Dermatitis merupakan penyakit kulit yang bersifat akut, sub-akut, atau kronis yang disebabkan adanya
peradangan pada kulit. Penyakit ini terjadi karena adanya faktor eksogen dan endogen. Tanda adanya
kelainan klinis berupa polimorfik dan keluhan gatal pada kulit. Terdapat dua macam dermatitis,
diantaranya adalah dermatitis kontak dan dermatitis atopik.
Dermatitis atopic adalah penyakit kulit kronik relaps yang terjadi umumnya pada anak-anak
tapi dapat juga terjadi pada orang dewasa. Dermatitis atopik dibagi menjadi tiga tahap:
dermatitis atopik infantil, yang terjadi pada bayi baru lahir sampai dua tahun; dermatitis atopik
pada anak, usia 2 tahun sampai 11 tahun; dan dermatitis atopic pada orang dewasa.
Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat kronik residif yang dapat terjadi pada bayi, anak
dan dewasa dengan riwayat atopi pada penderita atau keluarganya. Dermatitis atopik (DA) sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum. Kelainan kulit berupa papul gatal, yang
kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi dengan distribusi di lipatan (fleksural).
Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia dengan
prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3. Dermatitis atopik sering
dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic). 45% kasus dermatitis atopik pada
anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan
85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun. 7 Lebih dari 50% anak-anak yang terkena
dermatitis atopik pada 2 tahun pertama tidak memiliki tanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi
jauh lebih peka selama masa dermatitis atopic. Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita dermatitis
atopik anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi
pada saat dewasa (late onset dermatitis atopic), dan pasien ini dalam jumlah yang besar tidak ada
tandatanda sensitisasi yang dimediasi oleh IgE Menurut International Study of Asthma and Allergies in
Children, prevalensi penderita dermatitis atopik pada anak bervariasi di berbagai negara.
Patofisiologi
a. Dermatitis atopik (DA) dikaitkan dengan gangguan penghalang epitel kulit dan
peradangan alergi pada kulit pejamu yang latar belakang genetiknya menghasilkan
kecenderungan untuk atopi. Dermatitis atopik, bersama dengan alergi makanan hadir
pada tahun-tahun pertama kehidupan dan merupakan langkah awal dalam ‘pawai atopik’.
Pengubah lingkungan yang luas yang ditandai dengan buruk tampaknya penting untuk
pengembangan dermatitis atopik pada anak-anak yang rentan secara genetik. Bagian ini
akan meninjau cacat pada jalur yang mendasar untuk perkembangan AD pada manusia,
termasuk gangguan penghalang dan disregulasi imun. Fokusnya adalah untuk
mengungkapkan pola dalam patogenesis awal AD yang memandu strategi pengobatan
dan yang menyarankan target untuk terapi baru.
b. Genetika
Studi konkordansi kembar menunjukkan bahwa faktor genetik adalah penentu utama
untuk pengembangan dermatitis atopik, dengan perkiraan kontribusi genetik untuk
penyakit menjadi sekitar 80%. Meskipun temuan ini, jalur cacat umum yang
menimbulkan fenotipe klinis dari AD di host manusia belum diidentifikasi. Studi asosiasi
genom-lebar telah mengidentifikasi sejumlah lokus kerentanan genetik pada pasien
dengan AD. Banyak lokus kerentanan yang diperkaya dalam populasi AD berada di
dalam atau di dekat gen yang penting untuk imunitas bawaan, peradangan yang dimediasi
Th2, dan fungsi sawar kulit, menyoroti pentingnya jalur ini dalam patogenesis AD.
Sejumlah kecil sindrom atopik genetik yang diturunkan, yang termasuk dalam diagnosis
banding DA umum, telah dicirikan yang telah menjelaskan patogenesis penyakit ini.
Hilangnya integritas sawar kulit tampaknya penting untuk perkembangan DA; beberapa
penyakit genetik yang mempengaruhi fungsi sawar kulit telah dijelaskan, termasuk
sindrom Netherton dan sindrom Peeling kulit, tipe b, yang semuanya memiliki ciri-ciri
peradangan alergi. Dalam hubungannya dengan disfungsi penghalang, hampir setiap garis
keturunan sel imun memiliki peran yang terlibat dalam imunopatogenesis DA, dengan
populasi tertentu seperti sel T CD4+ jelas diperlukan untuk perkembangan penyakit.
Omenn syndrome RAG1/21 Lymphopenia; “leaky” SCID; oligoclonal Tcell expansion; thymus present
oligoclonal
T cells
Skin Barrier Defects Icthyosis vulgaris FLG Impaired skin hydrationPalmar hyperlinearity; keratosis pilaris
and barrier maintenance
Kulit yang tidak terpengaruh secara klinis pada pasien dermatitis atopik mengalami
peningkatan jumlah sel T-helper tipe 2 (Th2) dibandingkan dengan kulit pada pasien
tanpa dermatitis atopik. Peningkatan kadar interleukin (IL)-4 dan IL-13 (sitokin Th2)
terlihat pada lesi kulit dermatitis atopik akut, sedangkan lesi dermatitis atopik kronis
menunjukkan peningkatan ekspresi IL-5 (sitokin Th2) dan IL-12 dan interferon
(IFN). )-γ (sitokin Th1). Lesi dermatitis atopik kronis juga menunjukkan infiltrasi
eosinofil yang lebih besar dibandingkan dengan kulit pada pasien tanpa dermatitis
atopik.
IL-4 meningkatkan diferensiasi sel T-helper sepanjang jalur Th2, dan IL-13 bertindak
sebagai chemoattractant bagi sel Th2 untuk menginfiltrasi lesi dermatitis atopik. IL-13
juga dapat secara langsung menginduksi ekspresi IL-5 dan infiltrasi eosinofil, sehingga
memfasilitasi transisi dari lesi akut menjadi lesi kronis.
Selain itu, pasien dengan dermatitis atopik tampaknya mengalami penurunan kadar
molekul penghalang kulit secara signifikan dibandingkan dengan kontrol normal. Lipid
ceramide di stratum korneum, yang bertanggung jawab untuk retensi air dan fungsi
permeabilitas, dan protein penghalang kulit seperti filaggrin diekspresikan pada tingkat
yang jauh lebih rendah pada kulit pasien dengan dermatitis atopik dibandingkan
dengan kulit pasien tanpa dermatitis atopik.
Bukti signifikan mendukung hipotesis kebersihan untuk pengembangan dermatitis atopik.
Hubungan terbalik diakui antara infeksi cacing dan dermatitis atopik tetapi tidak ada
patogen lain. Selain itu, perawatan dini hari, endotoksin, susu peternakan yang tidak
dipasteurisasi, dan paparan hewan tampaknya bermanfaat, kemungkinan karena
peningkatan paparan mikroba nonpatogen secara umum.
Hubungan positif ditunjukkan antara pajanan ibu terhadap peningkatan konsentrasi
materi partikulat dan dermatitis atopik.
Cacat Barrier di Kulit Sejumlah protein berkontribusi pada struktur dan fungsi utama
kulit sebagai penghalang – mencegah kehilangan air dan menghambat penetrasi iritasi,
imunogen, dan patogen, terutama Staphylococcus aureus. Mutasi yang merusak pada
gen yang penting untuk fungsi sawar normal kulit telah terbukti sangat terpisah dengan
bentuk awal dan parah dari dermatitis atopik dan iktiosis, biasanya terkait dengan
peningkatan kadar IgE serum total. Di antaranya adalah mutasi pada filaggrin (FLG),
desmoglein-1 (DSG1), corneodesmosin (CDSN) dan serin protease inhibitor Kazal-
type 5 (SPINK5).
B. Fototerapi
Sinar matahari memberikan keuntungan pada pasien DA sepanjang sunburn dan keringat
berlebihan dihindari. Banyak modalitas fototerapi yang efektif untuk DA, seperti
ultraviolet A-1 (UV-A1) (340-400 nm), ultraviolet B (UV-B), ultraviolet B spektrum
sempit (311 nm), dan ultraviolet A dengan psoralen (PUVA). Fototerapi digunakan
sebagai terapi lini kedua, setelah terapi lini pertama tidak berhasil. Terapi maintenance
juga biasanya memerlukan fototerapi supaya lebih efektif untuk DA kronik. UV-B
spektrum sempit dan UV-A1 paling sering digunakan sebagai modalitas terapi DA berat
baik pada anak dan dewasa. Mekanisme fototerapi dalam DA masih belum diketahui
secara jelas, namun terdapat efek berupa imunosupresif lokal dan antiinflamasi yang
berperan penting. Efek imunomodulator fototerapi terjadi melalui induksi apoptosis sel-T,
penurunan jumlah sel dendritik, dan ekspresi sitokin interleukin (IL-5, IL-13, IL-31) setelah
terapi dengan UV-A1. Selain itu, UV-B juga dapat menurunkan jumlah kolonisasi S.
aureus pada pasien DA. Studi menunjukkan perbaikan klinis yang signifikan pada kasus
DA dalam 2 minggu pertama dengan penggunaan fototerapi. Efek fototerapi akan segera
menghilang saat terapi dihentikan, hal ini mengindikasikan penggunaan fototerapi baik
digunakan saat eksaserbasi akut.
2
Fototerapi UV-A1 medium dose (50 J/cm ) dapat digunakan untuk mengontrol reaksi
akut, sedangkan UV-B spektrum sempit (penggunaan dua kali per minggu selama empat
minggu dilanjutkan satu kali per minggu selama empat minggu berikutnya dan UV-A1
dosis besar digunakan untuk dermatitis atopi kronik. Penggunaan fototerapi secara umum
sulit dan dapat menimbulkan respon stress pada anak kurang dari 8 tahun. Efek samping
penggunaan fototerapi jangka pendek dapat menyebabkan eritema, nyeri pada kulit, gatal
dan pigmentasi.
Efek samping jangka panjang dapat menjadi predisposisi lesi kanker pada kulit. Fototerapi
lebih dipilih digunakan pada dewasa dan anak usia di atas 12 tahun dengan DA
rekalsitran
C. Terapi Topikal
Pasien dengan dermatitis atopik memiliki barier kulit yang tidak normal. Hal tersebut
ditandai dengan adanya peningkatan kehilangan air secara transepidermal, sehingga
menyebabkan menurunnya kadar air dalam kulit. Efek tersebut akan menyebabkan kulit
menjadi kering (xerosis) dan pembentukan mikrofisura. Mikrofisura dan kerusakan kulit ini
merupakan
tempat masuknya patogen kulit, iritan, dan alergen. Mutasi dari gen filaggrin merupakan
salah satu faktor pencetus terjadinya penurunan faktor kelembaban alami pada lapisan
epidermal pasien DA. Contoh terapi hidrasi yang dapat dilakukan untuk mengembalikan
kelembaban kulit, antara lain adalah dengan mandi atau berendam dengan menggunakan
air hangat selama 10 menit. Hal ini dapat dikombinasikan dengan penggunaan emolien
atau medikasi topikal. Pelembab yang dapat digunakan tersedia dalam beberapa bentuk,
seperti losion, krim, atau salep. Terapi topikal akan menggantikan lipid yang abnormal
pada lapisan epidermal, mengembalikan kelembaban kulit, dan memperbaiki kerusakkan
barrier kulit. Jenis pelembab yang digunakan dapat mengandung humektan, emolien dan
oklusif atau yang mengandung bahan fisiologis, seperti lipid, seramid, dan Natural
Moisturizing Factor (NMF).
Terapi hidrasi lain yang dapat digunakan berupa wet dressings. Selain membantu dalam
proses hidrasi, wet dressings dapat mencegah kulit dari gesekan, sehingga mempercepat
waktu penyembuhan dari lesi. Wet dressings lebih direkomendasikan penggunaannya pada
kasus-kasus dermatitis kronik yang berat dan yang mengalami refrakter pada terapi. Wet
dressings dapat digunakan selama 24 jam dan dapat diulang beberapa kali dalam waktu
dua minggu. Hal yang perlu diperhatikan dari penggunaan wet dressings adalah dapat
menyebabkan terjadinya maserasi dari kulit, sehingga penggunaan wet dressings
memerlukan pengawasan ketat.
Terapi-terapi hidrasi tersebut sebaiknya dikombinasikan dengan penggunaan emolien
agar mencegah kemungkinan terjadi kulit kering dan fisura. Kombinasi dari penggunaan
emolien dan terapi hidrasi yang efektif dapat membantu mengembalikan barier dari lapisan
stratum korneum dan menurunkan angka penggunaan glukokortikoid topikal. Terapi
dengan menggunakan glukokortikoid topikal merupakan terapi yang digunakan untuk
mengendalikan kondisi eksaserbasi akut dari DA. Hal ini disebabkan oleh karena efek
samping yang dari penggunaan glukokortikoid topikal. Glukokortikoid topikal poten tidak
dianjurkan untuk digunakan di beberapa daerah tubuh, seperti wajah, genitalia, dan lipatan
tubuh.
Efek samping yang ditimbulkan juga timbul berdasarkan tingkat potensi dari
glukokortikoid topikal yang digunakan dan lama waktu pemakaian. Efek samping dari
glukokortikoid dapat dikategorikan menjadi efek samping lokal dan sistemik yang
disebabkan oleh penekanan pada hipotalamic-pituitary-adrenal glukokortikoid topikal di
daerah lesi dan emolien di daerah kulit yang sehat. Studi yang telah dilakukan sebelumnya
mendapatkan hasil bahwa penggunaan glukokortikoid topikal (krim betametasone valerat
0,1%) dan inhibitor kalsineurin topikal (krim pimekrolimus 1%) memberikan hasil yang
baik ketika diaplikasikan pada lesi DA. Terdapat tujuh tingkat dari glukokortikoid topikal
berdasarkan potensi untuk membuat efek vasokonstriksi dan anti-inflamasi. axis (HPA-
axis).
Efek samping lokal berupa adanya striae, atrofi kulit, dermatitis perioral, akne rosasea,
dan lain-lain. Glukokortikoid topikal poten memiliki efek penekanan kelenjar adrenal yang
lebih berat pada kelompok bayi dan anak-anak. Glukokortikoid topikal yang dapat
digunakan pada anak-anak dan telah disetujui oleh US Federal Drug Administration
(FDA) adalah desonide hydrogel, non-ethanolic foam, fluocinolon acetonid oil, dan krim
flutikason 0.05%. Krim dan salep mometasone disetujui untuk anak-anak berusia diatas 2
untuk lesi flare DA derajat ringan dan derajat sedang-berat pada bayi dan anak-anak.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan DA terdapat disregulasi
sistem imun pada kulit yang normal, sehingga glukokortikoid dengan potensi rendah dapat
dijadikan sebagai terapi rumatan. Glukokortikoid topikal dapat digunakan sebanyak dua
kali sehari sampai tiga hari setelah terjadi resolusi. Penggunaan pelembab untuk
mengurangi kulit kering dan aplikasi kortikosteroid topikal untuk mengontrol inflamasi
merupakan metode paling efektif untuk mengontrol rasa gatal pada pasien dengan DA.
Terapi topikal lain yang dapat digunakan dalam kasus DA adalah inhibitor kalsineurin.
Takrolimus dan pimekrolimus merupakan imunomodulator nonsteroid. Salep takrolimus
0.03% telah disetujui oleh FDA untuk tatalaksana intermiten dari DA derajat sedang
sampai berat pada anak-anak berusia diatas dua tahun. Krim pimekrolimus 1% juga telah
disetujui untuk DA derajat ringan sampai sedang pada anak-anak berusia diatas dua
tahun. Takrolimus dan pimekrolimus terbukti efektif dan aman digunakan untuk anak-anak.
Salep takrolimus dapat digunakan jangka panjang hingga empat tahun, sedangkan krim
pimekrolimus dapat digunakan sampai jangka waktu dua tahun. Efek samping dari
takrolimus yang paling sering terjadi adalah berupa sensasi terbakar sementara pada kulit.
D. Terapi Sistemik
Defisiensi vitamin-D sering bersamaan dengan DA yang berat. Vitamin-D meningkatkan
fungsi proteksi kulit, mengurangi kebutuhan kortikosteroid dalam mengontrol inflamasi,
dan memperbaiki fungsi antimikrobial kulit. Pasien dengan DA mendapatkan keuntungan
dari konsumsi suplemen vitamin-D, terutama bagi mereka yang mempunyai kadar rendah
atau asupan vitamin-D kurang. Antihistamin sistemik bekerja dengan menghambat
reseptor histamin (H-1) di jaringan dermis, sehingga mengurangi rasa gatal akibat
induksi oleh histamin. Hal tersebut menurunkan frekuensi garukan yang dapat
memperburuk kondisi penyakit. Histamin
hanya salah satu dari banyak mediator yang dapat menginduksi rasa gatal di kulit,
sehingga pasien akan mendapatkan manfaat minimal dari terapi antihistamin. Rasa gatal
biasanya memberat pada malam hari, sehingga penggunaan antihistamin sedatif
(hydroxyzine, diphenhydramine, chlorpheniramine) dapat memberikan keuntungan dari
efek sampingnya ketika digunakan saat malam hari.
Penggunaan intermiten antihistamin sedatif pada pasien usia di atas enam bulan
memberikan keuntungan dengan mengurangi rasa gatal pada malam hari. Efek penggunaan
antihistamin sedatif dapat mempengaruhi performa anak di sekolah, sehingga
penggunaan antihistamin non-sedatif lebih disarankan. Penggunaan antihistamin non-
sedatif tidak dianjurkan secara rutin untuk DA tanpa adanya urtikaria atau rinitis alergi.
Meskipun demikian, antihistamin non-sedatif memiliki keunggulan, yaitu dapat
mencegah migrasi sel inflamasi. Dosis antihistamin yang digunakan, antara lain
hydroxyzine 1-2 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis, sehingga penggunaan antihistamin
non-sedatif lebih disarankan. Penggunaan antihistamin non-sedatif tidak dianjurkan secara
rutin untuk DA tanpa adanya urtikaria atau rinitis alergi. Meskipun demikian,
antihistamin non-sedatif memiliki keunggulan, yaitu dapat mencegah migrasi sel
inflamasi. Dosis antihistamin yang digunakan, antara lain hydroxyzine 1-2 mg/kg/hari
dibagi dalam 2-3 dosis, chlorpheniramine 0.35 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis, serta
cetirizine 2.5-5 mg dua kali sehari. Penggunaan antihistamin topikal tidak
direkomendasikan untuk mengurangi rasa gatal pada DA, karena dapat menyebabkan
iritasi dan dermatitis kontak alergi (DKA).Obat imunosupresan sistemik pada kasus DA
merupakan obat pilihan terakhir. Penggunaan terapi imunosupresif sistemik pada DA
diindikasikan pada kejadian antara lain, DA chlorpheniramine 0.35 mg/kg/hari dibagi
dalam 2-3 dosis, serta cetirizine 2.5-5 mg dua kali sehari. Penggunaan antihistamin topikal
tidak direkomendasikan untuk mengurangi rasa gatal pada DA, karena dapat
menyebabkan iritasi dan dermatitis kontak alergi (DKA). Obat imunosupresan sistemik
pada kasus DA merupakan obat pilihan terakhir derajat berat atau refrakter terhadap
terapikonvensional dengan angka kekambuhan yang sering, manifestasi berat sehingga
menyebabkan terganggunya kualitas hidup pasien, pasien yang bergantung pada tiga atau
lebih penggunaan kortikosteroid sistemik dalam 12 bulan terakhir, sebagai opsi pada
pasien dengan komplikasi penggunaan kortikosteroid topikal atau sistemik jangka
panjang. Kriteria derajat keparahan DA dinilai dengan adanya keterlibatan area permukaan
tubuh lebih dari 20%, penilaian Scoring Atopic Dermatitis (SCORAD) lebih dari 40, total
SCORAD lebih dari 50, dan kualitas hidup yang buruk dinilai dari Dermatology Life
Quality Index dengan nilai lebih dari 21.
Kortikosteroid sistemik jarang diindikasikan untuk terapi DA kronik. Penggunaan
kortikosteroid sistemik sering menimbulkan kejadian rebound atau flare yang berat pada
DA saat terapi dihentikan. Penggunaan kortikosteroid oral jangka pendek dibatasi untuk
mengurangi eksaserbasi akut DA. Jika kortikosteroid oral jangka pendek diberikan, maka
diperlukan tapering-off dari dosis dan memulai perawatan intensif kulit, dengan
menggunakan kortikosteroid topikal dan mandi secara sering diikuti dengan aplikasi
pelembab, untuk mencegah rebound atau flare dari DA. Penggunaan kortikosteroid tidak
direkomendasikan untuk terapi rumatan jangka panjang. Efek jangka panjang
kortikosteroid umumnya menyebabkan efek ketergantungan obat dan penekanan HPA-axis.
Siklosporin merupakan obat imunosupresif poten yang bekerja pada sel-T dengan
mensupresi transkripsi gen sitokin. Siklosporin membentuk kompleks dengan protein
intraseluler, siklofilin, dan kompleks ini menghambat kalsineurin, fosfatase yang
dibutuhkan untuk aktivasi faktor nukleus sel-T, faktor penting dalam transkripsi gen
sitokin. Siklosporin merupakan opsi lini pertama untuk terapi DA refrakter. Penggunaan
siklosporin 3-5 mg/kg/hari untuk jangka pendek dan jangka panjang (selama satu tahun)
bermanfaat bagi anak-anak dengan DA yang berat dan refrakter. Terapi dimulai dengan
dosis 5 mg/kg/hari kemudian diturunkan menjadi 2 mg/kg/hari untuk dosis rumatan
minimal yang efektif. Siklosporin tidak dapat dijadikan monoterapi, tetapi tetap
memerlukan kombinasi dengan kortikosteroid topikal untuk mendapatkan efek remisi. Efek
samping jangka pendek yang mungkin timbul berupa mual dan parastesia, sedangkan
untuk jangka panjang dapat menyebabkan hipertensi, peningkatan kadar serum kreatinin
serta gangguan fungsi ginjal yang muncul dalam waktu 3-6 bulan setelah yaitu 10-22.5
mg/minggu (0.2-0.7 mg/kg/minggu).
Azatioprin merupakan analog purin dengan efek anti-inflamasi dan antiproliferatif.
Azatioprin dapat digunakan untuk DA derajat berat. Dosis awal azatioprin sebesar 0.5-1
mg/kg/hari, sedangkan untuk dosis maksimumnya sebesar 2-3.5 mg/kg/hari. Studi
komparatif menunjukkan adanya penurunan derajat keparahan DA sebesar 40% setelah 12
dan 24 minggu penggunaan metotreksat dan azathioprin. Mielosupresi atau kelainan
hematologi merupakan efek samping yang signifikan pada penggunaan azatioprin.
Azatioprin juga menunjukkan efikasi jangka panjang yang diberikan selama enam
bulan pada anak dan remaja DA di Asia, dan keparahan gejala klinis DA berkurang
dalam tiga bulan. Pasien yang mendapatkan terapi azatioprin atau mikofenolat mofetil
menunjukkan respon terapeutik setelah penggunaan selama 2-3 bulan.
Probiotik Lactobacillus rhamnosus galur GG telah terbukti mengurangi insidensi risiko
DA pada anak selama dua tahun pertama kehidupan. Respon terapi lebih jelas terlihat
pada pasien dengan hasil uji skin prick positif dan terdapat peningkatan kadar IgE. Probiotik
berperan dalam mengatur regulasi reaksi hipersensitivitas alergi dan menghambat
pembentukan antibodi IgE dengan menghambat respon imun yang dimediasi sel Th-2.
Studi menunjukkan terdapat probiotik di dalam air susu ibu (ASI) selain IgA dan IgG, enzim
antimikrobial, dan leukosit (90% neutrofil dan makrofag). Studi prospektif menunjukkan
bayi yang lahir dari ibu yang terapi.
Antimetabolit seperti mikofenolat mofetil merupakan penghambat biosintesis purin yang
digunakan sebagai imunosupresan pada kasus transplantasi. Mikofenolat mofetil dengan
dosis 1-2.5 gr/hari (25-50 mg/kg/hari untuk anak) telah terbukti efikasinya untuk DA
derajat sedang-berat dan dengan gejala refrakter. Penggunaan dihentikan ketika penyakit
tidak berespon dalam empat sampai delapan minggu. Antimetabolit lain seperti metotreksat
merupakan penghambat poten sintesis sitokin dan kemotaksis sel.
Metotreksat telah digunakan pada pasien dengan DA rekalsitran. Pada DA, dosis yang
digunakan lebih besar yaitu 10-22.5 mg/minggu (0.2-0.7 mg/kg/minggu).
Azatioprin merupakan analog purin dengan efek anti-inflamasi dan antiproliferatif.
Azatioprin dapat digunakan untuk DA derajat berat. Dosis awal azatioprin sebesar 0.5-1
mg/kg/hari, sedangkan untuk dosis maksimumnya sebesar 2-3.5 mg/kg/hari. Studi
komparatif menunjukkan adanya penurunan derajat keparahan DA sebesar 40% setelah 12
dan 24 minggu penggunaan metotreksat dan azathioprin. Mielosupresi atau kelainan
hematologi merupakan efek samping yang signifikan pada penggunaan azatioprin.
Azatioprin juga menunjukkan efikasi jangka panjang yang diberikan selama enam
bulan pada anak dan remaja DA di Asia, dan keparahan gejala klinis DA berkurang
dalam tiga bulan. Pasien yang mendapatkan terapi azatioprin atau mikofenolat mofetil
menunjukkan respon terapeutik setelah penggunaan selama 2-3 bulan.
Probiotik Lactobacillus rhamnosus galur GG telah terbukti mengurangi insidensi risiko
DA pada anak selama dua tahun pertama kehidupan. Respon terapi lebih jelas terlihat
pada pasien dengan hasil uji skin prick positif dan terdapat peningkatan kadar IgE. Probiotik
berperan dalam mengatur regulasi reaksi hipersensitivitas alergi dan menghambat
pembentukan antibodi IgE dengan menghambat respon imun yang dimediasi sel Th-2.
Studi menunjukkan terdapat probiotik di dalam air susu ibu (ASI) selain IgA dan IgG, enzim
antimikrobial, dan leukosit (90% neutrofil dan makrofag). Studi prospektif menunjukkan
bayi yang lahir dari ibu yang sehat dengan mendapatkan ASI eksklusif menyebabkan
penurunan angka kejadian DA sebesar 46% dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan
ASI.
Mengatasi Iritasi Kulit
Beberapa regimen dapat digunakan untuk mengatasi iritasi kulit akibat DA. Regimen utama adalah
topikal steroid. Regimen lain yang dikembangkan untuk mencapai remisi klinis bebas pengobatan
jangka panjang di antaranya immunomodulator dengan calcineurin inhibitor, interleukin inhibitor,
bahkan fototerapi.
Steroid Topikal
Steroid topikal merupakan terapi pilihan utama untuk DA. Bahan dasar salep lebih disukai terutama
pada lingkungan yang kering. Steroid topikal yang dapat dapat digunakan adalah:
a. Hidrokortison 1%, diaplikasikan 2 kali sehari pada lesi di area wajah dan lipatan
b. Triamsinolon dan betamethasone valerate (steroid potensi sedang), diaplikasikan 2 kali sehari
pada lesi di seluruh tubuh, hindari area wajah dan lipatan
c. Regimen bubuk hidrokortison 1.25% dalam acid mantle, digunakan tipis-tipis sebagai pelembab
untuk terapi pemeliharaan, dinilai efektif dan aman untuk digunakan dalam periode bulan
Steroid dihentikan saat lesi menghilang, dan diberikan kembali jika lesi baru muncul. Pada
sebuah penelitian oleh Heck et al, dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid topikal untuk DA
di area kelopak mata dan daerah periorbital aman, tetapi harus memperhatikan efek
samping glaukoma dan katarak
Calcineurin Inhibitor Topikal
Calcineurin inhibitor merupakan terapi imunomodulator yang saat ini digunakan sebagai terapi lini
kedua DA. Regimen ini berfokus pada pengurangan gejala dengan mengendalikan peradangan kulit
yang tidak berhasil dengan kortikosteroid topikal. Pilihan regimen ini adalah:
a. Salep takrolimus 0,03% yang sudah disetujui sebagai terapi berkala untuk DA sedang hingga
berat pada anak usia 2 tahun ke atas
b. Krim pimekrolimus 1% dapat digunakan sebagai terapi DA ringan hingga sedang pada pasien
anak usia 2 tahun ke atas
Takrolimus dan pimekrolimus dapat diberikan dengan cara dioleskan tipis sebanyak 2 kali sehari,
dan digunakan sampai gejala DA hilang. Takrolimus terbukti aman dan efektif untuk digunakan
selama 4 tahun, sedangkan pimekrolimus sampai 2 tahun. Terapi imunomodulator untuk DA ini
harus dikembangkan untuk mencapai remisi klinis bebas pengobatan jangka panjang, dengan
induksi toleransi imun.
Interleukin Inhibitor Subkutan
Interleukin inhibitor merupakan terapi DA terbaru yang bertujuan agar pasien bebas pengobatan
jangka panjang. Terapi DA yang ditargetkan ini berdasarkan pemahaman yang lebih baik tentang
patofisiologinya. Beberapa pengobatan interleukin inhibitor yang dipublikasikan telah pada fase II
dan III adalah dupilumab, tralokinumab, lebrikizumab, nemolizumab, antibodi anti-OX40, baricitinib,
abrocitinib, dan upadacitinib.
Dupilumab merupakan antibodi monoklonal yang menghambat pensinyalan IL-4 dan IL-3. Pada
Maret 2017, FDA sudah menyetujui penggunaan Dupiluma dengan DA sedang hingga berat yang
tidak dapat dikontrol dengan terapi topikal yang umum digunakan. Dupilumab diberikan dalam dosis
600 mg secara subkutan, kemudian dilanjutkan 1 minggu setelahnya dengan dosis 300 mg secara
subkutan
Fototerapi
Sinar matahari alami dapat memberikan manfaat bagi pasien DA, tetapi sinar matahari yang terlalu
panas dan menyengat akan memicu keringat dan pruritus. Oleh karena itu, fototerapi
dengan broadband UVB, broadband UVA, narrowband UVB (311 nm), UVA-1 (340-400 nm), dan
kombinasi UVAB dapat dipilih sebagai terapi tambahan DA
Fototerapi umumnya dianggap aman dan dapat ditoleransi dengan baik, dengan persentase efek
samping jangka pendek dan jangka panjang yang rendah. Efek jangka pendek dapat berupa eritema,
nyeri kulit, pruritus, dan pigmentasi. Sedangkan efek jangka panjang adalah penuaan kulit dini dan
keganasan kulit. Sehingga fototerapi harus dilakukan dengan hati-hati, terutama pada pasien anak,
dan harus mempertimbangkan kondisi pasien secara keseluruhan.
Mengurangi Gejala Secara Sistemik
Antihistamin oral dapat diberikan untuk mengurangi gejala gatal dan reaksi inflamasi, misalnya obat
hydroxyzine dan diphenhydramine. Namun, penggunaan obat sistemik ini tidak efektif tanpa
perawatan lain. Pada pasien dengan eksim herpetikum, efektif diberikan asiklovir sistemik. Pada
pasien DA berat, terutama pada orang dewasa, pemberian methotrexate, azathioprine, cyclosporine,
dan mycophenolate mofetil telah terbukti bermanfaat.