrida kemudian menawarkan sebuah pendekatan baru dalam mengkaji bahasa:

dekonstruksi. Dekonstruksi mengacu pada serangkaian proses yang bertujuan untuk


mengungkap makna-makna tersembunyi dalam sebuah literatur, serta membuka ruang-ruang

interpretasi baru(11)

Sebagai contoh, dalam cerita rakyat Timun Mas, Buto Ijo selalu digambarkan sebagai sosok

antagonis yang kejam dan bengis. Namun, jika cerita rakyat tersebut didekonstruksi, sosok

antagonis yang sebenarnya dari cerita rakyat Timun Mas adalah adalah Mbok Rondo, ibu

angkat Timun Mas. Mbok Rondo melanggar kesepakatan antara dirinya dengan Buto Ijo,

yang berujung pada tewasnya Buto Ijo secara brutal di tangan Timun Mas dan sihir kejinya.

2. Mengenal Teori Sosial Postmodern

Definisi teori sosial postmodern seringkali tertukar dengan beberapa terminologi lain

yang cukup mirip, yaitu postmodernitas dan postmodernisme.Postmodernitas

merupakan sebutan bagi era yang hadir setelah era modern; atau dengan kata lain, era

masyarakat pasca-industri (12). Sedangkan postmodernisme mengacu pada produk-

produk budaya (seperti film, lukisan, gaya bangunan, dan sebagainya) yang berbeda

dari produk-produk budaya masyarakat modern. Teori sosial postmodern — di sisi

lain — mengacu pada cara-cara berpikir yang sama sekali berbeda dari teori sosial

modern Teori sosial postmodern — di sisi lain — mengacu pada cara-cara berpikir

yang sama sekali berbeda dari teori sosial modern(13). Ketiga terminologi di atas

diikat oleh pandangan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, muncul hal-hal baru (era,

produk budaya, dan teori sosial), yang tidak lagi dapat dijelaskan dengan

menggunakan terminologi “modern”(14).

Teori sosial postmodern hadir sebagai kritik terhadap teori sosial modern. Jika teori sosial

modern berusaha untuk mencari penjelasan yang bersifat universal dan rasional untuk
mengkaji sebuah fenomena sosial, teori sosial postmodern justru menolak penjelasan yang

bersifat universal-rasional. Bagi teori sosial postmodern, penjelasan-penjelasan yang bersifat

universal cenderung menguntungkan kelompok tertentu, dan mengesampingkan kelompok-

kelompok lain(15)

Salah satu pemikir teori sosial postmodern, sekaligus sosiolog yang karyanya kerap dijadikan

acuan bagi pemikir-pemikir lain adalah Jean Baudrillard. Menurut Baudrillard, berbeda

dengan masyarakat modern yang dikendalikan oleh moda produksi (mesin, pabrik, buruh, dan

sebagainya), masyarakat postmodern justru dikendalikan oleh media dan arus informasi.

Sebagai dampaknya, masyarakat postmodern tidak memiliki kemampuan untuk membedakan

mana yang nyata, dan mana yang tidak. Baudrillard menyebut kondisi ini dengan nama

hiperrealitas(16)

Sebagai contoh, di era postmodern, media tidak lagi dianggap sebagai “cermin” realitas,

melainkan realitas itu sendiri. Masyarakat postmodern cenderung mempercayai berita yang

muncul di media, terlepas dari kepalsuan dan distorsi yang hadir sebagai bumbu untuk

menarik penonton (17)

3. Mengenal Postkolonialisme

Fokus dari postkolonialisme — atau studi pascakolonial — adalah kondisi masyarakat

pasca penjajahan bangsa Eropa (atau yang lebih dikenal dengan sebutan “barat”)(18).

Bagi para pemikir postkolonial, upaya untuk memahami kondisi masyarakat pasca

penjajahan harus dimulai dengan mendengarkan kisah orang-orang yang terjajah.

(19)Karena fokus kajian postkolonialisme adalah kondisi pasca penjajahan, maka

tema-tema utama yang umumnya diangkat oleh pendekatan ini adalah hal-hal yang

tentu saja berhubungan dengan penjajahan, seperti opresi, rasisme, dan kekerasan. (20)
Layaknya teori sosial kontemporer lain, postkolonialisme menolak penjelasan yang

bersifat universal, karena bagi para pemikir postkolonial, setiap wilayah jajahan

mengalami proses kolonialisasi yang berbeda antara satu dengan lainnya (21)

Salah satu pemikir postkolonial yang karyanya kerap dijadikan rujukan oleh pemikir post-

kolonial lain, Edward Said, menyatakan bahwa kehidupan masyarakat timur (orient) masih

didominasi oleh masyarakat barat, bahkan setelah masa penjajahan berakhir. Masyarakat barat

mengklaim bangsa mereka sebagai bangsa yang superior; baik dari segi agama, sistem

ekonomi, ilmu pengetahuan, hingga cara hidup. Masyarakat barat menampilkan ideologi

mereka sebagai sesuatu yang benar, baik, dan objektif; sementara ideologi timur kerap

digambarkan sebagai sesuatu yang salah dan jahat (22)

Sebagai contoh, Islam, sebagai keyakinan yang lahir dari timur, kerap didefinisikan sebagai

ideologi barbar; dan Timur Tengah, sebagai tempat kelahiran Islam, seringkali digambarkan

sebagai tempat yang penuh dengan penjahat, teroris, dan sarat akan intoleransi (23). Bagi

Said, contoh ini sama sekali tidak masuk akal. Timur tengah, sebagai sebuah masyarakat, dan

Islam, sebagai sebuah keyakinan, memiliki kompleksitasnya masing-masing dan tidak dapat

digeneralisir menjadi sesuatu yang murni “jahat” (24).

Said menjelaskan bahwa gambaran-gambaran tersebut sengaja dibuat oleh pihak barat

(khususnya Amerika Serikat) untuk menjustifikasi invasi, serta operasi militer mereka di

daerah Timur Tengah(25).

2.2 konteks social dalam perkembangan


Psikologi perkembangan merupakan salah satu bidang psikologi yang memfokuskan kajian atau
pembahasannya mengenai perubahan tingkah laku dan proses perkembangan dari masa
konsepsi (pra-natal) sampai masa kematian (9) Dalam psikologi perkembangan qur’ani, batasan
kematian itu tidak menjadi halangan pengkajian tentang perilaku manusia, hingga pada batas
tertentu pasca kehidupanpun manusia masih bisa difahami jalan kehidupannya (10)Ada tiga
teori dan pendekatan dalam perkembangan, yaitu pendekatan pentahapan, diferensial dan
ipsatif. Dari ketiganya, yang paling banyak dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan, hal ini
karena, perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu, dan pada setiap
tahap memiliki cirri-ciri khusus yang berbeda Sedangkan pentahapan yang bersifat khusus, Jean
Piaget membagi tingkat perkembangan kognisi menjadi empat tahap, yaitu(11)

1. Periode sensorimotor (umur 0-2 tahun) Kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak
refleks. Reaksi intelektual hampir seluruhnya karena rangsangan langsung dari alat-alat
indra. Punya kebiasaan memukul-mukul dan bermain-maindengan permainannya.
Mulai dapat menyebutkan nama-nama objek tertentu.
2. Periode praoperasional (umur 2-6 tahun) Perkembangan bahasa anak ini sangat pesat.
Anak mulai menggunakan symbol-simbol untuk merepresentasi dunia (lingkungan)
secara kognitif. Simbol-simbol itu berupa kata-kata, bilangan yang dapat menggantikan
objek, peristiwa dan kegiatan (tingkah laku yang tampak). Peranan intuisi dalam
memutuskan sesuatu masih besar, menyimpulkan hanya berdasarkan sebagian kecil
yang diketahui. Analisis rasional belum berjalan.
3. Periode operasional konkret (umur 6-11 tahun) Mereka sudah bisa berpikir logis,
sistematis, dan memecahkan masalah yang bersifat konkret. Mereka sudah mampu
mengerjakan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.
4. Periode operasional formal (umur 11-dewasa) Periode ini merupakan operasi mental
tingkat tinggi. Mereka sudah mampu berpikir logis terhadap masalah baik yang konkret
maupun yang abstrak dan dapat membentuk ide-ide dan masa depan secara realistis.

Sedangkan dalam perkembangan afeksi, Erikson menyusun menjadi delapan tahap


sebagai berikut: (12)
1. Bersahabat vs menolak (umur 0-1 tahun). Bayi yang diasuh dengan kasih
sayang dan kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi akan merasa bersahabat
dengan orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, bila ia disia-siakan dan
kebutuhannya tak terpenuhi dia akan menentang lingkungannya. Perasaan ini
akan dibawa terus ke tingkat perkembangan selanjutnya.
2. Otonomi vs malu-malu dan ragu-ragu (umur 1-3 tahun) Anak merasa memiliki
otonomi dan kebanggaan, sebab ia sudah dapat berjalan, memanjat,
membuka, mendorong, dan sebagainya. Ia merasa dapat mengendalikan otot-
ototnya, mengendalikan diri dan lingkungan. Tetapi bila orang tua terlalu
memanjakan, timbul malu-malu dan keragu-raguan anak itu terhadap
kemampuannya. Dan hal inipun akan berpengaruh pada tahap berikutnya.
3. Inisiatif vs perasaan bersalah (umur 3-5 tahun) Anak-anak pada masa ini
banyak berinisiatif manakala diberi kesempatan oleh orang tuanya, sebab
mereka sudah punya kemampuanlebih besar, seperti lari, naik sepeda roda
tiga, memukul, memotong, dan sebagainya. Begitu pula dalam berbahasa dan
berfantasi mereka berinisiatif sendiri. Orang tua perlu memberi kesempatan,
kebebasan dan menjawab segala pertanyaannya. Kalau mereka tidak
diperlakukan seperti itu mereka akan merasa guilted (bersalah).
4. Perasaan produktif vs rendah diri (umur 6-11 tahun) Anak-anak ini cinta pada
orang tua yang berlawanan jenis dan ada rasa persaingan dengan yang sama
jenis kelamin. Mereka sudah bisa berpikir deduktif, bermain dengan peraturan-
peraturannya, dan terdorong untuk mengerjakan sesuatu sampai berwujud
nyata. Jika mereka dihargai dan diberi hadiah membuat peran produktif
berkembang. Tetapi anak-anak yang bodoh cenderung punya perasaan rendah
diri.
5. Identitas diri vs kebingungan (umur 12-18 tahun) Para remaja ini sudah mulai
dapat mengidentifikasi dirinya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang
lampau. Ia sudah mengerti sebagai remaja, sebagai teman sekolah, sebagai
anggota pramuka, dan sebagainya. Perasaan dan keinginan baru mulai tumbuh.
Mereka juga sudah berpikir jernih tentang hal-hal di sekelilingnya.
6. Intim vs mengisolasi diri (umur 19-25 tahun) Orang-orang ini sudah bisa intim
dalam suami istri dan mampu berbagi rasa pada orang lain. Keberhasilan ini
tidak hanya bergantung pada perlakuan orang tua, melainkan juga pada
temannya yang akan diajak bergaul. Dan bila tidak berhasil, ia akan mengisolasi
diri.
7. Generasi vs kesenangan pribadi (umur 25-45 tahun) Orang seumur ini sudah
mulai memikirkan generasi muda, masyarakat dan dunia tempat generasi ini
tinggal. Mereka memikirkan pendidikan, kesejahteraan, dan pekerjaan generasi
ini. Bila tidak, mereka ini hanya mengejar kesenangan pribadi saja.
8. Integritas vs putus asa (umur 45 tahun ke atas) Integritas muncul kalau mereka
dapat membawa diri secara memuaskan dalam pergaulan anak cucunya. Bila
tidak, maka mereka akan putus asa.

Sebagaimana perkembangan kognisi, perkembangan afeksi ini pun memberi


kemudahan bagi para pendidik untuk mengembangkan afeksi anak, juga dalam
mempengaruhi afeksi orang dewasa dan orang tua dengan cara mengikuti tahap-tahap
tersebut.
Dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas, Baller dan Charles mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Anak yang berasal dari keluarga yang memberi
layanan baik, akan bersikap ramah, luwes,
bersahabat dan mudah bergaul.
2. Anak yang dilahirkan pada keluarga yang menolak
kelahiran itu akan cenderung menimbulkan
masalah, agresif, menentang orang tua dan sulit
diajak berbicara
3. Anak yang diberikan pada keluarga yang acuh tak
acuh pada anak, cenderung bersikap pasif dan
kurang populer di luar rumah. Kajian psikologi
perkembangan yang mencakup perkembangan
umum menyangkut kognisi, moral, afeksi ini
merupakan petunjuk yang sangat berharga bagi
para pendidik dalam mengaplikasikan proses
pendidikan (itructional). Hal ini pendidik harus
memahami betul tahapan-tahapan perkembangan
sehingga dapat membantu perkembangan anak
didiknya secara optimal dengan segala jenjang dan
tingkat sekolah.

Kata perkembangan seringkali dikaitkan dengan pertumbuhan dan kematangan.


Ketiganya memang mempunyai hubungan yang sangat erat. Pertumbuhan dan
perkembangan pada dasarnya adalah ‘perubahan menuju ke tahap-tahap yang
lebih tinggi dan lebih baik’. Pertumbuhan lebih banyak berkenaan dengan aspek-
aspek jasmaniah atau fisik, menunjukkan perubahan atau penambahan secara
kuantitas, yaitu penambahan dalam ukuran besar atau tinggi. Sedangkan
'perkembangan' berkaitan dengan aspek-aspek psikhis atau rohaniah, berkenaan
dengan kualitas, yaitu peningkatan dan penyempurnaan fungsi.(13) Dalam
konsep pendidikan modern, para pakar pendidikan menaruh perhatian kepada
perkembangan seluruh pribadi anak, baik mengenai segi jasmani, emosi, sosial,
maupun intelektualnya. Anak dinilai bukan hanya berdasarkan prestasi
intelektualnya, akan tetapi dalam segala segi kepribadiannya secara
komprehensif. Anak menerima pelajaran bukan hanya dengan "kepalanya", akan
tetapi juga dengan "hatinya". Guru jangan hanya melihat dirinya sebagai
"pengajar" yang menyampaikan bahan pelajaran, ia juga berperan sebagai
"pendidik" yang berusaha mengembangkan segala potensi anak agar menjadi manusia
seutuhnya(14) dan Pendidikan sebagai suatu proses adalah mempelajari situasi
dengan fokus utama berinteraksi antara peserta didik dengan pendidik secara
berlangsung dalam lingkungan belajar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan, potensi dan kecakapan,
dinamika perilaku serta kegiatan siswa terutama perilaku belajar, menjadi kajian
utama dan penting bagi psikologi pendidikan. Psikologi berasal dari bahasa
Yunani yang berarti ilmu tentang jiwa atau paling tidak mempelajari gejala
kejiwaan. Pengetahuan mengenai psikologi ini amat penting bagi seorang
pendidik di semua jenjang satuan pendidikan. Para ahli psikologi dan ahli
pendidikan berkeyakinan bahwa dua orang anak (yang kembar sekalipun) tidak
mempunyai kesamaan dalam segala hal, baik menyangkut pembawaannya,
kematangan jasmani, intelegensi, dan keterampilan motoriknya. Di manapun
proses pendidikan berlangsung, pendidik membutuhkan pengetahuan kejiwaan
anak dalam membantu anak didik agar siap dan dapat belajar sebaik mungkin.
(15)

2.3 perkembangan sosioemosional anak sekolah dasar

Menurut Santrock (1996) dalam bukunya Retno Pangestuti, perkembangan merupakan


bagian dari perubahan yang dimulai dari masa konsepsi dan berlanjut sepanjang rentang
kehidupannya. Bersifat kompleks karena melibatkan banyak proses seperti biologis, kognitif,
dan sosioemosional. F.J Monks, dkk (2001) menambahkan pengertian perkembangan
merujuk pada proses menuju kesempurnaan yang tidak dapat diulang kembali berdasarkan
pertumbuhan, pematangan, dan belajar. Dalam kacamata psikologi, perkembangan dapat
diartikan sebagai proses perubahan kuantitatif dan kualitatif individu dalam rentang
kehidupannya, mulai dari masa konsepsi, bayi, kanak-kanak, masa remaja, sampai dengan
dewasa. Dalam kamus Psikologi, Chaplin (2002) menjabarkan perkembangan sebagai
perubahan yang terjadi pada organism dari lahir sampai mati, adanya pertumbuhan dan
perubahan integrasi jasmani ke dalam fungsional dan munculnya kedewasaan(16). Ada
beberapa alasan mengapa guru atau mahasiswa calon guru perlu memahami perkembangan
peserta didik. Alasan-alasan itu sebagai berikut, mempelajari dan memahami aspek
perkembangan peserta didik adalah salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang
guru, melalui pemahaman tentang aspek-aspek perkembangan serta faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan peserta didik, dapat diantisipasi tentang berbagai upaya
memfasilitasi perkembangan tersebut, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun
masyarakat. Disamping itu, dapat diantisipasi juga tentang upaya untuk mencegah berbagai
kendala atau masalah yang mungkin akan menghambat perkembangan anak khususnya anak
sekolah dasar. Semua orang memiliki aspek perkembangan yang jumlahnya sama tetapi
memiliki kemampuan pengembangan aspek perkembangan yang berbeda-beda. Setiap
manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing begitupun anak sekolah dasar.
Ada yang unggul dalam hal akademik tetapi rendah dalam hal nonakademik, ada yg unggul
aspek kognitifnya tetapi rendah dalam aspek sosial begitupun sebaliknya. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor gen dan faktor lingkungan.(17)

Ahli psikologi yang memberikan kontribusi teori penting mengenai perkembangan


kognitif adalah Jean Piaget (1952). Menurutnya, tahap perkembangan kognitif menurut
periode usia adalah adalah sebagai berikut: sensori-motori, usia 0-2 tahun, ra-operational,
usia 2-7 tahun, operational konkrit, usia 7-12 tahun, dan operational formal, usia diatas 12
tahun. Selain berhubungan erat dengan aspek perkembangan fisik dan motorik,
perkembangan kognitif juga dipengaruhi dan memengaruhi aspek perkembangan lainnya,
seperti moral, dan penghayatan agama, aspek bahasa, sosial, emosional. Sebagai contoh,
peserta didik yang memiliki perkembangan kognitif yang baik, diharapkan mampu
memahami nilai dan aturan sosial,memiliki penalaran moral yang baik. dan mampu
menggunakan bahasa secara tepat dan efisien (Retno, 2013) (18)

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. teori-teori sosial kontemporer; teori sosial “baru” yang lahir dalam beberapa dekade

terakhir, yaitu poststrukturalisme, teori sosial postmodern, dan

postkolonialismsse.Senada dengan teori kritis, teori sosial kontemporer bersifat

multidisiplin, dan bukan merupakan bagian mutlak dari tradisi keilmuan manapun .

2. kontek social dalam perkembangan adalah ‘perubahan menuju ke tahap-tahap yang lebih

tinggi dan lebih baik’. Pertumbuhan lebih banyak berkenaan dengan aspek-aspek jasmaniah

atau fisik, menunjukkan perubahan atau penambahan secara kuantitas, yaitu penambahan

dalam ukuran besar atau tinggi. Sedangkan 'perkembangan' berkaitan dengan aspek-aspek

psikhis atau rohaniah, berkenaan dengan kualitas, yaitu peningkatan dan penyempurnaan

fungsi. 8 Dalam konsep pendidikan modern, para pakar pendidikan menaruh perhatian

kepada perkembangan seluruh pribadi anak, baik mengenai segi jasmani, emosi, sosial,

maupun intelektualnya. Anak dinilai bukan hanya berdasarkan prestasi intelektualnya, akan

tetapi dalam segala segi kepribadiannya secara komprehensif.

3. perkembangan peserta didik adalah salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang

guru, melalui pemahaman tentang aspek-aspek perkembangan serta faktor-faktor yang

mempengaruhi perkembangan peserta didik, dapat diantisipasi tentang berbagai upaya

memfasilitasi perkembangan tersebut, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun

masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ritzer, George. Sociological Theory. (New York:


McGraw-Hill, 2010).
2. Loc. cit.
3. Ibid., Hlm. 606.
4.  Ibid., Hlm. 607.
5.  Loc. cit.
6.  Loc. cit.
7.  Loc. cit.
8.  Ibid., Hlm. 609.
9. Ibid., Hlm. 607.
10.  Ibid., Hlm. 609.
11. Ritzer, George, The Blackwell Encyclopedia of
Sociology, (Massachusetts: Blackwell Publishing,
2007), hlm. 986–989
12. Macionis, John. Sociology. (New York: Pearson, 2012).
Hlm. 578.
13. Ritzer, George. (2010). Op. cit. Hlm. 629.
14. Loc. cit.
15.  Ibid., Hlm. 630.
16. Ibid., Hlm. 638.
17.  Loc. cit.
18. Ritzer, George. (2007). Op. cit. Hlm. 2981.
19.  Loc. cit.
20. Ibid., Hlm. 2982.
21. Ibid., Hlm. 2981.
22.Ibid., Hlm. 2982.
23. Ibid., Hlm. 3344.
24.Loc. cit.
25.Loc. cit.
26. 2 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 3.
27. Atiqullah, Dasar-Dasar Psikologi Agama (Pamekasan: stainpress, 2006) hlm. i-ii.
28.4Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hlm. 186-188.
29.Ibid., hlm. 194-195.
30.Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan
Problematika Belajar dan Mengajar (Bandung: CV Alfabeta, 2003), hlm. 94.
31. 9 S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum ( Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 98.
32. Baqir Sharif al Qarashi, Seni Mendidik Islami: Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 36.
33. Ali, Mohamamad dan Mohammad Asrori. 2012. Psikologi Remaja. Bandung: PT. Bumi
Aksara.
34. Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Rosdakarya.
35.

Anda mungkin juga menyukai