1. DEFINISI
Dermatitis atopik adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis
residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama diwajah pada
bayi (Fase infantil) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak).1
2. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis atopik adalah masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia,
dengan prevalensi pada anak 10-20% di Amerika Serikat, Eropa utara dan barat,
Afrika, Jepang, dan Australia.Prevalensi DA pada orang dewasa adalah sekitar 1
-3%.Sulit memperoleh data yang akurat mengenai epidemiologi, insidens, maupun
prevalensi di Indonesia. Prevalensi dermatitis atopik bervariasi, sebagai contoh
prevalensi DA yang diteliti di Singapura tahun 2002 menggunakan kriteria united
kingdom (UK) working party pada anak sekolah (usia 7-12 tahun) sebesar 20,8% dari
12.323 anak. Penelitian di Hannover (Jerman) prevalensi DA (menggunakan kriteria
Hanifin Rajka) pada anak sekolah (5-9 tahun) ditemukan sebesar
anak. 1,2
3. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi berbagai faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor predisposisi genetik (melibatkan
banyak gen) yang menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahan pada system
imun, khususnya hipersensitivitas terhadap berbagai alergen dan antigen mikroba.
Faktor psikologis dapat merupakan penyebab atau sebagai dampak Dermatitis Atopik.
Pada makalah ini akan ditinjau hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA
meliputi perubahan pada sistem imun (imunopatologik), alergen dan antigen,
predisposisi genetik, mekanisme pruritus, dan faktor psikologis.1
I.
Dermatitis atopik erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit akibat
menurunnya fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan lokirin),
berkurangnya volume seramid serta meningkatnya enzim proteolitik dan trans
epidermal- water loss (TEWL). TEWL pada pasien DA meningkat 2-5 kali orang
normal. Sawar kulit dapat juga menurun akibat terpajan protease eksogen yang
berasal dari tungau debu rumah (house dust mite) dan superantigen Staphylococcus
aureus (SA)serta kelembaban udara. Perubahan sawar kulit mengakibatkan
peningkatan absorpsi dan hipersensitivitas terhadap alergen (misalnya alergen hirup
tungau debu rumah). Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas menyimpan air
(skin capacitance), serta perubahan komposisi lipid esensial kulit, menyebabkan kulit
DA lebih kering dan sensitivitas gatal gatal terhadap berbagai rangsangan bertambah.
Garukan akibat gatal menimbulkan erosi atau ekskoriasi yang mungkin dapat
meningkatkan penetrasi mikroba dan kolonisasi mikroba dikulit. Peningkatan
hipersensitivitas tersebut berdampak pula pada meningkatnya sensitivitas respirasi
pasien DA terhadap alergen dikemudian hari. 1
II.
sel eosinophil yang merupakan salah satu parameter DA. Lesi akut DA ditandai
dengan edema interseluler (spongiosis) dan sebukan infiltrate di epidermis yang
terutama terdiri atas limfosit T. Sel Langerhans (LC) dan makrofag (sebagai sel
dendritic pemajan antigen/antigen presenting cell) mengekspresikan molekul IgE. Di
dermis sebukan sel radang terdiri atas limfosit T dengan epitope CD3, CD4. Dan
CD45R, monosit makrofag, sedangkan sel eosinophil jarang terlihat, jumlah sel mas
normal tetapi aktif berdegranulasi. Lesi kronik DA ditandai hiperplasi epidermis,
pemanjangan rate ridges, sedikit spongiosis, dan hyperkeratosis. Terdapat
peningkatan LC dan jumlah IgE di epidermis, infiltrate di dermis lebih banyak
mengandung sel mononuclear/ makrofag, dan sel mas yang bergranulasi penuh,
banyak sel eosinophil, serta tidak ada neutrophil walaupun terdapat peningkatan
kolonisasi dan infeksi Staphylococcus aureus.
Pada fase akut sel T- helper 2 (TH-2) melepaskan sitokin (IL-4 dan IL 13)
yang menginduksi pembentukan IgE dan ekspresi molekul adhesi sel endotel,
sedangkan IL-5 menginduksi dan memelihara sel eosinophil pada lesi kronik DA.
Pada fase kronik sitokin yang berperan adalah IL-12 dan IL-18 yang dihasilkan oleh
sel T helper -1 (TH-1), IL-11, dan transforming growth factors -1. 1
Sel efektor pada reaksi imunologik DA :1
1. Keratinosit memiliki berbagai kemampuan, antara lain sebagai signal
transducer (pencetus signal), sebagai sel asesori, dan sebagai sel penyaji
antigen (SPA); oleh karena itu, keratinosit sekarang lebih dianggap sebagai
pelaku aktif system imum diepidermis. Pada mekanisme inflamasi di
epidermis selain keratinosit, sel Langerhans (LCs) merupakan SPA poten
(mengekspresikan
MHC
II
dan
memiliki
reseptor
IgE)
dan
juga
berbagai alergen,
berperan penting pada terjadinya Dermatitis Atopik. ALergen hirup lainnya yang
sering memengaruhi adalah human dander, animal dander, molds, grasses, trees,
ragweed, dan pollen.Beberapa penelitian membuktikan peningkatan kadar IgE
spesifik (IgE RAST) terhadap tungau debu rumah (D.pteronyssinus) lebih tinggi pada
pasien lain DA dibandingkan dengan kondisi lain (OR>20). Kadar IgE spesifik
meningkat terhadap debu rumah, bulu anjing, bulu kucing, bulu kuda dan jamur. Hasil
uji temple terhadap alergen tugau debu rumah menginduksi perubahan histopatologik
berupa pembentukan infiltrate selular yang diperantarai sel T (TH-2) serta ditemukan
eosinoifil dan basofil. Bukti lain adalah berkurangnya reaksi alergi bila menghindari
alergen. Penelitian Ridhawati Muchtar tahun 2000 di Divisi Kulit Anak, Poliklinik
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, pada 20 DA anak kelompok usia 4-7 tahun
didapatkan uji tusuk terhadap TDR positif pada 14 (70%) DA anak, dan uji atopic
patch test (APT) positif pada 10 (50%) DA anak, IgE spesifik terhadap TDR positif
pada 12 (60%) DA anak. 1
Hasil penelitian alergi terhadap makanan bervariasi dalam jenis dan frekuensi.
Selain dilakukan anamnesis riwayat alergi makanan pada kekambuhan DA, atau
dengan IgE RAST, dapat juga dibuktikan dengan uji kulit antara lain uji tusuk (prick
test), soft allergen food patch test (SAFPT) atau atopi patch test, dan double blind
placebo controlled food challenge test (DBPCFCT). Data hasil satu penelitian
memperlihatkan urutan alergen yang sering ditemukan dan uji kulit bereaksi positif
pada DA adalah telur (69%), susu sapi (52%), kacang kacangan (peanuts) (42%),
soya (34%), dan gandum (wheat) 33%, serta lainnya terhadap ikan dan ayam. 1
b. Superantigen
IV.
Presisposisi genetik
Penelitian genetic berdasarkan silsilah keluarga menyatakan, bahwa risiko
Dermatitis Atopik pada kembar monozigot sebesar 77% dan pada kembar dizigot
25%. Dermatitis atopic serinng dijumpai pada sebuah keluarga, namun penurunannya
tidak mengikuti hukum Mendel. Ada kecenderungan lebih banyak terjadi pada
perempuan dan ditemukan banyak gen yang terlibat pada DA, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pola warisan DA bersifat multifaktorial. Uehera dan Kimura
(1993) menyatakan bahwa 60% pasien DA mempunyai anak atopi. Jika kedua orang
tuanya menderita DA, maka 81% anaknya berisiko menderita DA. Apabila hanya
salah satu orang tuanya menderita DA maka risiko menderita DA menjadi 59%.
Peneliti lain menemukan pada ibu berpenyakit DA menunjukan rasio Odds ( RO)
anak kandung sebesar 2,66; sedangkan bila ayah yang menderita DA maka risikonya
menjadi 1,29. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penurunan DA cenderung
bersifat maternal. Sejak lama telah diketahui keterikatan antara dermatitis atopik,
asma bronkial, rhinitis alergi, dan peningkatan kadar IgE dalam serum dengan human
leukocyt antigen (HLA) pada kromosom 6 dan lokus yang berbeda. Hasil penelitian
sebagai berikut. 1
Tidak semua fenotip Dermatitis Atopik diekspresikan oleh genotip. Gen predisposisi
atopi pada rasa tau negara tertentu hasilnya bervariasi. Keadaan ini lazim ditemukan
pada pola penurunan yang bersifat multifaktor. 1
V.
mast kulit bukanlah penyebab eksklusif pruritus di AD, karena H1 antihistamin tidak
efektif dalam mengendalikan gatal AD. Molekul yang telah terlibat dalam pruritus
mencakup sitokin T-sel seperti IL-31, stres yang diinduksineuropeptida, dan protease
eikosanoid dan protein eosinofil.1,2
VI.
Faktor Psikologis
Pada psikoanalisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada Dermatitis Atopik
tergolong tinggi, antara lain berupa rasa cemas, stress, dan depresi. Rasa gatal yang
hebat memicu garukan yang terus menerus sehingga menyebabkan kerusakan kulit,
sebaliknya dengan melihat kerusakan kulit rasa cemas makin meningkat. Rasa cemas
bertambah manakala pasien bertemu dengan saudara, teman teman sekolah dan
kesukaran menghentikan garukan. Pasien DA mempunyai kecenderungan bersifat
temperamental, mudah marah, agresif, frustasi, dan sulit tidur.1
VII.
yeast.
Infeksi virus
Lain lain : makanan, faktor psikogenik, iklim, hormon. 1,4
4. KLASIFIKASI
Klasifikasi dermatitis atopik umumnya didasarkan atas keterlibatan organ
tubuh, dermatitis atopik mumi hanya terdapat dikulit, sedangkan dermatitis atopic
dengan kelainan di organ lain, misalnya asma bronchial, rhinitis alergika, serta
hipersensitivitas terhadap alergen polivalen (hirup dan makanan). Bentuk
dermatitis atopik mumi terdiri atas 2 tipe, yaitu tipe dermatitis atopic intrinsik dan
eksterinsik. Dermatitis atopi interinsik adalah dermatitis atopi tanpa bukti
hipersensitivitas terhadap alergen polivalen dan tanpa peningkatan kadar IgE total
di dalam serum. Tipe kedua adalah DA eksterinsik, bila terbukti pada uji kulit
terdapat hipersensitivitas terhadap alergen hirup dan makanan. Klasifikasi yang
lebih praktis untuk aplikasi klinis didasarkan atas usia saat terjadinya DA, yaitu
DA fase infantil, anak dan dewasa.1
11
Gambar 2.2 Likenifikasi dan eksoriasi pada dorsal manus anak dengan dermatitis
atopik
Gambar 2.3 Pengerasan kulit dari lesi ekzematosa pada dermatitis atopik masa anak
anak. B. Eksoriasi papula dan pengerasan kulit (dengan infeksi sekunder).
12
Gambar 2.4 Konfluen eritematosa papul pada pipi dari bayi dengan dermatitis
subakut.
13
<10 tahun)
Riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada anak <4 tahun
tahun)
Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak <4tahun).
Kriteria William lebih sederhana, praktis, dan cepat, karena tidak memasukan
beberapa kriteria minor Hanifin Rajka yang hanya didapatkan pada kurang dari 50%
pasien dermatitis atopik. Kriteria William lebih sederhana, praktis dan cepat, karena
tidak memasukan beberapa kriteria minor Hanifin Rajka yang hanya didapatkan pada
kurang dari 50% pasien DA. Kriteria William lebih spesifik, sedangkan kriteria
Hanifin- Rajka lebih sensitif. 1
History
of
flexural
dermatitis
Personal
asthma
history
of
Dry skin
Ichthyosis
Palmar hyperlinearity
Keratosis pilaris
14
Cheilitis
Visible
Nipple eczema
flexural
dermatitis
Perifollicular keratosis
Pityriasis alba
Recurrent conjungtivitis
Keratoconus
Cataract
Orbital darkening
Perifollicular accentuation
Food intolerance
Major features
Minor features
Xerosis/ichthyosis/ hyperlinear
palms
Periauricular fissures
or lichenified dermatitis
Perifollicular accentuation
No
Kondisi
Luas Penyakit
Cir Ciri
Skor
a. Fase anak
Kurang dari 9% luas tubuh
Sekitar 9-36% luas tubuh
Lebih dari 36% luar tubuh
b. Fase infantil
Kurang dari 18% luas tubuh
Sekitar 18-54% luas tubuh
Lebih dari 54% luas tubuh
1
2
3
1
2
3
16
Kekambuhan
Lebih
remisi/tahun
Kurang dari
remisi/tahun
Terus menerus
Gatal
dari
bulan
bulan
2
3
ringan,
kadang
menganggu
tidur
dimalam hari.
Gatal sedang,
sering
Intensitas
hari
(tidak
terus
menerus)
Gatal hebat, menganggu
tidur sepanjang malam
(terus- menerus)
Cara lain menilai drajat sakit, yaitu dengan kriteria Notingham eczema
severity score (NESS). Hasil penelitian Prevention of atopy among children in
tomdheim (PACT) memperlihatkan bahwa lebih dari 70% anak dermatitis atopic di
17
diagnosis dengan kriteria UK Working Party, menderita dermatitis atopik ringan baik
dengan cara NESS maupun SCORAD.1
Indeks Score for atopic dermatitis (SCORAD)
A. Penilaian luas penyakit :
Dihitung menggunakan system rule of nine. Pada anak di bawah usia 2 tahun,
wajah dan kepala masing masing dihitung 8,5% dan kedua ekstremitas masing
masing 6%. Sedangkan pada orang dewasa, wajah dan kepala masing masing dinilai
4,5 dan kedua ekstremitas bawah masing masing dinilai 9%.
B. Penilaian Intensitas :
Parameter yang dinilai adalah morfologi pada kulit dengan dermatitis, yaitu
eritema, edema atau papul, eksudat atau krusta, eksoriasi, likenifikasi. Setiap lesi
dinilai sebagai berikut :
kulit diluar kelima lesi. Intensitas morfologi dinilai oleh 2 orang pengamat dengan
variasi (perbedaan) penilaian yang tidak bermakna. Standar penilaian intensitas pada
SCORAD adalah foto atau slide foto pasien.
C. Penilaian subjektif
Dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk kedua parameter
tersebut pasien diminta menilai dengan menggunakan visual analog scale dari 0
sampai dengan 10. Penilaian berdasarkan kesimpulan analogi drajat rasa gatal dan
tidak bisa tidur selama 3 hari atau 3 malam terakhir. Untuk anak usia di bawah 7
tahun pemberian nilai tidak dapat dipercaya, sehingga tidak ikut dinilai.
D. Total nilai indeks SCORAD : ditetapkan dengan menggunakan rumus A/5 +
7B/2 + C.
18
Untuk penilaian drajat sakit dapat dipakai Score for atopic dermatitis (SCORAD).
Penentuan indeks SCORAD tidak sederhana. Para pakar dermatitis atopik di Europa
telah mengadakan rapat kerja dan pelatihan untuk menyusun satu paduan cara menilai
drajat sakit DA. Untuk akurasi penilaian diperlukan pendapat dari 2 orang penilai,
yang menilai masing masing lesi. Penilaian kedua orang tersebut tidak berbeda
makna. 1
7. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dermatitis atopik bergantung pada fase atau usia, manifestasi
klinis, serta lokasi dermatitis atopik. Pada fase bayi dapat mirip dermatitis seboroik,
psoriasis, dan dermatitis popok. Sedangkan pada fase anak dapat mirip dengan
dermatitis numularis, dermatitis intertriginosa, dermatitis kontak, dan dermatitis
traumatika. Sedangkan pada fase dewasa lebih mirip dengan neurodermatitis atau
liken simpleks kronikus.1
19
INFEKSI SEKUNDER
Infeksi sekunder pada dermatitis atopic meliputi infeksi jamur, bakteri dan virus.
Infeksi tersering pada dermatitis atopik, terutama oleh bakteri kelompok Streptococci
B- hemolytic dan Stapphylococcus aureus. Bakteri tersebut berkolonisasi lebih tinggi
pada lesi dermatitis atopik dan di nares anterior. Akibat gangguan fungsi barrier
epidermis, kelembaban dan maserasi, serta faktor lingkungan yang mendukung, dapat
muncul infeksi pada pasien dermatitis atopic. Pytrirosporum ovale merupakan
penyebab infeksi jamur yang sering dijumpai. Infeksi oleh virus herpes simpleks atau
vaccinia dapat memunculkan erupsi Kaposis varicelliform, dikenal sebagai eksterna
hepatikum atau vaksinatum, walaupun jarang terjadi. Infeksi tersering yang dijumpai
di Indonesia ialah moluskum kontaginosum dan varisela.1
8. KOMPLIKASI
Dermatitis atopik yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi
kulit (striae atroficans) dapat terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang.1
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan bila ada keraguan klinis. Peningkatan
kadar IgE dalam serum juga dapat terjadi pada sekitar 15% orang sehat, demikian
pula kadar eosinofil, sehingga tidak patognomonik. Uji kulit dilakukan bila ada
dugaan pasien alergik terhadap debu atau makanan tertentu, bukan untuk diagnostik. 1
Histopatologis
Edema interseluler (spongiosis) adalah ciri khas eksim. Vesikel intraepidermal
terkait dengan infiltrasi limfositik juga terlihat. Pada penyakit yang lebih kronis,
terjadi psoriasiform hiperplasia.6
10. TATALAKSANA
Terapi
dermatitis
atopik
membutuhkan
pendekatan
sistematis
dan
(long
term
control),
bukan
hanya
untuk mengatasi
20
bahwa
penggunaan
pelembab
akan
mengurangi
penggunaan
21
23
Morfologi Klinis
Kortikosteroid
Bahan vehikulum
1. Stadium akut : Eritem, vesikel, erosi, Potensi ringan (VII- Krim o/w
Fase infantile
eksoriasi
(tampak VI)
eksudatif)
2. Stadium subakut : Eritem ringan, erosi, Potensi sedang
fase anak
Hyperkeratosis
Potensi
dan
kuat
likenifikasi
atau
gel,
propilen
glikol,
asam
salisilat
>3%.
24
takrolimus tidak menimbulkan efek atrofi kulit. Efek samping yang pernah dilaporkan
berupa nefrotoksik dan hipertensi. . 1,3,7
Pimerkrolimus
termasuk
golongan
askomisin
makrolaktam,
sebagai
penghambat sitokin inflamasi dari sel mas yang teraktivasi, misalnya IL-2, IL-3, IL-4,
IL-8, IL- 10, INF , TNF-a, yang bekerja selektif terutama pada sel T yang berperan
pada lesi dermatitis atopik. Selain itu, pimerkrolimus juga mencegah pelepasan
mediator inflamasi (histamin, triptase, heksosaminidase) dari sel mas yang teraktivasi.
Takrolimus, pimerkrolimus tidak mempunyai efek antiproliferasi dan tidak
menganggu immunosurveillance. Pengobatan jangka panjang pimerkrolimus lebih
aman dibandingkan dengan pengobatan konvensial. . 1,3,7
Kalsineurin inhibitor topikal merupakan imunomodulator topikal yang efektif
dan aman sebagai terapi lini kedua DA, dan penanganan jangka panjang DA persisten
dimana efek samping penggunaan kortikosteroid topikal dapat muncul. Mekanisme
kerjanya adalah dengan menghambat kalsineurin dan aktivitas sel T. Takrolimus dan
pimekrolimus lebih efektif secara signifikan dibandingkan plasebo. Takrolimus
memiliki efektivitas hampir sama dengan kortikosteroid potensi sedang dan lebih
efektif dibandingkan kortikosteroid potensi ringan. Pimekrolimus memiliki efektivitas
lebih rendah dibandingkan kortikosteroid potensi ringan dan sedang dalam
penanganan DA sedang sampai berat.Takrolimus lebih efektif dari pimekrolimus, dan
dapat digunakan untuk DA yang lebih berat, namun dengan efek samping pada daerah
aplikasi seperti rasa terbakar dan pruritus yang lebih besar. 1,3,7
Pengobatan Sistemik
Kadang diperlukan terapi sistemik pada dermatitis atopik anak. Antihistamin
sistemik mampu mengurangi rasa gatal sehingga mengurangi frekuensi garukan yang
dapat memperburuk penyakit. Rasa gatal tidak hanya disebabkan oleh histamine,
namun masih dapat diakibatkan oleh mediator lain. Antihistamin yang bersifat sedatif
(misalnya klorferamin maleat, hidroksisin) lebih efektif dalam mengurangi rasa gatal
dibandingkan dengan antihistamin non sedatif ( misalnya loratadin, cetirizine,
terfenadin, feksofenadin). Meskipun demikian, antihistamin nonsedatif memiliki
keunggulan, yaitu dapat mencegah migrasi sel inflamasi. 1
25
Pemberian setirizin pada bayi atopik selama 18 bulan mampu mencegah bayi
dengan dermatitis atopik berkembang jadi pengidap asma (allergic march).1
OBAT IMUNOSUPRESI PADA DERMATITIS ATOPIK ANAK
Obat imunosupresi sistemik pada dermatitis atopik, merupakan obat pilihan
terakhir. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang umumnya menyebabkan efek
ketergantungan obat dan penekanan siklus HPA. Penggunaan kortikosteroid sistemik
dibatasi penggunaannya pada kasus akut dan berat, serta diberikan untuk jangka
waktu singkat. Pemberian siklosporin A dan dermatitis atopik anak rekalsitrans pernah
diteliti. Pengobatan dengan dosis 5 mg/kg/hari memberikan hasil pengobatan yang
dinilai baik, namun dermatitis atopik dapat kembali kambuh bila dosis obat
diturunkan.1
26
BAB III
ANALISA KASUS
A.
Identitas
Pada kasus pasien dengan identitas bayi perempuan, berusia6 bulan. Hal ini
cukup sesuai dengan pustaka yang menyatakan penyakit ini lebih sering mengenai
bayi dan anak dengan epidemiologi 10-20%.
B.
Anamnesis
Bayi perempuan berusia 6 bulan, datang ke Poliklinik Kulit dan kelamin RSIJ
Cempaka Putih, diantar oleh ibunya dengan keluhan bintik bintik kemerahan pipi
kanan dan kiri sejak 1 minggu SMRS. Awalnya tiba tiba tampak kemerahan pada
kedua pipi, kemudian mulai timbul bintik bintik dan lebih luas. Semenjak itu
menurut ibu pasien juga menjadi mudah rewel dan seperti ingin menggaruk, terutama
saat berkeringat. Riwayat alergi disangkal. Ayah pasien asma, dan kakak pernah
mengalami gejala yang sama seperti pasien.
Anamnesa tersebut sesuai dengan pustaka yang menyatakan adanya
peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif, disertai rasa gatal, dan
mengenai bagian tubuh tertentu terutama diwajah pada bayi (Fase infantil) dan bagian
fleksural ekstremitas (pada fase anak). Dermatitis atopik lebih sering muncul pada
usia bayi (2 bulan 2 tahun). Umumnya awitan dermatitis atopik terjadi pada usia 2
bulan. Tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi dan tersebar simetris.
27
C. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien pasien dalam kondisi dengan keadaan umum
tampak sakit ringan dan kesadaran komposmentis. Status generalnya dalam batas
normal. Pada status dermatologis, pada regio zigomatikus bilateral dan periorbita
sinistra tampak papul multiple eritematosa berukuran miliar, difus dengan penyebaran
diskret, disertai krusta eritematosa berukuran miliar hingga lentikular.
Pada pustaka menyatakan bahwa tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua
pipi dan tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga dan
leher, pergelangan tangan dan tungkai terutama dibagian volar atau fleksor.
Dengan bertambahnya usia, fungsi motorik bertambah sempurna, anak mulai
merangkak dan belajar berjalan, sehingga lesi kulit dapat ditemukan di bagian
ekstensor, misalnya lutut, siku, atau di tempat yang mudah mengalami trauma.
Gambaran klinis pada fase ini lebih mirip dermatitis akut, eksudatif, erosi dan
eksoriasi. Karena gatal dan garukan lesi mudah mengalami infeksi sekunder.
D. Dasar Diagnosis
Kriteria Hanifin Rajka untuk Bayi
Major features
Minor features
Xerosis/ichthyosis/ hyperlinear
palms
Periauricular fissures
or lichenified dermatitis
Perifollicular accentuation
Dasar diagnosis sudah sesuai dengan kriteria Hanifin- Rajka yaitu 2 mayor
dan 1 minor.
E. Indeks SCORAD
28
Penilaian Intensitas :
Parameter yang dinilai adalah morfologi pada kulit dengan dermatitis, yaitu :
Eritema : 1
Edema atau papul : 1
Eksudat atau krusta : 1
Eksoriasi : 0
Likenifikasi : 0
Setiap lesi dinilai sebagai berikut :
Penilaian subjektif
Dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk kedua parameter
tersebut pasien diminta menilai dengan menggunakan visual analog scale dari 0
sampai dengan 10. Penilaian berdasarkan kesimpulan analogi drajat rasa gatal dan
tidak bisa tidur selama 3 hari atau 3 malam terakhir. Untuk anak usia di bawah 7
tahun pemberian nilai tidak dapat dipercaya, sehingga tidak ikut dinilai.
Total nilai indeks SCORAD :
A/5 + 7B/2 + C = 8,5/5 + 7.3/2 = 1,7 + 10,5 = 12,2.
Berdasarkan nilai indeks SCORAD, berat ringannya dermatitis atopik dinilai dengan :
bentuk ringan <15, sedang 15-40, dan penyakit berat >40.
29
F. Penatalaksanaan
Topikal :
Lanolin 10% 2x/hari, dioleskan setelah mandi, walaupun sedang tidak terdapat
gejala dermatitis atopik.
Hidrokorison valerate krim 0,1% 2x/hari, dioleskan pada lesi setelah mandi.
Memberi informasi pada orang tua pasien untuk menghindari faktor pencetus
karena dapat menimbulkan kekambuhan berulang.
Pasien kita sarankan untuk mandi dengan air hangat teratur dua kali sehari lalu
dibilas dengan air biasa dan menggunakan pembersih yang lembut dan tanpa
bahan pewangi akan membersihkan kotoran dan keringat, juga skuama yang
merupakan medium yang baik untuk bakteri.Keadaan itu akan meningkatkan
penetrasi terapi topikal.
Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol atau yang kasar karena dapat
mengiritasi kulit.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Boediardja SA. Dermatitis atopik. Dalam Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2015. 167-83.
2. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis, In : Lowell
AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, Klaus W., editors.
Fitzpatricks Dermatology In General Medicine.Eight Edition. United States:
McGraw-Hill Companies ; 2012. 165-82.
3. Natalia, Menaldi SL, Agustin T. Perkembangan Terkini Pada Terapi Dermatitis
Atopik. J Indon Med Assoc, Volum :61, Nomor 7. Jakarta : 2011. 1-6
4. Pudjiadi AH, Badriul H, Handryastuti S, dkk. Dermatitis Atopik. Pedoman
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta : Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia: 2011. 46-9.
5. Kohn LL, Kang Y, Antaya RJ. A randomized controlled trial comparing topical
steroid application to wet versus dry skin in children with atopic dermatitis
(AD). J AM Acad Dermatol. America : 2016. 1-6
6. Elston GE, Johnston GA. Atopic Eczema, In : John SC, editors. An Atlas of
Diagnosis and Management General Dermatology. United Kingdom : Clinical
Publishing : 2007. 36-8.
7. Wirantari N, Prakoeswa CRS. Penggunaan Kalsineurin Inhibitor Sebagai
Imunomodulator Topikal Pada Terapi Dermatitis Atopik. Berkala Ilmu
31
32