Anda di halaman 1dari 18

Definisi Dermatitis dan Dermatitis pada Anak

Dermatitis merupakan penyakit kulit yang bersifat akut, sub-akut, atau kronis yang disebabkan adanya
peradangan pada kulit. Penyakit ini terjadi karena adanya faktor eksogen dan endogen. Tanda adanya
kelainan klinis berupa polimorfik dan keluhan gatal pada kulit. Terdapat dua macam dermatitis,
diantaranya adalah dermatitis kontak dan dermatitis atopik.

Dermatitis atopic adalah penyakit kulit kronik relaps yang terjadi umumnya pada anak-anak
tapi dapat juga terjadi pada orang dewasa. Dermatitis atopik dibagi menjadi tiga tahap:
dermatitis atopik infantil, yang terjadi pada bayi baru lahir sampai dua tahun; dermatitis atopik
pada anak, usia 2 tahun sampai 11 tahun; dan dermatitis atopic pada orang dewasa.
Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat kronik residif yang dapat terjadi pada bayi, anak
dan dewasa dengan riwayat atopi pada penderita atau keluarganya. Dermatitis atopik (DA) sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum. Kelainan kulit berupa papul gatal, yang
kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi dengan distribusi di lipatan (fleksural).
Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia dengan
prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3. Dermatitis atopik sering
dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic). 45% kasus dermatitis atopik pada
anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan
85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun. 7 Lebih dari 50% anak-anak yang terkena
dermatitis atopik pada 2 tahun pertama tidak memiliki tanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi
jauh lebih peka selama masa dermatitis atopic. Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita dermatitis
atopik anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi
pada saat dewasa (late onset dermatitis atopic), dan pasien ini dalam jumlah yang besar tidak ada
tandatanda sensitisasi yang dimediasi oleh IgE Menurut International Study of Asthma and Allergies in
Children, prevalensi penderita dermatitis atopik pada anak bervariasi di berbagai negara.

Etiologi Dermatitis pada Anak


a. Sawar kulit
Penderita DA pada umumnya memiliki kulit yang relatif kering, baik di daerah lesi maupun non lesi,
dengan mekanisme yang kompleks dan terkait erat dengan kerusakan sawar kulit. Hilangnya
ceramide di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di ruang ekstraselular stratum
korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi pH kulit dapat
menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan
peningkatan transepidermal water loss (TEWL) 2-5 kali normal, kulit akan makin kering dan
merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi allergen, iritasi, bakteri dan virus. Bakteri pada
pasien dermatitis atopik mensekresi ceramidase yang menyebabkan metabolisme ceramide menjadi
sphingosine dan asam lemak, selanjutnya semakin mengurangi ceramide di stratum korneum,
sehingga menyebabkan kulit makin kering. Selain itu, faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat
keringnya kulit adalah suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta keringat berlebih. Demikian pula
penggunaan sabun yang bersifat lebih alkalis dapat mengakibatkan gangguan sawar kulit. Gangguan
sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal, terjadilah garukan berulang (siklus gatal-garuk-gatal)
yang menyebabkan kerusakan sawar kulit. Dengan demikian penetrasi alergen, iritasi, dan infeksi
menjadi lebih mudah. 1
b. Genetik
Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu terdapat DA dalam keluarga. Jumlah
penderita DA di keluarga meningkat 50% apabila salah satu orangtuanya DA, 75% bila kedua
orangtuanya menderita DA. Risiko terjadi DA pada kembar monozigot sebesar 77% sedangkan
kembar dizigot sebesar 25%. Dari berbagai penelitian terungkap tentang polimorfisme gen
dihubungkan dengan DA. Selain itu pada penderita DA atau keluarga sering terdapat riwayat rinitis
alergik dan alergi pada saluran napas.
c. Hipersensitivitas
Berbagai hasil penelitian terdahulu membuktikan adanya peningkatan kadar IgE dalam serum dan IgE
di permukaan sel Langerhans epidermis. Data statistik menunjukkan peningkatan IgE pada 85%
pasien DA dan proliferasi sel mast. Pada fase akut terjadi peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang
diproduksi sel Th2, baik di kulit maupun dalam sirkulasi, penurunan IFN-γ, dan peningkatan IL-4.
Produksi IFN-γ juga dihambat oleh prostaglandin (PG) E2 mengaktivasi Th1, sehingga terjadi
peningkatan produksi IFN-γ, sedangkan IL-5 dan IL-13 tetap tinggi. Pasien DA bereaksi positif
terhadap berbagai alergen, misalnya terhadap alergen makanan 40-96% DA bereaksi positif pada
(food challenge test).
d. Faktor Psikis
Berdasarkan laporan orangtua, antara 22-80% penderita DA menyatakan lesi DA bertambah buruk
akibat stress emosi.
e. Iritan Kulit
Penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan, antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang
terkandung pada berbagai obat gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol.
f. Alergen
Penderita DA mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa alergen, antara lain:
1. Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah. Hal tersebut dibuktikan dengan
peningkatan kadar IgE RAST (IgE spesifik).
2. Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1 tahun (mungkin karena
sawar usus belum bekerja sempurna). Konfirmasi alergi dibuktikan dengan uji kulit soft allergen
fast test (SAFT) atau double blind placebo food challenge test (DBPFCT).
3. Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi DA dan hanya pada 5% populasi
normal. Hal tersebut mempengaruhi derajat keparahan dermatitis atopik, pada kulit yang
mengalami inflamasi ditemukan 107 unit koloni/cm2 . Salah satu cara S.aureus menyebabkan
eksaserbasi atau mempertahankan inflamasi ialah dengan mensekresi sejumlah toksin
(Staphylococcal enterotoxin A,B,C,D - SEA- SEB-SEC-SED) yang berperan sebagai
superantigen, menyebabkan rangsangan pada sel T dan makrofag. Superantigen S. aureus yang
disekresi permukaan kulit dapat berpenetrasi di daerah inflamasi Langerhans untuk memproduksi
IL-1, TNF dan IL-12. Semua mekanisme tersebut meningkatkan inflamasi pada DA dengan
kemungkinan peningkatan kolonisasi S. aureus. Demikian pula jenis toksin atau protein S.aureus
yang lain dapat mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi TNF-α oleh keratinosit atau efek
sitotoksik langsung pada keratinosit.
g. Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA, misalnya asap rokok,
polusi udara (nitrogen dioksida, sufur dioksida), walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang
panas, kelembaban, dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan DA. Di
negara 4 musim, musim dingin memperberat lesi DA, mungkin karena penggunaan heater (pemanas
ruangan). Pada beberapa kasus DA terjadi eksaserbasi akibat reaksi fotosensitivitas terhadap sinar
UVA dan UVB.
Manifestasi Klinis
Gejala dermatitis atopik dapat bervariasi pada setiap orang. Gejala yang paling umum adalah kulit
tampak kering dan gatal. Gatal merupakan gejala yang paling penting pada dermatitis atopik.
Garukan atau gosokan sebagai reaksi terhadap rasa gatal menyebabkan iritasi pada kulit, menambah
peradangan, dan juga akan meningkatkan rasa gatal. Gambaran kulit atopik bergantung pada
parahnya garukan yang dialami dan adanya infeksi sekunder pada kulit. Kulit dapat menjadi merah,
bersisik, tebal dan kasar, beruntusan atau terdapat cairan yang keluar dan menjadi keropeng (krusta)
dan terinfeksi. Kulit yang merah dan basah (eksim) disebabkan peningkatan peredaran darah di kulit
akibat rangsangan alergen, stres, atau bahan pencetus lain. Peningkatan aliran darah diikuti dengan
perembesan cairan ke kulit melalui dinding pembuluh darah.
Kulit kering dan bersisik membuat kulit lebih sensitif sehingga lebih mudah terangsang. Bila sangat
kering kulit akan pecah sehingga menimbulkan rasa nyeri. Penebalan kulit (likenifikasi) terutama di
daerah yang sering mengalami garukan, disertai dengan perubahan warna menjadi lebih gelap akibat
peningkatan jumlah pigmen kulit. Daerah yang lebih sering mengalami likenifikasi adalah leher
bagian belakang, lengan bawah, daerah pusar, di atas tulang kering, dan daerah genital. Dermatitis
atopik dapat juga mengenai kulit sekitar mata, kelopak mata dan alis mata. Garukan dan gosokan
sekitar mata menyebabkan mata menjadi merah dan bengkak.
Gejala dermatitis atopik dibedakan menjadi 3 kelompok usia yaitu dermatitis atopik pada masa bayi
(0-2 tahun), masa anak (2- 12 tahun), dan saat dewasa (>12 tahun). Dermatitis atopik yang terjadi
pada masa bayi dan anak mempunyai gejala yang berbeda-beda, baik dalam usia saat mulai timbul
gejala maupun derajat beratnya penyakit. Pada masa bayi, umumnya gejala mulai terlihat sekitar usia
6-12 minggu. Pertama kali timbul di pipi dan dagu sebagai bercak- bercak kemerahan, bersisik dan
basah. Kulit pun kemudian mudah terinfeksi. Kelainan kulit pada bayi umumnya di kedua pipi
sehingga oleh masyarakat sering dianggap akibat terkena air susu ibu ketika disusui ibunya, sehingga
dikenal istilah eksim susu. Sebenarnya, pendapat tersebut tidak benar, pipi bayi yang mengalami
gangguan bukan akibat terkena air susu ibu. Bahkan bayi yang pada beberapa bulan pertama diberi air
susu ibu (ASI) secara ekslusif (hanya ASI saja) akan lebih jarang terkena penyakit ini dibandingkan
bayi yang mendapat susu formula. Selain itu, sisik tebal bewarna kuning ‘kerak’ juga sering ditemui
pada bayi di kepala (cradle cap), yang dapat meluas ke daerah muka.
Bersamaan dengan proses tumbuh kembang bayi, saat bayi lebih banyak bergerak dan mulai
merangkak, maka daerah yang terkena dapat meluas ke lengan dan tungkai. Lesi kulit muncul sebagai
bintil-bintil merah kecil yang terasa gatal yang dapat bergabung membentuk bercak yang berukuran
besar. Pada umumnya lesinya polimorfik cenderung eksudatif, kadang-kadang disertai dengan infeksi
sekunder atau pioderma. Bayi dengan dermatitis atopik sering tampak gelisah dan rewel karena rasa
gatal dan rasa tak nyaman oleh penyakitnya.
Ketika mencapai usia sekitar 18 bulan kulit bayi mulai meperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Walaupun demikian bayi tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mempunyai kulit yang
kering dan dermatitis atopik di kemudian hari. Pada masa anak, pola distribusi lesi kulit mengalami
perubahan. Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian besar merupakan kelanjutan fase
bayi. Tempat predileksi cenderung di daerah lipat lutut, lipat siku dan sangat jarang di daerah wajah,
selain itu juga dapat mengenai sisi leher (bagian anterior dan lateral), sekitar mulut, pergelangan
tangan, pergelangan kaki, dan kedua tangan, distribusi lesi biasanya simetris.
Manifestasi dermatitis subakut dan cenderung kronis. Pada kondisi kronis tampak lesi
hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan likenifikasi. Biasanya kelainan kulit dimulai dengan beruntusan
yang menjadi keras dan bersisik bila digaruk. Kulit di sekitar bibir dapat juga terkena dan upaya
menjilat terus-menerus di daerah tersebut dapat menyebabkan kulit sekitar mulut pecah-pecah dan
terasa nyeri, demikian pula bagian sudut lobus telinga sering mengalami fisura. Lesi dermatitis atopik
pada anak juga dapat ditemukan di paha dan bokong. Pada sebagian anak penyakit akan menyembuh
untuk jangka waktu yang lama. Pada anak usia sekolah sering terjadi ruam kulit di kedua paha atas
bagian belakang menyerupai setengah lingkaran tempat duduk (toilet seat eczema). Terdapat bentuk
lain yang mengenai kaki, disebut sebagai eksim kaos kaki (sweaty sock dermatitis), menyerupai
infeksi jamur tetapi sela jari kaki terbebas dari ruam.
Pada awal masa pubertas oleh karena pengaruh hormon, stress, dan penggunaan produk atau
kosmetik perawatan kulit yang bersifat iritasi penyakit dapat timbul kembali. Sebagian orang yang
mengalami dermatitis atopik pada masa anak juga mengalami gejala pada masa dewasanya, namun
penyakit ini dapat juga pertama kali timbul pada saat telah dewasa. Gambaran penyakit saat dewasa
serupa dengan yang terlihat pada fase akhir anak. Pada umumnya ditemukan adanya penebalan kulit
di daerah belakang lutut dan fleksural siku serta tengkuk leher. Akibat adanya garukan secara
berulang dan perjalanan penyakit yang kronis, lesi ditandai dengan adanya hiperpigmentasi,
hyperkeratosis dan likenifikasi. Distribusi lesi biasanya simetris. Lokasi lesi menjadi lebih luas, selain
fosa kubiti dan poplitea, juga dapat ditemukan bagian lateral leher, tengkuk, badan bagian atas dan
dorsum pedis. Namun, dapat pula terbatas hanya pada beberapa bagian tubuh, misalnya hanya tangan
atau kaki. Pada fase remaja, juga terdapat pada area putting susu.

Patofisiologi
a. Dermatitis atopik (DA) dikaitkan dengan gangguan penghalang epitel kulit dan
peradangan alergi pada kulit pejamu yang latar belakang genetiknya menghasilkan
kecenderungan untuk atopi. Dermatitis atopik, bersama dengan alergi makanan hadir
pada tahun-tahun pertama kehidupan dan merupakan langkah awal dalam ‘pawai atopik’.
Pengubah lingkungan yang luas yang ditandai dengan buruk tampaknya penting untuk
pengembangan dermatitis atopik pada anak-anak yang rentan secara genetik. Bagian ini
akan meninjau cacat pada jalur yang mendasar untuk perkembangan AD pada manusia,
termasuk gangguan penghalang dan disregulasi imun. Fokusnya adalah untuk
mengungkapkan pola dalam patogenesis awal AD yang memandu strategi pengobatan
dan yang menyarankan target untuk terapi baru.
b. Genetika
Studi konkordansi kembar menunjukkan bahwa faktor genetik adalah penentu utama
untuk pengembangan dermatitis atopik, dengan perkiraan kontribusi genetik untuk
penyakit menjadi sekitar 80%.  Meskipun temuan ini, jalur cacat umum yang
menimbulkan fenotipe klinis dari AD di host manusia belum diidentifikasi. Studi asosiasi
genom-lebar telah mengidentifikasi sejumlah lokus kerentanan genetik pada pasien
dengan AD. Banyak lokus kerentanan yang diperkaya dalam populasi AD berada di
dalam atau di dekat gen yang penting untuk imunitas bawaan, peradangan yang dimediasi
Th2, dan fungsi sawar kulit, menyoroti pentingnya jalur ini dalam patogenesis AD.
Sejumlah kecil sindrom atopik genetik yang diturunkan, yang termasuk dalam diagnosis
banding DA umum, telah dicirikan yang telah menjelaskan patogenesis penyakit ini. 
Hilangnya integritas sawar kulit tampaknya penting untuk perkembangan DA; beberapa
penyakit genetik yang mempengaruhi fungsi sawar kulit telah dijelaskan, termasuk
sindrom Netherton dan sindrom Peeling kulit, tipe b, yang semuanya memiliki ciri-ciri
peradangan alergi. Dalam hubungannya dengan disfungsi penghalang, hampir setiap garis
keturunan sel imun memiliki peran yang terlibat dalam imunopatogenesis DA, dengan
populasi tertentu seperti sel T CD4+ jelas diperlukan untuk perkembangan penyakit.

Tabel Turunan Sindrom Genetik yang Mengakibatkan Dermatitis Atopik


Sindrom Gene Primary Defect Fitur pembeda umum

Immune PathwayAutosomal dominantSTAT3 Abnormal cytokineBacterial pneumonias; lung bullae/bronchiectasis; absent


Defects hyper-IgE syndrome signaling TH17

Autosomal recessiveDOCK8 Cytoskeletal dysfunction Cutaneous viral susceptibility; progressive combined


hyper-IgE syndromes immunodeficiency

PGM3 Abnormal glycosylation Marked neurologic impairment; reduced branching


glycans;
leukopenia; increased TH17

Wiskott-Aldrich WAS Cytoskeletal dysfunction X-linked; thrombocytopenia; progressive combined


syndrome immunodeficiency

IPEX syndrome FOXP3 Absent Tregs Endocrine abnormalities; chronic diarrhea


Sindrom Gene Primary Defect Fitur pembeda umum

Omenn syndrome RAG1/21 Lymphopenia; “leaky” SCID; oligoclonal Tcell expansion; thymus present
oligoclonal
T cells

Atypical Completedel22q11.2Lymphopenia; “leaky” SCID; velo-cardio-facial abnormalities;


DiGeorge2 oligoclonal oligoclonal
T cells Tcell expansion; absent thymus

Skin Barrier Defects Icthyosis vulgaris FLG Impaired skin hydrationPalmar hyperlinearity; keratosis pilaris
and barrier maintenance

Netherton Syndrome SPINK5 Inappropriate proteaseErythroderma; icthyosis; trichorrhexis invaginatum


activation (“bamboo hair”)

Peeling skinCDSN Impaired intercellularErythroderma; icthyosis; thin/fine hair


syndrome adhesion
type B

SAM syndrome DSG1 Impaired intercellularErythroderma; hypotrichosis; growth retardation due to


adhesion metabolic disturbance

IPEX – immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X linked; SAM – severe


dermatitis, multiple allergies and metabolic wasting; SCID – severe combined
immunodeficiency; 1Multiple hypomorphic mutations leading to a “leaky” – presence of a few T
cells – SCID phenotype may result in Omenn syndrome. 2Atypical Complete DiGeorge is due to
a chromosomal deletion, not a single genetic mutation; it also has a “leaky” phenotype.

 Kulit yang tidak terpengaruh secara klinis pada pasien dermatitis atopik mengalami
peningkatan jumlah sel T-helper tipe 2 (Th2) dibandingkan dengan kulit pada pasien
tanpa dermatitis atopik. Peningkatan kadar interleukin (IL)-4 dan IL-13 (sitokin Th2)
terlihat pada lesi kulit dermatitis atopik akut, sedangkan lesi dermatitis atopik kronis
menunjukkan peningkatan ekspresi IL-5 (sitokin Th2) dan IL-12 dan interferon
(IFN). )-γ (sitokin Th1). Lesi dermatitis atopik kronis juga menunjukkan infiltrasi
eosinofil yang lebih besar dibandingkan dengan kulit pada pasien tanpa dermatitis
atopik.
 IL-4 meningkatkan diferensiasi sel T-helper sepanjang jalur Th2, dan IL-13 bertindak
sebagai chemoattractant bagi sel Th2 untuk menginfiltrasi lesi dermatitis atopik. IL-13
juga dapat secara langsung menginduksi ekspresi IL-5 dan infiltrasi eosinofil, sehingga
memfasilitasi transisi dari lesi akut menjadi lesi kronis.
 Selain itu, pasien dengan dermatitis atopik tampaknya mengalami penurunan kadar
molekul penghalang kulit secara signifikan dibandingkan dengan kontrol normal. Lipid
ceramide di stratum korneum, yang bertanggung jawab untuk retensi air dan fungsi
permeabilitas, dan protein penghalang kulit seperti filaggrin diekspresikan pada tingkat
yang jauh lebih rendah pada kulit pasien dengan dermatitis atopik dibandingkan
dengan kulit pasien tanpa dermatitis atopik.
 Bukti signifikan mendukung hipotesis kebersihan untuk pengembangan dermatitis atopik.
Hubungan terbalik diakui antara infeksi cacing dan dermatitis atopik tetapi tidak ada
patogen lain.  Selain itu, perawatan dini hari, endotoksin, susu peternakan yang tidak
dipasteurisasi, dan paparan hewan tampaknya bermanfaat, kemungkinan karena
peningkatan paparan mikroba nonpatogen secara umum.
 Hubungan positif ditunjukkan antara pajanan ibu terhadap peningkatan konsentrasi
materi partikulat dan dermatitis atopik.
 Cacat Barrier di Kulit Sejumlah protein berkontribusi pada struktur dan fungsi utama
kulit sebagai penghalang – mencegah kehilangan air dan menghambat penetrasi iritasi,
imunogen, dan patogen, terutama Staphylococcus aureus. Mutasi yang merusak pada
gen yang penting untuk fungsi sawar normal kulit telah terbukti sangat terpisah dengan
bentuk awal dan parah dari dermatitis atopik dan iktiosis, biasanya terkait dengan
peningkatan kadar IgE serum total. Di antaranya adalah mutasi pada filaggrin (FLG),
desmoglein-1 (DSG1), corneodesmosin (CDSN) dan serin protease inhibitor Kazal-
type 5 (SPINK5).

 Fungsi penghalang kulit dan filaggrin (FLG)


 Filaggrin adalah protein polifungsional, hadir di epidermis, yang mengalami
proses proteolitik kompleks selama deskuamasi normal. Pemrosesan ini
berkontribusi pada banyak peran yang dimiliki FLG dalam pemeliharaan
penghalang kulit selama siklus hidupnya, dan berakhir dengan pelepasan
Natural Moisturizing Factor (NMF) yang berkontribusi pada retensi air dan
hidrasi kulit. Dalam dekade terakhir, beberapa kehilangan- mutasi fungsi
pada FLG telah terbukti mengakibatkan defisiensi protein, penurunan kadar
NMF, dan dermatitis atopik dan iktiosis awitan dini yang parah, dengan
peningkatan kadar IgE total yang nyata.  Selain efeknya pada struktur dan
fungsi kulit, haploinsufisiensi FLG dapat berkontribusi pada patogenesis AD
dalam beberapa cara tambahan termasuk: efek pada pH kulit, promosi
ekspresi sitokin pro-inflamasi, dan pertumbuhan Staphylocccus aureus tanpa
hambatan. Mutasi FLG juga menyampaikan risiko utama untuk
pengembangan alergi kacang serta asma, dengan yang terakhir hanya terjadi
di antara pasien dengan komorbiditas AD, mendukung peran sensitisasi
epikutan pada penyakit atopik sistemik se.
 Defisiensi corneodesmosom: corneodesmosin (CDSN) dan desmoglein-1
(DSG1)
 Integritas penghalang kulit tergantung pada adhesi sel-sel utuh dan
ketahanan gaya geser. Desmosom adalah kompleks protein
junctional di kulit yang bertindak sebagai jangkar untuk
sitoskeleton keratin dan memfasilitasi adhesi sel-sel, melawan
tekanan mekanis. Mutasi pada dua protein desmosom pada kulit
manusia – desmoglein-1 dan corneodesmosin – telah ditemukan
menyebabkan AD parah. Hilangnya ekspresi korneodesmosin
karena mutasi pada CDSN menyebabkan sindrom kulit
mengelupas, tipe B, kondisi kulit iktiosis dan eritrodermik difus
yang disertai pruritus dan atopi parah. Defisiensi genetik
desmoglein-1 menyebabkan dermatitis parah, alergi multipel dan
sindrom pemborosan metabolik (SAM), terkait dengan peningkatan
kadar IgE.  Sebagai catatan, autoantibodi yang diarahkan pada
desmoglein-1 pada kulit menyebabkan penyakit bulosa Pemphigus
foliaceous (PF). Hebatnya, meskipun cacat kulit serupa, atopi tidak
dilaporkan sebagai fitur umum dari PF.

 Aktivitas protease di kulit dan sindrom Netherton
 Selama deskuamasi normal, desmosom harus diproses dan didegradasi oleh
protease secara teratur di dekat permukaan kulit. Lympho-epithelial Kazal-
type-related inhibitor (LEKTI) yang dikodekan oleh serine protease inhibitor
Gen Kazal-type 5 (SPINK5) adalah penghambat utama protease kulit
endogen, dan di bawah pH rendah, melepaskan protease keluarga kallikrein
(KLK5, KLK7, KLK14 ) untuk memfasilitasi pengelupasan normal. Dengan
cara ini, gradien pH epidermal mampu membatasi proteolisis luas ke lapisan
terluar epidermis.  Mutasi resesif autosomal yang merusak pada SPINK5
menyebabkan hilangnya LEKTI dan peningkatan aktivitas protease serin jauh
di dalam epidermis dengan peningkatan desmosom dan peningkatan
permeabilitas kulit. Hal ini secara klinis bermanifestasi sebagai sindrom
Netherton, ditandai dengan eritroderma umum, iktiosis, trichorrhexis
invaginatum (rambut bambu), peningkatan IgE dan atopi.  Varian genetik di
KLK7 juga telah dilaporkan terkait dengan dermatitis atopik.
 Kontribusi imun bawaan untuk AD Sel imun bawaan memainkan peran utama dalam
imunopatogenesis AD. (Gambar 2a) Setelah cacat pada penghalang kulit terbentuk, sel
dendritik (DC) dan epitel gundul terkena iritasi eksogen, sinyal bahaya, dan patogen.
Hal ini menyebabkan aktivasi sel dendritik (DC) dan keratinosit melalui ligasi reseptor
imun bawaan oleh pola molekul terkait kerusakan (DAMP) dan pola molekul terkait
patogen (PAMP). Pada pejamu yang rentan secara genetik, sel epitel teraktivasi
memicu DC untuk mempromosikan program Th2 melalui elaborasi TSLP, IL-33, dan
IL-25. Pruritus intens yang terkait dengan lesi DA dapat menyebabkan aktivasi lebih
lanjut melalui gangguan epitel mekanis dengan penggarukan yang kuat , dan
mempromosikan perkembangan penyakit. Ada banyak penyakit imunodefisiensi
bawaan yang disebabkan oleh defek imun bawaan. Namun, atopi belum dicirikan
dengan baik di antara sindrom-sindrom ini. Meskipun demikian, beberapa lokus
kerentanan telah diidentifikasi dalam reseptor imun bawaan yang lebih terwakili di
antara individu atopik, beberapa memisahkan dengan fenotipe AD yang lebih parah. 
Misalnya, polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) telah dilaporkan di reseptor seperti
tol -2 (TLR-2), yang tampaknya mengakibatkan hilangnya fungsi dan gangguan
penginderaan staphylococcus. Satu SNP R753Q diperkirakan mengganggu pertahanan
inang dan meningkatkan kolonisasi stafilokokus; ditemukan pada lebih dari 10%
pasien AD dewasa dan terpisah dengan penyakit yang lebih parah.
 Defek jalur imun diskrit yang mengarah ke DA Meskipun ada bukti yang jelas bahwa
defek intrinsik pada fungsi sawar kulit merupakan predisposisi DA awal dan seringkali
parah, faktor tambahan tampaknya diperlukan untuk perkembangan DA. Sejumlah
besar individu yang membawa alel FLG nol gagal mengembangkan AD. Selain itu,
pasien dengan pemfigus foliaceous belum dilaporkan mengalami peningkatan
sensitisasi atau penyakit alergi, meskipun mereka memiliki defek sawar kulit. Data
terbaru dihasilkan dari seluruh eksom sekuensing telah menyebabkan pengungkapan
bahwa cacat pada lebih dari satu gen penyebab penyakit yang diketahui di antara
individu dengan penyakit imunodefisiensi primer dapat terjadi lebih sering daripada
yang diperkirakan.  Seseorang dapat berspekulasi bahwa mutasi hipomorfik atau SNP
dengan konsekuensi fungsional pada gen yang penting untuk fungsi kekebalan ,
khususnya inflamasi yang dimediasi Th2, mungkin memberikan latar belakang yang
diperlukan untuk defek sawar kulit untuk bermanifestasi sebagai DA. Kami akan
meninjau beberapa cacat genetik diskrit yang mengakibatkan disregulasi imun, DA,
dan penyakit alergi, yang menjelaskan mekanisme yang relevan dengan patogenesis
DA.
 Sindrom Hiper-IgE
 Umum di antara pasien dengan dermatitis atopik adalah peningkatan IgE,
kadang-kadang ke tingkat yang sangat tinggi. Peningkatan ini dihasilkan dari
peradangan kulit yang dimediasi Th2, dan kadar IgE menurun secara
signifikan dengan peningkatan kontrol peradangan kulit. Pasien dengan
serangkaian cacat genetik yang mengakibatkan peningkatan IgE (biasa
disebut sindrom hiper-IgE, atau HIES) – akibat mutasi negatif dominan pada
STAT3, serta mutasi resesif autosomal hipomorfik pada DOCK8 atau PGM3
– semuanya memiliki AD sebagai mayor fitur fenotipe klinis mereka.
Meskipun temuan umum DA, penyebab genetik HIES mempengaruhi jalur
yang sangat berbeda; satu mempengaruhi pensinyalan reseptor sitokin, satu
penataan ulang sitoskeletal seluler, dan satu pola glikosilasi seluler global.
Mekanisme yang mendasari fenotipe alergi di antara bentuk-bentuk HIES
tetap menjadi bidang penyelidikan aktif; namun, disregulasi imun yang
mengakibatkan peningkatan inflamasi yang diperantarai Th2 tampaknya
umum terjadi.
 Pengaruh inflamasi Th2 pada fungsi sawar kulit Sementara defek sawar
tampaknya memerlukan faktor imunologis untuk bermanifestasi sebagai DA,
peradangan Th2 yang berlebihan itu sendiri dapat menyebabkan kerusakan
integritas sawar kulit. FLG dapat langsung dimodulasi oleh sitokin Th2, IL-
13 dan IL-4. Selain itu, IL-10, IL-4, dan IL-13 telah terbukti mengurangi
ekspresi peptida anti-mikroba (AMP) di keratinosit , dan pasien dengan DA
telah terbukti memiliki defisiensi relatif dalam produksi AMP. Hal ini dapat
berkontribusi pada kolonisasi stafilokokus, peningkatan risiko superinfeksi
virus dan bakteri, dan peningkatan keparahan penyakit.
 Repertoar sel T CD4+ yang terganggu dan sel T Treg CD4+ sangat penting untuk
perkembangan DA. Keanekaragaman reseptor sel T (TCR) telah diperkirakan 2,5×107
dan mewakili repertoar sel T CD4+ manusia harus mengenali non-diri dan
menginformasikan respon imun adaptif. Ketika keragaman ini terbatas, seperti terlihat
pada pasien anak dengan HIV setelah pemulihan kekebalan, peningkatan insiden
dermatitis atopik diamati. Defisit repertoar yang lebih parah dapat terjadi akibat mutasi
genetik hipomorfik pada gen seperti IL2RG, JAK3, atau RAG, di mana pasien
memiliki fenotipe “bocor” – jadi -disebut karena beberapa sel T hadir.(56) Dalam
pengaturan ini, ekspansi besar-besaran satu atau a
 beberapa populasi klon dapat terjadi yang mengarah ke fenotipe mencolok sindrom
Omenn yang ditandai dengan eritroderma, eksim parah, IgE tinggi, dan eosinofilia
sering kali sejak lahir. DiGeorge lengkap atipikal mewakili proses “bocor” yang serupa
dan berbagi banyak fitur klinis dengan sindrom Omenn , termasuk dermatitis atopik
parah.(58) Penurunan keragaman TCR juga dapat dilihat pada imunodefisiensi
gabungan progresif seperti defisiensi DOCK8 dan sindrom Wiskott-Aldrich, yang
keduanya terkait dengan DA sedang hingga berat.
Bagaimana gangguan keragaman TCR dapat menyebabkan dermatitis atopik masih
belum terbukti. Namun, bukti menunjukkan bahwa hilangnya keragaman sel T
regulator (Treg) CD25brightCD127negFoxP3+CD4+ dapat berkontribusi pada
imunopatogenesis. Dukungan utama untuk hipotesis ini berasal dari sindrom
Immunodysregulation Polyendocrinopathy Enteropathy X-linked (IPEX) karena
defisiensi FoxP3, di mana pasien memiliki kehilangan Treg selektif. Individu yang
terkena datang dengan dermatitis atopik parah, IgE tinggi, dan eosinofilia, selain diare
dan autoimunitas. Pasien WS juga telah terbukti memiliki defek fungsional Treg
spesifik yang kemungkinan berkontribusi pada fenotipe klinis mereka, yang meliputi
DA dan penyakit alergi. Terakhir, dermatitis eksim dan IgE tinggi keduanya
merupakan ciri menonjol dari penyakit graft-versus-host akut ( aGvHD). Walaupun
patogenesis aGvHD kompleks dan dihasilkan dari aloreaktivitas sel T donor yang tidak
tepat dan merusak, penurunan keragaman TCR dan oligoklonalitas diamati, dengan
hilangnya Treg spesifik. Hebatnya, infus Treg donor telah terbukti mencegah
perkembangan eksim dan gambaran klinis aGvHD lainnya.
 Fisiologi pruritus dan mutasi kompleks IL31RA/OSMR Pruritus yang intens merupakan
ciri khas lesi DA. Sementara diskusi lengkap tentang kontribusi neurologis, fisik, dan
imunologis terhadap gatal berada di luar cakupan ulasan ini, ekskoriasi kulit karena
pruritus kronis dan berat berkontribusi terhadap perkembangan lesi kulit dan memicu
superinfeksi. Tidak seperti rinitis alergi atau urtikaria, reseptor histamin 1 dan 2
tampaknya tidak menjadi mediator pruritus yang signifikan pada DA.
IL-31 adalah sitokin yang diekspresikan oleh sel Th2 dan merupakan pruritogen yang
kuat. Sinyal IL-31 melalui kompleks reseptor heterodimerik serumpun yang terdiri dari
reseptor alfa IL-31 (IL31RA) dan reseptor beta oncostatin M (OSMR ). Peningkatan
ekspresi IL-31 telah diamati pada lesi DA, dan injeksi IL-31 menyebabkan pruritus
intens. Mutasi pada OSMR dan IL31RA menghasilkan amiloidosis kulit lokal primer
familial, sebuah sindrom yang ditandai dengan pruritus kulit yang parah. Meskipun
ekskoriasi kronis menghasilkan beberapa gambaran yang konsisten dengan lesi DA
kronis, tidak ada laporan peningkatan IgE atau atopi dalam populasi ini.
 Hiperalgesia melalui jalur nosiseptif juga telah terlibat dalam beberapa model pruritus
pada hewan. Baru-baru ini, neuron sensorik manusia telah ditunjukkan untuk
mengekspresikan IL-31RA dan memberi sinyal setelah paparan IL-31 in vivo dan in
vitro; proses ini tampaknya transien saluran reseptor potensial saluran kation ankyrin
subtipe 1 (TRPA1)-tergantung pada model murine.  Menariknya, TRPA1 diperlukan
untuk kedua histamin-independen gatal dimediasi oleh bradikinin dan penginderaan
iritasi lingkungan berbahaya.
Farmakologi
A. Sesuai Dengan Faktor Pencetus
Penggunaan antibiotik anti-stafilokokus sangat membantu dalam mengobati pasien yang
mengalami infeksi berat terhadap S.aureus. Penggunaan antibiotik sistemik tidak
direkomendasikan untuk pasien DA tanpa tanda infeksi. Antibiotik yang dapat digunakan
pada pasien DA antara lain kloksasilin, cephalexin, eritromisin, klindamisin and
amoksisilin-klavulanat. Eritromisin dan azitromisin dapat diberikan terhadap pasien DA
yang tidak mengalami kolonisasi oleh galur S. aureus yang resisten. Sefalosporin generasi
pertama, seperti sefaleksin direkomendasikan terhadap pasien dengan kelompok makrolid
resisten S. aureus. Mupirosin topikal digunakan untuk terapi lesi impetigo lokal dan
antibiotik sistemik untuk infeksi yang bersifat lebih luas. Penggunaan antibiotik
sistemik diberikan selama 1-2 minggu bersamaan dengan tatalaksana utama DA.
Infeksi dermatofita juga berkontribusi dalam eksaserbasi kejadian DA. Pasien dengan
DA mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap infeksi oleh Trichophyton rubrum.
Selain itu, Malassezia furfur juga ditemukan pada DA karena sifatnya yang merupakan
ragi lipofilik yang terdapat pada area seboroik di kulit. Derajat keparahan DA
berkurang setelah diobservasi pada pasien yang mendapatkan terapi antifungal.

B. Fototerapi
Sinar matahari memberikan keuntungan pada pasien DA sepanjang sunburn dan keringat
berlebihan dihindari. Banyak modalitas fototerapi yang efektif untuk DA, seperti
ultraviolet A-1 (UV-A1) (340-400 nm), ultraviolet B (UV-B), ultraviolet B spektrum
sempit (311 nm), dan ultraviolet A dengan psoralen (PUVA). Fototerapi digunakan
sebagai terapi lini kedua, setelah terapi lini pertama tidak berhasil. Terapi maintenance
juga biasanya memerlukan fototerapi supaya lebih efektif untuk DA kronik. UV-B
spektrum sempit dan UV-A1 paling sering digunakan sebagai modalitas terapi DA berat
baik pada anak dan dewasa. Mekanisme fototerapi dalam DA masih belum diketahui
secara jelas, namun terdapat efek berupa imunosupresif lokal dan antiinflamasi yang
berperan penting. Efek imunomodulator fototerapi terjadi melalui induksi apoptosis sel-T,
penurunan jumlah sel dendritik, dan ekspresi sitokin interleukin (IL-5, IL-13, IL-31) setelah
terapi dengan UV-A1. Selain itu, UV-B juga dapat menurunkan jumlah kolonisasi S.
aureus pada pasien DA. Studi menunjukkan perbaikan klinis yang signifikan pada kasus
DA dalam 2 minggu pertama dengan penggunaan fototerapi. Efek fototerapi akan segera
menghilang saat terapi dihentikan, hal ini mengindikasikan penggunaan fototerapi baik
digunakan saat eksaserbasi akut.
2
Fototerapi UV-A1 medium dose (50 J/cm ) dapat digunakan untuk mengontrol reaksi
akut, sedangkan UV-B spektrum sempit (penggunaan dua kali per minggu selama empat
minggu dilanjutkan satu kali per minggu selama empat minggu berikutnya dan UV-A1
dosis besar digunakan untuk dermatitis atopi kronik. Penggunaan fototerapi secara umum
sulit dan dapat menimbulkan respon stress pada anak kurang dari 8 tahun. Efek samping
penggunaan fototerapi jangka pendek dapat menyebabkan eritema, nyeri pada kulit, gatal
dan pigmentasi.
Efek samping jangka panjang dapat menjadi predisposisi lesi kanker pada kulit. Fototerapi
lebih dipilih digunakan pada dewasa dan anak usia di atas 12 tahun dengan DA
rekalsitran

C. Terapi Topikal
Pasien dengan dermatitis atopik memiliki barier kulit yang tidak normal. Hal tersebut
ditandai dengan adanya peningkatan kehilangan air secara transepidermal, sehingga
menyebabkan menurunnya kadar air dalam kulit. Efek tersebut akan menyebabkan kulit
menjadi kering (xerosis) dan pembentukan mikrofisura. Mikrofisura dan kerusakan kulit ini
merupakan
tempat masuknya patogen kulit, iritan, dan alergen. Mutasi dari gen filaggrin merupakan
salah satu faktor pencetus terjadinya penurunan faktor kelembaban alami pada lapisan
epidermal pasien DA. Contoh terapi hidrasi yang dapat dilakukan untuk mengembalikan
kelembaban kulit, antara lain adalah dengan mandi atau berendam dengan menggunakan
air hangat selama 10 menit. Hal ini dapat dikombinasikan dengan penggunaan emolien
atau medikasi topikal. Pelembab yang dapat digunakan tersedia dalam beberapa bentuk,
seperti losion, krim, atau salep. Terapi topikal akan menggantikan lipid yang abnormal
pada lapisan epidermal, mengembalikan kelembaban kulit, dan memperbaiki kerusakkan
barrier kulit. Jenis pelembab yang digunakan dapat mengandung humektan, emolien dan
oklusif atau yang mengandung bahan fisiologis, seperti lipid, seramid, dan Natural
Moisturizing Factor (NMF).
Terapi hidrasi lain yang dapat digunakan berupa wet dressings. Selain membantu dalam
proses hidrasi, wet dressings dapat mencegah kulit dari gesekan, sehingga mempercepat
waktu penyembuhan dari lesi. Wet dressings lebih direkomendasikan penggunaannya pada

kasus-kasus dermatitis kronik yang berat dan yang mengalami refrakter pada terapi. Wet
dressings dapat digunakan selama 24 jam dan dapat diulang beberapa kali dalam waktu
dua minggu. Hal yang perlu diperhatikan dari penggunaan wet dressings adalah dapat
menyebabkan terjadinya maserasi dari kulit, sehingga penggunaan wet dressings
memerlukan pengawasan ketat.
Terapi-terapi hidrasi tersebut sebaiknya dikombinasikan dengan penggunaan emolien
agar mencegah kemungkinan terjadi kulit kering dan fisura. Kombinasi dari penggunaan
emolien dan terapi hidrasi yang efektif dapat membantu mengembalikan barier dari lapisan
stratum korneum dan menurunkan angka penggunaan glukokortikoid topikal. Terapi
dengan menggunakan glukokortikoid topikal merupakan terapi yang digunakan untuk
mengendalikan kondisi eksaserbasi akut dari DA. Hal ini disebabkan oleh karena efek
samping yang dari penggunaan glukokortikoid topikal. Glukokortikoid topikal poten tidak
dianjurkan untuk digunakan di beberapa daerah tubuh, seperti wajah, genitalia, dan lipatan
tubuh.
Efek samping yang ditimbulkan juga timbul berdasarkan tingkat potensi dari
glukokortikoid topikal yang digunakan dan lama waktu pemakaian. Efek samping dari
glukokortikoid dapat dikategorikan menjadi efek samping lokal dan sistemik yang
disebabkan oleh penekanan pada hipotalamic-pituitary-adrenal glukokortikoid topikal di
daerah lesi dan emolien di daerah kulit yang sehat. Studi yang telah dilakukan sebelumnya
mendapatkan hasil bahwa penggunaan glukokortikoid topikal (krim betametasone valerat
0,1%) dan inhibitor kalsineurin topikal (krim pimekrolimus 1%) memberikan hasil yang
baik ketika diaplikasikan pada lesi DA. Terdapat tujuh tingkat dari glukokortikoid topikal
berdasarkan potensi untuk membuat efek vasokonstriksi dan anti-inflamasi. axis (HPA-
axis).
Efek samping lokal berupa adanya striae, atrofi kulit, dermatitis perioral, akne rosasea,
dan lain-lain. Glukokortikoid topikal poten memiliki efek penekanan kelenjar adrenal yang
lebih berat pada kelompok bayi dan anak-anak. Glukokortikoid topikal yang dapat
digunakan pada anak-anak dan telah disetujui oleh US Federal Drug Administration
(FDA) adalah desonide hydrogel, non-ethanolic foam, fluocinolon acetonid oil, dan krim
flutikason 0.05%. Krim dan salep mometasone disetujui untuk anak-anak berusia diatas 2

tahun. Glukokortikoid dengan potensi rendah, seperti hidrokortison dan glukokortikoid


dengan potensi sedang, yaitu triamsinolon 0,1% juga merupakan tatalaksana lini pertama

untuk lesi flare DA derajat ringan dan derajat sedang-berat pada bayi dan anak-anak.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan DA terdapat disregulasi
sistem imun pada kulit yang normal, sehingga glukokortikoid dengan potensi rendah dapat

dijadikan sebagai terapi rumatan. Glukokortikoid topikal dapat digunakan sebanyak dua
kali sehari sampai tiga hari setelah terjadi resolusi. Penggunaan pelembab untuk
mengurangi kulit kering dan aplikasi kortikosteroid topikal untuk mengontrol inflamasi
merupakan metode paling efektif untuk mengontrol rasa gatal pada pasien dengan DA.
Terapi topikal lain yang dapat digunakan dalam kasus DA adalah inhibitor kalsineurin.
Takrolimus dan pimekrolimus merupakan imunomodulator nonsteroid. Salep takrolimus
0.03% telah disetujui oleh FDA untuk tatalaksana intermiten dari DA derajat sedang
sampai berat pada anak-anak berusia diatas dua tahun. Krim pimekrolimus 1% juga telah
disetujui untuk DA derajat ringan sampai sedang pada anak-anak berusia diatas dua
tahun. Takrolimus dan pimekrolimus terbukti efektif dan aman digunakan untuk anak-anak.
Salep takrolimus dapat digunakan jangka panjang hingga empat tahun, sedangkan krim
pimekrolimus dapat digunakan sampai jangka waktu dua tahun. Efek samping dari
takrolimus yang paling sering terjadi adalah berupa sensasi terbakar sementara pada kulit.
D. Terapi Sistemik
Defisiensi vitamin-D sering bersamaan dengan DA yang berat. Vitamin-D meningkatkan
fungsi proteksi kulit, mengurangi kebutuhan kortikosteroid dalam mengontrol inflamasi,
dan memperbaiki fungsi antimikrobial kulit. Pasien dengan DA mendapatkan keuntungan
dari konsumsi suplemen vitamin-D, terutama bagi mereka yang mempunyai kadar rendah
atau asupan vitamin-D kurang. Antihistamin sistemik bekerja dengan menghambat
reseptor histamin (H-1) di jaringan dermis, sehingga mengurangi rasa gatal akibat
induksi oleh histamin. Hal tersebut menurunkan frekuensi garukan yang dapat
memperburuk kondisi penyakit. Histamin
hanya salah satu dari banyak mediator yang dapat menginduksi rasa gatal di kulit,
sehingga pasien akan mendapatkan manfaat minimal dari terapi antihistamin. Rasa gatal
biasanya memberat pada malam hari, sehingga penggunaan antihistamin sedatif
(hydroxyzine, diphenhydramine, chlorpheniramine) dapat memberikan keuntungan dari
efek sampingnya ketika digunakan saat malam hari.
Penggunaan intermiten antihistamin sedatif pada pasien usia di atas enam bulan
memberikan keuntungan dengan mengurangi rasa gatal pada malam hari. Efek penggunaan
antihistamin sedatif dapat mempengaruhi performa anak di sekolah, sehingga
penggunaan antihistamin non-sedatif lebih disarankan. Penggunaan antihistamin non-
sedatif tidak dianjurkan secara rutin untuk DA tanpa adanya urtikaria atau rinitis alergi.
Meskipun demikian, antihistamin non-sedatif memiliki keunggulan, yaitu dapat
mencegah migrasi sel inflamasi. Dosis antihistamin yang digunakan, antara lain
hydroxyzine 1-2 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis, sehingga penggunaan antihistamin
non-sedatif lebih disarankan. Penggunaan antihistamin non-sedatif tidak dianjurkan secara
rutin untuk DA tanpa adanya urtikaria atau rinitis alergi. Meskipun demikian,
antihistamin non-sedatif memiliki keunggulan, yaitu dapat mencegah migrasi sel
inflamasi. Dosis antihistamin yang digunakan, antara lain hydroxyzine 1-2 mg/kg/hari
dibagi dalam 2-3 dosis, chlorpheniramine 0.35 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis, serta
cetirizine 2.5-5 mg dua kali sehari. Penggunaan antihistamin topikal tidak
direkomendasikan untuk mengurangi rasa gatal pada DA, karena dapat menyebabkan
iritasi dan dermatitis kontak alergi (DKA).Obat imunosupresan sistemik pada kasus DA
merupakan obat pilihan terakhir. Penggunaan terapi imunosupresif sistemik pada DA
diindikasikan pada kejadian antara lain, DA chlorpheniramine 0.35 mg/kg/hari dibagi
dalam 2-3 dosis, serta cetirizine 2.5-5 mg dua kali sehari. Penggunaan antihistamin topikal
tidak direkomendasikan untuk mengurangi rasa gatal pada DA, karena dapat
menyebabkan iritasi dan dermatitis kontak alergi (DKA). Obat imunosupresan sistemik
pada kasus DA merupakan obat pilihan terakhir derajat berat atau refrakter terhadap
terapikonvensional dengan angka kekambuhan yang sering, manifestasi berat sehingga
menyebabkan terganggunya kualitas hidup pasien, pasien yang bergantung pada tiga atau
lebih penggunaan kortikosteroid sistemik dalam 12 bulan terakhir, sebagai opsi pada
pasien dengan komplikasi penggunaan kortikosteroid topikal atau sistemik jangka
panjang. Kriteria derajat keparahan DA dinilai dengan adanya keterlibatan area permukaan
tubuh lebih dari 20%, penilaian Scoring Atopic Dermatitis (SCORAD) lebih dari 40, total
SCORAD lebih dari 50, dan kualitas hidup yang buruk dinilai dari Dermatology Life
Quality Index dengan nilai lebih dari 21.
Kortikosteroid sistemik jarang diindikasikan untuk terapi DA kronik. Penggunaan
kortikosteroid sistemik sering menimbulkan kejadian rebound atau flare yang berat pada
DA saat terapi dihentikan. Penggunaan kortikosteroid oral jangka pendek dibatasi untuk
mengurangi eksaserbasi akut DA. Jika kortikosteroid oral jangka pendek diberikan, maka
diperlukan tapering-off dari dosis dan memulai perawatan intensif kulit, dengan
menggunakan kortikosteroid topikal dan mandi secara sering diikuti dengan aplikasi
pelembab, untuk mencegah rebound atau flare dari DA. Penggunaan kortikosteroid tidak
direkomendasikan untuk terapi rumatan jangka panjang. Efek jangka panjang
kortikosteroid umumnya menyebabkan efek ketergantungan obat dan penekanan HPA-axis.
Siklosporin merupakan obat imunosupresif poten yang bekerja pada sel-T dengan
mensupresi transkripsi gen sitokin. Siklosporin membentuk kompleks dengan protein
intraseluler, siklofilin, dan kompleks ini menghambat kalsineurin, fosfatase yang
dibutuhkan untuk aktivasi faktor nukleus sel-T, faktor penting dalam transkripsi gen
sitokin. Siklosporin merupakan opsi lini pertama untuk terapi DA refrakter. Penggunaan
siklosporin 3-5 mg/kg/hari untuk jangka pendek dan jangka panjang (selama satu tahun)
bermanfaat bagi anak-anak dengan DA yang berat dan refrakter. Terapi dimulai dengan
dosis 5 mg/kg/hari kemudian diturunkan menjadi 2 mg/kg/hari untuk dosis rumatan
minimal yang efektif. Siklosporin tidak dapat dijadikan monoterapi, tetapi tetap
memerlukan kombinasi dengan kortikosteroid topikal untuk mendapatkan efek remisi. Efek
samping jangka pendek yang mungkin timbul berupa mual dan parastesia, sedangkan
untuk jangka panjang dapat menyebabkan hipertensi, peningkatan kadar serum kreatinin
serta gangguan fungsi ginjal yang muncul dalam waktu 3-6 bulan setelah yaitu 10-22.5
mg/minggu (0.2-0.7 mg/kg/minggu).
Azatioprin merupakan analog purin dengan efek anti-inflamasi dan antiproliferatif.
Azatioprin dapat digunakan untuk DA derajat berat. Dosis awal azatioprin sebesar 0.5-1
mg/kg/hari, sedangkan untuk dosis maksimumnya sebesar 2-3.5 mg/kg/hari. Studi
komparatif menunjukkan adanya penurunan derajat keparahan DA sebesar 40% setelah 12
dan 24 minggu penggunaan metotreksat dan azathioprin. Mielosupresi atau kelainan
hematologi merupakan efek samping yang signifikan pada penggunaan azatioprin.
Azatioprin juga menunjukkan efikasi jangka panjang yang diberikan selama enam
bulan pada anak dan remaja DA di Asia, dan keparahan gejala klinis DA berkurang
dalam tiga bulan. Pasien yang mendapatkan terapi azatioprin atau mikofenolat mofetil
menunjukkan respon terapeutik setelah penggunaan selama 2-3 bulan.
Probiotik Lactobacillus rhamnosus galur GG telah terbukti mengurangi insidensi risiko
DA pada anak selama dua tahun pertama kehidupan. Respon terapi lebih jelas terlihat
pada pasien dengan hasil uji skin prick positif dan terdapat peningkatan kadar IgE. Probiotik
berperan dalam mengatur regulasi reaksi hipersensitivitas alergi dan menghambat
pembentukan antibodi IgE dengan menghambat respon imun yang dimediasi sel Th-2.
Studi menunjukkan terdapat probiotik di dalam air susu ibu (ASI) selain IgA dan IgG, enzim
antimikrobial, dan leukosit (90% neutrofil dan makrofag). Studi prospektif menunjukkan
bayi yang lahir dari ibu yang terapi.
Antimetabolit seperti mikofenolat mofetil merupakan penghambat biosintesis purin yang
digunakan sebagai imunosupresan pada kasus transplantasi. Mikofenolat mofetil dengan
dosis 1-2.5 gr/hari (25-50 mg/kg/hari untuk anak) telah terbukti efikasinya untuk DA
derajat sedang-berat dan dengan gejala refrakter. Penggunaan dihentikan ketika penyakit
tidak berespon dalam empat sampai delapan minggu. Antimetabolit lain seperti metotreksat
merupakan penghambat poten sintesis sitokin dan kemotaksis sel.
Metotreksat telah digunakan pada pasien dengan DA rekalsitran. Pada DA, dosis yang
digunakan lebih besar yaitu 10-22.5 mg/minggu (0.2-0.7 mg/kg/minggu).
Azatioprin merupakan analog purin dengan efek anti-inflamasi dan antiproliferatif.
Azatioprin dapat digunakan untuk DA derajat berat. Dosis awal azatioprin sebesar 0.5-1
mg/kg/hari, sedangkan untuk dosis maksimumnya sebesar 2-3.5 mg/kg/hari. Studi
komparatif menunjukkan adanya penurunan derajat keparahan DA sebesar 40% setelah 12
dan 24 minggu penggunaan metotreksat dan azathioprin. Mielosupresi atau kelainan
hematologi merupakan efek samping yang signifikan pada penggunaan azatioprin.
Azatioprin juga menunjukkan efikasi jangka panjang yang diberikan selama enam
bulan pada anak dan remaja DA di Asia, dan keparahan gejala klinis DA berkurang
dalam tiga bulan. Pasien yang mendapatkan terapi azatioprin atau mikofenolat mofetil
menunjukkan respon terapeutik setelah penggunaan selama 2-3 bulan.
Probiotik Lactobacillus rhamnosus galur GG telah terbukti mengurangi insidensi risiko
DA pada anak selama dua tahun pertama kehidupan. Respon terapi lebih jelas terlihat
pada pasien dengan hasil uji skin prick positif dan terdapat peningkatan kadar IgE. Probiotik
berperan dalam mengatur regulasi reaksi hipersensitivitas alergi dan menghambat
pembentukan antibodi IgE dengan menghambat respon imun yang dimediasi sel Th-2.
Studi menunjukkan terdapat probiotik di dalam air susu ibu (ASI) selain IgA dan IgG, enzim
antimikrobial, dan leukosit (90% neutrofil dan makrofag). Studi prospektif menunjukkan
bayi yang lahir dari ibu yang sehat dengan mendapatkan ASI eksklusif menyebabkan
penurunan angka kejadian DA sebesar 46% dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan
ASI.
Mengatasi Iritasi Kulit
Beberapa regimen dapat digunakan untuk mengatasi iritasi kulit akibat DA. Regimen utama adalah
topikal steroid. Regimen lain yang dikembangkan untuk mencapai remisi klinis bebas pengobatan
jangka panjang di antaranya immunomodulator dengan calcineurin inhibitor, interleukin inhibitor,
bahkan fototerapi.
Steroid Topikal
Steroid topikal merupakan terapi pilihan utama untuk DA. Bahan dasar salep lebih disukai terutama
pada lingkungan yang kering. Steroid topikal yang dapat dapat digunakan adalah:
a. Hidrokortison 1%, diaplikasikan 2 kali sehari pada lesi di area wajah dan lipatan
b. Triamsinolon dan betamethasone valerate (steroid potensi sedang), diaplikasikan 2 kali sehari
pada lesi di seluruh tubuh, hindari area wajah dan lipatan
c. Regimen bubuk hidrokortison 1.25% dalam acid mantle, digunakan tipis-tipis sebagai pelembab
untuk terapi pemeliharaan, dinilai efektif dan aman untuk digunakan dalam periode bulan
Steroid dihentikan saat lesi menghilang, dan diberikan kembali jika lesi baru muncul. Pada
sebuah penelitian oleh Heck et al, dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid topikal untuk DA
di area kelopak mata dan daerah periorbital aman, tetapi harus memperhatikan efek
samping glaukoma dan katarak
Calcineurin Inhibitor Topikal
Calcineurin inhibitor merupakan terapi imunomodulator yang saat ini digunakan sebagai terapi lini
kedua DA. Regimen ini berfokus pada pengurangan gejala dengan mengendalikan peradangan kulit
yang tidak berhasil dengan kortikosteroid topikal. Pilihan regimen ini adalah:
a. Salep takrolimus 0,03% yang sudah disetujui sebagai terapi berkala untuk DA sedang hingga
berat pada anak usia 2 tahun ke atas
b. Krim pimekrolimus 1% dapat digunakan sebagai terapi DA ringan hingga sedang pada pasien
anak usia 2 tahun ke atas
Takrolimus dan pimekrolimus dapat diberikan dengan cara dioleskan tipis sebanyak 2 kali sehari,
dan digunakan sampai gejala DA hilang. Takrolimus terbukti aman dan efektif untuk digunakan
selama 4 tahun, sedangkan pimekrolimus sampai 2 tahun. Terapi imunomodulator untuk DA ini
harus dikembangkan untuk mencapai remisi klinis bebas pengobatan jangka panjang, dengan
induksi toleransi imun.
Interleukin Inhibitor Subkutan
Interleukin inhibitor merupakan terapi DA terbaru yang bertujuan agar pasien bebas pengobatan
jangka panjang. Terapi DA yang ditargetkan ini berdasarkan pemahaman yang lebih baik tentang
patofisiologinya. Beberapa pengobatan interleukin inhibitor yang dipublikasikan telah pada fase II
dan III adalah dupilumab, tralokinumab, lebrikizumab, nemolizumab, antibodi anti-OX40, baricitinib,
abrocitinib, dan upadacitinib.
Dupilumab merupakan antibodi monoklonal yang menghambat pensinyalan IL-4 dan IL-3. Pada
Maret 2017, FDA sudah menyetujui penggunaan Dupiluma dengan DA sedang hingga berat yang
tidak dapat dikontrol dengan terapi topikal yang umum digunakan. Dupilumab diberikan dalam dosis
600 mg secara subkutan, kemudian dilanjutkan 1 minggu setelahnya dengan dosis 300 mg secara
subkutan
Fototerapi
Sinar matahari alami dapat memberikan manfaat bagi pasien DA, tetapi sinar matahari yang terlalu
panas dan menyengat akan memicu keringat dan pruritus. Oleh karena itu, fototerapi
dengan broadband UVB, broadband UVA, narrowband UVB (311 nm), UVA-1 (340-400 nm), dan
kombinasi UVAB dapat dipilih sebagai terapi tambahan DA
Fototerapi umumnya dianggap aman dan dapat ditoleransi dengan baik, dengan persentase efek
samping jangka pendek dan jangka panjang yang rendah. Efek jangka pendek dapat berupa eritema,
nyeri kulit, pruritus, dan pigmentasi. Sedangkan efek jangka panjang adalah penuaan kulit dini dan
keganasan kulit. Sehingga fototerapi harus dilakukan dengan hati-hati, terutama pada pasien anak,
dan harus mempertimbangkan kondisi pasien secara keseluruhan.
Mengurangi Gejala Secara Sistemik
Antihistamin oral dapat diberikan untuk mengurangi gejala gatal dan reaksi inflamasi, misalnya obat
hydroxyzine dan diphenhydramine. Namun, penggunaan obat sistemik ini tidak efektif tanpa
perawatan lain. Pada pasien dengan eksim herpetikum, efektif diberikan asiklovir sistemik. Pada
pasien DA berat, terutama pada orang dewasa, pemberian methotrexate, azathioprine, cyclosporine,
dan mycophenolate mofetil telah terbukti bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai