Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

Jerawat pada laki – laki 21 tahun


OLEH :

RAFIKA ASSEGAF

I4061192065

PEMBIMBING :

dr. RETNO MUSTIKANINGSIH, M.Kes, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT


DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

RSUD DR SOEDARSO

PONTIANAK

1
2021

2
BAB I

PENDAHULUAN

Akne vulgaris (AV) merupakan suatu penyakit keradangan kronis dari folikel
pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, kista, dan pustula. Predileksi AV
terutama pada daerah wajah, bahu, lengan atas, dada, dan punggung. Akne Vulgaris
diketahui mempunyai empat dasar patogenesis yaitu hiperproliferasi folikel
pilosebasea, produksi sebum berlebih, keradangan, dan keberadaan
Propionibacterium acnes. Kombinasi faktor-faktor tersebut memengaruhi proses
pembentukan akne.1,2,3

Akne Vulgaris adalah penyakit utama pada remaja, 85% remaja terkena
dengan tingkat keparahan tertentu, paling sering muncul pada usia 15-18 tahun, baik
pada laki-laki ataupun perempuan, namun terkadang dapat menetap sampai dekade
ketiga atau bahkan pada usia yang lebih lanjut. Akne Vulgaris merupakan penyakit
yang dipengaruhi atau dicetuskan oleh banyak faktor, yaitu yaitu faktor genetik,
lingkungan, hormonal, stres emosi, makanan, trauma, kosmetik, dan obat-obatan. 1,2,3
Seringkali pasien telah mencoba berbagai macam terapi dan obat-obatan namun tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Akne Vulgaris merupakan suatu penyakit yang
tidak hanya memberikan efek secara fisik pada pasien, namun juga efek psikologis
seperti rasa cemas dan depresi, bahkan dapat menyebabkan seseorang berpikir untuk
melakukan bunuh diri. Oleh karena itu identifikasi faktor pencetus dan pemilihan
pengobatan yang tepat diperlukan dalam penatalaksanaan pasien AV.

3
BAB II

PENYAJIAN KASUS

2.1. Identitas pasiesn


Nama : Tn. D
Usia : 21 tahun
Jenis kelamin : laki – laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Gusti Situt Mahmud. No 4.
Stasus : Belum menikah
Tanggal periksa : 4 Januari 2021
2.2. Anamnesis
2.2.1. Keluhan utama
Pasien mengeluh muncul jerawat sejak 6 bulan lalu
2.2.2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh terdapat jerawat pada wajah. Keluhan dialami sejak 6
bulan yang lalu. Pasien sebelumnya pernah menggunakan cream
perawatan awalnya ada perubahan yang lebih baik pada wajahnya namun
makin lama malah wajahnya makin hancur dari sebelumnya. Sebelumnya
pasien juga mengaku pernah melakukan laser di salon kecantikan “X”.
pasien bekerja di lapangan dan sering terpapar debu.
2.2.3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat keluhan yang sama namun ukurannya lebih
kecil dan jumlahnya sedikit. Pasien mengatakan bahwa keluhan ini biasa
muncul jika terlalu banyak konsumsi yang berminyak.
2.2.4. Riwayat pengobatan
Pasien pernah dilakukan laser dan diberikan cream perawatan di salon
kecantikan
2.2.5. Riwayat penyakit keluarga

4
Tidak ada riwayat gejala yang sama pada anggota keluarga
2.2.6. Riwayat alergi
Pasien pernah mengkonsumsi obat medicline (golongan clindamicyn) dan
setelah meminum obat tersebut kulitnya menjadi merah.
2.2.7. Riwayat kebiasaan, sosial dan ekonomi
Pasien sekarang bekerja di lapangan dan sering terpapar debu
2.3. Pemeriksaan Fisik
2.3.1. Keadaan umum
Baik
2.3.2. Kesadaran
Compos mentis
2.3.3. Status gizi
a. Tinggi badan : 172 cm
b. Berat badan : 70 kg
2.3.4. Tanda vital
a. Tekanan darah: 110/80 mmHg
b. Nadi : 80 x/menit, irama reguler, isi cukup
c. Respirasi : 20 x/menit
d. Suhu : 36,5o C
2.3.5. Status generalis

Kepala Normocephal
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi
konungtiva (-/-),
refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tak langsung (+/
+), pupil isokor (3mm/3mm)
Telinga Hiperemis (-/-), sekret (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)

Mulut Mukosa bibir kering (-), stomatitis (-), sianosis (-)


Hidung Rhinorrhea (-), epistaksis (-),pernafasan cuping hidung (-),
sekret (-)

5
Tenggorokan Faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1) hiperemis (-), detritus (-)

Leher Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar getah bening (-/-)

Dada Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)


Paru Inspeksi : Bentuk dada simetris statis dan dinamis

Palpasi: Fremitus taktil simetris kiri dan kanan, massa (-),


krepitasi (-) Perkusi : Sonor di seluruh lapang
paru
Auskultasi: Suara nafas dasar: vesikuler (+/+), ronkhi(-),
wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis di SIC VI midclavicula


sinistra, thrill (-) Perkusi : Kanan atas : SIC
II Linea Para Sternalis Dextra
Kanan bawah : SIC V Linea Para Sternalis Dextra
Kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis
Sinistra Kiri bawah : SIC IV Linea
Midclavicula Sinistra
Auskultasi : S1/ S2, reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi : Simetris, benjolan/massa
(-) Auskultasi : Bising
usus (+) normal, bruit (-)
Palpasi: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
shifting dullness (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik
Status Dermatologis :
Pada pasien ini predileksi lesi kulit terjadi pada regio facial bilateral dan leher
Ujud kelainan kulit berupa papul eritematous dan pustul, bentuk tidak teratur
berbatas tegas dan permukaan tidak rata.

6
2.4. Diagnosis Banding
1. Erupsi akneiformis
2. Akne venenata
2.5. Pemeriksaan Penunjang
-
2.6. Diagnosis kerja
Akne vulgaris derajat sedang
2.7. Penatalaksanaan
a. Non farmakologi
1) Diet rendah lemak dan karbohidrat
2) Melakukan perawatan kulit untuk membersihkan dari kotoran yang
memicu terjadinya akne vulgaris
3) Hindari tidur malam dan istirahat yang cukup
4) Hindari stress
5) Menjauhi terpacunya kelenjar minyak
6) Menghindari polusi debi
7) Penggunaan kosmetik yang secukupnya

7
b. Farmakologi
1) Pengobatan topical
2) Pengobatan sistemik
2.8. Prognosis
Dubia ad bonam sebelum mencapai usia 30-40 tahun

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Acne Vulgaris


a. Definisi
Acne vulgaris (AV) adalah penyakit peradangan menahun unit
pilosebasea, dengan gambaran klinis biasanya polimorfik yang terdiri atas
berbagai kelainan kulit berupa: komedo, papul, pustul, nodul, dan
jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif tersebut, baik jaringan
parut yang hipotropik maupun hipertropik.4
b. Etiologi
AV masih belum diketahui. Beberapa etiologi yang diduga terlibat,
berupa faktor intrinsik, yaitu genetik, ras hormonal; dan faktor ekstrinsik
berupa stres, iklim/suhu/kelembaban, kosmetik, diet dan obat-obatan.4
c. Epidemiologi
Insiden tertinggi terjadi pada usia remaja laki-laki umur 16-19 tahun
dan perempuan 14-17 tahun. Menurut studi Global Burden of Disease
(GBD),acne vulgaris mengenai 85% orang dewasa muda berusia 12–25
tahun. Penelitian di Jerman menemukan 64% usia 20-29 tahun dan 43%
usia 30-39 tahun menderita akne vulgaris. Selain itu, penelitian di India
menjelaskan bahwa penyakit ini paling sering menyerang> 80% populasi
dunia selama beberapa periode kehidupan dan 85% remaja di negara
maju. Prevalensi akne vulgaris di kawasan Asia Tenggara terdapat 40-
80% kasus sedangkan menurut catatan dari dermatologi kosmetika
Indonesia terus terjadi peningkatan yaitu 60% penderita akne vulgaris
pada tahun 2006, 80% pada tahun 2007 dan mencapai 90% pada tahun
2009.5
d. Patogenesis

9
Terdapat empat patogenesis paling berpengaruh pada timbulnya AV,
yaitu:
1. Produksi sebum yang meningkat
Pada individu akne, secara umum ukuran folikel sebasea serta jumlah
lobul tiap kelenjar bertambah. Ekskresi sebum ada di bawah control
hormon androgen. Telah diketahui bahwa akibat stimulus hormone
androgen kelenjar sebasea mulai berkembang pada usia individu 7-8
tahun. Horman androgen berperan pada perubahan sel-sel sebosit
demikian pula sel sel keratinosit folikular sehingga menyebabkan
terjadinya mikrokomedo dan komedo yang akan berkembang menjadi
lesi inflamasi sel-sel sebosit dan keratinosit folikel pilosebasea
memiliki mekanisme selular yang digunakan untuk mencema hormon
androgen, yaitu enzim-enzim 5-a-reduktase (tipe 1) serta 3~ dan
7~hidroksisteroid dehidrogenase yang terdapat pada sel sebosit basal
yang belum diferensiasi. Setelah sel-sel sebosit berdiferensiasi
kemudian terjadi ruptur dengan melepaskan sebum ke dalam duktus
pilosebasea. Proses diferensiasi sel-sel sebosit tersebut dipicu oleh
hormon androgen yang akan berikatan dengan reseptomya pada inti sel
sebosit, selanjutnya terjadi stimulasi transkripsi gen dan diferensiasi
sebosit.
Pada individu akne, secara umum produksi sebum dikaitkan dengan
respons yang berbeda dari unit folikel pilosebasea masing-masing
organ target, atau adanya peningkatan androgen sirkulasi, atau
keduanya. Misalnya, didapatkan produksi sebum berlebih pada lokasi
wajah, dada dan punggung, meskipun didapatkan kadar androgen
sirkulasi tetap. Sebagai kesimpulan, androgen merupakan faktor
penyebab pada akne, meskipun pada umumnya individu dengan AV
tidak mengalami gangguan fungsi endokrin secara bermakna. Pasien
AV baik laki-laki maupun perempuan akan memproduksi sebum lebih
banyak dari individu normal, namun komposisi sebum tidak berbeda

10
dengan orang normal kecuali terdapat penurunan jumlah asam linoleat
yang bermakna. Jumlah sebum yang diproduksi sangat berhubungan
dengan keparahan AV.

2. Hiperproliferasi folikel pilosebasea


Lesi akne dimulai dengan mikrokomedo. Lesi mikroskopis yang tidak
terlihat dengan mata telanjang, komedo pertama kali terbentuk dimulai
dengan kesalahan deskuamasise panjang folikel. beberapa laporan
menjelaskan terjadinya deskuamasi abnormal pada pasien akne. Epitel
tidak dilepaskan satu per satu kedalam lumen sebagaimana biasanya.
Penelitian imunohistokimiawi menunjukkan adanya peningkatan
proliferasi keratinosit basal dan diferensiasi abnormal dari sel-sel
keratinosit folikular. Hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya
kadar asal linoleat sebasea. Lapisan granulosum menjadi menebal,
tonofilamen dan butir-butir keratohialin meningkat, kandungan lipid
bertambah sehingga lama-kelamaan menebal dan membentuk
sumbatan pada orifisium folikel. Proses ini pertama kali ditemukan
pada pertemuan antara duktus sebasea dengan epitel folikel. Bahan-
bahan keratin mengisi folikel sehingga menyebabkan folikel melebar.
Pada akhimya secara klinis terdapat lesi noninflamasi (open/closed
comedo) atau lesi inflamasi, yaitu bila PA berproliferasi dan
menghasilkan mediator-mediator inflamasi
3. Kolonisasi P.acnes
PA merupakan mikroorganisme utama yang ditemukan di daerah infra
infundibulum dan PA dapat mencapai permukaan kulit dengan
mengikuti aliran sebum. Pacnes akan meningkat jumlahnya seiring
dengan meningkatnya jumlah trigliserida dalam sebum yang
merupakan nutrisi bagi PA.
4. Proses inflamasi

11
Pacnes diduga berperan penting menimbulkan inflamasi pada AV
dengan menghasilkan faktor kemotaktik dan enzim lipase yang akan
mengubah trigliserida menjadi asam lemak bebas, serta dapat
menstimulasi aktivasi jalur klasik dan alternatif komplemen.4

e. Manifestasi klinis
Akne vulgaris mempunyai tempat predileksi di wajah dan leher (99%),
punggung (60%), dada(15%) serta bahu dan lengan atas. Kadang-kadang
pasien mengeluh gatal dan nyeri. Sebagian pasien merasa terganggu
secara estetis. Kalit AV cenderung lebih berminyak atau sebore, tetapi
tidak semua orang dengan sebore disertai AV.
Efloresensi akne berupa: komedo hitam (terbuka) dan putih (tertutup),
papul, pustul, nodus, kista, jaringan parut, perubahan pigmentasi.
Komedo terbuka (black head) dan komedo tertutup (white head)
merupakan lesi non-inflamasi, papul, pustul, nodus dan kista merupakan
lesi inflamasi.
f. Diagnosis
Akne vulgaris ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisis. Saat ini klasifikasi yang digunakan di indonesia (oleh FKUl/RSCM)
untuk menentukan derajat AV. yaitu ringan, sedang dan berat, adalah
klasifikasi menurut Lehmann dkk. (2002). Klasifikasi tersebut diadopsi
dari 2"d Acne
Round Table Meeting (South East Asia), Regional Consensus on Acne
Management, 13 Januari 2003, Ho Chi Minh City-Vietnam.4

12
Table gradasi akne.4

g. Diagnosis banding
1) Erupsi akneiformis yang disebabkan oleh induksi obat, misalnya
kortikosteroid, INH, barbiturate, bromida, yodida, difenil hidantoin,
trimetadion, ACTH, dan lainnya. Gejala klinisnya adalah erupsi papulo
pustul pada seluruh tubuh yang timbul tiba – tiba tanpa disertai
komedo, dan biasanya disertai dengan demam dan di terjadi di semua
usia.
2) Akne veneata dan akne akibat rangsangan fisis. Klinisnya berupa lesi
monoformi, tidak gatal bisa berupa komedo atau papul, biasa terdapat
di daerah yang sering kontak dengan zat kimia atau rangsang fisis .
3) Rosasea adalah peradangan kronik di daerah wajah dengan klinis
berupa eritema, pustul, telangiektasis,dan kadang disertai hipertrofi
kelenjar sebasea. Tidak terdapat komeda kecuali disertai akne.
4) Dermatitis perioral yang biasanya terjadi pada wanita dengan gejala
klinis polimorfi eritema, papul, pustul, dan terasa gatal di sekitar
mulut.6
h. Tatalaksana
Prisip tatalaksana AV sesuai dengan 4 tahapan patofisiologinya yaitu:
1. Mengurangi hiperproliferasi keratinosit folikular
2. Menurunkan aktivitas kelenjar sebasea

13
3. Mengurangi populasi bakteri folikel, utamanya P. Acnes
4. Memunculkan efek antiinflamasi
a. Rekomendasi terapi topikal
Monoterapi AVR yang direkoemdasikan adalah penggunaan
Benzoil peroksida (BPO) atau dikombinasikan dengan eritromisin atau
klindamisin topikal. Sementara terapi AVS dan AVB dapat
ditambahkan retinoid topikal atau antibiotik sistemik. BPO dapat
mencegah resistensi bakteri sehingga direkomendasikan untuk
diberikan pada pasien yang mendapat terapi antibiotik topikal atau
sistemik.
Antibiotik topikal tidak direkomendasikan sebagai monoterapi
karena risiko resistensi yang ditimbulkan. Retinoid topikal
direkomendasikan untuk monoterapi kasus akne komedonal atau
dikombinasikan dengan antibiotik topikal pada lesi akne campuran
atau inflamasi.
Pada pasien inflamasi utamanya pasien perempuan dewasa dapson
topikal gel 5% direkomendasikan. Asam azelat dapat digunakan
sebagai terapi tambahan dan direkomendasikan pada kasus
dispigmentasi pasca inflamasi.
b. Rekomendasi antibiotik sistemik
Penggunaan antibiotik sistemik direkomedasikan pada kasus AVS
dan AVB dan akne inflamasi yang resisten terhadap terapi topikal.
Doksisiklin dan minosiklin lebih efektif bila dibandingkan dengan
tetrasiklin. Eritromisin dan azitromisin oral efektif dalam mengatasi
akne, namun penggunaannya harus berhati-hati pada pasien
perempuan hamil dan anak usia <8 tahun. Sebaiknya penggunaan
antibiotik dilakukan dalam durasi sependek mungkin dan dilakukan
evaluasi ulang pada bulan ke 3 – 4 untuk meminimaisir kejadian
resistensi. Tidak direkomendasikan untuk menggunakan monoterapi
antibiotik sistemik.

14
c. Rekomendasi penggunaan bahan hormone.
Pemberian kontrasepsi oral yang mengandung estrogen
direkomendasikan untuk terapi akne inflamasi pada perempuan.
Spironolakton juga efektif sebagai terapi akne perempuan. Pasien
dengan akne inflamasi berat dapat diberikan kortikosteroid oral saat
memulai terapi akne standar. Pasien dengan riwayat
hiperandrogenisme, penggunaan kortikosteroid dosis rendah dapat
direkomendasikan sebagai terapi akne.
d. Rekomendasi untuk isotretinoin
Isotretinoin oral direkomendasikan untuk terapi AVB. Selain itu
isotretinon dapat diberikan pada AV sedang yang resisten terhadap
terapi atau untuk terapi akne dengan komplikasi skar atau distress
psikososial. Penggunaan isotertinoin dosis rendah pada tatalaksana
akne daapt mengurangi frekuensi dan efek samping obat. Perlu
dilakukan pemantau terhadap fungsi hati, kadar kolesterol dan
trigliserida pada pasien yang mendapat terapi ini.

i. Prognosis
Ad bonam sebelum mencapai usia 30-40 tahun.6

15
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan pasien dengan keluhan jerawat di wajahnya.


Keluhan dialami sejak 6 bulan yang lalu. Pasien sebelumnya pernah menggunakan
cream perawatan awalnya ada perubahan yang lebih baik pada wajahnya namun
makin lama malah wajahnya makin hancur dari sebelumnya. Sebelumnya pasien juga
mengaku pernah melakukan laser di salon kecantikan “X”. Sebelumnya pasien pernah
mengalami hal yang serupa namun tidak separah ini. Kegiatan sehari – hari pasien
adalah bekerja mengawas di lapangan dan sering terpapar debu. Pasien pernah
mengkonsumsi obat golongan clindamicyn dan terdapat reaksi kemerahan pada wajah
dan tubuh. Keluhan serupa pada keluarga disangkal.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan pada daerah pipi, dagu dan leher terdapat
lesi papul miliar eritematous multiple bentuknya teratur dan berbatas tegas.

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat mengarah pada akne
vulgaris. Akne vulgaris merupakan suatu penyakit keradangan kronis dari folikel
pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, kista, dan pustula. Factor resiko

16
terjadinya akne vulgaris pada pasien adalah sering terpapar debu dan terdapat riwayat
sebelumnya mengalami hal yang serupa. Efloresensi akne berupa: komedo hitam
(terbuka) dan putih (tertutup), papul, pustul, nodus, kista, jaringan parut, perubahan
pigmentasi. Komedo terbuka (black head) dan komedo tertutup (white head)
merupakan lesi non-inflamasi, papul, pustul, nodus dan kista merupakan lesi
inflamasi. Pada pasien ini termasuk dalam akne vulgaris gradasi sedang karena
berdasarkan literature diatas

Untuk penatalaksaan dapat diberikan obat sistemik berupa antibiotic oral


(tetrasiklin 250 mg – 1 mg/hari atau eritromicin 4x250 mg/hari) dan obat topical
seperti retinoid serta antimikroba topical (eritromicin 1 atau oksi tetraciklin 1%), serta
steroid ringan atau sedang (hidrokortison 1-2,5%) jika terdapat peradangan. Pada
pasien djuga diberikan edukasi berupa perawatan kulit, diet rendah lemak,hindari
tidur larut malam, istirahat yang cukup dan hindari paparan debu.

17
BAB V

KESIMPULAN

Akne vulgaris (AV) merupakan suatu penyakit keradangan kronis dari folikel
pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, kista, dan pustula. Predileksi AV
terutama pada daerah wajah, bahu, lengan atas, dada, dan punggung. Akne Vulgaris
diketahui mempunyai empat dasar patogenesis yaitu hiperproliferasi folikel
pilosebasea, produksi sebum berlebih, keradangan, dan keberadaan
Propionibacterium acnes.

Pasien didiagnosis akne vulgaris grade sedang dengan inflamasi. Untuk


tatalaksana pasien yaitu antimikroba topical, retinoid topical, antibiotic oral. . Pada
pasien djuga diberikan edukasi berupa perawatan kulit, diet rendah lemak,hindari
tidur larut malam, istirahat yang cukup dan hindari paparan debu.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Layton AM. Disorders of the sebaceous glands. In: Burns T, Breathnach S,


Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Text Book of Dermatology. 8th ed.
Oxford: Willey-Blackwell; 2010. p. 42.1-89.
2. Sukanto H, Marodiharjo S, Zulkarnain I. Akne Vulgaris. Buku Pedoman
Diagnosis dan Terapi. Edisi ketiga. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSU Dr. Soetomo. Surabaya. 2005. h.115-8.
3. Zanglein AL, Graber EM, Thiboutott DM, Strauss JS. Acne vulgaris and
acneiform eruption. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th
ed. New York: McGraw Hill: 2008. p.690-702.
4. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.
5. Afriyanti RN. Akne Vulgaris Pada Remaja. J Majority. 2015, 4:102-9
6. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017.
7. Zaenglein AL, Pathy AL, Schlosser BJ, Alikhan A, Baldwin HE, Berson DS,
et al. Guidelines of care for the management of acne vulgaris. J Am Acad
Dermatol. 2016;74(5):945-73 e33.

19

Anda mungkin juga menyukai