Anda di halaman 1dari 32

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Dermatitis atopik adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis
residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama diwajah pada
bayi (Fase infantil) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak).1
2. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis atopik adalah masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia,
dengan prevalensi pada anak 10-20% di Amerika Serikat, Eropa utara dan barat,
Afrika, Jepang, dan Australia.Prevalensi DA pada orang dewasa adalah sekitar 1
-3%.Sulit memperoleh data yang akurat mengenai epidemiologi, insidens, maupun
prevalensi di Indonesia. Prevalensi dermatitis atopik bervariasi, sebagai contoh
prevalensi DA yang diteliti di Singapura tahun 2002 menggunakan kriteria united
kingdom (UK) working party pada anak sekolah (usia 7-12 tahun) sebesar 20,8% dari
12.323 anak. Penelitian di Hannover (Jerman) prevalensi DA (menggunakan kriteria
Hanifin Rajka) pada anak sekolah (5-9 tahun) ditemukan sebesar

10.5% dari 4219

anak. 1,2
3. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi berbagai faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor predisposisi genetik (melibatkan
banyak gen) yang menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahan pada system
imun, khususnya hipersensitivitas terhadap berbagai alergen dan antigen mikroba.
Faktor psikologis dapat merupakan penyebab atau sebagai dampak Dermatitis Atopik.
Pada makalah ini akan ditinjau hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA
meliputi perubahan pada sistem imun (imunopatologik), alergen dan antigen,
predisposisi genetik, mekanisme pruritus, dan faktor psikologis.1

I.

Hubungan difungsi sawar kulit dan pathogenesis Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit akibat
menurunnya fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan lokirin),
berkurangnya volume seramid serta meningkatnya enzim proteolitik dan trans
epidermal- water loss (TEWL). TEWL pada pasien DA meningkat 2-5 kali orang
normal. Sawar kulit dapat juga menurun akibat terpajan protease eksogen yang
berasal dari tungau debu rumah (house dust mite) dan superantigen Staphylococcus
aureus (SA)serta kelembaban udara. Perubahan sawar kulit mengakibatkan
peningkatan absorpsi dan hipersensitivitas terhadap alergen (misalnya alergen hirup
tungau debu rumah). Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas menyimpan air
(skin capacitance), serta perubahan komposisi lipid esensial kulit, menyebabkan kulit
DA lebih kering dan sensitivitas gatal gatal terhadap berbagai rangsangan bertambah.
Garukan akibat gatal menimbulkan erosi atau ekskoriasi yang mungkin dapat
meningkatkan penetrasi mikroba dan kolonisasi mikroba dikulit. Peningkatan
hipersensitivitas tersebut berdampak pula pada meningkatnya sensitivitas respirasi
pasien DA terhadap alergen dikemudian hari. 1
II.

Perubahan system imun (imunopatologi)


Pada kulit pasien Dermatitis Atopik terjadi perubahan system imun yang erat

hubungannya dengan faktor genetic, sehingga manifestasi fenotip Dermatitis Atopik


bervariasi. Penelitian genetic terhadap pasien asma memperlihatkan gen yang sama
dengan pasien dermatitis atopic, yaitu gen pada 11q13 sebagai gen pengkode reseptor
IgE. Ekspresi reseptor IgE tersebut pada sel penyaji antigen dapat memicu terjadinya
rangkaian perisitiwa imunologi pada DA.1
Keratinosit, sel Langerhans, sitokin, IgE, eosinophil, dan Sel T
Kerusakan sawar kulit menyebabkan produksi sitokin keratinosit {IL-1, IL-6,
IL-8, tumor necrosis factor-a(TNF-a)} mengikat dan selanjutnya merangsang molekul
adhesi sel endotel kapiler dermis sehingga terjadi regulasi leukosit dan limfosit.
Ishizaka dkk. Tahun 1996 menyatakan bahwa pada Dermatitis Atopik terdapat
peningkatan kadar IgE yang menyebabkan reaksi eritema dikulit. Terjadi stimulasi
interleukin-4 (IL-4) terhadap sel T (CD4+) dan IL-13 terhadap sel B untuk
memproduksi IgE, sebaliknya interferon (IFN ) dapat mensupresi sel B. Jumlah
dan potensi IL-4 lebih besar dari pada IFN . IL-5 berfungsi menginduksi proliferasi

sel eosinophil yang merupakan salah satu parameter DA. Lesi akut DA ditandai
dengan edema interseluler (spongiosis) dan sebukan infiltrate di epidermis yang
terutama terdiri atas limfosit T. Sel Langerhans (LC) dan makrofag (sebagai sel
dendritic pemajan antigen/antigen presenting cell) mengekspresikan molekul IgE. Di
dermis sebukan sel radang terdiri atas limfosit T dengan epitope CD3, CD4. Dan
CD45R, monosit makrofag, sedangkan sel eosinophil jarang terlihat, jumlah sel mas
normal tetapi aktif berdegranulasi. Lesi kronik DA ditandai hiperplasi epidermis,
pemanjangan rate ridges, sedikit spongiosis, dan hyperkeratosis. Terdapat
peningkatan LC dan jumlah IgE di epidermis, infiltrate di dermis lebih banyak
mengandung sel mononuclear/ makrofag, dan sel mas yang bergranulasi penuh,
banyak sel eosinophil, serta tidak ada neutrophil walaupun terdapat peningkatan
kolonisasi dan infeksi Staphylococcus aureus.
Pada fase akut sel T- helper 2 (TH-2) melepaskan sitokin (IL-4 dan IL 13)
yang menginduksi pembentukan IgE dan ekspresi molekul adhesi sel endotel,
sedangkan IL-5 menginduksi dan memelihara sel eosinophil pada lesi kronik DA.
Pada fase kronik sitokin yang berperan adalah IL-12 dan IL-18 yang dihasilkan oleh
sel T helper -1 (TH-1), IL-11, dan transforming growth factors -1. 1
Sel efektor pada reaksi imunologik DA :1
1. Keratinosit memiliki berbagai kemampuan, antara lain sebagai signal
transducer (pencetus signal), sebagai sel asesori, dan sebagai sel penyaji
antigen (SPA); oleh karena itu, keratinosit sekarang lebih dianggap sebagai
pelaku aktif system imum diepidermis. Pada mekanisme inflamasi di
epidermis selain keratinosit, sel Langerhans (LCs) merupakan SPA poten
(mengekspresikan

MHC

II

dan

memiliki

reseptor

IgE)

dan

juga

mengekspresikan molekul B7, ICAM-1, dan LFA-1 dalam jumlah besar.


2. Sel T dapat mengenal antigen berkat adanya T cell receptor (TCR) dengan
rantai dan yang membentuk kompleks reseptor dengan CD30. Sel T di
dermis dalam keadaan teraktivasi dapat mengenali antigen dalam ikatan major
histocompatibility- II (MHC-II) dan menampilkan reseptor IL-2. Pada DA sel
T helper (T-CD4+) lebih banyak daripada sel supresor (TCD8+), dan subset sel
T helper -2 (TH-2) lebih beperan. TH-2 memproduksi interleukin-4 (IL-4) dan
IL-5. Interleukin -4 berperan dalam menginduksi sel B menjadi sel plasma

yang memproduksi IgE, sedangkan IL-5 (chemotactic factor) mampu menarik


dan memelihara eosinophil dijaringan. Selain mampu bermigrasi ke jaringan,
eosinophil mampu memproduksi major basic

protein (MBP) yang

menyebabkan kerusakan jaringan (toksik).


3. Sel endotel berfungsi mengatur lalu lintas leukosit pada inflamasi dan pada
saat diinduksi reaksi hipersensitivitas mengekspresikan berbagai molekul
adhesi, yaitu ICAM-1, ICAM-2, VCAM-1, ELAM-1.
Dapat disimpulkan bahwa pada reaksi inflamasi/alergik Dermatitis Atopik
selain faktor alergen dan IgE, juga berperan berbagai sel inflamasi, mediator (sitokin),
sel endotel, serta molekul adhesi. Alergen yang masuk ke kulit akan ditangkap oleh
SPA, diproses dan disajikan kepada sel T(TH-2), berkaitan dengan kompleks TCR,
sehingga mampu mengeluarkan IL-4 dan membantu sel B memproduksi IgE. IgE
akan menempati reseptor dipermukaan sel mast. IgE berikatan dengan alergen
memacu sel mast berdegranulasi dan melepaskan berbagai mediator serta IL-4 dan IL5. Interleukin-3 (IL-3), IL-4 dan IL-5 mampu menarik eosinofil da memelihara di
jaringan. Faktor lain yang menyebabkan migrasi eosinofil adalah eosinophilic factor
of anaphylaxis(ECF-A), leukotrien B4, dan histamin.
Sitokin dan kemokin berperan penting pada reaksi inflamasi Dermatitis
Atopik. Beberapa sitokin, misalnya tumor necrotic factors- a(TNF-a) dan IL-1 yang
dihasilkan sel keratinosit, sel mast, dan LC, berikatan dengan reseptor sel endotel
kapiler, mengaktifkan sinyal jalur sel, dan mengaktifkan molekul adhesi sel endotel.
Peristiwa tersebut menyebabkan ekstravasasi sel inflamasi ke kulit dan segera menuju
tempat peradangan atau infeksi.
Pada pasien Dermatitis Atopik diketahui IgE berjumlah lebih banyak dan
menunjukan daya afinitas yang tinggi pada reseptor di keratinosit dan sel Langerhans,
sehingga pathogenesis DA lebih diperankan oleh reaksi tipe I. Pada reaksi
hipersensitivitas tipe I (IgE mediated), rangsangan zat/bahan langsung pada sel mas
dapat menyebabkan sel mast berdegranulasi dan melepaskan berbagai mediator ,
antara lain histamin, kinin, bradikinin, tripsin, papain, leukotriene B4, prostaglandin
E2, dan 12 HETE. Mediator tersebut menimbulkan vasodilatasi, reaksi inflamasi
(migrasi sel, ekspresi adhesi molekul, dan lain lain), rasa gatal dan manifestasi
inflamasi dikulit. Pasien DA secara genetik menunjukan hipersensitivitas terhadap

berbagai alergen,

misalnya debu rumah, tungau debu rumah, serbuk sari/polen,

makanan, dan Staphylococcus aureus (superantigen).1


III.

Alergen dan superantigen


a. Alergen
Faktor eksogen, terutama alergen hirup (debu rumah, debu tungau rumah)

berperan penting pada terjadinya Dermatitis Atopik. ALergen hirup lainnya yang
sering memengaruhi adalah human dander, animal dander, molds, grasses, trees,
ragweed, dan pollen.Beberapa penelitian membuktikan peningkatan kadar IgE
spesifik (IgE RAST) terhadap tungau debu rumah (D.pteronyssinus) lebih tinggi pada
pasien lain DA dibandingkan dengan kondisi lain (OR>20). Kadar IgE spesifik
meningkat terhadap debu rumah, bulu anjing, bulu kucing, bulu kuda dan jamur. Hasil
uji temple terhadap alergen tugau debu rumah menginduksi perubahan histopatologik
berupa pembentukan infiltrate selular yang diperantarai sel T (TH-2) serta ditemukan
eosinoifil dan basofil. Bukti lain adalah berkurangnya reaksi alergi bila menghindari
alergen. Penelitian Ridhawati Muchtar tahun 2000 di Divisi Kulit Anak, Poliklinik
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, pada 20 DA anak kelompok usia 4-7 tahun
didapatkan uji tusuk terhadap TDR positif pada 14 (70%) DA anak, dan uji atopic
patch test (APT) positif pada 10 (50%) DA anak, IgE spesifik terhadap TDR positif
pada 12 (60%) DA anak. 1
Hasil penelitian alergi terhadap makanan bervariasi dalam jenis dan frekuensi.
Selain dilakukan anamnesis riwayat alergi makanan pada kekambuhan DA, atau
dengan IgE RAST, dapat juga dibuktikan dengan uji kulit antara lain uji tusuk (prick
test), soft allergen food patch test (SAFPT) atau atopi patch test, dan double blind
placebo controlled food challenge test (DBPCFCT). Data hasil satu penelitian
memperlihatkan urutan alergen yang sering ditemukan dan uji kulit bereaksi positif
pada DA adalah telur (69%), susu sapi (52%), kacang kacangan (peanuts) (42%),
soya (34%), dan gandum (wheat) 33%, serta lainnya terhadap ikan dan ayam. 1

b. Superantigen

Berbagai hasil peneltian pada lesi Dermatitis Atopik menunjukan peningkatan


kolonisasi Staphylococcus aureus (SA). Walaupun demikian sangat jarang terjadi
komplikasi sepsis. Hasil intervensi antibiotik menurunkan jumlah kolonisasi tersebut.
Yang menarik adalah jumlah kolonisasi SA tersebut juga menurun setelah pemberian
kortikosteroid topical poten atau takrolimus topikal. Staphylococcus aureusmampu
melekat dikulit karena iteraksi antara protein A2 dan asam teikoik (teichoic acid) pada
dinding sel dengan fibronektin, laminin dan fibrinogen. Pada DA perubahan
komposisi lipid dan berkurangnya sfongosin dan natural antimicrobial agent
memungkinkan SA tumbuh dan berkolonisasi. Sebagian galur SA memproduksi galur
toksin yang bertindak sebafau superantigen (SAg), antara lain enterotoksin A (SEA),
enterotoksin B (SEB), dan toksin SSS penyebab Staphylococcal scalded skin
syndrome (4S). Superantigen mempunyai efek imunomodulator, menyebabkan
apoptosis sel T, sel eosinofil, meningkatkan penglepasan histamin dan leukotriene,
sintesis IgE, serta menurunkan potensi glukokortikoid. Selain itu, hasil penelitian
menunjukan bahwa SAg menyebabkan inflamasi pada kulit DA (50-60%). Penelitian
lain memperlihatkan temuan IgE anti stafilokokus pada sekitar 25% pasien DA,
sedangkan IgE antibody terhadap SAg didapatkan pada 57% pasien DA dewasa dan
34 pasien DA anak. Demikian pula peningkatan IgE spesifik terhadap SEB.
Superantigen memacu kekambuhan lesi DA menjadi rekalsitran dan kronik serta
menginduksi influks cutaneous lymphocyte antigen (CLA) pada reseptor sel T.1
Pada tahap pengobatan DA terhadap SAg dapat diberikan obat golongan makrolid ,
yaitu takrolimus atau pimekrolimus yang berpotensi menghambat kalsineurin yang
diproduksi sel T dan menghambat IL-2, IL-3, IL-4, TNF-adan GSM-CSF. Tahun 1977
Aly dkk, melaporkan bahwa 63% SA resisten terhdap penisilin, 14% terhadap
tetrasiklin, dan 20% terhadap eritromisin. Di Australia ditemukan pada isolasi
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada 30% pasien dermatologi.
Di Manchester, dari pasien DA dapat diisolasi MRSA pada 6% dari 36 bayi, 10% dari
80 anak kelompok usia 1-5 tahun, dan 19% dari 78 anak kelompok usia di atas 6
tahun. Penelitian terhadap anak dengan DA oleh Deasy 2009 di RSCM, tidak
menemukan MRSA pda lesi DA dan nares.1

IV.

Presisposisi genetik
Penelitian genetic berdasarkan silsilah keluarga menyatakan, bahwa risiko

Dermatitis Atopik pada kembar monozigot sebesar 77% dan pada kembar dizigot
25%. Dermatitis atopic serinng dijumpai pada sebuah keluarga, namun penurunannya
tidak mengikuti hukum Mendel. Ada kecenderungan lebih banyak terjadi pada
perempuan dan ditemukan banyak gen yang terlibat pada DA, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pola warisan DA bersifat multifaktorial. Uehera dan Kimura
(1993) menyatakan bahwa 60% pasien DA mempunyai anak atopi. Jika kedua orang
tuanya menderita DA, maka 81% anaknya berisiko menderita DA. Apabila hanya
salah satu orang tuanya menderita DA maka risiko menderita DA menjadi 59%.
Peneliti lain menemukan pada ibu berpenyakit DA menunjukan rasio Odds ( RO)
anak kandung sebesar 2,66; sedangkan bila ayah yang menderita DA maka risikonya
menjadi 1,29. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penurunan DA cenderung
bersifat maternal. Sejak lama telah diketahui keterikatan antara dermatitis atopik,
asma bronkial, rhinitis alergi, dan peningkatan kadar IgE dalam serum dengan human
leukocyt antigen (HLA) pada kromosom 6 dan lokus yang berbeda. Hasil penelitian
sebagai berikut. 1

Kromosom 5 (interleukin cluster): banyak penelitian terhadap kromosom 5


memperlihatkan hubungan antara asma, atopi, dan dermatitis atopik dengan
5q23-31 yang merupakan kluster sitokin. Sitokin tersebut adalah IL-4, Il-3,

CD14 antigen dan Il-12B.


Kromosom 6- Major histocompatibility complex (MHC) : hasil penelitian
menunjukan keterikatan antara asma dan atopi dengan gen MHC II, yaitu

pada alel HLA-DR4 dan DR7.


Kromosom 16 : telah terdeteksi keterikatan polimorfisme gen IL- 4RA dengan
IL-4, IL-3, sitokin TH2, dan IgE dengan fenotip dermatitis atopic serta asma
bronchial.

Tidak semua fenotip Dermatitis Atopik diekspresikan oleh genotip. Gen predisposisi
atopi pada rasa tau negara tertentu hasilnya bervariasi. Keadaan ini lazim ditemukan
pada pola penurunan yang bersifat multifaktor. 1
V.

Mekanisme pruritus pada dermatitis atopik

Patofisiologi pruritus pada Dermatitis Atopik belum diketahui pasti. Pada


umumnya para pakar berpendapat bahwa sensasi gatal dan nyeri disalurkan melalui
saraf C tidak bermielin di daerah taut demoepidermal. Rangsangan ke reseptor gatal
tersebut menjalar melalui saraf spinal sensorik kemudian ke hipotalamus kontralateral
dan selanjutnya ke korteks untuk dipresepsikan. Rangsangan ringan dan superfisial
dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, namun bila lebih dalam dan
intensitas tinggi dapat menyebabkan sensasi nyeri. Pathogenesis DA berkaitan dengan
faktor genetik dan hipersensitivitas tipe I fase lambat ( IgE mediated, late phase).
Namun kemudian dianggap pada DA, perlu memahami lebih dulu berbagai faktor
yang berpengaruh pada DA, antara lain IgE, sel inflamasi DA, mediator, sitokinm
serta faktor lainnya. Telah ditemukan peningkatan kadar histamin dikulit pasien DA,
namun peningkatan tersebut tidak disertai dengan peningkatan didalam darah. Hasil
salah satu penelitian memperlihatkan antihistamin hanya memberi efek minimal
sampai sedang dalam mengatasi pruritus pada DA. Hal tersebut terjadi karena
mungkin histamin bukan satu satunya zat pruritogenik. Perlu dipikirkan
kemungkinan mediator lain yang dikeluarkan oleh sel mas atau faktor nonimunologik yang diduga sebagai penyebab pruritus, yaitu zat tergolong neuropeptide,
protease, opioid, eikosanoid dan sitokin.1,2
Faktor lain penyebab pruritus pada Dermatitis Atopik
Berbagai perubahan abnormal pada pasien Dermatitis Atopik menyebabkan
pruritus dan kelainan kulit, antara lain perubahan pada respons vaskular dan
farmakologik. Demikian pula kulit yang kering pada DA menyebabkan ambang
rangsang gatal lebih rendah. Stimulus ringan (misalnya mekanis, elektris, dan termal)
dapat menyebabkan pruritus melalui jalur refleks akson terminal yang mengeluarkan
substansi P, sehingga menyebabkan vasodilatasi atau rangsangan terhadap sel mas.
Kulit yang kering menyebabkan diskontinuitas sel keratinosit sehingga bahan
pruritogenik yang dikeluarkan merangsang reseptor dan dapat meningkatkan reaksi
hipersensitivitas. 1,2
Pruritus adalah fitur yang menonjol dari dermatitis atopic. Pengendalian
pruritus penting karena cedera mekanik dari menggaruk dapat menginduksi sitokin
proinflamasi dan pelepasan kemokin, mengarah ke siklus awal-gatal. Mekanisme
pruritus di AD yang kurang dipahami. rilis alergen yang diinduksi histamin dari sel

mast kulit bukanlah penyebab eksklusif pruritus di AD, karena H1 antihistamin tidak
efektif dalam mengendalikan gatal AD. Molekul yang telah terlibat dalam pruritus
mencakup sitokin T-sel seperti IL-31, stres yang diinduksineuropeptida, dan protease
eikosanoid dan protein eosinofil.1,2
VI.

Faktor Psikologis
Pada psikoanalisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada Dermatitis Atopik

tergolong tinggi, antara lain berupa rasa cemas, stress, dan depresi. Rasa gatal yang
hebat memicu garukan yang terus menerus sehingga menyebabkan kerusakan kulit,
sebaliknya dengan melihat kerusakan kulit rasa cemas makin meningkat. Rasa cemas
bertambah manakala pasien bertemu dengan saudara, teman teman sekolah dan
kesukaran menghentikan garukan. Pasien DA mempunyai kecenderungan bersifat
temperamental, mudah marah, agresif, frustasi, dan sulit tidur.1
VII.

Faktor Faktor Pencetus


Iritan : sabun, detergen, desinfektan
Alergen kontak dan hirup : debu, serbuk bunga
Mikroorganisme : candida, dermatofit, stafilokokus aureus, pityrosporum

yeast.
Infeksi virus
Lain lain : makanan, faktor psikogenik, iklim, hormon. 1,4

4. KLASIFIKASI
Klasifikasi dermatitis atopik umumnya didasarkan atas keterlibatan organ
tubuh, dermatitis atopik mumi hanya terdapat dikulit, sedangkan dermatitis atopic
dengan kelainan di organ lain, misalnya asma bronchial, rhinitis alergika, serta
hipersensitivitas terhadap alergen polivalen (hirup dan makanan). Bentuk
dermatitis atopik mumi terdiri atas 2 tipe, yaitu tipe dermatitis atopic intrinsik dan
eksterinsik. Dermatitis atopi interinsik adalah dermatitis atopi tanpa bukti
hipersensitivitas terhadap alergen polivalen dan tanpa peningkatan kadar IgE total
di dalam serum. Tipe kedua adalah DA eksterinsik, bila terbukti pada uji kulit
terdapat hipersensitivitas terhadap alergen hirup dan makanan. Klasifikasi yang
lebih praktis untuk aplikasi klinis didasarkan atas usia saat terjadinya DA, yaitu
DA fase infantil, anak dan dewasa.1

Dermatitis atopik fase infantil


Dermatitis atopik lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan 2 tahun).
Umumnya awitan dermatitis atopik terjadi pada usia 2 bulan. Tempat predileksi
utama di wajah diikuti kedua pipi dan tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi,
kulit kepala, telinga dan leher, pergelangan tangan dan tungkai terutama dibagian
volar atau fleksor. Dengan bertambahnya usia, fungsi motorik bertambah
sempurna, anak mulai merangkak dan belajar berjalan, sehingga lesi kulit dapat
ditemukan di bagian ekstensor, misalnya lutut, siku, atau di tempat yang mudah
mengalami trauma. Gambaran klinis pada fase ini lebih mirip dermatitis akut,
eksudatif, erosi dan eksoriasi. Karena gatal dan garukan lesi mudah mengalami
infeksi sekunder. Fase infantile dapat mereda dan menyembuh. Pada sebagian
pasien dapat berkembang menjadi fase anak atau fase remaja.Pada bayi usia
kurang dari 1 tahun, beberapa alergen makanan (susu, sapi, telur, kacang
kacangan) kadang kadang masih berpengaruh, tetapi pada usia yang lebih tua
alergen hirup dianggap lebih berpengaruh. Namun demikian, hal tersebut masih
diperdebatkan.1
Dermatitis atopik fase anak
Pada dermatitis atopic fase anak (usia 2- 10 tahun) dapat merupakan kelanjutan
fase infantile atau muncul tanpa didahului fase infantil. Tempat predileksi lebih
sering di fosa kubiti dan popliteal, fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan
leher, dan tersebar simetris. Kulit pasien dermatitis atopik dan kulit pada lesi
cenderung lebih kering. Lesi dermatitis cenderung menjadi kronis, disertai
hiperkeatosis, hiperpigmentasi, erosi, eksoriasi, krusta dan skuama. Pada fase ini
pasien dermatitis atopik lebih sensitif terhadap alergen hirup, wol dan bulu
binatang. 1

Dermatitis Atopik fase remaja dan dewasa


Dermatitis Atopik fase remaja dan dewasa (usia > 13 tahun ) dapat merupakan
kelanjutan fase infantil atau fase anak. Tempat predileksi mirip dengan fase anak,
dapat meluas mengenai kedua telapak tangan, jari jari, pergelangan tangan,
bibir, leher bagian anterior, scalp dan puting susu. Manifestasi klinis bersifat
10

kronis berupa plak hiperpigmentasi, hyperkeratosis, likenifikasi, eksoriasi dan


skuamasi. Rasa gatal lebih hebat saat beristirahat, udara panas dan berkeringat.
Fase ini berlangsung kronik residif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih.1
5. MANIFETASI KLINIS
Manifestasi dan tempat predileksi dermatitis atopik pada masing masing fase
dapat berbeda. Dibandingkan dengan dermatitis lainnya. Dermatitis atopic secara
subjektif lebih gatal. Rasa gatal dan garukan yang terus menerus memicu
kerusakan barrier kulit, sehingga memudahkan masuknya alergen dan iritan.
Keadaan tersebut menyebabkan dermatitis atopic sering berulang (kronik
residif). Perjalanan penyakit yang demikian berdampak gangguan fisik dan emosi
pasien, sehingga kualitas hidup menurun.1,2
Lesi kulit
Pruritus yang intens dan reaktivitas kulit adalah gambaran utama pada
dermatitis atopic. Pruritus mungkin itermiten sepanjang hari, tapi biasanya
lebih buruk ketika sore dan malam hari. Konsukuensi dari menggaruk pada
beberapa kasus dapat menimbulkan lesi dalam bentuk papula prurigo (
Gambar 2.1), likenifikasi (Gambar 2.2 ) dan ekzematosa pada kulit. Lesi kulit
akut ditandai dengan pruritus intensif, papula eritematosa, vesikel diatas kulit
eritematosa, dan serosa eksudat (Gambar 2.3). Dermatitis subakut ditandai
dengan eritema, eksoriasi, scaling papula ( Gambar 2.4).1,2

11

Gambar 2.1 Prurigo papul pada pasien dermatitis atopik

Gambar 2.2 Likenifikasi dan eksoriasi pada dorsal manus anak dengan dermatitis
atopik

Gambar 2.3 Pengerasan kulit dari lesi ekzematosa pada dermatitis atopik masa anak
anak. B. Eksoriasi papula dan pengerasan kulit (dengan infeksi sekunder).

12

Gambar 2.4 Konfluen eritematosa papul pada pipi dari bayi dengan dermatitis
subakut.

6. KRITERIA DIAGNOSIS DERMATITIS ATOPIK


Diagnosis dermatitis atopik dapat ditegakkan secara klinis dengan gejala
utama gatal, penyebaran simetris di tempat predileksi (sesuai usia), terdapat
dermatitis yang kronik-residif, riwayat atopi pada pasien atau keluarganya.
Kriteria tersebut disebut sebagai kriteria mayor Hanifin Rajka, untuk
memastikan diagnosis dibutuhkan minimal 3 tanda minor lainnya. Khusus pada
bayi diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria yang tertera pada tabel.
Dalam praktik sehari hari dapat digunakan kriteria William guna
menetapkan diagnosis dermatitis atopik, yaitu :1

13

Riwayat perubahan kulit/kering di fosa kubiti, fosa popliteal, bagian


anterior dorsum perdis, atau superior leher (termasuk kedua pipi pada anak

<10 tahun)
Riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada anak <4 tahun

pada generasi -1 dalam keluarga)


Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
Dermatitis fleksural (pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada anak <4

tahun)
Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak <4tahun).

Kriteria William lebih sederhana, praktis, dan cepat, karena tidak memasukan
beberapa kriteria minor Hanifin Rajka yang hanya didapatkan pada kurang dari 50%
pasien dermatitis atopik. Kriteria William lebih sederhana, praktis dan cepat, karena
tidak memasukan beberapa kriteria minor Hanifin Rajka yang hanya didapatkan pada
kurang dari 50% pasien DA. Kriteria William lebih spesifik, sedangkan kriteria
Hanifin- Rajka lebih sensitif. 1

Tabel 2.1 Diagnosis Dermatitis Atopik berdasarkan kriteria Hanifin Rajka

Kriteria major (harus terdapat 3)

History

of

flexural

dermatitis

Onset under the age of 2


years

Presence of an itchy rash

Personal
asthma

history

of

Kriteria minor (harus terdapat 3 atau lebih)

Dry skin

Ichthyosis

Palmar hyperlinearity

Keratosis pilaris

Type I allergy and inceased serum IgE

Hand and foot dermatitis

14

History of dry skin

Cheilitis

Visible

Nipple eczema

Increased presence of staphylococcus aureus

flexural

dermatitis

and Herpes simplex

Perifollicular keratosis

Pityriasis alba

Early age of onset

Recurrent conjungtivitis

Dennie Morgan infraorbital fold

Keratoconus

Cataract

Orbital darkening

Facial pallor/facial erythema

Anterior neck folds

Itch when sweating

Intolerance to wool and lipid solvents

Perifollicular accentuation

Food intolerance

Course influenced by environmental and


emotional factors

White dermographism or delayed blanch

Tabel 2.2 Kriteria Hanifin Rajka untuk Bayi


15

Major features

Minor features

Family history of atopic dermatitis

Evidance of pruritic dermatitis

Typical facial or extensor eczematous

Xerosis/ichthyosis/ hyperlinear
palms

Periauricular fissures

or lichenified dermatitis

Chronic scalp scaling

Diaper area and/ or facial mouth/ nose

Perifollicular accentuation

area is free of skin lesion

Drajat Keparahan Dermatitis Atopik


Guna menilai drajat sakit, Hanifin dan Rajka membuat skoring untuk drajat sakit
seperti yang dicantumkan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Sistem Skoring Derjat Sakit Hanifin Rajka

No

Kondisi

Luas Penyakit

Cir Ciri

Skor

a. Fase anak
Kurang dari 9% luas tubuh
Sekitar 9-36% luas tubuh
Lebih dari 36% luar tubuh
b. Fase infantil
Kurang dari 18% luas tubuh
Sekitar 18-54% luas tubuh
Lebih dari 54% luas tubuh

1
2
3
1
2
3

16

Kekambuhan

Lebih

remisi/tahun
Kurang dari

remisi/tahun
Terus menerus

Gatal

dari

bulan

bulan

2
3

ringan,

kadang

menganggu

tidur

dimalam hari.
Gatal sedang,

sering

menganggu tidur malam

Intensitas

hari

(tidak

terus

menerus)
Gatal hebat, menganggu
tidur sepanjang malam

(terus- menerus)

Cara lain menilai drajat sakit, yaitu dengan kriteria Notingham eczema
severity score (NESS). Hasil penelitian Prevention of atopy among children in
tomdheim (PACT) memperlihatkan bahwa lebih dari 70% anak dermatitis atopic di

17

diagnosis dengan kriteria UK Working Party, menderita dermatitis atopik ringan baik
dengan cara NESS maupun SCORAD.1
Indeks Score for atopic dermatitis (SCORAD)
A. Penilaian luas penyakit :
Dihitung menggunakan system rule of nine. Pada anak di bawah usia 2 tahun,
wajah dan kepala masing masing dihitung 8,5% dan kedua ekstremitas masing
masing 6%. Sedangkan pada orang dewasa, wajah dan kepala masing masing dinilai
4,5 dan kedua ekstremitas bawah masing masing dinilai 9%.
B. Penilaian Intensitas :
Parameter yang dinilai adalah morfologi pada kulit dengan dermatitis, yaitu
eritema, edema atau papul, eksudat atau krusta, eksoriasi, likenifikasi. Setiap lesi
dinilai sebagai berikut :

0 : bila tidak ada


1 : bila ringan
2 : bila sedang
3 : bila berat
Tidak ada nilai atau 0,5. Sedangkan untuk kulit kering yang dinilai adalah

kulit diluar kelima lesi. Intensitas morfologi dinilai oleh 2 orang pengamat dengan
variasi (perbedaan) penilaian yang tidak bermakna. Standar penilaian intensitas pada
SCORAD adalah foto atau slide foto pasien.
C. Penilaian subjektif
Dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk kedua parameter
tersebut pasien diminta menilai dengan menggunakan visual analog scale dari 0
sampai dengan 10. Penilaian berdasarkan kesimpulan analogi drajat rasa gatal dan
tidak bisa tidur selama 3 hari atau 3 malam terakhir. Untuk anak usia di bawah 7
tahun pemberian nilai tidak dapat dipercaya, sehingga tidak ikut dinilai.
D. Total nilai indeks SCORAD : ditetapkan dengan menggunakan rumus A/5 +
7B/2 + C.

18

Untuk penilaian drajat sakit dapat dipakai Score for atopic dermatitis (SCORAD).
Penentuan indeks SCORAD tidak sederhana. Para pakar dermatitis atopik di Europa
telah mengadakan rapat kerja dan pelatihan untuk menyusun satu paduan cara menilai
drajat sakit DA. Untuk akurasi penilaian diperlukan pendapat dari 2 orang penilai,
yang menilai masing masing lesi. Penilaian kedua orang tersebut tidak berbeda
makna. 1

Gambar 2.5 Perhitungan indeks SCORAD

7. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dermatitis atopik bergantung pada fase atau usia, manifestasi
klinis, serta lokasi dermatitis atopik. Pada fase bayi dapat mirip dermatitis seboroik,
psoriasis, dan dermatitis popok. Sedangkan pada fase anak dapat mirip dengan
dermatitis numularis, dermatitis intertriginosa, dermatitis kontak, dan dermatitis
traumatika. Sedangkan pada fase dewasa lebih mirip dengan neurodermatitis atau
liken simpleks kronikus.1

19

INFEKSI SEKUNDER
Infeksi sekunder pada dermatitis atopic meliputi infeksi jamur, bakteri dan virus.
Infeksi tersering pada dermatitis atopik, terutama oleh bakteri kelompok Streptococci
B- hemolytic dan Stapphylococcus aureus. Bakteri tersebut berkolonisasi lebih tinggi
pada lesi dermatitis atopik dan di nares anterior. Akibat gangguan fungsi barrier
epidermis, kelembaban dan maserasi, serta faktor lingkungan yang mendukung, dapat
muncul infeksi pada pasien dermatitis atopic. Pytrirosporum ovale merupakan
penyebab infeksi jamur yang sering dijumpai. Infeksi oleh virus herpes simpleks atau
vaccinia dapat memunculkan erupsi Kaposis varicelliform, dikenal sebagai eksterna
hepatikum atau vaksinatum, walaupun jarang terjadi. Infeksi tersering yang dijumpai
di Indonesia ialah moluskum kontaginosum dan varisela.1
8. KOMPLIKASI
Dermatitis atopik yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi
kulit (striae atroficans) dapat terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang.1
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan bila ada keraguan klinis. Peningkatan
kadar IgE dalam serum juga dapat terjadi pada sekitar 15% orang sehat, demikian
pula kadar eosinofil, sehingga tidak patognomonik. Uji kulit dilakukan bila ada
dugaan pasien alergik terhadap debu atau makanan tertentu, bukan untuk diagnostik. 1
Histopatologis
Edema interseluler (spongiosis) adalah ciri khas eksim. Vesikel intraepidermal
terkait dengan infiltrasi limfositik juga terlihat. Pada penyakit yang lebih kronis,
terjadi psoriasiform hiperplasia.6
10. TATALAKSANA
Terapi

dermatitis

atopik

membutuhkan

pendekatan

sistematis

dan

multifaktorial yang merupakan kombinasi hidrasi kulit, terapi farmakologis,


identifikasi dan eliminasi faktor penyebab seperti iritan, alergen, agen infeksi, dan
stres emosional yang bersifat individual.Penatalaksanaan ditekankan pada kontrol
jangka waktu lama

(long

term

control),

bukan

hanya

untuk mengatasi

20

kekambuhan.Edukasi merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan Dermatitis


Atopik, yaitu perawatan kulit yang benar dan menghindari penyebab. 1,3
Terapi Non-farmakologis
Berbagai makanan seperti susu, ikan, telur, kacang- kacangan yang dapat
mencetuskan Dematitis Atopik harus diidentifikasi secara teliti melalui anamnesis dan
beberapa pemeriksaan khusus. Namun, eliminasi makanan esensial pada bayi/anak
harus berhati-hati karena dapat menyebabkan malnutrisi sehingga sebaiknya diberi
makanan pengganti. Mandi dengan air hangat teratur dua kali sehari lalu dibilas
dengan air biasa dan menggunakan pembersih yang lembut dan tanpa bahan pewangi
akan membersihkan kotoran dan keringat, juga skuama yang merupakan medium
yang baik untuk bakteri.Keadaan itu akan meningkatkan penetrasi terapi
topikal.Hindari sabun atau pembersih kulit yang mengandung antiseptik/antibakteri
yang digunakan rutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi
sekunder.Dalam tiga menit setelah selesai mandi, pasien seharusnya mengaplikasikan
pelembab untuk memaksimalkan penetrasinya.Salap hidrofilik dengan ceramide- rich
barrier repair mixtures akan memelihara kelembaban dan berfungsi sebagai sawar
untuk bahan antigen, iritan, patogen, dan mikroba.Hasil sebuah penelitian
menunjukkan

bahwa

penggunaan

pelembab

akan

mengurangi

penggunaan

kortikosteroid hingga 50%.Sebuah penelitian pada 100 pasien DA dengan pelembab


urea 5% atau losion urea 10% yang diaplikasikan topikal dua kali sehari efektif dan
aman untuk memperbaiki gejala DA derajat ringan- sedang.3,5
Hindaripakaianyangterlalutebal,bahanwolatauyangkasarkarenadapat
mengiritasi kulit. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari
kerusakan kulit (erosi, eksoriasi) akibat garukan. Gatal dikurangi dengan emolien
ataupun kompres basah.Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai
terapitambahanuntukmengurangigatal,terutamauntuklesiyangberatdankronik
atauyangrefrakterterhadappengobatanbiasa.Bahanpembalut(kasabalut)dapat
diberi larutan kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroid pada lesi
kemudiandibalutbasahdenganairhangatdanditutupdenganlapisan/bajukeringdi
atasnya.Carainisebaiknyadilakukansecaraintermitendandalamwaktutidaklebih
dari23minggu.Balutbasahdapatpuladilakukandenganmengoleskanemoliensaja

21

di bawahnya sehingga memberi rasa mendinginkan dan mengurangi gatal serta


berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan sehingga mempercepat
penyembuhan.Bilatidakdisertaipelembab,balutbasahdapatmenambahkekeringan
kulit dan menyebabkan fisura. Penggunaan balut basah yang berlebihan dapat
menyebabkanmaserasisehinggamemudahkaninfeksisekunder.3,5
Kongres Konsensus Internasional Dermatitis Atopik ke II (International Consensus
Conference on Atopic Dermatitis II/ICCAD II) di New Orleans, 2002, telah
menyepakati pedoman terbaru terapi DA, dengan memperhatikan :
1. Efektivitas obat sistemik yang aman, bertujuan untuk mengurangi rasa gatal,
reaksi alergik dan inflamasi. Sebagai terapi sistemik dapat diberikan
antihistamin (generasi sedatif atau non- sedatif sesuai kebutuhan) dan
kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sistemik bukan merupakan hal yang
rutin, digunakan terutama pada kasus yang parah atau rekalsitrans, dengan
memperhatikan efek samping jangka panjang.
2. Jenis terapi topikal, berupa :

Kortikosteroid (sebagai anti inflamasi, antipruritus dan imunosupresif,


dipilih yang aman untuk dipakai dalam jangka panjang). Bahan
vehikulum disesuaikan dengan fase dan kondisi kulit.

Pelembab (digunakan untuk mengatasi gangguan sawar kulit)

Obat penghambat kalsineurin (pimekrolimus atau takrolimus)


3. Kualitas kehidupan dan tumbuh kembang anak
Secara singkat dapat diikuti alogaritme atau bagan alur konsep terapi mutahir
penatalaksanaan dermatitis atopik pada anak.1,3
11. PEMILIHAN OBAT TOPIKAL
Obat topikal yang digunakan pada dermatitis atopic bayi dan anak, sama
dengan orang dewasa, meliputi pelembab, kortikosteroid, dan obat obat penghambat
kalsineurin (misalnya pimekrolimus atau takrolimus). 1,3
Pelembab
Pelembab berfungsi memulihkan disfungsi sawar kulit. Beberapa jenis
pelelmbab antara lain berupa humektan (contohnya gliserin dan propilen glikol),
natural moisturizing factor (misalnya urea 10% dalam euserin hidrosa), emolien
22

(contohnya lanolin 10%, petrolatum, minyak tumbuhan dan sintetis), protein


rejuvenators (misalnya asam amino), bahan lipofilik (diantaranya asam lemak
esensial, fosfolipid dan seramid). Pemakaian pelembab dilakukan secara teratur 2 kali
sehari, dioleskan segera setelah mandi, walaupun sedang tidak terdapat gejala
dermatitis atopik. Dalam sebuah penelitian dengan randomized controlled trials pada
83 kasus DA, 80% dilaporkan remisi total. Penelitian pada 231 anak dengan DA
menerima terapi 0,05% fluticasone pro-pionate dengan pelembab dua kali perminggu,
menunjukkan bahwa pada pasien kontrol lebih cenderung mengalami relaps.1,3
Kortikosteroid Topikal
Efek samping kortikosteroid sistemik pada anak terutama supresi aksis
hipotalamus pituitari korteks adrenal (HPA) dan atrofi kulit. Untuk pengobatan yang
aman hendaknya memperhatikan lokasi anatomis (oklusi alamiah dan vaskularisasi),
luas area yang diobati, potensi kortikosteroid yang digunakan termasuk jenis dan
konsentrasinya, vehikulum, frekuensi pengolesan dan lama pemakaian. Bila
penggunaan kortikosteroid tersebut dilakukan dengan benar, diharapkan dapat
mengurangi kemungkinan terjadi efek samping.
Untuk bayi dan anak dianjurkan pemilihan kortikosteroid golongan VII IV.
Pada dermatitis atopik fase bayi/ anak yang ringan dapat dimulai dengan
kortikosteroid golongan VII, misalnya hidrokortison krim 1-2 %, metilprednisolon
atau flumetason. Pada dermatitis atopik drajat keparahan sedang dapat digunakan
kortikosteroid golongan VI, misalnya desonid, triamsinolon asetonid, prednikarbat,
hidrokortison butirat, flusinolon asetonid.
Bila kondisi dermatitis atopik lebih parah dapat digunakan kortikosteroid
golongan V, misalnya flutikason, betametason 17 valerat, atau golongan IV, yaitu
mometasoon fluroat (MF), atau aklometason. Walaupun MF tergolong kortikosteroid
potensi sedang, namun hasil penelitian klinis membuktikan bahwa MF tidak
mengakibatkan efek atrofogenik atau hanya minimal.Dalam keadaan tertentu
kortikosteroid potensi kuat dapat digunakan secara singkat (1-2 minggu). Bila
dermatitis atopik sudah teratasi segera diganti dengan potensi sedang atau lemah.1,3

23

Tabel 2.4 Pemilihan kortikosteroid berdasarkan stadium dermatitis atopik


Stadium DA

Morfologi Klinis

Kortikosteroid

Bahan vehikulum

1. Stadium akut : Eritem, vesikel, erosi, Potensi ringan (VII- Krim o/w
Fase infantile

eksoriasi

(tampak VI)

eksudatif)
2. Stadium subakut : Eritem ringan, erosi, Potensi sedang
fase anak

skuama, dan krusta

3. Stadium kronis : Hiperpigmentasi


fase dewasa

Krim o/w dan w/o

Hyperkeratosis

Potensi
dan

kuat

atau Salap, salap berlemak,

sangat III, II, I

likenifikasi

atau

gel,

propilen

glikol,

asam

salisilat

>3%.

Obat Penghambat Kalsineurin (Pimekrolimus Dan Takrolimus)


Kortikosteroid topikal merupakan obat pilihan utama dermatitis atopik, namun
terdapat keterbatasan terutama efek samping yang timbul jika digunakan untuk jangka
panjang. Sesuai dengan konsep terapi pada ICCAD II, pelembab senantiasa diberikan
walaupun tanpa gejala dermatitis atopik. Untuk mengatasi pruritus dan inflamasi
dapat diberikan antihistamin sistemik (sedatif atau non sedatif), kortikosteroid topikal
dan inhibitor kalsineurin, di antaranya pimekrolimus dan takrolimus. Takrolimus
adalah golongan penghambat kalsineurin bekerja pada sel T, sel Langerhans, sel mas,
dan sel keratinosit. Takrolimus menunjukan mekanisme kerja yang sama dengan
cyclosporine A, yaitu mampu menghambat degranulasi sel mas dan mensupresi
pengeluaran TNF-. Krim takrolimus (protopic) 0,03% dan 0,1% aman digunakan
pada anak 2-15 tahun dalam jangka pendek atau panjang secara bergantian. Krim

24

takrolimus tidak menimbulkan efek atrofi kulit. Efek samping yang pernah dilaporkan
berupa nefrotoksik dan hipertensi. . 1,3,7
Pimerkrolimus

termasuk

golongan

askomisin

makrolaktam,

sebagai

penghambat sitokin inflamasi dari sel mas yang teraktivasi, misalnya IL-2, IL-3, IL-4,
IL-8, IL- 10, INF , TNF-a, yang bekerja selektif terutama pada sel T yang berperan
pada lesi dermatitis atopik. Selain itu, pimerkrolimus juga mencegah pelepasan
mediator inflamasi (histamin, triptase, heksosaminidase) dari sel mas yang teraktivasi.
Takrolimus, pimerkrolimus tidak mempunyai efek antiproliferasi dan tidak
menganggu immunosurveillance. Pengobatan jangka panjang pimerkrolimus lebih
aman dibandingkan dengan pengobatan konvensial. . 1,3,7
Kalsineurin inhibitor topikal merupakan imunomodulator topikal yang efektif
dan aman sebagai terapi lini kedua DA, dan penanganan jangka panjang DA persisten
dimana efek samping penggunaan kortikosteroid topikal dapat muncul. Mekanisme
kerjanya adalah dengan menghambat kalsineurin dan aktivitas sel T. Takrolimus dan
pimekrolimus lebih efektif secara signifikan dibandingkan plasebo. Takrolimus
memiliki efektivitas hampir sama dengan kortikosteroid potensi sedang dan lebih
efektif dibandingkan kortikosteroid potensi ringan. Pimekrolimus memiliki efektivitas
lebih rendah dibandingkan kortikosteroid potensi ringan dan sedang dalam
penanganan DA sedang sampai berat.Takrolimus lebih efektif dari pimekrolimus, dan
dapat digunakan untuk DA yang lebih berat, namun dengan efek samping pada daerah
aplikasi seperti rasa terbakar dan pruritus yang lebih besar. 1,3,7
Pengobatan Sistemik
Kadang diperlukan terapi sistemik pada dermatitis atopik anak. Antihistamin
sistemik mampu mengurangi rasa gatal sehingga mengurangi frekuensi garukan yang
dapat memperburuk penyakit. Rasa gatal tidak hanya disebabkan oleh histamine,
namun masih dapat diakibatkan oleh mediator lain. Antihistamin yang bersifat sedatif
(misalnya klorferamin maleat, hidroksisin) lebih efektif dalam mengurangi rasa gatal
dibandingkan dengan antihistamin non sedatif ( misalnya loratadin, cetirizine,
terfenadin, feksofenadin). Meskipun demikian, antihistamin nonsedatif memiliki
keunggulan, yaitu dapat mencegah migrasi sel inflamasi. 1

25

Pemberian setirizin pada bayi atopik selama 18 bulan mampu mencegah bayi
dengan dermatitis atopik berkembang jadi pengidap asma (allergic march).1
OBAT IMUNOSUPRESI PADA DERMATITIS ATOPIK ANAK
Obat imunosupresi sistemik pada dermatitis atopik, merupakan obat pilihan
terakhir. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang umumnya menyebabkan efek
ketergantungan obat dan penekanan siklus HPA. Penggunaan kortikosteroid sistemik
dibatasi penggunaannya pada kasus akut dan berat, serta diberikan untuk jangka
waktu singkat. Pemberian siklosporin A dan dermatitis atopik anak rekalsitrans pernah
diteliti. Pengobatan dengan dosis 5 mg/kg/hari memberikan hasil pengobatan yang
dinilai baik, namun dermatitis atopik dapat kembali kambuh bila dosis obat
diturunkan.1

Gambar 2.6 Alogaritme penatalaksanaan dermatitis atopik (ICCAD II)

26

BAB III
ANALISA KASUS

A.

Identitas
Pada kasus pasien dengan identitas bayi perempuan, berusia6 bulan. Hal ini
cukup sesuai dengan pustaka yang menyatakan penyakit ini lebih sering mengenai
bayi dan anak dengan epidemiologi 10-20%.

B.

Anamnesis
Bayi perempuan berusia 6 bulan, datang ke Poliklinik Kulit dan kelamin RSIJ
Cempaka Putih, diantar oleh ibunya dengan keluhan bintik bintik kemerahan pipi
kanan dan kiri sejak 1 minggu SMRS. Awalnya tiba tiba tampak kemerahan pada
kedua pipi, kemudian mulai timbul bintik bintik dan lebih luas. Semenjak itu
menurut ibu pasien juga menjadi mudah rewel dan seperti ingin menggaruk, terutama
saat berkeringat. Riwayat alergi disangkal. Ayah pasien asma, dan kakak pernah
mengalami gejala yang sama seperti pasien.
Anamnesa tersebut sesuai dengan pustaka yang menyatakan adanya
peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif, disertai rasa gatal, dan
mengenai bagian tubuh tertentu terutama diwajah pada bayi (Fase infantil) dan bagian
fleksural ekstremitas (pada fase anak). Dermatitis atopik lebih sering muncul pada
usia bayi (2 bulan 2 tahun). Umumnya awitan dermatitis atopik terjadi pada usia 2
bulan. Tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi dan tersebar simetris.

27

C. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien pasien dalam kondisi dengan keadaan umum
tampak sakit ringan dan kesadaran komposmentis. Status generalnya dalam batas
normal. Pada status dermatologis, pada regio zigomatikus bilateral dan periorbita
sinistra tampak papul multiple eritematosa berukuran miliar, difus dengan penyebaran
diskret, disertai krusta eritematosa berukuran miliar hingga lentikular.
Pada pustaka menyatakan bahwa tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua
pipi dan tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga dan
leher, pergelangan tangan dan tungkai terutama dibagian volar atau fleksor.
Dengan bertambahnya usia, fungsi motorik bertambah sempurna, anak mulai
merangkak dan belajar berjalan, sehingga lesi kulit dapat ditemukan di bagian
ekstensor, misalnya lutut, siku, atau di tempat yang mudah mengalami trauma.
Gambaran klinis pada fase ini lebih mirip dermatitis akut, eksudatif, erosi dan
eksoriasi. Karena gatal dan garukan lesi mudah mengalami infeksi sekunder.
D. Dasar Diagnosis
Kriteria Hanifin Rajka untuk Bayi
Major features

Family history of atopic dermatitis

Evidance of pruritic dermatitis

Typical facial or extensor eczematous

Minor features

Xerosis/ichthyosis/ hyperlinear
palms

Periauricular fissures

or lichenified dermatitis

Chronic scalp scaling

Diaper area and/ or facial mouth/ nose

Perifollicular accentuation

area is free of skin lesion

Dasar diagnosis sudah sesuai dengan kriteria Hanifin- Rajka yaitu 2 mayor
dan 1 minor.

E. Indeks SCORAD

28

Penilaian luas penyakit :


Pada anak di bawah usia 2 tahun, wajah dan kepala masing masing dihitung
8,5%.

Penilaian Intensitas :
Parameter yang dinilai adalah morfologi pada kulit dengan dermatitis, yaitu :
Eritema : 1
Edema atau papul : 1
Eksudat atau krusta : 1
Eksoriasi : 0
Likenifikasi : 0
Setiap lesi dinilai sebagai berikut :

0 : bila tidak ada


1 : bila ringan
2 : bila sedang
3 : bila berat

Penilaian subjektif
Dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk kedua parameter
tersebut pasien diminta menilai dengan menggunakan visual analog scale dari 0
sampai dengan 10. Penilaian berdasarkan kesimpulan analogi drajat rasa gatal dan
tidak bisa tidur selama 3 hari atau 3 malam terakhir. Untuk anak usia di bawah 7
tahun pemberian nilai tidak dapat dipercaya, sehingga tidak ikut dinilai.
Total nilai indeks SCORAD :
A/5 + 7B/2 + C = 8,5/5 + 7.3/2 = 1,7 + 10,5 = 12,2.
Berdasarkan nilai indeks SCORAD, berat ringannya dermatitis atopik dinilai dengan :
bentuk ringan <15, sedang 15-40, dan penyakit berat >40.

29

F. Penatalaksanaan

Topikal :
Lanolin 10% 2x/hari, dioleskan setelah mandi, walaupun sedang tidak terdapat
gejala dermatitis atopik.
Hidrokorison valerate krim 0,1% 2x/hari, dioleskan pada lesi setelah mandi.

Sistemik : Cetirizine sirup 1x cth


Edukasi :

Memberi informasi pada orang tua pasien untuk menghindari faktor pencetus
karena dapat menimbulkan kekambuhan berulang.

Pasien kita sarankan untuk mandi dengan air hangat teratur dua kali sehari lalu
dibilas dengan air biasa dan menggunakan pembersih yang lembut dan tanpa
bahan pewangi akan membersihkan kotoran dan keringat, juga skuama yang
merupakan medium yang baik untuk bakteri.Keadaan itu akan meningkatkan
penetrasi terapi topikal.

Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol atau yang kasar karena dapat
mengiritasi kulit.

Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari kerusakan kulit


(erosi, eksoriasi) akibat garukan.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Boediardja SA. Dermatitis atopik. Dalam Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2015. 167-83.
2. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis, In : Lowell
AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, Klaus W., editors.
Fitzpatricks Dermatology In General Medicine.Eight Edition. United States:
McGraw-Hill Companies ; 2012. 165-82.
3. Natalia, Menaldi SL, Agustin T. Perkembangan Terkini Pada Terapi Dermatitis
Atopik. J Indon Med Assoc, Volum :61, Nomor 7. Jakarta : 2011. 1-6
4. Pudjiadi AH, Badriul H, Handryastuti S, dkk. Dermatitis Atopik. Pedoman
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta : Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia: 2011. 46-9.
5. Kohn LL, Kang Y, Antaya RJ. A randomized controlled trial comparing topical
steroid application to wet versus dry skin in children with atopic dermatitis
(AD). J AM Acad Dermatol. America : 2016. 1-6
6. Elston GE, Johnston GA. Atopic Eczema, In : John SC, editors. An Atlas of
Diagnosis and Management General Dermatology. United Kingdom : Clinical
Publishing : 2007. 36-8.
7. Wirantari N, Prakoeswa CRS. Penggunaan Kalsineurin Inhibitor Sebagai
Imunomodulator Topikal Pada Terapi Dermatitis Atopik. Berkala Ilmu

31

Kesehatan Kulit dan Kelamin Periodical Of Dermatology and Venerology,


Volum : 26, Nomor 2. Surabaya : 2014. 1-7.

32

Anda mungkin juga menyukai