PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada semua
kelompok usia. Saat ini, belum ada penanganan yang efektif untuk memulihkan efek yang
menetap dari cedera kepala primer, dan penanganan ditujukan untuk mengurangi efek
sekunder dari cedera kepala yang dapat terjadi akibat dari iskemik, hipoksia dan peningkatan
tekanan intra cranial. Memahami epidemiologi dari cedera kepala berguna untuk tindakan
preventif, perencanaan strategi preventif primer berdasarkan populasi untuk meningkatkan
penanganan yang efektif dan efisien, termasuk ketentuan fasilitas rehabilitasi bagi mereka
yag terkena cedera kepala.
Perubahan neuropatologi terkait dengan sejumlah factor, termasuk tipe dan keparahan
cedera, serta bekes cedera yang dapat terjadi akibat cedera yang tumpul maupun tajam yang
dapat menyeuruh ataupun local. Patologi dari cedera kepala juga dipengaruhi dari factor
pasien seperti usia, komorbid, alcohol, hipoksia, sepsis dan penanganan.
Penanganan klinis yang cepat dan akurat sangatlah penting. The rapid and accurate
clinical assessment of a head-injured patient is crucial. Penaganan awal harus selalu ditujukan
pada jalan napas (airway), pernapasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) sesuai dengan
prinsip-prinsip ATLS. Yang terpenting bukan hanya untuk mengodentifikasi cedera kepala
yang mengancam jiwa melainkan juga untuk mencegah cedera kepala sejunder. Tulang
cervical harus diimobilisasi karena ada kemungkinan terjadi cedera. Level kesadaran dan
ukuran serta respon pupil harus diperiksa berkala pada pasien dengan cedera kepala ini.
Cedera kepala traumatic berdampak pada ribuan orang tiap tahunnya. Keparahan
cedera mulai yang ringan dengan gangguan fungsi kognitif yang tidak dapat dinilai hingga
gangguan kesadaran yang parah dengan prolong koma dan status vegetative persisten.
Pencitraan cedera kepala tidak hanya bergantung pada mekanisme dan keparahan cedera, tapi
juga pada waktu sejak terjadinya cedera. Tujuan dari pencitraan ini termasuk untuk
pengambilan keputusan terapi, prognosis dan penelitian patofisiologi cedera kepala.
Intracranial pressure (ICP) juga telah menjadi variable vital pada fungsi serebral di saat fase
akut cedera kepala.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala
baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen.1
2.2 Epidemiologi
Cedera kepala traumatic saat ini telah menjadi penyebab utama kematian,
terutama pada orang dewasa muda, dan penyebab utama kecacatan. Biaya dalam
perawatan semakin meningkat untuk kondisi ini.
Lebih dari 2 juta pasien dengan cedera kepala setiap tahunnya di ruang gawat
darurat AS, dan merupakan 25% dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Hampir 10%
dari seluruh kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh cedera, dan sekitar separuh dari
kematian traumatis melibatkan otak. Di Amerika Serikat, cedera kepala terjadi setiap 7
detik dan kematian setiap 5 menit. Sekitar 200.000 orang tewas atau cacat permanen
setiap tahun sebagai akibatnya.1,2
Cedera kepala terjadi pada segala usia, tetapi puncak adalah pada orang
dewasa muda antara usia 15 dan 24. Cedera kepala adalah penyebab utama kematian di
antara orang di bawah usia 24 tahun. Pria tiga atau empat kali lebih sering sebagai wanita.
Penyebab utama dari cedera otak berbeda di berbagai bagian Amerika Serikat; di semua
daerah, kecelakaan kendaraan bermotor yang menonjol, dan di daerah metropolitan
kekerasan pribadi sering terjadi.1
Hubungan sebab-akibat antara mekanisme cedera dan cedera kepala
merupakan hal yang rumit Misalnya, orang tua yang memiliki kejadian jatuh yang lebih
tinggi dibandingkan usial lainnya. Mungkin faktor efek samping obat, pendengaran dan
penglihatan yang kurang, lambatnya respon terhadap suatu kejadian, keseimbangan dan
mobilitas menjadi pengaruh terjadinya cedera.3
Gambar 1.1
Persentase penyebab cedera kepala pertahun di AS 3
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan:
Patologi:
Komosio serebri
Kontusio serebri
Laserasi serebri
Lokasi lesi
Lesi diffus
Lesi fokal
Hematoma intrakranial
Hematoma subdural
Hematoma intraparenkhimal
Hematoma subarakhnoid
Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebellar
2.4 Patofisiologi
Fraktur kranii
Patah tulang tengkorak dapat dibagi menjadi jenis linier, depresi, atau
comminuted. Jika kulit kepala ikut robek, itu dianggap sebagai fraktur terbuka atau
majemuk. fraktur tengkorak merupakan penanda penting dari cedera serius, tapi
jarang berpotensi menimbulkan masalah dengan sendirinya, prognosis lebih
tergantung pada sifat dan tingkat keparahan cedera pada otak dari pada beratnya
cedera tengkorak. Sekitar 80% patah tulang merupakan jenis linear. Paling banyak
terjadi di wilayah temporoparietal, di mana sisi tengkorak menipis. Deteksi patah
linier sering menimbulkan kecurigaan adanya cedera otak serius, tapi CT pada pasien
sebagian besar adalah dinyatakan normal. Patah tulang tengkorak linier pada
umumnya tidak memerlukan intervensi bedah dan dapat dikelola konservatif.
Dalam fraktur depresi dari tengkorak, satu atau lebih fragmen tulang yang tertekan ke
dalam, penekanan bagian utama otak. Dalam fraktur comminuted ada beberapa
fragmen tulang yang hancur yang mungkin atau tidak tertekan ke dalam. Dalam 85%
kasus, fraktur depresi terbuka dapat terinfeksi, atau terjadi kebocoran CSF. Pada
beberapa pasien, patah tulang tengkorak depresi berhubungan dengan robekan,
kompresi, atau trombosis dari vena dural sinus yang mendasarinya. Patah tulang
tengkorak basilar mungkin linear, depresi, atau comminuted yang sering terlewatkan
oleh X-ray tengkorak dan paling baik diidentifikasi oleh CT- Scan. Mungkin ada
saraf yang terkait dengan luka tengkorak atau vena dural yang dapat mengakibatkan
4
Komosio serebri
Apabila cedera kepala mengakibatkan gangguan fungsi serebral sementara
berupa penurunan kesadaran (pingsan/koma, manesia retrograd) tanpa adanya lesi
parenkim berdarah pada otak, digolongkan sebagai komosio serebri. Penemuanpenemuan mutakhir menyebutkan koma kurang dari 20 menit, amnesia retrograde
singkat, cacat otak tidak ada, dan perawatan tumah sakit kurang dari 48 jam termasuk
pada golongan ini. Biasanya tidak memerlukan terapi khusus, asal tidak terdapat
penyulit seperti hematoma, edema serebri traumatic dsb. Penderita sangat perlu
istirahat mutlak, tenaga keseimbangan kardiovaskuler, respirasi, cairan elektrolit dan
kalori, serta terhindar dari infeksi paru-paru atau kandung kemih. Mobilisasi hampir
tidak menjadi persoalan.4
Kontusio serebri
Apabila terjadi lesi parenkim berdarah, yang ditandai oleh kesadaran menurun
yang lebih lama. Defisit neurologis seperti hemiparese kelumpuhan saraf otak, refleks
abnormal, twiching, konvulsi, delirium dan LCS berdarah.3,4
Laserasi serebri
Bila terjadi robekan parenkim otak maka digolongkan kedalam laserasi serebri.
1. Lokasi lesi
Lesi diffus
Lesi fokal
5
Hematoma intrakranial
Hematoma ekstradural (hematoma epidural)
Pupil anisokor
Pupil isokor
Hematoma subdural
Hematoma subdural biasanya dari vena, darah mengisi ruang antara
dapat
mungkin telah dilupakan. Faktor risiko lain untuk hematoma subdural kronis
termasuk overdrainage dari shunts ventriculoperitoneal dan gangguan
perdarahan, termasuk kondisi yang relevan dengan obat antikoagulan.
Dalam kebanyakan kasus hematoma subdural kronis, perdarahan dari trauma
ringan dengan kompresi otak sedikit atau tidak ada, karena bersama dengan
atrofi otak. Setelah 1 minggu, fibroblast pada permukaan bagian dalam dura
membentuk membran luar yang tebal, setelah 2 minggu membran tipis dalam
berkembang, menghasilkan bekuan enkapsulasi, yang mulai mencair.
Pembesaran hematoma kemudian dapat terjadi dari pendarahan yang berulang
(misalnya, hematoma subdural akut-on-kronis) atau karena efek osmotik yang
berkaitan dengan kandungan protein tinggi. CT biasanya menunjukkan massa
isodense atau hypodense, berbentuk bulan sabit di permukaan otak, dan
membran dapat meningkatkan dengan kontras intravena. Hematoma subdural
kronis akhirnya yang mencair membentuk hygromas, dan dalam beberapa
kasus mungkin berupa kalsifikasi.
Hematoma subdural akut dan kronis dengan efek massa yang signifikan
harus dievakuasi. Indikasi utama operasi adalah adanya efek massa gejala
berupa defisit neurologis fokal, atau kejang.
Pembedahan untuk evakuasi hematom tebal yang merupakan hematoma
subdural akut biasanya memerlukan craniotomy besar. Hasil setelah bedah
evakuasi tergantung pada tingkat keparahan awal, dan interval dari cedera ke
operasi. Liquefied hematoma subdural kronis sering dapat dievakuasi dengan
drainase. Reoperasi untuk hematoma subdural akut dan kronis yang
dibutuhkan dalam sekitar 15% dari kasus.2,3,4
Gambaran klinis berupa:1Akut : interval lucid 0-5 hari, subakut : interval lucid
5 haru beberapa minggu, kronik : interval lucid > 3 bulan
Hematoma intraparenkhimal
Hematoma subarakhnoid
Dalam kebanyakan kasus, darah subarachnoid hanya terdeteksi oleh
pemeriksaan CSF, dan pemeriksaan klinis kecil. Dengan cedera yang lebih
serius, ketika vena besar yang melintasi subarahnoid robek, fokal atau
perdarahan subarachnoid luas dapat dideteksi oleh CT. Meskipun adanya
sejumlah besar darah di subarachnoid merupakan pertanda prognosis yang
buruk, komplikasi perdarahan subarachnoid aneurysmal, seperti hidrosefalus
dan iskemia dari vasospasm, tidak biasa terjadi setelah perdarahan
subarakhnoid traumatik.2,3,4,5
Gejala dan tanda klinis berupa kaku kuduk, nyeri kepala, dapat terjadi
gangguan kesadaran.
Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri
intraserebral mono atau multiple. Biasanya berhubungan dengan diffuse axonal
injury dengan gejala dan tanda klinis:
-
Demam tinggi
2.5 Diagnosis
-
Anamnesis
Keadaan kecelakaan dan kondisi klinis pasien sebelum masuk ke ruang darurat
harus dipastikan dari pasien (jika mungkin), dan saksi mata. Kekuatan dan lokasi
cedera kepala harus ditentukan setepat mungkin. Pertanyaan khusus juga harus dibuat
mengenai gegar otak; karena pasien amnestic selama gegar otak, hanya seorang saksi
mata secara akurat dapat mengukur durasi kehilangan kesadaran. Anamnesis
mencakup; trauma kapitis dengan /atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid, perdarahan/otorrhea/ rinorrhea serta manesia traumatika.1,2
Pemeriksaan Penunjang
-
Laboratorium
Pemerksaan laboratorium yang dilakukan pada saat pasien pertama kali masuk ke
RS serta saat pemantauan seperti pemeriksaan dara; Hb, leukosit, trombosit untuk
mengetahui factor pemberat yang menyertai perdrahan. Ureum, kreatinin untuk
mengetahui fungsi hati akibat perdarahan ataupun untuk interfensi obat-obatan
yang akan dieksresikan melalui ginjal. Gula darah sewaktu juga diperlukan untuk
mengetahui factor yang dapat memperberat dampak cedera atau adanya penykit
komorbid. AGD dan elektrolit juga sebaiknya diperiksa untuk menilai adanya
asidosis atau alkalosis yang dapat terjadi akibat dampak dari cedera, hipoventilasi
misalnya.
Radiologi
11
melihat adanya fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan lunak di dalam
kepala.1,2
12
GCS 13-15
CT scan Normal
GCS 9-12
CT scan abnormal
GCS 3-8
CT scan abnormal
Motorik:
Nilai
6
5
4
3
Menurut perintah
Depat melokalisir nyeri
Fleksi terhadap nyeri
Fleksi
abnormal
2
1
(dekortikasi)
Ekstensi (deserebrasi)
Tidak ada respon
14
Verbal:
Nilai
5
4
3
Orientasi baik
Disorientasi tidak baik
Kata-kata tidak tepat,
2
1
hanya menangis
Mengerang
Tidak ada respon
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang,
berat) berdasarkan urutan:
1. Survey Primer
a. Airway (jalan napas)
Bebaskan jalan napas dengan memeriksa mulut, bila terdapat secret atau benda
asing segera dikeluarkan dengan suction atau swab. Bila perlu dapat
digunakan intubasi untuk menjaga patenisasi jalan napas. Waspadai bila ada
fraktur servikal.
b. Breathing (Pernapasan)
Pastikan pernapasan adekuat,
perhatikan frekwensi,
pernapasan dada atau perut dan kesetaraan pengembangan dada kanan dan
kiri. Bila ada gangguan pernapasan segera cari penyebab, gangguan terjadi
pada sentral atau perifer.
GCS
Luka-luka
2. Survey Sekunder
Laboratorium
Darah
Urin
: perdarahan
16
Radiologi
Foto polos kepala
CT Scan otak
Foto lain sesuai indikasi
Managemen terapi
-
Penanganan luka-luka
17
Pada kasus risiko tinggi infeksi akibat fraktur basis kranii / fraktur
terbuka berikan profilaksis antibiotika, sesuai dosis infeksi intrakranial
selama 10-14 hari.
Demam
DAFTAR PUSTAKA
1. Soertidewi Lyna,dkk. Konsensus Nasional; Penanganan Trauma Kapitits dan Trauama
Spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta 2006, hlm:1 18.
5. Dewanto G, dkk. Diagnosisi dan Tatalaksana Penyakit Saraf. IKAPI. Jakarta. 2006.
Hlm.12 19.
6. Snell S Richard. Clinical Anatomy by System.Lippincont Williams and Wilkins. New
York. 2007. Pg.212-222.
20