Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dermatitis atopik adalah peradangan kulit yang melibatkan perangsangan berlebihan


limfosit T dan sel Mast. Histamin dari sel Mast menyebabkan rasa gatal dan eritema,
(Corwin, 2009). Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat kronik residif
yang dapat terjadi pada bayi, anak dan dewasa dengan riwayat atopi pada penderita atau
keluarga (Dharmadji, 2006).
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis dan residitif yang sering disertai oleh
kelainan atopik lain, seperti rhinitis alergika dan asma, manifestasi klinis dermatitis
atopik bervariasi menurut usia (Bieber, 2008). Dermatitis atopik (DA) merupakan
masalah kesehatan masyarakat utama diseluruh dunia dengan prevalensi pada anak-anak
10-20 %, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3 %. Dermatitis atopik lebih sering terjadi
pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1,5:1. Dermatitis atopik sering
dimulai pada awal masa pertumbuhan. 45 % kasus DA pada anak pertama kali muncul
dalam usia 6 bulam pertama, 60% muncul pada usia 1 tahun pertama dan 85% kasus
muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun.
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children, prevalensi
penderita DA pada anak bervariasi diberbagai negara. Prevalensi dermatitis atopik pada
anak di Iran dan China kurang lebih sebanyak 2%, di Australia, England dan Scandinavia
sebesar 20%. Prevalensi yang tinggi juga didapatkan dinegara Amerika Serikat yaitu
sebasar 17,2%. Data mengenai penderita dermatitis atopik pada anak di Indonesia
belumdiketahui secara pasti. Berdasarkan data di unit rawat jalan penyakit kulit anak
RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien dermatitis atopik mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Jumlah pasien DA baru yang berkunjung pada tahun 2006 sebanyak 116
pasien (8,14%) dan pada tahun 2007 sebanyak 148 pasien (11,05%) sedangkan tahun
2008 sebanyak 230 (17,65%).

1
B. Rumusan masalah
1. Bagaiamana konsep pembahasan dermatitis atopik?
2. Bagaimana asuhan keperawatan dermatitis atopic pada anak?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep pembahasan dan asuhan keperawatan terkait dengan
dermatitis atopik

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. PENGERTIAN
Dermatitis atopik adalah peradangan kulit yang melibatkan perangsangan berlebihan
limfosit T dan sel Mast. Histamin dari sel Mast menyebabkan rasa gatal dan eritema,
(Corwin, 2009).
Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat kronik residif yang dapat
terjadi pada bayi, anak dan dewasa dengan riwayat atopi pada penderita atau keluarga
(Dharmadji, 2006).
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis dan residitif yang sering disertai oleh
kelainan atopik lain, seperti rhinitis alergika dan asma, manifestasi klinis dermatitis
atopik bervariasi menurut usia (Bieber, 2008).

2. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama diseluruh
dunia dengan prevalensi pada anak-anak 10-20 %, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3
%. Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-
kira 1,5:1. Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan. 45 % kasus
DA pada anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulam pertama, 60% muncul pada usia
1 tahun pertama dan 85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun.
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children, prevalensi
penderita DA pada anak bervariasi diberbagai negara. Prevalensi dermatitis atopik pada
anak di Iran dan China kurang lebih sebanyak 2%, di Australia, England dan Scandinavia
sebesar 20%. Prevalensi yang tinggi juga didapatkan dinegara Amerika Serikat yaitu
sebasar 17,2%. Data mengenai penderita dermatitis atopik pada anak di Indonesia

3
belumdiketahui secara pasti. Berdasarkan data di unit rawat jalan penyakit kulit anak
RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien dermatitis atopik mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Jumlah pasien DA baru yang berkunjung pada tahun 2006 sebanyak 116
pasien (8,14%) dan pada tahun 2007 sebanyak 148 pasien (11,05%) sedangkan tahun
2008 sebanyak 230 (17,65%).

3. ETIOLOGI
a. Faktor Endogen
1) Sawar Kulit
Penderita DA pada umumnya memiliki kulit yang relatif kering baik di daerah lesi
maupun nonlesi, dengan mekanisme yang kompleks dan terkait erat dengan
kerusakan sawar kulit. Disebabkan karena hilangnya ceramide yang berfungsi
sebagai molekul utama pengikat air di ruang ekstra seluler stratum korneun.
Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan peningkatan transepidermal water
lost (TEWL), kulit akan makin kering dan merupakan port d’entry untuk
terjadinya penetrasi alergen, iritasi, bakteri dan virus.
2) Genetik
Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu terdapat DA dalam
keluarga. Jumlah penderita dikeluarga meningkat 50% apabila salah satu orang
tuanya DA, 75% bila kedua orang tuanya menderita DA.
3) Hipersensitivitas
Berbagai hasilpenelitian terdahulu membuktikan adanya peningkatan kadar IgE
dalam serum dan IgE dipermukaan sel Langerhans epidermis. Pasien DA bereaksi
positif terhadap berbagai alergen, misalnya terhadap alergen makanan 40-96%
DA bereaksi positif (pada food challenge test).
4) Faktor Psikis
Didapatkan antara 22-80% penderita DA menyatakan lesi DA bertambah buruk
akibat stres emosi.
b. Faktor Eksogen
1) Iritan

4
Kulit penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan, antara lain sabun
alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagi obat gosok untuk bayi dan
anak, sinar matahari dan pakaian wol (Boediardja, 2006).
2) Alergen
Penderita DA mudah mengalami terutama terhadap beberapa alergen,anatra lain:
1. Alergen hirup, yaitu debu rumah.
2. Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usis kurang dari 1 tahun
(mungkin karna usus yang belum bekerja sempurna).
3. Infeksi: infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi DA.
3) Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA,
misalnya asap rokok, polusi udara (nitrogen dioksida, sulfur dioksida), suhu yang
panas, kelembaban dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan
kekambuhan DA.

4. PATOFISIOLOGI PATHWAY DAN RESPON MASALAH KEPERAWATAN


a. Abnormalitas klinis
Alergi pernapasan umumnya berhubungan dengan DA pada usia dewasa (70%
pasien). Alergen yang paling sering ditemukan antara lain debu, serbuk sari, bulu
binatang, dan jamur. Alergi makanan cenderung terjadi pada bayi dan anak-anak
penderita DA, sejak usia 2 tahun kemudian diikuti dengan alergi inhalasi. (Helen,
2008). Susu sapi, telur, kacang dan kedelai adalah penyebab yang paling sering
ditemukan. (Sampson, 2004; Han, 2004) Agen mikroba terutama Staphylococcus
aureus berkoloni pada 90% lesi kulit DA. Karbohidrat protein dan glikolipid dari
mikroba – mikroba tersebut dapat berfungsi sebagai antigen asing yang terdapat
dalam molekul MHC klas I dan klas II dan eksotoksinnya juga dapat berfungsi
sebagai superantigen, semuanya dapat memperparah dermatitis. (Kang K, 2003;
Laonita, 2000)
b. Disfungsi sawar kulit
Pada penderita DA terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi
peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Adanya defek tersebut

5
mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau
hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan toleransi
dan hipersensitivitas sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya
terjadi peningkatan proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan
fungsi sawar kulit. Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan
merupakan bagian yang penting pada patogenesis DA. Perubahan kandungan lipid di
stratum korneum merupakan penyebab perubahan sawar kulit. Stratum korneum
menyusun sawar utama untuk difusi melewati kulit. Substansi itu terdiri dari
korneosit dan lipid, terutama ceramid, sterol dan asam lemak bebas. Ceramid
berperan menahan air dan fungsi sawar stratum korneum. Kadar ceramid pada
penderita DA rendah dan hal tersebut menyebabkan gangguan sawar kulit.
(Lawrence, 2003; Abramorvits, 2005; Wuthrich et al., 2007).
c. Imunopatologi
Ketidaknormalan imunologik termasuk disregulasi sel T, peningkatan kadar
IgE, dan penurunan jumlah IFN-g memegang peranan yang penting dalam
patofisiologi dari DA. (Blauvelt,2003) Sel Langerhans (SL) epidermis dan sel
dendritik dermis sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cell, APC) pada DA
dapat mengaktifkan sel T alergen spesifik melalui antibodi IgE alergen spesifik yang
terikat pada reseptor FcIgE. (Wollenberg and Bieber, 2000) Aktivasi sel T yang
berlebihan pada lesi kulit merupakan ciri khas dari DA. Sel T pada dermatitis atopik
akut akan mengeluarkan sitokin Th2 yang akan menginduksi respon lokal IgE untuk
menarik sel-sel inflamasi (limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan dan pengeluaran dari molekul adhesi. (Helen, 2008) Dermatitis atopik
kronik, juga terjadi peningkatan pengeluaran dari sitokin Th1 seperti IFN-g dan IL-12
yang akan memicu terjadinya infiltrasi dari limfosit dan makrofag. (Leung and Soter,
2001; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010).
Sel T menunjukkan peran sentral dalam proses terjadinya DA. Sel T
mempunyai subpopulasi yang berperan dalam terjadinya DA, yaitu Th1 dan Th2.
Perkembangan sel T menjadi sel Th2 dipacu oleh IL-10 dan Prostaglandin (PG)E. Sel
Th2 mengeluarkan IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Interleukin 4, IL-5 dan
IL-13 menyebabkan peningkatan level IgE dan eosinofil serta menginduksi molekul

6
adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit. Sel Th1 menginduksi
produksi IL-1, IFN-g, dan TNF, mengaktivasi makrofag dan memperantarai reaksi
hipersensivitas tipe lambat. IFN-g akan menghambat proliferasi sel Th2, ekspresi IL-
4 pada sel T, dan produksi IgE. (Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010).
Infiltrat seluler yang terbanyak pada lesi DA akut, adalah sel T CD4+ yang
mengeluarkan sel T memori dan homing reseptor cutaneous lymphocyte-associated
antigen (CLA). Sel T ini akan menyebabkan peningkatan IL-4, IL-5 dan IL-13,
dimana IL-4 dan IL-13 berperan penting dalam menginduksi molekul adhesi yang
akan menarik sel-sel inflamasi kedalam kulit. (Boguniewicz and Leung, 2000).
d. Imunoregulasi cell mediated
Sel-sel langerhans (SL) monosit/magrofag, limfosit, eosinofil, sel mast/basofil
dan keratinosit adalah tipe-tipe sel utama yang berperan aktif dalam imunoregulasi
DA. Sel langerhans adalah sel dendritik penghasil antigen (APC) yang terdapat dalam
dermis. Pada kulit normal, terjadi kompartementalisasi fenotip SL. SL epidermal
adalah CD1a, CD1b+ dan CD36-. Namun dalam kulit lesi DA SL dermal dan
epidermal mengeluarkan CD1a dan b serta CD38, CD32 dan FcεR1 dalam jumlah
besar. SL tersebut disebut sebagai sel-sel epidermal dendritik inflamasi. Fcε R1
adalah reseptor IgE berafinitas tinggi yang ekspresi rata-ratanya meningkat pada SL
penderita DA. Pengaruh fungsional kelainan fenotip ini belum dipahami dengan jelas,
namun SL diduga berhubungan dengan peningkatan aktivitas produksi antigen
terhadap sel T autoreaktif (Kang K, 2003).
Kelainan Imunologi yang utama pada DA berupa pembentukan IgE yang
berlebihan, sehingga memudahkan terjadinya hipersensitivitas tipe I dan gangguan
regulasi sitokin. Terdapat 2 fase partisipasi IgE dalam menimbulkan suatu respon
inflamasi pada DA yaitu : (Spergel and Schneider, 1999; Arshad, 2002; Beltrani and
Boguneiwicz, 2004).
a. Early phase reaction (EPR), terjadi 15-60 menit setelah penderita berhubungan
dengan antigen, dimana antigen ini akan terikat IgE yang terdapat pada
permukaan sel mast dan akan menyebabkan pelepasan beberapa mediator kimia
antara lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan kulit.

7
b. Late phase reaction (LPR), terjadi 3-4 jam setelah EPR, dimana terjadi ekspresi
adhesi molekul pada dinding pembuluh darah yang diikuti tertariknya eosinofil,
limfosit, monosit pada area radang, mekanismenya terjadi karena peningkatan
aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3 ,IL-4, IL-5, IL-13, GM-CSF yang
menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B membentuk IgE dan
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi tidak terjadi
peningkatan Th1.
Garukan dapat menyebabkan rangsangan pada keratinosit untuk mensekresi
sitokin yang menyebabkan migrasi Th 2 ke kulit (Spergel and Schneider, 1999).

5. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi sekunder oleh virus dan bakteri,
septikemi, diare dan pneumonia. Gangguan metabolik mengakibatkan suatu resiko
hipotermia, dekompensasi kordis, kegagalan sirkulasi perifer dan trombophlebitis. Bila
pengobatan kurang baik, akan terjadi degenerasi visceral yang menyebabkan kematian.

6. GEJALA KLINIK
1. Pruritus
2. Ruam pada bayi
3. Eritema
4. Kulit merah, bersisik, tebal dan kasar
5. Krusta/eksim
6. Nyeri
7. Hiperpigmentasi
Temuan kulit bergantung pada stadium penyakit:
1) Akut: erosi dengan eksudat serosa atau ruam papular yang sangat gatal dan vesikel
pada dasar eritematosa.
2) Subakut: lesi ditandai dengan skala atau plakat diatas kulit eritematosa.
3) Kronis: lesi dikenali oleh kehadiran likenifikasi dan perubahan pigmen dengan
ekskoriasi papula dan nodul. Lesi sekunder mungkin terinfeksi akibat garukan. Lesi

8
yang terinfeksi hadir dengan krusta berwarna kuning atau impetigo atau sekeliling
karakteristik eritema selulitis.
Dermatitis atopik dapathadir dalam manifestasi lain seperti:
1) Iktiosis vulgaris, yang muncul pada telapak tangan dan telapak hiperlinear,
terutama pada kaki bagian bawah;
2) Keratosis pilaris, papula folikuler tanpa gejala terangsang permukaan ekstensor dari
pantat lengan atas dan paha anterior;
3) Xerosis atau kulit kering, yang mengarah pada kecenderungan untuk retak dan
fissuring dan terjadi peningkatan kerentanan terhadapiritasi dan infeksi;
4) Keratoconus (kornea berbentuk kerucut), pada kasus berat, yang memerlukan
transplantasi kornea selanjutnya;
5) Temuan periokular, yang meliputi hiperpigmentasi periorbital, lipatan infraorbital
yang menonjol, katarak subkapsuler anterior, sementara katarak posterior biasanya
merupakan efek samping dari kortikosteroid oral atau steroid topikal digunakan
dalam daerah periorbital.
Karakteristik terkait lainnya termasuk eritem wajah, pucatperioral, dan pitriasis
alba.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Darah perifer: ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar IgE
2) Dermatografisme putih: penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga
respons, yakni berturut-turut akan terlihat garis merah ditempat penggoresan selama
15 detik, warna merah diskitarnya selama bebrapa detik,dan edema timbul sesudah
beberapa menit. Pada pasien atopik, garis merah tidak disusul warna kemerahan,
tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit dan edema tidak timbul.
3) Percobaan asetilkolin: suntikan secara intrakutan solusio asetilkolin 1/5000 akan
menyebabkan hiperemia pada orang normal. Pada orang dengan DA akan timbul
vasokonstriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam.
4) Percobaan histamin: jika histamin disuntikan pada lesi, eritema akan berkurang
dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut disuntikan parenteral,
tampak eritema bertambah pada kulit normal.

9
5) Darah : Hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, elektrolit, protein total, albumin,
globulin
6) Urin : pemerikasaan histopatologi

8. PENATALAKSANAAN
a. Non-Farmakologi
1) Hindari iritan atau allergen
2) Hindari garukan atau trauma lain pada kulit
3) Kompres dingin untuk menghindari peradangan
4) Hindari vaksinasi cacar
Penghindaran faktor alergen pada bayi berumur kurang dari l tahun akan
mengurangi beratnya gejala. DA. Maka dianjurkan agar bayi dengan riwayat
keluarga alergi memperoleh hanya ASI sediIkitnya 3 bulan, bila mungkin 6 bulan
pertama dan ibu yang menyusui dianjurkan untuk tidak makan telur, kacang tanah,
terigu, dan susu sapi. Susu sapi diduga merupakan alergen kuat pada bayi dan anak,
maka bagi mereka yang jelas alergi terhadap susu dapat dipergunakanbangkan
untuk menggantinya dengan susu kedelai, walaupun kemungkinan alergi terhadap
susu kedelai masih ada. \60% penderita DA di bawah usia 2 tahun memberikan
reaksi positif pada uji kulit terhadap telur, susu, ayam, dan gandum. Reaksi positif
ini akan menghilang dengan bertambahnya usia. Walaupun pada uji kulit positif
terhadap antigen makanan tersebut di atas, belum tentu mencerminkan gejala
klinisnya. Demikian pula hasil uji provokasi, sehingga membatasi makanan anak
tidak selalu berhasil untuk mengatasi penyakitnya. Pengobatan bayi dan anak
dengan dermatitis atopik harus secara individual dan didasarkan pada keparahan
penyakit. Sebaiknya strategi terapeutik dibagi menjadi strategi yang ditujukan
untuk pengobatan ruam dan strategi untuk pencegahan penyakit yang akan datang.
Orangtua cenderung lebih berfokus pada identifikasi penyebab. Namun,
mengetahui salah satu atau beberapa faktor lingkungan yang bila dihilangkan akan
memberikan harapan penyembuhan jarang terjadi. Sebaliknya, sebaiknya pikirkan
keadaan tersebut sebagai salah satu sensivitas kulit yang diwariskan. Pada
sensitivitas tersebut, berbagai faktor yang mempercepat, seperti kulit kering

10
(xerosis), panas, infeksi, alergen spesifik, iritan lokal atau keadaan psikkologis,
dapat menyebabkan berbagai tingkat kekambuhan penyakit. (Abraham M. Rudolph,
dkk, 2006).

b. Farmakologi
1) Pemberian antihistamin untuk mengontrol rasa gatal
2) Steroid topikal dosis rendah untuk mengurangi peradangan dan memungkinkan
penyembuhan
3) Krim emollient
4) Cuci dengan larutan garam faal atau koloid “oatmeal”.

11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK

1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Identitas: dapat terjadi pada semua usia. Wanita lebih tinggi dibandingkan pria.
b. Keluhan utama: pruritus, eritema, nyeri, susah tidur
c. Riwayat penyakit sekarang: pada usia 2 bulan- 2 tahun terdapat eritema berbatas
tegas, disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, bersifat erosif, eksudatif, dan
berkrusta. Usia 3-10 tahun lesi tidak eksudatif lagi, sering disertai hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, dan hipopigmentasi. Sedangkan pada usia > 13 tahun, lesi selalu
kering dan dapat diserta likenifikasi dan hiperpigmentasi. Selain itu, pruritus hebat
menyebabkan penggarukan terus-menerus mengakibatkan eksematosa.
d. Riwayat penyakit dahulu: Tanyakan adanya riwayat dengan asma, hayfever, dan
rhinitis kronik terutama anak-anak. Adanya alergi terhadap berbagai alergen,
misalnya iritasi kulit oleh wol, air, sabun yang keras.
e. Riwayat penyakit keluarga: adanya penyakit atopik pada keluarga
f. Pengkajian psikologi: keadaan stres dapat memicu keparahan dermatitis atopik.
Anak-anak sering mengalami ketidaknyamanan sehingga rewel.
g. Pengkajian lingkungan : adanya perubahan cuaca, kelembaban yang cukup.
Lingkungan yang berdebu dapat sebagai alergen.
 ADL :
 Nutrisi : kaji diet yang berhubungan dengan eksaserbasi penyakit.
Biasanya anak-anak mengalami gangguan tumbuh kembang akibat dari
pemasukan nutrisi yang tidak adekuat. Ketidaknyamanan dari adanya lesi
membuat anak rewel sehingga menyebabkan gangguan pemasukan nutrisi
(makanan maupun minuman).

12
 Eliminasi : biasanya tidak ditemukan masalah
 Hygiene : kebersihan diri pada awalnya harus dikaji, karena kebersihan diri
yang kurang juga sebagai salah satu predisposisi untuk dermatitis atopik.
 Aktivitas : dapat tergantung pada distribusi lesi yang ada.

h. Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan persistem
 B1 (Breathing): pneumonia.
 B2 (Blood): septikemi, hipotermia, dekompensasi kordis, trombophlebitis.
 B3 (Brain): nyeri (pruritus).
 B4 (Bladder)
 B5 (Bowel): diare.
 B6 (Bone): pruritus, kulit kering, pitriasis, ruam, eritema, eksim/krusta,
hiperpigmentasi.

ANALISA DATA:

DATA ETIOLOGI MASALAH


KEPERAWATAN
1. Endogen, bahan iritan Ganguan integritas kulit
DS: - Dermatitis atopic berhubungan dengan bahan
DO: ig E meningkat kimia iritatif
nyeri pelepasan histamine

13
Kemerahan terjadi reaksi antigen-antibodi
Ttv pelepasan mediator kimiawi
terlambat
pruritis
kerusakan integritas kulit

2. Endogen bahan iritan Nyeri akut berhubungan


Ds: Dermatitis atopic dengan agen pecendera
Mengeluh nyeri ig E meningkat kimiawi
Do: pelepasan histamine
Tampak meringis terjadi reaksi antigen-antibodi
Gelisah pelepasan mediator kimiawi
Sulit tidur terlambat
Ttv pruritis
nyeri akut

3. Ds: Endogen bahan iritan Gangguan pola tidur


Mengeluh sulit tidur Dermatitis atopic berhubungan dengan nyeri
Mengeluh sering terjaga ig E meningkat
Do: pelepasan histamine
Ttv terjadi reaksi antigen-antibodi
pelepasan mediator kimiawi
terlambat
pruritis
gangguan pola tidur

14
Intervensi:

No Diagnose Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan


keperawatan
1. Gangguan Tujuan: Setelah melakukan Observasi:
integritas kulit tindakan keperawatan 1×24 1. Identifikasi
jam di harapkan agar penyebab gangguan
integritas kulit dan jaringan integritas kulit
meningkat Terapeutik:
Kriteria hasil: 1. Ubah posisi tiap 2
1. Nyeri menurun jam jika tirah baring
2. Kemerahan 2. Gunakan produk
3. Suhu kulit membaik berbahan petrolium
atau minyak pada
kulit kuring
3. Gunakan produk
berbahan ringan /
alami dan
hipoalergik pada
kulit sensitive
Edukasi:
1. Anjurkan
menggunakan
pelembab
2. Anjurkan minum air
yang cukup
3. Anjurkan mandi dan

15
menggunakan sabun
secukupnya

2. Nyeri Tujuan: setelah diberikan Managemen nyeri


asuhan keperawatan 1×24 Observasi:
jam di harapkan tingkat 1. Identifikasi
nyeri menurun. lokasi,karakteristik,
durasi,frekuensi,
Kriteria hasil: kualitas dan intensitas
1. Keluhan nyeri menurun nyeri
2. Gelisah Menurun 2. Identifikasi skala
3. Kesullitan tidur nyeri
menurun 3. Identifikasi respon
nyeri non verbal
Terapeutik:
1. Berikan tekhnik non
farmakologis untuk
mengurangi nyeri
Edukasi:
1. Jelaskan
penyebab,periode,pe
micu nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
pemberian analgetik
(jika perlu )

3. Gangguan pola Tujuan: setelah diberikan Observasi :

16
tidur asuhan keperawatan 1×24 1. Identfikasi pola
jam di harapkan pola tidur aktivitas dan tidur
membaik . 2. Identifikasi factor
penganggu tidur
Kriteria hasil: Terapeutik:
1. Keluhan sulit tidur 1. Modifikasi
menurun lingkungan tetapkan
2. Keluhan sering jadwal tidur rutin
terjaga menurun 2. Fasilitasi
menghindari stress
sebelum tidur
Edukasi:
1. Jelaskan pentingnya
tidur cukup selama
sakit
2. Anjurkan
menghindari
makanan /minuman
yang menganggu
tidur

17
Implementasi dan evaluasi keperawatan:

No Implementasi Evaluasi
1. 1. Mengidentifikasi penyebab S: subyektif
gangguan integritas kulit
O: obyektif
2. Mengubah posisi tiap 2 jam
A: assistment
jika tirah baring
3. Menggunakan produk P: planning
berbahan petrolium atau
minyak pada kulit kuring
4. Menganjurkan menggunakan
pelembab
5. Menganjurkan minum air yang
cukup
6. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya

1. Mengidentifikasi
2.
lokasi,karakteristik,
durasi,frekuensi, kualitas dan
intensitas nyeri
2 Mengidentifikasi skala nyeri
3 Mengidentifikasi respon nyeri
non verbal
4 Memberikan tekhnik non
farmakologis untuk mengurangi
nyeri

18
5 Menjelaskan
penyebab,periode,pemicu nyeri
6 Menjelaskan strategi meredakan
nyeri

1. Mengidentfikasi pola aktivitas


3.
dan tidur
2. Mengidentifikasi factor
penganggu tidur
3. Memfasilitasi menghindari
stress sebelum tidur
4. Menjelaskan pentingnya tidur
cukup selama sakit
5. Menganjurkan menghindari
makanan /minuman yang
menganggu tidur

19
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dermatitis atopik adalah peradangan kulit yang melibatkan perangsangan


berlebihan limfosit T dan sel Mast. Histamin dari sel Mast menyebabkan rasa gatal
dan eritema, (Corwin, 2009). Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat
kronik residif yang dapat terjadi pada bayi, anak dan dewasa dengan riwayat atopi
pada penderita atau keluarga (Dharmadji, 2006). Etiologi karna factor eksogen ,
endogen, allergen dan lingkungan. Dan patofisologi Abnormalitas klinis, Disfungsi
sawar kulit, Imunopatologi, Imunoregulasi cell mediated. Komplikasi Komplikasi
yang sering terjadi adalah infeksi sekunder oleh virus dan bakteri, septikemi, diare
dan pneumonia.gejala klinik Pruritus Ruam pada bayi,Eritema,Kulit merah, bersisik,
tebal dan kasar,Krusta/eksim,Nyeri dan Hiperpigmentasi. Sedangkan pemeriksaan
diagnostik: Darah perifer: Dermatografisme putih, Percobaan asetilkolin,Percobaan
histamin,darah da urine.penatalaksanaanya ada yang farmakologi dan non
farmakologi dan asuahan keperawatan dermatitis atopic pada anak.

B. Saran
Dengan melihat pembahasan dan asuhan keperawatan pada dermatitis atopik
maka kita harus menyadari betapa pentingnya untuk menjaga kesehatan mulai dari hal-
hal yang kecil dan agar tidak mengalami dermatitis atopic.

20
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. 2009. Patofisiologi. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Saputra, Lyndon. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Klinik. Tangerang: Binarupa


Aksara

Brahmana, Annette Regina. 2010. Gambaran Dermatitis Atopik di Poliklinik Kulit


dan Kelamin RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008. Sumatera Utara.
Putri, Intan Permata. 2012. Gambaran Kelainan Kulit pada Pasien Dermatitis
Atopik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011.
Sumatera Utara.

21

Anda mungkin juga menyukai