Anda di halaman 1dari 28

DERMATITIS ATOPIK

PENDAHULUAN

Dermatitis A (DA) adalah penyakit byang paling sering dijumpai pada

bayi dan anak, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit dan di dasari leh faktor

herediter dan lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif dengan gejala

eritema, papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus yang hebat.(1)

Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang

dipaki untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat

kepekaan dalam keluarga. Misalnya : asma bronchial,rhinitis alergi, dermatitis

atopik dan konjungtivitis alergik.(2)

Gambar 1. Dermatitis atopik

DEFINISI

Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronik dan

residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-

1
anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat

atopi dalam keluarga atau penderita. (1)

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik yang berulang, sering

terjadi pada awal kehidupan (bayi) dan waktu anak-anak. Dermatitis atopik sering

dikaitkan dengan fungsi sawar kulit yang abnormal dan sensitisasi allergen. Tidak

ada criteria dan diagnose khusus yang mampu membedakan dermatitis atopik

dengan penyakit lain.(3)

EPIDEMIOLOGI

Sejak tahun 1960, telah terjadi peningkatan kasus dermatitis atopik

sebanyak 3 kali lipa. Studi terbaru menunjukkan prevalensi anak-anak yang

terkena dermatitis atopik adalah kira-kira 10-20% di Amerika Serikat, Eropa

Utara dan Barat, Afrika, Jepang, Australia, dan Negara industrial yang lain.

Prevalensi orang dewasa sekitar 1-3%. Namun begitu, prevalensi dermatitis atopik

lebih rendah di Negara-negara agrikultur seperti Cina dan Eropa Timur,

pedalaman Afrika dan Asia Tengah. Rasio antara penderita perempuan:lelaki

adalah 1,3:1. Peningkatan prevalensi ini tidak diketahui penyebabnya.(3)

Namun, terdapat faktor resiko yang berpotensi meningkatkan kadar

penderita penyakit dermatitis atopik ini seperti jumlah keluarga yang sedikit,

pendapatan bertambah, tingkat edukasi yang tinggi pada orang kulit hitam/ putih,

migrasi dari desa ke kota, serta meningkatnya kadar penggunaan antibiotic

(dikenali juga dengan Western lifestyle). Ini diakibatkan oleh “hygiene

hypothesis” yang mengatakan bahwa penyakit alergi ini bisa dicegah dengan

2
infeksi pada awal masa anak-anak yang ditransmisi oleh kontak non-higenis

dengan saudara-saudaranya yang lain.(3)

Dermatitis atopik adalah inflamasi kronik pada kulit yang biasa ditemukan

pada populasi pediatric, yang biasa ditemukan kronik ada awal masa

pertumbuhan, mempengaruhi 20% pada anak-anak diseluruh dunia. Dengan

prevalensi terjadi peningkatan terutama pada anak-anak 6-7 tahun. DA biasanya

terdapat pada infantile atau sebelum 5 tahun terjadi 60%-65% dan 85% kasus. DA

berdampak pada ekonomi dan kualitas hidup keluarga terutama penderita.

Terganggunya kualitas hidup karena gatal terus-menerus dan gangguan tidur.(4)

Protein pada susu sapi adalah keadaan yang biasa dihubungkan antara

Dermatitis atopik dan alergi makanan. Penelitian menunjukkan potensi dari

hydrolyzed formula bayi menghasilkan risiko dermatitis atopik pada bayi dengan

riwayat keluarga alergi protein susu sapi.(4)

Berdasarkan International Study of Ashma and Allergies in Children

prevalensi gejala dermatitis atopik pada anak usia enam atau tujuh tahun sejak

periode tahun pertama bevariasi yakni kurang dari 2% di Iran dan CIns, kira-kira

20% di Australia, Ingris dan Skandinavia. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan

di Amerika. Di Ingris, pada survey populasi tahun1750 anak-anak yang mederita

dermatitis atopik dari usia satu hingga lima tahun ditemukan kira-kira 84% kasus

ringan, 14% kasus sedang, 2% kasus berat.(5)

Kejadian dermatitis atopik sering dijumpai pada bayi dan anak-anak.

Gejala klinis dermatitis atopik bervariasi dari gejala ringan sampai berat. Menurut

3
laporan kunjungan bayi dan anakdi Indonesia, dermatitis atopik berada di urutan

peratama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-

anak. Di klinik dermatovenerologi RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, pada periode

bulan Februari 2005 – Desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada

bayi. Sedangkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit Anak RSUP Dr.

Soetomo di dapatkan jumlah pasien DA mengalami peningkata dari 116 pasien

(8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 menjadi 148 pasien (11,05%) sedangkan

tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11,65%). Prevalensi pada anak laki-laki sekitar

20% dan 19% pada anak perempuan.(6)

ETIOPATOFISIOLOGI

1. Faktor genetik

Dermatitis atopik adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh

maternal sangat besar. Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan

penyakit alergi, tetapi yang paling menarik adalah peran kromasom 5 q31-33

karena mengandung gen penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM-CSF (granulocyte

macrophage colony stimulating factor) yang diproduksi oleh sel Th2. Pada

ekspresi dermatitis atopik, ekspresi gen IL-4 juga memainkan peran penting.

Predisposisi dermatitis atopik dipengaruhi perbedaan genetic aktifitas transkripsi

gen IL-4. Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme spesifik gen kimase

sel mast dengan dermatitis atopik tetapi tidak dengan asma bronchial ataupun

rhinitis alergik. Sirine protease yang diproduksi sel mast kulit mempunyai efek

terhadap organ spesifik dan berkonstribusi pada risiko genetic DA.(7)

4
2. Respon imun pada kulit

Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah faktor imunologik.

Didalam komparteman dermo-epidermal dapat berlangsung respon imun yang

melibatkan sel Langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mast. Bila

suatu antigen (bisa berupa allergen hirup, allergen makanan, autoantigen ataupun

super antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka

antigen tersebut akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada permukaan

sel mast atau IgE yang ada di membrane SL epidermis. Bila antigen ditangkap IgE

sel mast (melalui reseptor FcεRI), IgE akan mengadakan cross linking dengan

FcεRI, menyebabkan degranulasi sel mast dan akan keluar histamine dan faktor

kemotaktik lainnya. Reaksi ini disebut reaksi hipersensitif tipe cepat (immediate

type hypersensitivity). Pada pemeriksaan histopatologis akan Nampak sebukan sel

eosinofil. Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel Lngerhans (melalui reseptor

FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein), kemudian diproses untuk selanjutnya

dengan bekerja sama dengan MCH II akan dipresentasikan ke nodus limfa perifer

(sel Tnaive) yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit,

akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan

perkembangan sel T kea rah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan IFN-γ,

TNF. IL-2 dan IL-7, sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13.

Meskipun infiltrasi fase akut DA didominasi oleh sel TH2 namun kemudian sel

TH1 ikut berpartisipasi. Jejas yang terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV

tetapi dengan perantara IgE sehinggga respons ini disebut IgE mediated-delayed

type hypersensitivity. Pada pemeriksaan histopatologi Nampak sebukan sel

5
netrofil. Selain dengan SL dan sel mast, IgE juga berafinitas tinggi dengan FcεRI

yang terdapat pada sel basofil dan terjadi pengeluaran histamine secara spontan

oleh sel basofil. Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF α dan sitokin

pro infalmasi epidermis lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan

kulit DA. Kadang-kadang terjadi aktivitas penyakit tanpa rangsangan dari luar

sehingga timbul dugaan adanya autoimunitas pada DA. Pada lesi kronik terjadi

perubahan pada sitokin. IFN-γ yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih

banyak, sedangkan IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Lesi kronik berhubungan

dengan hyperplasia epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal

untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis.

Perkembangan sel T menjadi sel TH2 dipacu oleh IL-10 dan prostaglandin (P6)

E2. IL-4 dan IL-13 akan menginduksi peningkatan kadar IgE yang diproduksi

oleh sel B.(7)

3. Respon sistemik

Jumlah IFN-γ yang dihasilkan oleh sel mononuclear darah tepi penderita

DA menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN-γ

menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 dan sel T.

spesifik untuk allergen di darah meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13

dan sedikit IFN-γ. IL-4 dan IL-3 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi

pada ekson Cέ sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga

memproduksi ekspresi molekul adhesi permukaan pembuluh darah, misalnya

VCAM-1 (vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil dan

menurunkan fingsi sel TH1.(2)

6
Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut:

a. Sintesis IgE meningkat

b. IgE spesifik terhadap allergen ganda meningkat

c. Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat

d. Respons hipersensitivitas lambat terganggu

e. Eosinofilia

f. Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat

g. Sekresi IFN-γ oleh sel TH1 menurun

h. Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat

i. Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai

peningkatan IL-13 dan PGE2

4. Sawar kulit

Umumnya penderita DA mengalami kekeringan kulit. Hal ini diduga

terjadi akibat kadar lipid epidermis yang menurun, trans epidermal water loss

meningkat, skin capacitance (kemampuan stratum korneum mengikat air)

menurun. Kekeringan kulit ini mengakibatkan ambang rangsang gatal menjadi

relative rendah dan menimbulkan sensasi untuk menggaruk. Garukan ini

menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga memudahkan mikroorganisme dan

bahan iritan/allergen lain untuk malalui kulit dengan segala akibat-akibatnya.(7)

5. Faktor lingkungan

Peran lingkungan terhadap tercetusnya DA tidak dapat dianggap remeh.

Alergi makanan lebih sering pada anak usia <5 tahun. Jenis makanan yang

7
menyebabkan alergi pada bayi dan anak kecil umumnya susu dan telur, sedangkan

pada dewasa seafood dan kacang-kacangan.(7)

Tungau Debu Rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan allergen hirup

yang berkaitan erat dengan asma bronchial pada atopi dapat menjadi faktor

pencetus DA. 95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR. Derajat

sensitisasi terhadap aeroallergen berhubungan langsung dengan tingkat keparahan

DA. Suhu dan kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus DA, suhu udara

yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara tiba-tiba dapat

menjadi masalah bagi penderita DA. Hubungan psikis dan penyakit DA dapat

timbale balik. Penyakit yang kronik residif dapat mengakibatkan gangguan emosi.

Sebaliknya stress akan merangsang pengeluaran substansi tertentu melalui jalur

imunoendokrinologi yang menimbulkan rasa gatal.(7)

Kerusakan sawar kulit akan mengakibatkan lebih mudahnya

mokroorganisme dan bahan iritan (seperti sabun, detergen, antiseptic, pemutih,

pengawet) memasuki kulit.(7)

8
GEJALA KLINIS

Dermatitis atopik dapat dibagi menjadi tiga tahap: dermatitis atopik

infantile terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun: dermatitis atopik masa kanak-

kanakan pada usia 2 sampai 10 tahun dan dermatitis atopik dewasa terjadi pada

usia diatas 10 tahun. Dalam semua tahap. Pruritus adalah ciri khas dari dermatitis

atopik. (8)

1. Bentuk infantile

Sekitar 60% kasus dermatitis atopik ditemukan pada tahun pertama

kehidupan, tetapi biasanya ditemukan pada usia diatas 2 bulan. Biasanya dimulai

pada usia dua bulan – enam bulan. Secara klinis terbentuk dermatitis akut

eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor

ekstremitas. Bentuk ini berlangsung sampai 2 tahun. Predileksi pada muka lebih

sering pada bayi muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul pada bayi yang

sudah belajar merangkan. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel

dan papula, serta ekskoriasi yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi

sekunder. Gatal nerupakan gejala yng mencolok sehingga bayi gelisah dan rewel

dengan tidur yang terganggu. Antara usia 2-3 tahun, sebagian kasus mengalami

remisi, ketika fase istirahat dermatitis atopik dapat terjadi pada fase anak. (1,8,9)

9
Gambar 2. Dermatitis Atopik pada bayi

2. Bentuk anak

Sering sekali bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantile,

walaupun diantaranya terdapat suatu periode remisi. Gejala klinis ditandai oleh

kulit kering (xerosis) yang lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura

antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita. Likenifikasi, ekskoriasi, dan kulit

kering. (10)

Gambar 3. Dermatitis Atopik pada anak

Selama anak, lesi biasanya tidak bersifat eksudatif. Lesi sering mengalami

likenifikasi dan terdapat plak. Ditambah lagi bentuk ekskoriasi pada papul yang

berukuran 2-4 mm dengan penyebaran yang cukup luas. Gatal yang tetap

menonjol dan menyebabkan perubahan bentuk kulit. Garukan menyebabkan

munculnya likenifikasidan bisa menyebabkan infeksi sekunder. Lingkaran setan

10
membetuk pola sebagai gatal sudah pasti penderita akan menggaruk, dan garukan

menyebabkan perubahan pada kulit. Impuls garukan biasanya diluar control

pasien. (8)

3. Dermatitis atopik dewasa

Pada pasien dewasa, dermatitis atopik biasanya eritematous, bersisik,

papul, eksudatif, atau plak likenifikasi. Pada remaja, erosi terdapat pada

antecubital dan fossa popliteal, sisi leher, dahi, dan sekeliling mata pada

dermatitis atopik dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai

tangan dan pergelangan tangan. Kadang erupsi meluas, dan paling parah dilipatan,

mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung

bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama dan sering terjadi

ekskoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi.

Gambar 4. Dermatitis Atopik pada Dewasa

11
DIAGNOSIS

Atopi berasal dari atopos kata Yunani, yang berarti aneh atau tidak biasa.

Pada tahun 1892, Besnier adalah orang pertama yang menggambarkan hubungan

DA dengan rhinitis alergi dan asma. Dekade kemudian, istilah atopi diciptakan

oleh Perry, untuk menggambarkan triad eksim atopik, rhinitis alergi dan asma.

Hanifin & Rajka mengusulkan daftar karakteristik (‘kriteris’) pada 1980 untuk

konsep klinis DA pada table sebagai berikut: (7,8)

Kriteria mayor (harus memenuhi 3 Kriteria minor (harus memenuhi 3

atau lebih kriteria) atau lebih krteria)

1. Pruritus 1. Katarak (anterior-subkapsular)

2. Morfologi dan distribusi yang 2. Cheilitis

tipikal 3. Konjungtivitis – rekuren

3. Likenifikasi fleksura pada 4. Eksim – asentuasi perifolikuler

orang dewasa 5. Fasial palor/fasial aritema

4. Keterlibatan wajah dan 6. Intoleren terhadap makanan

ekstensor pada bayi dan anak- 7. Dermatitis tangan – non alergi,

anak iritan

5. Dermatitis kronik atau kronik 8. Iktiosis

yang berulang 9. Peningkatan IgE

6. Riwayat keluarga atau 10. Tipe 1 (immediate) tes

personal – asma, rhinitis reaktivitas kulit

alergi, dermatitis atopik 11. Infeksi (kulit) – S. aureus,

12
herpes simpleks

12. Infraorbital fold (Dennie-

Morgan lines)

13. Gatal sewaktu berkeringat

14. Keratokonus

15. Keratosis pilaris

16. Dermatitis payudara

17. Warna hitam pada orbital

18. Palmar hyperlinearity

19. Pityriasis alba

20. Dermografisme putih

21. Intoleren pada wol

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopik

Kriteria major dari dermatitis atopik adalah pruritus dan dermatitis

eczematous dengan morfologi dan distribusi yang tipikal, berlangsung kronik atau

remiten. Banyak penyakit seperti penyakit inflamatori, immunodefisiensi, maligna

kulit, kelainan genetic, penyakit infeksi dan infestasi memiliki gejala yang sama

seperti dermatitis atopik. Oleh itu, penting untuk memperhatikan gejala-gejala

yang ada sebelum diagnose dermatitis atopik ditegakkan. Bayi yang lahir dengan

masalah pertumbuhan, diare, ruam yang eritem dan berskuama di seluruh tubuh,

dan infeksi kulit atau sistemik berulang harus dievaluasi dengan sindrom

imunodefisiensi. Sindrom Wiskott-Aldrich adalah penyakit X-linked recessive

disorder yang ditandai dengan dermatitis atopik. Gejala yang bisa diperhatikan

13
pada penyakit Waskott-Aldrich ini adalah thrombositopenia, berbagai

abnormalitas pada imunitas seluler dan humoral, serta infeksi bakteri yang

berulang. (3)

Gambar 5. Predileksi Dermatitis Atopik

14
DIAGNOSA BANDING

Diagnose banding bagi penyakit dermatitis atopik dapat dilihat dalam tabel

berikut:

Diagnosa banding Dermatitis Atopik

Paling sering Jaran ditemukan pada bayi dan anak-

1. Dermatitis kontak (alergi anak

dan iritan) 1. Metabolik/nutrisi

2. Dermatitis seboroik a. Fenylketonuria

3. Scabies b. Defisiensi prolidase

4. Psoriasis c. Defesiensi karboksilase multiple

5. Iktiosis vulgaris d. Defesiensi zat besi (acrodermatitis

6. Keratosis pilaris enleropathica; premature;

7. Dermatofitosis defesiensi zat besi dalam ASI,

Pertimbangkan kista fibrotik)

1. Eczema asteatotik e. Lain-lain: biotin, asam lemak

2. Liken simpleks chronicus esensial, Asiduria organik.

3. Dermatitis nummular

4. Dermatosis palmoplantar 2. Penyakit immunodefesiensi primer

5. Impetigo a. Penyakit immunodefesiensi

6. Erupsi obat campuran berat

7. Dermatitis perioral b. Sindrom DiGeorge

8. Pityriasis alba c. Hypogammaglobulinemia

15
9. Penyakit fotosensitivitas d. Agammaglobulinemia

(hydroavacciniforme; e. Sindrom Wiskolt-Aldirch

erupsi cahaya polimorfik; f. Ataxia-telengiectasia

pophyrias) g. Sindrom hiperimmunoglobulin E

10. Dermatitis moluskum h. Chronic mukokutaneous

Jarang ditemukan pada remaja kandidiasis

dan dewasa i. Sindrom omen

1. Limfoma kutaneus sel T 3. Sindrom genetic

(mycosis fungiodes atau a. Sindrom Netherton

Sindrom Sezary) b. Sindrom Hurler

2. HIV- dengan dermatosis 4. Inflammtory, autoimmune disorder

3. Lupus eritematous a. Eosinophilic gastroenteritis

4. Dermatomiositis b. Gluten-sensitive enteropati

5. Graft-versus-host disease c. Neonatal lupus erythematosus

6. Pemfigus foliaceus 5. Proliferative disorder

7. Dermatitis herpetiformis Histiositosis sel Lengerhans

8. Penyakit fotosensitivitas

(hydro vacciniforme,

erupsi cahaya polimorfik;

pophyrias)

Tabel 2. Diagnosis Banding Dermatitis Atopik

16
1. Skabies

Definisi

Penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi

terhadap Sarcoptes scabei var hominis dan produknya.

Etiologi

Sarcoptes scabei var hominis

Pathogenesis

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau scabies,

tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi

disebabkan oleh sensitasi terhadap sekreta dan eksreta tungau yang

memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kulit

menyerupai dermatitis dengan ditemukan papul, vesikel, urtikaria, dan

lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, akskoriasi, krusta dan infeksi

sekunder.

Gejala klinik

a. Pruritus nocturnal

b. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok

c. Adanya terowongan

d. Menemukan tungau

Gambar 6. Skabies 17
2. Dermatitis kontak alergi

Definisi

Suatu reaksi peradangan kulit yang diperantarai oleh reaksi imun

tipe IV.

Etiologi

Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat

molekul umumnya rendah, merupakan allergen yang belum jelas diproses,

disebut hapten. Barbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA,

misalnya potensi sensitasi allergen, dosis per unit area, luas daerah yang

terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembapan lingkungan,

vehikulum dan pH.

Pathogenesis

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti

respon imun yang diperantarai oleh sel atau reaksi imunologik tipe IV,

suatu hipersensitivitas tipe lambat.

Gejala klinis

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung

pada keparahan dermatitis dan lokasinya. Pada yang akut dimulai dengan

bercak eritematosa yang berbatas tegas kemudian di ikuti edema,

papulovesikel, vesikel atau bula. Pada kronis terlihat kulit kering,

berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batas tidak tegas.

18
Gambar 7. Dermatitis Kontak Alergi

3. Dermatitis seboroik

Definisi

Kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat

predileksi di tempat-tempat seboroik.

Gejala klinis

Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan

agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas. DS yang ringan hanya

mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama yang halus, mulai bercak

kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama-

skuama halus dan kasar.

19
Bercak yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak yang

berskuama dan berminyak disertai deskuamasi dan krusta tebal. Sering

meluas ke dahi, glabela, telinga, posaurikular, dan leher.

Etiopatogenesis

Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula

sebasea. Penyebab belum diketahui pasti. Faktor predisposisinya ialah

kalainan konstitusi berupa status seboroik yang rupanya diturunkan.

Gambar 8. Dermatitis Seboroik

20
4. Psoriasis

Definisi

Penykit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,

ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan

skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan.

Gejala klinis

Sebgian pasien mengeluh gatal ringan tempat predileksi pada scalp,

perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor

terutama siku serta lutut dan daerah lumbosakral.

Kelainan kulit berupa bercak eritema meninggi dengan skuama

diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium

penyembuhan sering eritema yang tengah menghilang dan hanya terdapat

di pinggir. Skuama berlapis-lapis kasar dan berwarna putih seperti mika.

Gambar 9. Psoriasis

21
KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada dermatitis atopik adalah seperti

berikut:(11)

1. Infeksi bakteri. Infeksi sekunder biasanya dengan Staphylococcus

Aureus yang sering menyebabkan eksaserbasi.

2. Infeksi virus. Pasien memiliki peningkatan kerentanan terhadap infeksi

dengan moluskum kontangiosum dan mungkin dengan ‘viral warts’.

3. Ekzema herpeticum. Terdapat kecenderungan untuk mengembangkan

lesi herpes simpleks dengan luas dan vaccinia.

4. Katarak. Sebuah bentuk spesifik dari katarak yang jarang berkembang

pada orang dewasa dengan eczema atopik kronik.

5. Retardasi pertumbuhan. Anak-anak dengan dermatitis atopik kronik

mungkin memiliki perawakan yang pendek. Biasanya penyebabnya

adalah tidak diketahui.

6. Icthyosis vulgaris. Lebih sering terjadi pada pasien dengan dermatitis

atopik.

22
PENATALAKSANAAN

Langkah-langkah umum dalam penatalaksanaan dermatitis atopik meliputi

edukasi dan pengobatan kepada pasien dan orang tuanya, menekankan biasanya

prognosis adalah baik. Seorang anak harus mengenakan pakaian ‘cotton’ longgar

dan menghindari ‘wool’ dan cuaca panas yang berlebihan. Kuku harus dipotong

pendek. Kucing dan anjing menyebabkan eksaserbasi pada beberapa pasien dan

sebaiknya dijauhkan. (11)

Pengobatan Indikasi

Emoelin Dermatitis; ichtyosis

Steroid topical Semua tipe dermatitis

Takrolimus topical Dermatitis pada wajah dan tangan

Perban tar Dermatitis likenifikasi/ekskoriasi

Antihistamin oral Pruritus

Antibiotic oral Superinfeksi bakteri

Pengecualian diet Alergi makanan/ dermatitis resisten

PUVA, cyclosporine dan azzathiopine Dermatitis resisten dan kronik

Tabel 3. Pengobatan pada dermatitis atopik.(11)

1. Terapi sistemik

Antihistamin sedatif, seperti prometazin atau trimeprazine, diberikan pada

malam hari, dapat membantu mengurangi keinginan untuk menggaruk pada anak-

anak dan dewasa. Eksaserbasi terinfeksi sering memerlukan penggunaan

23
intermiten dari antibiotik oral, dan flukloksasilin sering menjadi pilihan.

Azathioprine atau siklosporin, dapat diberikan selama 8 minggu.

2. Terapi topical

a. Emolien

Emulsi seperti krim dan salep pengemulsi harus digunakan secara teratur

pada kulit dan sebagai sabun pengganti. Emolien melembabkan kulit kering,

mengurangi keinginan untuk menggaruk dan mengurangi kebutuhan untuk steroid

topical. Emolien minyak mandi juga dapat membatu.(11)

b. Steroid topical dan tacrolimus

Direkomendasikan meresepkan steroid paling kurang poten namun yang

paling efektif. Pada anak-anak, salep hidrokortison 1% diterapkan dua kali sehari

biasanya cukup (salep umumnya lebih disukai daripada krim bagi pasien eczema).

Kadang-kadang diperlukan untuk menggunakan steroid yang cukup ampuh untuk

waktu yang singkat pada anak-anak dengan dermatitis resisten, dan periode yang

lebih lama pada orang dewasa dengan eczema kronik. Salep tacrolimus (Protopic:

Primecrolimus 0,03% anak-anak, orang dewasa 0,1%) merupakan agen

imunosupresif, terutama untuk dermatitis pada wajah dan tangan.(11)

24
c. Antibiotik topikal atau antiseptik

Antibiotik topikal atau antiseptik dapat digunakan untuk dermatitis yang

terinfeksi, baik dengan kombinasi steroid (misalnya fucibet cream) atau terpisah

(misalnya Bactroban atau fucidin salep).(11)

d. Coal tar atau pasta ichtamol

Coal tar atau paichtamol berguna untuk dermatitis yang likenifikasi atau

ekskoriasi, digunakan sebagai obat oklusif perban (mis. Coltapaste atau

Ichthopaste) biasanya dibiarkan semalaman.(5)

e. Teknik wet-wrap

Wet-wrap sering digunakan dalam waktu yang singkat pada dermatitis

eksudatif.(11)

f. UVB atau PUVA

Pasien dengan dermatitis atopik yang resisten dan kronik dapat diobati

dengan Ultraviolet B (UVB) atau psoralen combined with Ultraviolet A (PUVA),

3. Pengaturan diet

Beberapa anak dengan dermatitis atopik mempunyai riwayat alergi

terhadap makanan (mis. Urtikaria mulut pada kontak dengan makanan, atau gejala

gastrointestinal) dan jelas bahwa makanan yang menyebabkan alergi harus

dihindari. Dalam hal lain, pengobatan diet direncanakan untuk minoritas bagi

25
pasien yang belum membaik dengan terapi standar. Diet bebas dari susu sapi atau

telur dapat diperhatikan oleh ahli gizi untuk memastikan pengaturan diet dan

mencegah kekurangan gizi.(11)

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito, SA. 2011. Dermatitis Atopik. Dalam: Djuanda, A. Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Cetakan kedua. Jakarta: Balai penerbit FK UI.

hal 138-147.

2. Santosa H. 2007. Dermatitis Atopik. Dalam: Arwin A dkk. Buku Ajar

Alergi-Imunologi Anak Edisi Kedua. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Hal 235-245.

3. Leung D. 2008. Atopik Dermatitis. Dalam: Wolff K., Goldsmith LA., dkk

editors. Fitzpatrick’s Dermatology in Genenral Medicine. Edisi 7. USA:

McGraw-Hill Company. hal 147-158 (196).

4. Saavedra, JM. Dkk. 2013. Patterns of Clinical Management of Atopik

Dermatitis in Infants and Toddlers: A Survey of Three Physician Specialities

in the United States. Tersdia : http://dx.doi.org/10.1016/j.jpeds.2013.06.073.

diunduh 24 Juni 2016.

5. Williams, HC. 2005. Atopik Dermatitis. Dalam : The New England Journal

of Medicine. 352 (22); 2314-2324. Diunduh 24 Juni 2016

6. Wulandari, SED. 2012. Perbandingan Kejadian Dermatitis Atopik pada

Balita yang Diberi ASI Ekslusif dan Susu Formula di Poli Kulit dan Poli

Anak RSUD Salatiga. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

7. Tanjung, C. 2014. Dermatitis Atopik. Tersedia:

http://ocw.usu.ac.id/.../dms146_slide_dermatitis_atopik.pdf. diunduh 24 Juni

2016.

27
8. James, W. 2009. Atopik Dermatitis, Eczema and Non-Infectious

Immunodeficiency Disorder. Dalam: James, W. editor. Andrew’s Disease of

The Skin: Clinical Dermatology. Edisi 10. Philadelphia: Pa: Mosby Elsevier.

hal 67-76.

9. Trozak, DJ. 2006. Dermatology Skills for Primary Care An Illustrated

Guide. Totowa, New Jersey: Humana Press Inc.

10. Friedmann, PS. 2010. Atopik Dermatitis. Dalam: Burns, T. dkk editors.

Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi 8. USA: Wiley-Blackwell. hal

24.01-24.26.

11. Gawkrodger, DJ. 2000. An Illustrated Colour Text Dermatology. Edisi

kedua. British: An Imprint of Hareourt Publisher Limited.

28

Anda mungkin juga menyukai