PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dermatitis atopik (Eksim) adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal
yang umumnya berkembang saat masa awal kanak-kanak dimana distribusi lesi ini sesuai
dengan umur. Dermatitis atopik merupakan manifestasi pertama dan tersering dari atopic
march, dan bila tidak diatasi dengan tepat akan berlanjut menjadi rinitis alergi atau asma
sebesar 80% (Kim, 2008). Dermatitis atopik sering dialami pada anak-anak, prevalensinya
sekitar 10-20% di negara maju. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi meningkat 2-3 kali lipat,
prevalensi pada anak-anak 5-15%. Prevalensi dermatitis atopik diestimasikan 15~30% pada
anak dan 2~10% pada dewasa, sedangkan insidensi dermatitis atopik meningkat 2 hingga 3
kalinya selama 3 dekade terakhir di negara industri (Bieber, 2010). Di Indonesia, prevalensi
dermatitis atopik diestimasikan sebesar 10% dari total populasi, peyakit ini paling banyak
dialami pada anak-anak dan individu dengan usia produktif (Brahmanti, 2010). Pada anak,
prevalensi dermatitis atopik dengan onset 6 bulan pertama kehidupan sekitar 45%, dan 60%
pada tahun pertama kehidupan, dan 85% sebelum usia 5 tahun (Bieber, 2010). Prevalensi dan
intensitas berkurang semakin bertambahnya usia (Rottem et al., 2004). Selain itu, prevalensi
dermatitis atopik lebih tinggi di perkotaan daripada pedesaan pada negara maju, dan penyakit
ini lebih sering pada masyarakat dengan kelas sosial tinggi (Leung & Bieber, 2003). Dampak
negatif dari dermatitis atopik tidak hanya pada kulit. Anak dengan dermatitis atopik
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya infeksi, gangguan mental, dan penyakit
alergi yanglainnya dibanding dengan anak tanpa atopi. Komorbiditas utama pasien dermatitis
atopik adalah infeksi Staphylococcus aureus dan eksim herpetikum. Gatal kronis, kurang
tidur, serta waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan sangat merugikan pasien dan
keluarga. Dermatitis atopik juga dapat mengurangi prestasi di sekolah, dan rasa percaya diri
(Lyons et al., 2015). Penyebab penyakit dermatitis atopik adalah multifaktorial, seperti
alergen hirupan (kutu debu rumah, polen, bulu binatang), polusi, iklim, diit dan faktor
prenatal atau awal kehidupan seperti infeksi. Setelah usia 3 tahun, prevalensi alergi makanan
menurun. Namun demikian, sensitisasi terhadap alergen hirupan menjadi lebih sering. Hal ini
dapat dibuktikan dengan pasien dengan dermatitis atopik berat maupun sedang lebih sering
menunjukkan hasil tes IgE positif terhadap kutu debu rumah, jamur (Alternaria) dan ragi
(Malassezia) dibanding pada pasien asma atau nonatopik (Caubet & Eigenmann, 2010).
Perkembangan ilmu dan teknologi akhir-akhir ini demikian pesat dan banyak penemuan,
penelitian dalam ilmu kedokteran yang telah dicapai, khususnya di bidang biologi molekuler
dan imunologi. Hal ini memudahkan kita untuk mengenal dan mempelajari berbagai penyakit
yang ada di masyarakat. Salah satu yang menarik dan banyak diteliti adalah masalah
Dermatitis Atopik yang sampai sekarang etiopatogenesisnya masih belum diketahui.
A. Dermatitis
Dermatitis adalah peradangan non-inflamasi pada kulit yang bersifat akut, sub-akut,
atau kronis dan dipengaruhi banyak faktor. Menurut Djuanda (2011), dermatitis adalah
peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen
dan endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal.
Terdapat berbagai macam dermatitis, dua diantaranya adalah dermatitis kontak dan dermatitis
atopik (Djuanda, 2011). Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau
substansi yang menempel pada kulit. Dermatitis kontak dibedakan menjadi dua yaitu
dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergi (DKA). DKI dan DKA dapat
bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan adalah kerusakan kulit yang terjadi lansung
tanpa diketahui proses sensitasi. Dermatitis alergik adalah kelainan kulit yang terjadi
padaseseorang yang mengalami sensitifitas karena suatu alergen (Djuanda, 2011) Dermatitis
atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat kronis dan sering terjadi
kekambuhan (eksaserbasi) terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula pada dewasa.
Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya
riwayat rinitis alergika dan atau asma pada keluarga maupun penderita. Menurut definisi
Rajka dermatitis atopik adalah suatu inflamasi yang spesifik pada kompartemen
dermoepidermal, terjadi pada kulit atopik yang bereaksi abnormal; dengan manifestasi klinis
timbulnya gatal dan lesi kulit inflamasi bersifat eczematous. Istilah dermatitis banyak
digunakan oleh para dermatologist yang berorientasi pada sumber ilmu dari Amerika,
digunakan untuk mengganti kata “eksema” yang banyak dipakai di benua Eropa (Sudigdoadi,
1995). Kata eksema sendiri telah lama dikenal sejak dahulu yaitu pada zaman sebelum
masehi, berasal dari bahasa Yunani “ekzein” yang berarti mendidih atau berbuih (Champion,
1993). Istilah eksema ini barangkali digunakan untuk menggambarkan penyakit kulit yang
beragam ujud kelainan kulitnya, seperti air mendidih.
B. Gejala klinis
Gejala klinis DA secara umum adalah gatal, kulit kering dan timbulnya eksim
(eksematous inflammation) yang berjalan kronikdan residiv. Rasa gatal yang hebat
menyebabkan garukan siang dan malam sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch
mark) yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi atau ekskoriasi
dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis. Papula dapat terasa
sangat gatal (prurigo papules) bersamaan dengan timbulnya vesikel (papulovesikel) dan
eritema, merupakan gambaran lesi eksematous. Prurigo papules, lesi eksematous dan
likenifikasi dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan terjadi eksudasi yang berakhir
dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah (weeping) dan berkrusta sering
didapatkan pada kelainan yang lanjut (Champion, 1993). Awal timbulnya DA berdasar usia
dapat terjadi pada masa bayi, anak dan dewasa. Gejala pada bayi biasanya mulai pada wajah
kemudian menyebar terutama ke daerah ekstensor dan lesi biasanya basah, eksudativ,
berkrustae dan sering terjadi infeksi sekunder. Pada kurang dari setengah kasus kelainan kulit
akan menyembuh pada usia 18 bulan, dan sisanya akan berlanjut menjadi bentuk anak
(Champion, 1993). Lesi DA pada anak berjalan kronis akan berlanjut sampai usia sekolah
dan predileksi biasanya terdapat pada lipat siku, lipat lutut, leher dan pergelangan tangan.
Jari-jari tangan sering terkena dengan lesi eksudativ dan kadang-kadang terjadi kelainan
kuku. Pada umumnya kelainan pada kulit DA anak tampak kering, dibanding usia bayi dan
sering terjadi likenifikasi. Perubahan pigmen kulit bisa terjadi dengan berlanjutnya lesi,
menjadi hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi bahkan depigmentasi (Hanifin JM.
1996).
C. Diagnosis
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan atas berbagai fenomena klinis
yang tampak menonjol, terutama gejala gatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis
dermatitis atopik tidak dapat dibuat tanpa adanya riwayat gatal. Dalam perkembangan
selanjutnya seiring dengan kemajuan di bidang imunologi maka untuk diagnosis DA mulai
dimasukkan uji alergi sebagai kriteria diagnosis. Pemeriksaan/uji alergik tersebut adalah uji
tusuk (=skin pricktest) terhadap bahan alergen inhalan dan pemeriksaan kadar IgE total di
dalam serum penderita DA. The Europian Task Force on Atopic Dermatitis membuat suatu
indek untuk menstandardisasi diagnosis DA, dikenal dengan istilah SCORAD (Score of
atopic dermatitis) (Rothe, 1996).
D. Imunopatogenesis Dermatitis Atopik
Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya sangat kompleks
serta melibatkan banyak faktor, sehingga menggambarkan suatu penyakit yang multifaktorial.
Salah satu teori yang banyak dipakai untuk menjelaskan patogenesis DA adalah teori
imunologik. Konsep imunopatologi ini berdasarkan bahwa pada pengamatan 75% penderita
DA mempunyai riwayat penyakit atopi lain pada keluarga atau pada dirinya. Selain itu
beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada DA, seperti peningkatan kadar IgE
dalam serum pada 60-80% kasus, adanya IgE spesifik terhadap bermacam aerolergen dan
eosinofilia darah serta diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel Langerhans
epidermal. Pada DA didapatkan pula abnormalitas imunitas seluler, dengan manifestasi
klinisnya antara lain penderita lebih rentan terhadap infeksi virus seperti herpes simpleks
virus, vaccinia, coxsackie A16 dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi kronis
dermatofita serta menurunnya kepekaan pada alergen kontak yang spesifik. Peranan reaksi
alergi pada etiologi DA masih kontroversi dan menjadi bahan perdebatan di antara para ahli.
Istilah alergi dipakai untuk merujuk pada setiap bentuk reaksi hipersensitivitas yang
melibatkan IgE sebagai antibodi yang terjadi akibat paparan alergen. Beberapa peneliti
menyebutkan alergen yang umum antara lain, sebagai berikut (Rothe, 1996) :
1. Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah (house dust mite), serbuk sari buah
(polen), bulu binatang (animal dander), jamur (molds) dan kecoa
2. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum
3. Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus, streptococcus species, dan ragi
(yeast) seperti pityrosporum ovale, candida albicans dan trichophyton species.
4. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektans, nikel, Peru balsam dan sebagainya.
Imunopatogenesis DA dimulai dengan paparan imunogen atau alergen dari luar yang
mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi setelah inhalasi atau secara langsung melalui kontak
dengan kulit. Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimana alergen akan “ditangkap”
oleh sel penyaji antigen (antigen presenting cell = APC) untuk kemudian diproses dan
disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal ini menyebabkan
sel T menjadi aktif dan mengenali alergen tersebut melalui reseptor (T cell receptor = TCR).
Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresi
IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi
IgE (yang spesifik terhadap alergen). Begitu ada di dalam sirkulasi IgE segera berikatan
dengan sel mast (=MC) dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah tersedia pada
permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE. Ikatan Ini akan
menyebabkan degranulasi MC. Degranulasi MC akan mengeluarkan mediator baik yang telah
tersedia (preformed mediators) seperti histamin yang akan menyebabkan reaksi segera,
ataupun mediator yang baru dibentuk (newly synthesiized mediators) seperti leukotrien C4
(LTC4), prostaglandin D2 (PGD2) dan lain sebagainya (Leung & Hamid , 1996).
Ad 2 : Mengeliminasi allergen yang telah terbukti Alergen yang telah terbukti sebagai
pemicu kekambuhan harus dihindari, seperti makanan, debu rumah, bulu bulu binatang,
serbuk sari tanaman dan sebagainya.
Ad 4 : Pemberian pelembab kulit (moisturizing) Pelembab bisa berbentuk cairan, krim atau
salep. Pemakaian pelembab dapat memperbaiki fungsi barier stratum korneum dan
mengurangi kebutuhan steroid topikal.
Ad 5 : Kortikosteroid topikal Kortikosteroid topikal dipakai sebagai anti inflamasi dan anti
pruritus dan berguna pada saat eksserbasi akut. Selain itu berkhasiat pula sebagai anti mitotik.
Berdasar potensi kedua khasiat tadi steroid digolongkan menjadi steroid dengan potensi
lemah, sedang, kuat dan sangat kuat. Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih yang
paling lemah potensinya yang masih efektif .Oleh karena makin kuat potensi makin banyak
efek samping seperti atrofi kulit, hipopigmentasi, erupsi akneformis, infeksisekunder dan
terjadinya striae
Metode Pengobatan :
1. Pengobatan untuk kasus-kasus sulit DA yang sulit disembuhkan (recalcitrant disease) perlu
perhatian khusus dan bila mulai didapatkan tanda-tanda eritrodermik atau toxik harus dirujuk
ke rumah sakit dimana ada pelayanan spesialis seperti RSUD Dr. Moewardi Solo.
Hospitalisasi juga dipertimbangkan untuk kasus-kasus dengan lesi meluas, derajat berat dan
resisten terhadap pengobatan.
2. Pengobatan (masa depan) dengan Imunomodulator DA merupakan kelainan yang disertai
gangguan respon imunatau kelainan regulasi sistem imun.
Maka pengobatan ideal harus ditujukan adalah memperbaiki gangguan tersebut.
Kortikosteroid sebagai anti inflamasi mempunyai efek imunomodulator juga yaitu dengan
cara menghambat proliferasi sel T dan produksi sitokin secara invitro. Beberapa obat yang
(kelak) dipakai sebagai imunomodulator adalah sebagai berikut: a. Interferon: Telah terbukti
bahwa IFN- dapat menekan sintesis IgE dan menghambat fungsi dan proliferasi sel Th2.
Beberapa percobaan menunjukkan terapi IFN- dapa menurunkan derajat penyakit dan jumlah
eosinofil dalam darah. b. Siklosporin A (CsA)/ Fk 506: Obat imunosupresi yang potent,
bekerja langsung pada sel T dengan menekan transkripsi sitokin. Secara in vitro CsA dapat
menekan produksi IL-5 dan menurunkan jumlah eosinofil. FK 506 merupakan imunosupresi
dengan spektrum aktivitas sama dengan CsA dalam bentuk oinment (tacrolimus). Pada
percobaan awal obat ini dapat mengurangi gatal dalam waktu 3 hari dan pada biopsi infiltrasi
sel T dan eosinofil pada dermis berkurang secara nyata. c. Anti-sitokin: Anti IL-5 antibodi,
pada percobaan binatang dapat mencegah infiltrasi sel eosinofil sehingga akumulasi sel ini
terhambat sampai 3 bulan. Obat ini berperan penting pada DA kronik karena pada inflamasi
kronik didominasi ekspresi IL-5 dan infiltrasi eosinofil. Reseptor IL-4 yang larut (soluble IL-
4 receptor), 0bat ini efektif mengikat IL4 sehingga menekan IL-4 sehingga menekan fungsi
sel T dan sel B yang diperantarai IL-4. sIL-4R juga menghambat produksi IgE spesifik
(terhadap paparan alergen).
F. Pelayanan Kefarmasian Dan Peran Apoteker Dalam Penatalaksanaan Eksim
Konsep pelayanan kefarmasian lahir karena kebutuhan untuk bisa mengkuantifikasi
pelayanan Kefarmasian yang diberikan, baik di klinik maupun di apotik (komunitas),
sehingga peran apoteker dalam pelayanan kepada pasien dapat terukur. Penekanan Pelayanan
Kefarmasian terletak pada dua hal utama, yaitu:
1. Apoteker menentukan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan pasien sesuai kondisi
penyakit
2. Apoteker membuat komitmen utk meneruskan pelayanan setelah dimulai secara
berkesinambunngan
Berkembangnya paradigma baru tentang pelayanan kefarmasian ini tidak jarang
mengundang salah pengertian profesi kesehatan lain. Oleh sebab itu perlu ditekankan bahwa
Pelayanan Kefarmasian yang dilakukan seorang apoteker bukan untuk menggantikan dokter
atau profesi lain, namun lebih pada pemenuhan kebutuhan dalam sistem pelayanan kesehatan
yang muncul, antara lain:
1. Adanya kecenderungan polifarmasi, terutama untuk pasien lanjut usia ataupun penderita
penyakit kronis.
2. Makin beragamnya produk obat yang beredar di pasaran berikut informasinya
Peningkatan kompleksitas terapi obat
3. Peningkatan morbiditas & mortalitas yang disebabkan masalah terapi obat
4. Mahalnya biaya terapi apalagi bila disertai kegagalan terapi
Secara prinsip, Pelayanan Kefarmasian terdiri dari beberapa tahap yang harus
dilaksanakan secara berurutan:
1. Penyusunan informasi dasar atau database pasien
2. Evaluasi atau Pengkajian (Assessment)
3. Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian (RPK)
4. Implementasi RPK
5. Monitoring Implementasi
6. Tindak Lanjut (Follow Up)
Untuk lingkungan praktek yang minim data pasien seperti di apotek, maka perlu
penyesuaian dalam praktek pelayanan kefarmasian. Tahap penyusunan dan evaluasi
informasi dengan cara wawancara (interview) menjadi tumpuan untuk menentukan tahap
selanjutnya dalam pelayanan kefarmasian. Seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian harus
dicatat dalam satu dokumen khusus.