Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada semua
kelompok usia. Saat ini, belum ada penanganan yang efektif untuk memulihkan efek yang
menetap dari cedera kepala primer, dan penanganan ditujukan untuk mengurangi efek
sekunder dari cedera kepala yang dapat terjadi akibat dari iskemik, hipoksia dan peningkatan
tekanan intra cranial. Memahami epidemiologi dari cedera kepala berguna untuk tindakan
preventif, perencanaan strategi preventif primer berdasarkan populasi untuk meningkatkan
penanganan yang efektif dan efisien, termasuk ketentuan fasilitas rehabilitasi bagi mereka
yag terkena cedera kepala.
Perubahan neuropatologi terkait dengan sejumlah factor, termasuk tipe dan keparahan
cedera, serta bekes cedera yang dapat terjadi akibat cedera yang tumpul maupun tajam yang
dapat menyeuruh ataupun local. Patologi dari cedera kepala juga dipengaruhi dari factor
pasien seperti usia, komorbid, alcohol, hipoksia, sepsis dan penanganan.
Penanganan klinis yang cepat dan akurat sangatlah penting. The rapid and accurate
clinical assessment of a head-injured patient is crucial. Penaganan awal harus selalu ditujukan
pada jalan napas (airway), pernapasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) sesuai dengan
prinsip-prinsip ATLS. Yang terpenting bukan hanya untuk mengodentifikasi cedera kepala
yang mengancam jiwa melainkan juga untuk mencegah cedera kepala sejunder. Tulang
cervical harus diimobilisasi karena ada kemungkinan terjadi cedera. Level kesadaran dan
ukuran serta respon pupil harus diperiksa berkala pada pasien dengan cedera kepala ini.
Cedera kepala traumatic berdampak pada ribuan orang tiap tahunnya. Keparahan
cedera mulai yang ringan dengan gangguan fungsi kognitif yang tidak dapat dinilai hingga
gangguan kesadaran yang parah dengan prolong koma dan status vegetative persisten.
Pencitraan cedera kepala tidak hanya bergantung pada mekanisme dan keparahan cedera, tapi
juga pada waktu sejak terjadinya cedera. Tujuan dari pencitraan ini termasuk untuk
pengambilan keputusan terapi, prognosis dan penelitian patofisiologi cedera kepala.
Intracranial pressure (ICP) juga telah menjadi variable vital pada fungsi serebral di saat fase
akut cedera kepala.
1

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala
baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen.1

2.2 Epidemiologi
Cedera kepala traumatic saat ini telah menjadi penyebab utama kematian,
terutama pada orang dewasa muda, dan penyebab utama kecacatan. Biaya dalam
perawatan semakin meningkat untuk kondisi ini.
Lebih dari 2 juta pasien dengan cedera kepala setiap tahunnya di ruang gawat
darurat AS, dan merupakan 25% dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Hampir 10%
dari seluruh kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh cedera, dan sekitar separuh dari
kematian traumatis melibatkan otak. Di Amerika Serikat, cedera kepala terjadi setiap 7
detik dan kematian setiap 5 menit. Sekitar 200.000 orang tewas atau cacat permanen
setiap tahun sebagai akibatnya.1,2
Cedera kepala terjadi pada segala usia, tetapi puncak adalah pada orang
dewasa muda antara usia 15 dan 24. Cedera kepala adalah penyebab utama kematian di
antara orang di bawah usia 24 tahun. Pria tiga atau empat kali lebih sering sebagai wanita.
Penyebab utama dari cedera otak berbeda di berbagai bagian Amerika Serikat; di semua
daerah, kecelakaan kendaraan bermotor yang menonjol, dan di daerah metropolitan
kekerasan pribadi sering terjadi.1
Hubungan sebab-akibat antara mekanisme cedera dan cedera kepala
merupakan hal yang rumit Misalnya, orang tua yang memiliki kejadian jatuh yang lebih
tinggi dibandingkan usial lainnya. Mungkin faktor efek samping obat, pendengaran dan

penglihatan yang kurang, lambatnya respon terhadap suatu kejadian, keseimbangan dan
mobilitas menjadi pengaruh terjadinya cedera.3

Gambar 1.1
Persentase penyebab cedera kepala pertahun di AS 3

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan:
Patologi:

Komosio serebri

Kontusio serebri

Laserasi serebri

Lokasi lesi

Lesi diffus

Lesi kerusakan vaskuler otak

Lesi fokal

Kontusio dan laserasi serebri

Hematoma intrakranial

Hematoma ekstradural (hematoma epidural)

Hematoma subdural

Hematoma intraparenkhimal

Hematoma subarakhnoid

Hematoma intraserebral

Hematoma intraserebellar

2.4 Patofisiologi

Fraktur kranii
Patah tulang tengkorak dapat dibagi menjadi jenis linier, depresi, atau
comminuted. Jika kulit kepala ikut robek, itu dianggap sebagai fraktur terbuka atau
majemuk. fraktur tengkorak merupakan penanda penting dari cedera serius, tapi
jarang berpotensi menimbulkan masalah dengan sendirinya, prognosis lebih
tergantung pada sifat dan tingkat keparahan cedera pada otak dari pada beratnya
cedera tengkorak. Sekitar 80% patah tulang merupakan jenis linear. Paling banyak
terjadi di wilayah temporoparietal, di mana sisi tengkorak menipis. Deteksi patah
linier sering menimbulkan kecurigaan adanya cedera otak serius, tapi CT pada pasien
sebagian besar adalah dinyatakan normal. Patah tulang tengkorak linier pada
umumnya tidak memerlukan intervensi bedah dan dapat dikelola konservatif.
Dalam fraktur depresi dari tengkorak, satu atau lebih fragmen tulang yang tertekan ke
dalam, penekanan bagian utama otak. Dalam fraktur comminuted ada beberapa
fragmen tulang yang hancur yang mungkin atau tidak tertekan ke dalam. Dalam 85%
kasus, fraktur depresi terbuka dapat terinfeksi, atau terjadi kebocoran CSF. Pada
beberapa pasien, patah tulang tengkorak depresi berhubungan dengan robekan,
kompresi, atau trombosis dari vena dural sinus yang mendasarinya. Patah tulang
tengkorak basilar mungkin linear, depresi, atau comminuted yang sering terlewatkan
oleh X-ray tengkorak dan paling baik diidentifikasi oleh CT- Scan. Mungkin ada
saraf yang terkait dengan luka tengkorak atau vena dural yang dapat mengakibatkan
4

komplikasi meningitis jika bakteri memasuki ruang subarachnoid. Tanda-tanda yang


mengarahkan kita untuk mencurigai adanya fraktur bagian tulang temporal termasuk
hemotympanum atau timpani perforasi, gangguan pendengaran, CSF otorrhea,
kelemahan saraf wajah perifer, atau ecchymosis dari kulit kepala. Keadaan kurangnya
penciuman, ecchymosis periorbital bilateral, dan rhinorrhea CSF kemungkinan patah
tulang sphenoid, frontal, atau ethmoid.2,3

Komosio serebri
Apabila cedera kepala mengakibatkan gangguan fungsi serebral sementara
berupa penurunan kesadaran (pingsan/koma, manesia retrograd) tanpa adanya lesi
parenkim berdarah pada otak, digolongkan sebagai komosio serebri. Penemuanpenemuan mutakhir menyebutkan koma kurang dari 20 menit, amnesia retrograde
singkat, cacat otak tidak ada, dan perawatan tumah sakit kurang dari 48 jam termasuk
pada golongan ini. Biasanya tidak memerlukan terapi khusus, asal tidak terdapat
penyulit seperti hematoma, edema serebri traumatic dsb. Penderita sangat perlu
istirahat mutlak, tenaga keseimbangan kardiovaskuler, respirasi, cairan elektrolit dan
kalori, serta terhindar dari infeksi paru-paru atau kandung kemih. Mobilisasi hampir
tidak menjadi persoalan.4

Kontusio serebri
Apabila terjadi lesi parenkim berdarah, yang ditandai oleh kesadaran menurun
yang lebih lama. Defisit neurologis seperti hemiparese kelumpuhan saraf otak, refleks
abnormal, twiching, konvulsi, delirium dan LCS berdarah.3,4

Laserasi serebri
Bila terjadi robekan parenkim otak maka digolongkan kedalam laserasi serebri.
1. Lokasi lesi

Lesi diffus

Lesi kerusakan vaskuler otak

Lesi fokal
5

Kontusio dan laserasi serebri

Hematoma intrakranial
Hematoma ekstradural (hematoma epidural)

Perdarahan ke dalam ruang epidural umumnya disebabkan oleh robeknya


dinding salah satu arteri meningeal, biasanya arteri meningeal tengah, tapi pada
15% dari pasien pendarahan berasal dari salah satu sinus dural. Tujuh puluh lima
persen berhubungan dengan fraktur tengkorak. dura dipisahkan dari tulang
tengkorak oleh extravasated darah, dan ukurannya meningkat sampai pembuluh
darah terkompresi atau tertutup oleh hematoma.2,3,5 Dalam kebanyakan kasus,
hematoma bersifat ipsilateral. Epidural hematoma terutama pada orang muda,
itu jarang terlihat pada orang tua karena dura menjadi semakin melekat pada
tengkorak dengan usia lanjut.
Tanda dan diagnostic klinik1:
-

Lucid interval (+)

Kesadaran makin menurun

Late hemiparese kontralateral lesi

Pupil anisokor

Babinski (+) kontralateral lesi

Fraktur didaerah temporal

Gejala dan tanda hematom epidural di fossa posterior:


-

Lucid interval tidak jelas

Fraktur kranii oksipital

Kehilangan kesadaran cepat

Gangguan serebellum, batang otak dan pernapasan


6

Pupil isokor
Hematoma subdural
Hematoma subdural biasanya dari vena, darah mengisi ruang antara

membran dural dan arakhnoid. Dalam kebanyakan kasus, pendarahan


disebabkan oleh pergerakan otak di dalam tengkorak yang

dapat

mengakibatkan peregangan dan merobek pembuluh darah yang mengalir dari


permukaan otak ke sinus dural. Jarang terjadi sumber hematoma dari arteri
kecil. Kebanyakan hematoma subdural terletak di atas convexities otak lateral,
tetapi darah subdural juga dapat terkumpul di permukaan hemisfer, antara
tentorium dan lobus oksipital, antara lobus temporal dan pangkal tengkorak,
atau di fosa posterior. CT biasanya menunjukkan kepadatan tinggi, dan seperti
gambaran bulan sabit.1,2,3,6
Pasien usia lanjut atau pengguna alkohol dengan atrofi otak sangat rentan
terhadap perdarahan subdural; pada pasien ini, hematoma besar mungkin
terjadi karena trauma ringan atau bahkan cedera yang bejalan perlahan.
hematoma subdural akut, menurut definisi adalah gejala yang timbul dalam 72
jam setelah cedera, namun kebanyakan pasien memiliki gejala neurologis dari
saat trauma. Setengah dari semua pasien dengan hematoma subdural akut
kehilangan kesadaran pada saat cedera; 25% berada dalam keadaan koma
ketika mereka tiba di rumah sakit, dan setengahnya sadar, kehilangan
kesadaran untuk kedua kalinya atau lucid interval terjadi dalam beberapa
menit hingga beberapa jam. Hemiparesis dan kelainan pupil adalah tandatanda neurologis fokal yang paling umum, terjadi dalam satu setengah sampai
dua pertiga pasien. Gambaran umum berupa pelebaran pupil ipsilateral dan
kontralateral hemiparesis. Namun, salah tanda umum dengan hematoma
subdural akut karena herniasi uncal dapat menyebabkan kompresi batang otak
kontralateral atau saraf kranial ketiga.
Hematoma subdural kronis menunjukkan gejala setelah 21 hari atau lebih.
Lebih cenderung terjadi pada pasien setelah usia 50 tahun. Dalam 25% sampai
50% kasus merupakan cedera kepala yang tidak disadari. Hampir setengah
dari pasien memiliki sejarah kecanduan alkohol atau epilepsi dan trauma yang
7

mungkin telah dilupakan. Faktor risiko lain untuk hematoma subdural kronis
termasuk overdrainage dari shunts ventriculoperitoneal dan gangguan
perdarahan, termasuk kondisi yang relevan dengan obat antikoagulan.
Dalam kebanyakan kasus hematoma subdural kronis, perdarahan dari trauma
ringan dengan kompresi otak sedikit atau tidak ada, karena bersama dengan
atrofi otak. Setelah 1 minggu, fibroblast pada permukaan bagian dalam dura
membentuk membran luar yang tebal, setelah 2 minggu membran tipis dalam
berkembang, menghasilkan bekuan enkapsulasi, yang mulai mencair.
Pembesaran hematoma kemudian dapat terjadi dari pendarahan yang berulang
(misalnya, hematoma subdural akut-on-kronis) atau karena efek osmotik yang
berkaitan dengan kandungan protein tinggi. CT biasanya menunjukkan massa
isodense atau hypodense, berbentuk bulan sabit di permukaan otak, dan
membran dapat meningkatkan dengan kontras intravena. Hematoma subdural
kronis akhirnya yang mencair membentuk hygromas, dan dalam beberapa
kasus mungkin berupa kalsifikasi.
Hematoma subdural akut dan kronis dengan efek massa yang signifikan
harus dievakuasi. Indikasi utama operasi adalah adanya efek massa gejala
berupa defisit neurologis fokal, atau kejang.
Pembedahan untuk evakuasi hematom tebal yang merupakan hematoma
subdural akut biasanya memerlukan craniotomy besar. Hasil setelah bedah
evakuasi tergantung pada tingkat keparahan awal, dan interval dari cedera ke
operasi. Liquefied hematoma subdural kronis sering dapat dievakuasi dengan
drainase. Reoperasi untuk hematoma subdural akut dan kronis yang
dibutuhkan dalam sekitar 15% dari kasus.2,3,4
Gambaran klinis berupa:1Akut : interval lucid 0-5 hari, subakut : interval lucid
5 haru beberapa minggu, kronik : interval lucid > 3 bulan

Hematoma intraparenkhimal

Hematoma subarakhnoid
Dalam kebanyakan kasus, darah subarachnoid hanya terdeteksi oleh
pemeriksaan CSF, dan pemeriksaan klinis kecil. Dengan cedera yang lebih
serius, ketika vena besar yang melintasi subarahnoid robek, fokal atau
perdarahan subarachnoid luas dapat dideteksi oleh CT. Meskipun adanya
sejumlah besar darah di subarachnoid merupakan pertanda prognosis yang
buruk, komplikasi perdarahan subarachnoid aneurysmal, seperti hidrosefalus
dan iskemia dari vasospasm, tidak biasa terjadi setelah perdarahan
subarakhnoid traumatik.2,3,4,5
Gejala dan tanda klinis berupa kaku kuduk, nyeri kepala, dapat terjadi
gangguan kesadaran.

Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri
intraserebral mono atau multiple. Biasanya berhubungan dengan diffuse axonal
injury dengan gejala dan tanda klinis:
-

Koma lama pasca traumatic

Disfungsi saraf otonom

Demam tinggi

2.5 Diagnosis
-

Anamnesis
Keadaan kecelakaan dan kondisi klinis pasien sebelum masuk ke ruang darurat
harus dipastikan dari pasien (jika mungkin), dan saksi mata. Kekuatan dan lokasi
cedera kepala harus ditentukan setepat mungkin. Pertanyaan khusus juga harus dibuat
mengenai gegar otak; karena pasien amnestic selama gegar otak, hanya seorang saksi
mata secara akurat dapat mengukur durasi kehilangan kesadaran. Anamnesis
mencakup; trauma kapitis dengan /atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid, perdarahan/otorrhea/ rinorrhea serta manesia traumatika.1,2

Pemeriksaan Fisik pemeriksaan klinis neurologis


Pemeriksaan fisik secara umum dari kepala hingga kaki. Dapat ditemukan
adanya kelainan sesuai dengan dampak cedera pada otak. Tengkorak harus teraba
untuk fraktur, hematoma, dan luka. Pasien harus secara menyeluruh diperiksa tandatanda eksternal trauma leher, dada, punggung, perut, dan anggota badan. perdarahan
dari hidung atau telinga mungkin menunjukkan kebocoran CSF, CSF berdarah dapat
dibedakan dari darah melalui uji halo positif (yaitu, sebuah lingkaran CSF di bentuk
darah ketika jatuh di atas selembar kain putih). Jika tidak ada campuran darah, CSF
dapat dibedakan dari sekresi hidung karena konsentrasi glukosa CSF adalah 30 mg/dL
atau lebih, sedangkan sekresi lakrimal dan lendir hidung biasanya mengandung
kurang dari 5 mg / dL glukosa.
10

Setelah menentukan tingkat kesadaran. Perhatian khusus harus diberikan pada


kemampuan fokus, konsentrasi (misalnya, menghitung mundur dari 20 ke 1, atau
membaca secara terbalik), orientasi, dan memori. Gerakan mata, ukuran pupil dan
bentuk, dan reaksi terhadap cahaya harus dicatat. Pupil lamban reaktif atau melebar
menunjukkan herniasi transtentorial dengan kompresi saraf kranial ketiga.
Midposition pupil, kurang reaktif, tidak teratur dapat terjadi karena cedera pada inti
oculomotor di tegmentum otak tengah. Nystagmus sering terjadi gegar otak. Pada
pasien koma, refleks oculocephalic dan oculovestibular harus diuji. Pemeriksaan
motorik harus berfokus pada identifikasi kelemahan, asimetris atau sikap. Gerakan
spontan harus dinilai untuk menilai penggunaan khusus dari anggota badan pada satu
sisi. Jika pasien tidak sepenuhnya kooperatif, kelemahan dapat dideteksi oleh
penilaian dari asimetri dari tonus atau refleks tendon, atau dengan adanya suatu
pergeseran lengan, respon lokalisasi khusus dengan menggosok sternum, atau
ekstensor plantar refleks.
Dekortikasi menunjukkan cedera pada jalur corticospinal di tingkat
diencephalon atau otak tengah atas. Sikap decerebrasi berarti cedera pada jalur motor
di tingkat yang lebih rendah dari otak tengah, pons, atau medula.
-

Pemeriksaan Penunjang
-

Laboratorium
Pemerksaan laboratorium yang dilakukan pada saat pasien pertama kali masuk ke
RS serta saat pemantauan seperti pemeriksaan dara; Hb, leukosit, trombosit untuk
mengetahui factor pemberat yang menyertai perdrahan. Ureum, kreatinin untuk
mengetahui fungsi hati akibat perdarahan ataupun untuk interfensi obat-obatan
yang akan dieksresikan melalui ginjal. Gula darah sewaktu juga diperlukan untuk
mengetahui factor yang dapat memperberat dampak cedera atau adanya penykit
komorbid. AGD dan elektrolit juga sebaiknya diperiksa untuk menilai adanya
asidosis atau alkalosis yang dapat terjadi akibat dampak dari cedera, hipoventilasi
misalnya.

Radiologi
11

Foto polos kepala


Foto polos kepala dengan berbagai posisi

seperti AP, lateral berguna untuk

melihat adanya fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan lunak di dalam
kepala.1,2

CT Scan dan MRI


CT scan adalah pencitraan darurat metode pilihan untuk cedera kepala. CT
lebih informatif daripada rontgen tengkorak standar dan memberikan
sensitivitas untuk mendeteksi darah intrakranial. Secara umum, semua pasien
dengan cedera kepala harus memiliki CT, kecuali bagi mereka yang
diklasifikasikan sebagai risiko rendah (misalnya, tanpa gegar otak, tanpa
kelainan neurologis pada pemeriksaan, dan tanpa bukti atau kecurigaan dari
patah tengkorak, alkohol atau keracunan obat, atau moderat-risiko kriteria
lain). Kemungkinan mendeteksi intra serebral hemoragik oleh CT pada pasien
ini hanya 1 dalam 10.000. MRI lebih baik untuk mendeteksi cedera halus otak,
terutama untuk lesi fokal, tetapi pada umumnya tidak digunakan untuk
evaluasi darurat kecuali dengan cepat dan mudah tersedia. Gambar CT harus
dinilai untuk bukti adanya hematoma epidural atau subdural, subarachnoid
atau intraventricular, memar parenkim dan perdarahan, edema otak, dan
memar berhubungan dengan diffuse axonal injury.1,2,3,4

12

Gambar 2.1. CT Scan Epidural Hematom

Gambar 2.1. CT Scan Epidural Hematom

Gambar 2.1. CT Scan Arahnoid Hematom

2.6 Klasifikasi sesuai GCS


13

Cedera Kepala Ringan:1,5

GCS 13-15

Pingsan < 10 menit

Defisit neurologis (-) hanya gangguan fungsional

CT scan Normal

Cedera Kepala Sedang

GCS 9-12

Pingsan > 10 menit s/d < 6 jam

Defisit neurologis (+)

CT scan abnormal

Cedera Kepala Berat

GCS 3-8

Pingsan > 6 jam

Defisit neurologis (+)

CT scan abnormal

Glasgow Coma Scale


Mata:

Motorik:

Nilai
6
5
4
3

Menurut perintah
Depat melokalisir nyeri
Fleksi terhadap nyeri
Fleksi
abnormal

2
1

(dekortikasi)
Ekstensi (deserebrasi)
Tidak ada respon

14

Verbal:
Nilai
5
4
3

Orientasi baik
Disorientasi tidak baik
Kata-kata tidak tepat,

2
1

hanya menangis
Mengerang
Tidak ada respon

2.7 Penatalaksanaan
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang,
berat) berdasarkan urutan:
1. Survey Primer
a. Airway (jalan napas)
Bebaskan jalan napas dengan memeriksa mulut, bila terdapat secret atau benda
asing segera dikeluarkan dengan suction atau swab. Bila perlu dapat
digunakan intubasi untuk menjaga patenisasi jalan napas. Waspadai bila ada
fraktur servikal.

b. Breathing (Pernapasan)
Pastikan pernapasan adekuat,

perhatikan frekwensi,

pola napas dan

pernapasan dada atau perut dan kesetaraan pengembangan dada kanan dan
kiri. Bila ada gangguan pernapasan segera cari penyebab, gangguan terjadi
pada sentral atau perifer.

Bila perlu, berika oksigen sesuai kebutuhan.

Pertahankan saturasi oksigen O2 > 92%


c. Circulation
15

Jika pasien menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik, jalur IV


harus segera terpasang. Karena autoregulasi aliran darah serebral sering
terganggu pada cedera kepala akut, harus terus dipantau untuk menghindari
hipotensi yang dapat menyebabkan iskemik otakatau hipertensi yang dapat
memperburuk edema serebral. Pertahankan TD sistolik > 90 mmHg, hindari
pemakaian cairan hipotonis. Vasopresor kerja pendek (misalnya phenylephrine
dan norepinephrine) dan agen anti hipertensi (misalnya, labetalol dan
nicardipine) adalah lebih baik karena kemampuan mereka untuk menstabilkan
tekanan darah dalam kisaran terapeutik yang sempit. Nitroprusside natrium
harus dihindari karena dapat melebarkan pembuluh cerebral dan meningkatkan
ICP.1.2
d. Disability (mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dan neurologis)
Observasi:
-

Tanda vital : tekanan darah, nadi. Suhu, dan pernapasan

GCS

Pupil: ukuran, bentuk dan reflex cahaya

Pemeriksaan neurologis cepat: hemiparese, reflex patologis

Luka-luka

Anamnesa: AMPLE (allergies, Medication, Past Illness, Last


Meal, event/Environtment related to the injury)

2. Survey Sekunder
Laboratorium
Darah

: Hb, leukosit, trombosit, ureum kreatinin, GDS , AGD dan elektrolit

Urin

: perdarahan
16

Radiologi
Foto polos kepala
CT Scan otak
Foto lain sesuai indikasi
Managemen terapi
-

Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi

Siapkan ruangan intensif

Penanganan luka-luka

Pemberian obat sesuai kebutuhan

Penanganan Kasus Cedera Kepala Ringan


1. Pemeriksaan status umum dan neurologi
2. Perawatan luka-luka
3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam. Bila
selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut:
a. pasien cenderung mengantuk
b. sakit kepala yang semakin berat
c. muntah proyektil
Maka pasien hars segera dibawa kembali ke RS
4. pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut ini:
a. ada gangguan orientasi (waktu dan tempat)
b. sakit kepala dan muntah
c. tidak ada yang mengawasi di rumah
d. letak rumah jauh atau sulit untk kembali ke RS

17

Penanganan Kasus Cedera Kepala Sedang dan Berat


1. lanjutkan penanganan ABC
2. pantau tanda vital (suhu, pernapasan, tekanan darah), pupil GCS, gerakan
ekstremitas, sampai pasien sadar
3. pantauan dilakukan tiap 4 jam
4. lama pemantauan hingga GCS 15.
Perhatian khusus ditujukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Data
Traumatic Coma Data Bank (TCDB) menunjukkan bahwa hipotensi pada
pasien dengan trauma kranoserebral berat akan meningkatkan angka kematian
dari 27% 50% (Wilkins, 1996). Tatalaksanan tradisional yang meliputi
pembatasan cairan dalam mengurangi terjadinya edema otak, kemungkinan
akan membahayakan pasien, terutama pada pasien yang telah mengaami
banyak kehilangan cairan.1
Hindari terjadi kondisi sebagai berikut:
Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg
Suhu > 38 derajat Celcius
Frekuensi nafas > 20 x / menit
5. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial
Posisi kepala ditinggikan 30
Bila perlu dapat diberikan Manitol 20% (hati-hati kontraindikasi)
Dosis awal 1 gr/kg BB, berikan dalam waktu 1/2 - 1 jam, drip cepat.
Lanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 gr/kg BB drip cepat, 1/2 - 1 jam.
Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek
Atasi komplikasi seperti kejang dengan pemberian profilaksis OAE selama 7
hari untuk mencegah immediate dan early seizure
18

Pada kasus risiko tinggi infeksi akibat fraktur basis kranii / fraktur
terbuka berikan profilaksis antibiotika, sesuai dosis infeksi intrakranial
selama 10-14 hari.

Gastrointestinal perdarahan lambung

Demam

DIC: pasien dengan trauma kapitis tertutup cenderung mengalami


koagulopati akut.

Pemberian cairan dan nutrisi adekuat

Roboransia, neuroprotektan (citicoline), nootropik sesuai indikasi

DAFTAR PUSTAKA
1. Soertidewi Lyna,dkk. Konsensus Nasional; Penanganan Trauma Kapitits dan Trauama
Spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta 2006, hlm:1 18.

2. Rowland, et all. Merritt's Neurology, 11th Edition. Nelson. Columbia University


College of Physicians and Surgeons, Neurological Institute, New York
Presbyterian Hospital, Columbia University Medical Center, New York. New York
2005, Pg.485-500.
3. Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge
University Press. Cambridge.2009
4. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Yogyakarta.2008. hlm. 261-262.
19

5. Dewanto G, dkk. Diagnosisi dan Tatalaksana Penyakit Saraf. IKAPI. Jakarta. 2006.
Hlm.12 19.
6. Snell S Richard. Clinical Anatomy by System.Lippincont Williams and Wilkins. New
York. 2007. Pg.212-222.

20

Anda mungkin juga menyukai