Anda di halaman 1dari 32

Presentasi Kasus

LIMFADENITIS TB

Disusun oleh :
Dr. Caesario Fajar F

Pembimbing :
Dr. Sri Hartati

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Interenship


Puskesmas Kecamatan Cilandak
2019
Data Pasien:

Nama Pasien : Tn. M S


Umur : 17 th
Status : Belum menikah
Alamat : Jl. Cilandak tengah I No.9 Rt 11/3
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan Terakhir : SMU
No. RM : 9107252

Keluhan Utama :
Os datang dengan keluhan benjolan di ketiak Sejak 1 bulan yang lalu,

Riwayat penyakit sekarang :


Os mengira awal nya hanya benjolan biasa saja dan ternyata semakin lama semakin
membesar. Benjolan tersebut dirasakan nyeri jika di tekan. Os juga mengeluhkan disertai cepat
lelah dan nafsu makan yang menurun.
Pada awal nya os bercerita sebelumnya mempunyai riwayat batuk dahak sejak 3 bulan
yang lalu namun, disertai demam dan penurunan berat badan, hingga di diagnosis Tbc oleh
dokter. Pada bulan pertama seiring berjalan pengobatan tbc tidak ada keluhan apa apa pada
ketiaknya. Namun setalah bulan ke dua baru muncul benjolan kecil agak sedikit kemerahan,
dan sakit bila di tekan, os mengira awalnya hanya seperti bisul biasa aja dan yang akan sembuh
sendiri nantinya. Namun tetapi setelah sebulan kemudian benjolan tersebut makin lama
membesar dan semakin membuatnya menjadi risih.
Pada kondisi awal mula nya benjolan Os menyangkal dirinya ada disertai mual, muntah,
gangguan BAK dan BAB. Menurut pasien di keluarganya tidak ada mengalami hal yang serupa
dan tidak ada riwayat trauma, dan riwayat sakit gigi sebelumnya.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya. Tidak ada riwayat alergi
terhadap makanan, obat-obatan, dan debu. Pasien menyangkal mempunyai riwayat dm,
hipertensi, maupun hiv.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengatakan bapak pasien dulu pernah mengalami sakit Tb dan pengobatan secara tuntas
dan dinyatakan sembuh pada 1 tahun lalu.

Riwayat Lingkungan Perumahan


Pasien tinggal bersama ayah dan ibunya dan kaka laki lakinya, pasien mengatakan di
rumah, sering sekali terpapar asap rokok, karena kaka nya merupakan perokok aktif semenjak 1
tahun belakngan ini. Ventilasi dan pencahayaan udara di rumah mengatakan kurang begitu baik
karena rumah begitu sempit ruangan nya dan banyak terdapat barang barang. Hingga untuk
bergerak agak bergitu kurang leluasa. Sumber air untuk keperluan air sehari-hari seperti mandi
dan mencuci menggunakan air tanah.

Riwayat Sosial ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai buruh dengan penghasilan  Rp. 5.000.000,-/ bulan dan ibu
pasien sebagai ibu rumah tangga. Menurut ayah pasien, penghasilan cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari.
Kesimpulan sosial ekonomi: Penghasilan ayah dan ibu pasien cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari

Riwayat Pengobatan
Pasien belum berobat untuk mengatasi benjolan di ketiak nya selama ini. Pasien sedang
menjalani pengobatan Tbc kategori 1 saat ini dan sedang mengalami pengobatan jalan bulan ke
tiga.

Pemeriksaan fisik
Keadaaan umum : Tampak ssakit sedang
Kesadaran : compos mentis

Status gizi
Berat badan : 61kg
Tinggi badan : 179 cm
IMT : 19,06
Tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Laju pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36oC

Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Normonasi, darah (-/-), sekret (-/-)
Telinga : Normotia, darah (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5-3cm H2O diatas angulus
sternalis.

Thorax “Pulmo”
Inspeksi : Simetris, tidak ada retraksi sela iga
Palpasi : Nyeri tekan (-), Vocal fremitus (+/+)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak pada ICS V linea midsternalis sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba dengan pulsasi lemah pada ICS V linea midsternalis sinistra
Perkusi
Batas atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Batas kiri : ICS V linea mid clavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut terlihat datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Perut supel, nyeri tekan (-) Epigastrium, hepatosplenomegali (-)

Extremitas atas dan bawah


Akral : Hangat (+/+)
CRT < 2 dtk : (+/+)
Edema : (-/-)

Kelenjar getah bening :


Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : Terdapat benjolan agak sedikit kemerahan di mid axilaris superior,
benjolan terfixir, nyeri jika di tekan, dengan diameter kurang lebih 2 -3 cm,

Inguinal : tidak teraba membesar

RESUME :
Os datang ke Poli pkpr dengan keluhan terdapat benjolan di ketiak nya sejak sebulan
yang lalu, os mengira hanya benjolan biasa saja, tetapi semakin lama semakin membesar
semenjak 1 bulan ini, os mengakui sedang menjalani pengobatan tb kategori 1 sudah 3 bulan
berjalan. Os bercerita benjolan tersebut nyeri bila di tekan. Os terkadang mengeluhkan mudah
lelah dan nafsu makan menurun. Keluhan di sertai dengan demam, dan penurunan berat badan
dalam beberapa minggu ini.
Benjolan teraba hangat, berwana kemerahan, nyeri bila di tekan, terfixir dengan
konsistensi lunak. Dilingkungan rumahnya orang tua laki lakinya mempunyai riwayat tb dan
didikung pula fakor predisposisi nya dengan kakak pasien merokok di lingkungan rumah.

DIAGNOSIS KERJA
Limfadenitis Tb

DIAGNOSIS BANDING
Sarchoidosis
Limfadenopati

PENATALAKSANAAN
1. UMUM
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit
b. Menjelaskan bahwa Limfadenitis TB adalah penyakit kelnjar getah bening di
karenakan infeksi oleh kuman bacteri micobacterium tuberculosis.
c. Menerangkan pentingnya menjaga kebersihan perseorangan dan lingkungan tempat
tinggal
d. Menjelaskan pentingnya mengobati anggota keluarga yang menderita tbc atau yang
mempunyai riwayat sebelumnya.
e. Menjelaskan pola diet

2. KHUSUS
a. Lanjut pengobatan OAT kategori 1
b. Simtomatik
 Nyeri : Asam mefenamat 3 x 500mg
 Demam : Parasetamol 3 x 500mg
 NSAID : Prednison 2 x 5mg
PLANING
 Rujuk ke Sp.P : Rs. Setia mitra
o Konsul ke Sp.B : Untuk dilakukan Biopsi dan kirim Ke PA.
TINJAUAN PUSTAKA

Kelenjar Getah Bening


Kelenjar getah bening terbungkus kapsul fibrosa yg berisi kumpulan sel pembentuk pertahanan
tubuh dan tempat penyaringan antigen dari pembuluh getah bening yang melewatinya.
Fungsinya adalah sebagai filter berbagai mikroorganisme asing dan partikel hasil degradasi sel
atau metabolisme.

Gambar 2.1 Kelenjar Getah Bening


Terdapat kurang lebih 600 KGB, namun ada daerah yang teraba normal pada orang sehat, yaitu
submandibular, axillary, dan inguinal. 50% terdapat di kepala & leher.

Gambar 2.2 Kelenjar Getah Bening Leher

Gambar 2.3 Kelenjar Getah Bening Axilla


Gambar 2.4 Kelenjar Getah Bening Inguinal

Limfadenitis TB
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening, sedangkan
limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening
yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di
leher disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya
paling sering terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan
kelenjar. Infeksi M. tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberculosis ke
kulit dari struktur dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak dengan M. tuberculosis yang
disebut dengan scrofuloderma.

Gambar 2.5 Limfadenitis TB Regio Colli


Epidemiologi
Tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian tersering pada golongan penyakit infeksi.
WHO memprediksi insidensi penyakit tuberculosis ini akan terus meningkat, di mana akan
terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun.
Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan leh epidemic HIV, di mana
tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita AIDS. 1
Di Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB
tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta),
Afrika Selatan (0,40-0,59), dan Nigeria (0,37-0,55 juta).2 Tuberkulosis dapat melibatkan
berbagai sistem organ tubuh. Meskipun TB pulmoner adalah kasus yang paling banyak, TB
ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah yang tidak kalah penting. Istilah TB
ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan
epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-
negatif, di mana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB
ekstrapulmoner).Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah
lebih dari 50% kasus TB, di mana limfadenitis tetapterbanyak yaitu 35% dari Tb
ekstrapulmoner.

Etiologi Limfadenitis TB
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacterium tergolong dalam family Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Spesies
patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen penyebab
penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong
dalam Mycobacterium tuberculosis complex adalah M.tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M.
africanum, M. microti,M.pinnipedii,M.canettii.Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan
epidemiologi.
Basil TB adalah bakteri aerobic obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran 0,4 x 3 µm dan
tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari
satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria
termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan gram dan hanya dapat
diwarnai dengan pewarnaan khusus yang sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga
tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan
asam. M. tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuchsin.
Dinding bakteri Mycobacteria kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat, lilin, dan fosfat.
Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan
pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri
Mycobacteria.

Gambar 2.6 Struktur dinding sel M. tuberculosis

Gambar 2.7 M. tuberculosis tampak pada pewarnaan Ziehl-Neelsen

Gambar 2.8 Kultur M. tuberculosis pada medium Lowenstein Jensen


Penularan Tuberkulosis
Penularan tuberkulosis melalui berbagai cara, yaitu lewat udara/ droplet nuclei dengan diameter
3-5 µm (>90%) dengan jarak 1-5 meter, dapat juga (jarang) melalui kontak langsung kulit/
luka/ lecet, dan kongenital, minum susu terkontaminasi basil (M. bovis). Basil tetap hidup dan
virulen dalam keadaan kering beberapa minggu, mati dalam cairan dengan suhu 60oC selama
15-20 menit. Basil tidak membentuk toksin. Penularan pada umumnya berasal dari TB dewasa
dengan BTA (+).
Faktor yang berpengaruh dalam penularan TB menurut Beyers et al (2004)
adalah:
Dosis/ jumlah paparan
Konsentrasi/ kuman di udara
Virulensi kuman
Durasi/ lama pajanan
Keadaan imunitas host

Gambar 2.9 Penularan M. tuberculosis melalui droplet nuklei34

Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan Tb
ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB
pulmoner post-primer (sekunder). Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain
paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi
oleh basil tuberkulosis adalah kelanjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, menigens,
peritoneum, dan pericardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis. Basil
TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit
oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit
oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju
kelenjar limfe regional di hilus, di mana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan
reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional
(limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, dalam waktu 3-4 minggu setelah
ineksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil
TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu focus primer yang
disebut focus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan limfadenitis regional
disebut dengan komplek Ghon. Terbentuknya focus Ghon mengimplikasikan dua hal penting.
Pertama, focus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang
spesifik terhadap basil TB. Kedua, focus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang
didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa
tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit.
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler,
hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya imunitas seluler akan mebatasi peneybaran
basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa).
Sama seperti pada Tb primer, basic TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui
aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan
paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru.
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil
TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil
TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag
dan di bawa ke tonsil, selanjutnya akan di bawa ke kelenjar limfe di leher.

Gambar 2.10 Patofisiologi Limfadenitis TB

Manifestasi Klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB
juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan
keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan
HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai
yaitu sekitar 2/3 pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu
diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa
bulan.

Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti
berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesenterikus, portal hepatikus,
perihepatik dan kelenjar inguinalis.
Lokasi limfadenitis meliputi:
Limfadenitis daerah kepala dan leher
Kelenjar getah bening servikal teraba pada sebagian besar anak, tetapi ditemukan juga pada
56% orang dewasa. Penyebab utama limfadenopati servikal adalah infeksi; pada anak,
umumnya berupa infeksi virus akut yang swasirna.
Pada infeksi mikobakterium atipikal, cat-scratch disease, toksoplasmosis, limfadenitis Kikuchi,
sarkoidosis, dan penyakit Kawasaki, limfadenitis dapat berlangsung selama beberapa bulan.
Limfadenitis supraklavikula kemungkinan besar (54%-85%) disebabkan oleh keganasan.3
Kelenjar getah bening servikal yang mengalami inflamasi dalam beberapa hari, kemudian
berfluktuasi (terutama pada anak-anak) khas untuk limfadenitis akibat infeksi stafilokokus dan
streptokokus. Kelenjar getah bening servikal yang berfluktuasi dalam beberapa minggu sampai
beberapa bulan tanpa tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang signifikan merupakan petunjuk
infeksi mikobakterium, mikobakterium atipikal atau Bartonella henselae (penyebab cat scratch
disease). Kelenjar getah bening servikal yang keras, terutama pada orang usia lanjut dan
perokok menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring, nasofaring, laring,
tiroid, dan esofagus). Limfadenitis servikal merupakan manifestasi limfadenitis tuberkulosa
yang paling sering (63-77% kasus), disebut skrofula. Kelainan ini dapat juga disebabkan oleh
mikobakterium nontuberkulosa.

Limfadenitis epitroklear
Terabanya kelenjar getah bening epitroklear selalu patologis. Penyebabnya meliputi infeksi di
lengan bawah atau tangan, limfoma, sarkoidosis, tularemia, dan sifilis sekunder.

Limfadenitis aksila
Sebagian besar limfadenitis aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas pada ekstremitas atas.
Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke kelenjar getah bening aksila anterior dan
sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya tumor primer. Limfoma jarang bermanifestasi
sejak awal atau, kalaupun bermanifestasi, hanya di kelenjar getah bening aksila. Limfadenitis
antekubital atau epitroklear dapat disebabkan oleh limfoma atau melanoma di ekstremitas, yang
bermetastasis ke kelenjar getah bening ipsilateral.

Limfadenitis supraklavikula
Limfadenitis supraklavikula mempunyai keterkaitan erat dengan keganasan. Pada penelitian,
keganasan ditemukan pada 34% dan 50% penderita. Risiko paling tinggi ditemukan pada
penderita di atas usia 40 tahun. Limfadenitis supraklavikula kanan berhubungan dengan
keganasan di mediastinum, paru, atau
esofagus. Limfadenitis supraklavikula kiri (nodus Virchow) berhubungan dengan keganasan
abdominal (lambung, kandung empedu, pankreas, testis, ovarium, prostat).

Limfadenitis inguinal
Limfadenitis inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada orang normal, terutama
yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenitis reaktif yang jinak dan infeksi merupakan penyebab
tersering limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal jarang disebabkan oleh keganasan.
Karsinoma sel skuamosa pada penis dan vulva, limfoma, serta melanoma dapat disertai
limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal ditemukan pada 58% penderita karsinoma penis
atau uretra.

Limfadenitis generalisata
Limfadenitis generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi serius, penyakit autoimun, dan
keganasan, dibandingkan dengan limfadenitis lokalisata. Penyebab jinak pada anak adalah
infeksi adenovirus. Limfadenitis generalisata dapat disebabkan oleh leukemia, limfoma, atau
penyebaran kanker padat stadium lanjut. Limfadenitis generalisata pada penderita AIDS dapat
terjadi karena tahap awal infeksi HIV, tuberkulosis, kriptokokosis, sitomegalovirus,
toksoplasmosis, dan sarkoma Kaposi. Lokasi kelenjar getah bening daerah leher dapat dibagi
menjadi 6 level. Pembagian ini berguna untuk memperkirakan sumber keganasan primer yang
mungkin bermetastasis ke kelenjar getah bening tersebut dan tindakan diseksi leher.
Menurut Sharma (2009), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV- positif, kelenjar limfe
servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.
Pembekakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal maupun
multiple, di mana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam
hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di region servikalis posterior dan
yang lebih jarang di region supraklavikular.
Gambar 2.11 Level kelenjar getah bening leher Tabel 2.1 Kelompok kelenjar getah bening daerah leher
berdasarkan level
Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% HIV-positif.
Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati intratorakalis dan
intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan.
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti
demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak
menunjukkan gejala sistemik.
Menurut Jones dan Campbell dalam Mohapatra (2009) limfadenopati tuberkulosis perifer dapat
diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
Stadium 1, pembesaran kelenjar berbatas tegas, mobile dan diskret
Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan sekitar oleh karena
adanya periadenitis
Stdium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat pembentukan abses
Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess
Stadium 5, pembentukan traktus sinus

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang
terkena biasanya tidak nyeri kecuali, terjadi infeksi sekunder bakteri, pembesaran kelenjar yang
cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian
kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan
ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadentis TB servikalis.
Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit yang disebabkan oleh perluasan
langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung terhadap
basil TB.

Limfadenitis mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa limfadenitis
mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada pasien dengan
keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan
fistula tracheooesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga
dapat menyebabkan obstruksi duktus torasikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun
chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat
menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat
limfadenitis mediastinal.
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran > 2 cm biasanya disebabkan oleh M.
tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan
tersebut disebabkan oleh M. tuberculosis.

Diagnosis
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang lengkap. Selain itu ditunjang oleh pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan mikrobiologi, tes tuberculin, pemeriksaan sitologi, dan pemeriksaan
radiologis. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut penting untuk membantu dalam membuat
diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan
sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur. Selain itu, juga penting
untuk membedakan jenis penyebab infeksi apakah karena mikobakterium tuberkulosis atau
non-tuberkulosis. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa
limfadenitis TB :

Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur. Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl- Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat
diperoleh dari sinus atau biopsiaspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya
basilmikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan
dapat positif. Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis
TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif
hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau,
Middle-brook, danBactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan
hasilkultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering,diikuti oleh
M.bovis.

Tes Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat.
Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah ada
kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan
terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal,
edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan.
Prinsip dasar uji tuberkulin adalah sebagai berikut:
Infeksi M.tuberculosis  sel limfosit T berproliferasi, tersensitisasi  masuk ke aliran darah,
bersirkulasi berbulan-bulan/ bertahun-tahun.
Proses sensitisasi terjadi dalam kelenjar getah bening regional (2-12 jam setelah infeksi).
Injeksi tuberkulin pada kulit  menstimulasi sel limfosit  respons hipersensitivitas tipe
lambat (delayed-type hypersensitivity/ DTH) yang memerlukan waktu berjam-jam.
Reaktivitas kulit: vasodilatasi, edema, infiltrasi sel-sel limfosit, basofil, monosit dan netrofil ke
lokasi suntikan.
Antigen-spesific limfosit T akan berproliferasi dan melepaskan limfokin, yg akan mengundang
akumulasi sel-sel lain ke lokasi suntikan  terjadi indurasi yg mencerminkan aktivitas DTH.

Gambar 2.12 Respon imun pada tes tuberkulin

Uji tuberkulin memiliki sensitivitas dan spesifisitas > 90%. Tuberkulin yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens Serum Institute
Denmark, dan PPD (purified protein derivative) dari Biofarma.
Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT 23 2TU atau
PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam
setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi atau
eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, transversal
indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter.
Jika tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya
dilaporkan sebagai negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan
perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula.

Gambar 2.14 Cara penyuntikan dan pembacaan hasil tes tuberculin


Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm dinyatakan positif tanpa
menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB
alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau
infeksi M. atipik. BCG merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang
dilemahkan, sehingga kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif,
tidak sekuat infeksi alamiah. Interpretasi dari uji tuberkulin dapat dilihat pada gambar 12
berikut.
Gambar 2.15 Interpretasi tes tuberkulin

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada keadaan sebagai berikut:


Infeksi TB alamiah
Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
Infeksi TB dan sakit TB
TB yang telah sembuh
Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
Infeksi mikobakterium atipik
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada keadaan sebagai berikut:
Tidak ada infeksi TB
Dalam masa inkubasi infeksi TB
Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun, sehingga tubuh tidak memberikan reaksi
terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan dapat
menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang,
sitostatika, penyakit morbili, pertusis, varisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian
vaksinasi dengan vaksin virus hidup.
Tabel 2.2 Sebab-sebab hasil positif palsu dan negatif palsu pada uji tuberkulin
Positif palsu
Penyuntikan salah
Interpretasi tidak benar
Reaksi silang dengan mikobakterium atipik

Negatif palsu
Masa inkubasi
Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Interpretasi tidak benar
Menderita tuberkulosis luas dan berat
Disertai infeksi virus (campak, rubella, cacar air, influenza, HIV)
Imunokompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid
Kekurangan komplemen
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet (matahari, solaria)
Defisiensi pernisiosa
Uremia

Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep infeksi TB dan sakit TB, maka dibuat
klasifikasi TB oleh American Thoracic Society (ATS) dan Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) Amerika sesuai tabel berikut.
Tabel 2.3 Klasifikasi individu berdasarkan status tuberkulosisnya4
Kelas Pajanan (kontak Infeksi (uji (sakit (uji tuberkulin,
dengan pasien TB tuberkulin klinis, dan pemeriksaan
aktif) positif) penunjang positif)
0 - - -
1 + - -
2 + + -
3 + + +

Uji Interferon
Pemeriksaan IGRA (interferon gamma release assay) didasarkan pada adanya pelepasan
sitokin inflamasi yang dihasilkan oleh sel T limfosit yang sebelumnya telah tersensitisasi oleh
antigen M. tuberculosis. Pada uji IFN-γ, limfosit darah tepi distimulasi secara in-vitro dan
kadar IFN-γ yang dihasilkan oleh sel limfosit T yang telah tersensitisasi oleh antigen protein
spesifik M. tuberculosis yaitu early secretory antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture filtrate
protein-10 (CFP-10). Hasil pemeriksaan ini belum dapat membedakan infeksi saja atau ada
penyakit TB.
Pemeriksaan IGRA ini memiliki spesifitas lebih tinggi daripada uji tuberkulin karena tidak ada
reaksi silang dengan vaksinasi BCG dan infeksi mikobakterium atipik. Ada 2 macam
pemeriksaan IGRA, yaitu quantiferon TB gold dan T-spot-TB. Quantiferon TB-gold mengukur
jumlah IFN-γ dengan ELISA yang dinyatakan dalam pg/ml atau IU/ml. T-spot-TB menghitung
jumlah IFN-γ secreting T-cell berupa titik-titik (spot foaming cells). Pemeriksaan IGRA belum
dibuktikan hasilnya pada anak-anak.

Serologi
Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologi antigen- antibodi spesifik
untuk M. tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD, A60, 38kDa, lipoarabinomanan
(LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum, cairan bronkus (bronkus dan
bronchoalveolar lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan
serologis yang ada: PAP TB, mycodot, immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain masih
belum bisa membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Tes serologis ini memiliki sensitivitas
19-68% dan spesifitas 40-98%.
Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk
dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai
karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya
adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia Langhans). Diagnosis histopatologi
dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia
Langhans. Kadang dapat ditemukan juga BTA.
Kendala pemeriksaan PA adalah sulitnya didapatkan spesimen yang representatif. Spesimen
yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar
diambil secara utuh agar gambaran histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA
kelenjar limfe ini mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang
secara histopatologi sulit dibedakan dengan TB.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian, yakni secara
farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan pembedahan,
sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan
tuberkulosis paru.

Terapi Non Farmakologis


Pembedahan bukan pilihan terapi yang utama. Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan
adalah dengan:
Biopsi eksisional : Limfadenitis yang disebabkan oleh karena atypical mycobacteria
Aspirasi
Insisi dan drainase
Indikasi pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat radang tuberkulosis sudah terdiri
dari pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa. Adanya jaringan nekrosis akan menghambat
penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena
itu sarang infeksi di
berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus dibuang. Jadi, tindak bedah
menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain itu tindak bedah juga diperlukan
untuk mengatasi penyulit, misalnya pada tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas
dan empiema, pada tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis
atau artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat.

Terapi Farmakologis
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan limfadenitis TB ke
dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kategori I. Regimen
obat yang digunakan adalah 2HRZE/4H3R3. Obat yang digunakan adalah Rifampisin,
Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol.
Tabel 2.4 Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Golongan dan Jenis Obat


Golongan- 1 Obat lini Pertama Isoniazid Pirazinamid
Etambutol Rifampicin
Streptomycin
Golongan-2/Obat suntik/ suntikan lini Kanamycin Amikacin
kedua Capreomycin
Golongan-3/Golongan Ofloxacin Moxifloxacin
Floroquinolone Levofloxacin
Golongan-4/Obat bakteriostatik lini Ethionamide Para amino salisilat
kedua Prothionamide Terizidone
Cycloserine
Golongan-5/Obat yang belum terbukti Clofazimine Thioacetazone
efikasinya dan tidak Linezolid Clarithromycin
direkomendasikan oleh WHO Amoxilin-Clavulanate Imipenem
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam rangka memperoleh efektifitas pengobatan TB
adalah:
Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk
kombinasi dari beberapa jenis obat, dengan jumlah dan dosis yang tepat sesuai dengankategori
pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan Regimen pengobatan yang digunakan adalah:

Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dancEtambutol diberikan setiap
hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Rifampisin
dan Isoniazid diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:


Pasien baru TB paru BTA positif
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasein Tb ekstra paru
Tabel 2.5 Dosis Panduan OAT KDT untuk Kategori 1

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu RH
RHZE (150/75/400/275) (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
Tabel 2.6 Dosis Obat OAT Kombipak untuk Kategori 1
Tahap Lama Dosis per hari / kali Jumlah
Pengobata n Pengobata n Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @450 mg @500 mg @250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori 2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3)


Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol,dan
Streptomisin. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan dengan diikuti pengobatan
dengan regimen yang sama, tanpa disertai Streptomisin selama satu bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, dan Etambutol selama
5 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk :
Pasien kambuh
Paien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 2.7 Dosis untuk Panduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Intensif Tiap hari Tahap Lanjutan


RHZE (150/75/400/275) + S 3 kali seminggu selama 16
Berat Badam minggu
RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT + 2 tab
Streptomisin inj. Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT + 3 tab
Streptomisin inj. Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT + 4 tab
Streptomisin inj. Etambutol
71 kg 5 tab 4KDT + 1000 mg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT + 5 tab
Streptomisin inj. Etambutol
Tabel 2.8 Dosis Panduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk Streptomisin adalah
500 mg tanpa memperhatikan berat badan
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml (1 ml = 250 mg)
Kategori Anak (2HRZ / 4HR)
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis


Tabel. 2.11 Efek Samping Ringan OAT
Tabel 2.12 Efek Samping Berat OAT
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu
kemungkinan penyebab lain
Pasien diberikan terlebih dahulu antihistmin, sambil meneruskan OAT dengan
pengawasan ketat
Apabila gatal-gatal tersebut terjadi pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian
pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit, hentikan semua OAT dan tunggu sampai
kemerahan kulit tersebut hilang
Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk

Tabel 2.13 Kontraindikasi OAT

Resistensi Obat Anti Tuberkulosis


Multidrug-resistant TB (MDR-TB) adalah resistensi bakteri/ organisme penyebab
tuberculosis terhadap obat-obat yang efektif memberantas tuberculosis, seperti rifampisin
dan isoniazid. Hal ini bisa disebabkan oleh infeksi organisme yang telah resisten
terhadap obat TB atau mungkin terjadi perkembangan selama pengobatan TB. TB
jenis ini tidak berespon dengan pengobatan enam bulan lini pertama dan memerlukan
obat yang lebih, danlebih toksik, serta mahal.
Salah satu tahapan pemberantasan TB pada fase penjaringan pasien adalah
mengklasifikasikan pasien TB. Pasien dinyatakan sebagai suspek MDR TB adalah semua
orang yang mempunyai gejala TB dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah
ini, yakni:
Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2
Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB
Pasien TB gagal pengobatan kategori 1
Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan
Pasien TB kambuh
Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default
Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
ODHA dengan gejala TB-HIV
Pasien suspek resistensi obat antituberkulosis nantinya akan dipastikan melalui
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberkulosis. Semua suspek TB MDR diperiksa
dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan
M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji
kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap
meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasional. Obat
yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT
lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, Sikloserin dan
PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol. Secara umum, prinsip
pengobatan MDR TB adalah sebagai berikut:

Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif


Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang(cross-
resistance)
Membatasi pengunaan obat yang tidak aman
DAFTAR PUSTAKA

1. Amaylia O. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Jakarta: Cermin


Dunia Kedokteran-2009, vol 40, no. 40. 2013.
2. Fletcher RH. Evaluation of peripheral lymphadenitis in adults [Internet].
2010 Sep [cited 2014 June 27]. Available from: www.uptodate.com.
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. Geneva :
World Health Organization. 2013.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Penanganan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2007.

5. Starke, Jeffrey R. Tuberculosis. 2010. (Internet). Didapat dari


http://www.medscape.com/viewarticle/484123_2. Diakses pada tanggal
7 Juli 2014.
6. PDPI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.

Anda mungkin juga menyukai