Anda di halaman 1dari 14

SMF/Lab.

Kulit dan Kelamin Journal Reading

Atopic Dermatitis and the Therapeutic


Methods : A Literature Review

Oleh :
Metyana Cahyaningtyas
1610029005

Pembimbing
dr. Daulat Sinambela, Sp. KK

Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik

SMF/LAB. KULIT DAN KELAMIN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2017
Atopic Dermatitis and the Therapeutic Methods :
A Literature Review
(Dermatitis Atopik dan Metode Terapi :
Tinjauan Pustaka)

Jalil Tavakol Afshari (Ph.D)1, Mahdi Yousefi (Ph.D)2, Roshanak


Salari (Ph.D)3*

1
Immunology Research Center, Avicenna Research Institute, Mashhad
University of Medical Sciences, Mashhad, Iran.
2
Department of Persian Medicine, School of Persian and Complementary
Medicine, Mashhad University of Medical Sciences, Mashhad, Iran.
3
Department of Traditional Persian Pharmacy, School of Persian and
Complementary Medicine, Mashhad University of Medical Sciences, Mashhad,
Iran.

Article type
Review article

Article history
Received: 27 Nov 2015
Revised: 21 Feb 2016
Accepted: 24 Apr 2016

Rev Clin Med 2016; Vol 3 (No 4)


Published by: Mashhad University of Medical Sciences (http://rcm.mums.ac.ir)

1
Abstrak

Dermatitis atopik adalah suatu penyakit kulit inflamasi yang biasanya


muncul pada awal kehidupan seseorang, dan ditemukan pada 20 % kasus penyakit
ini dapat menetap hingga akhir hidup seseorang. Penyakit ini merupakan penyakit
yang dapat kambuh sewaktu-waktu, dan secara signifikan dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien. Etiologi penyakit ini tidak diketahui secara pasti, namun
penelitian terbaru melaporkan bahwa penyebab utama dermatitis atopik adalah
adanya gangguan pada sistem imun dan mutasi pada gen filaggrin. Pada beberapa
kasus, lesi kulit yang muncul dapat terjadi bersamaan dengan adanya infeksi
sehingga membutuhkan pengobatan yang bermakna. Berbagai metode pengobatan
seperti emolien, kortikosteroid, dan inhibitor kalsineurin diterapkan untuk
mengobati penyakit ini. Pendekatan tradisional dan komplementer juga dapat
membantu untuk mengontrol penyakit ini. Penyakit ini biasanya tidak mudah
dikontrol, sehingga membutuhkan pemahaman penuh seorang dokter mengenai
penyebab yang mendasari penyakit ini serta bagaimana prognosis kedepannya.
Berikut ini adalah ulasan yang menyajikan tentang aspek-aspek penting dari
perspektif klinis dan pendekatan terapi integratif dalam pengobatan dermatitis
atopik.

Kata kunci: Dermatitis atopik, Gangguan imunologi, Pengobatan

Pendahuluan
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang sebagian besar
terjadi pada anak-anak. Arti kata "atopi" adalah afinitas untuk mensekresikan
imunoglobulin E (IgE) terhadap alergen lingkungan. Kata dermatitis
menandakan adanya suatu peradangan di kulit. Istilah dermatitis dan eksim
digunakan secara bergantian, istilah eksim sendiri sering digunakan untuk
mewakili manifestasi akut penyakit ini. Peningkatan kadar IgE terjadi pada
sebagian besar pasien.1,2 Dermatitis atopik adalah suatu penyakit jangka panjang
dan menetap, oleh karena itu kami memutuskan untuk membuat ulasan yang
meninjau berbagai metode pengobatan penyakit ini.

2
Tinjauan Pustaka
1. Epidemiologi
Dermatitis atopik memiliki prevalensi yang bervariasi di seluruh dunia,
sekitar seperlima dari seluruh orang yang menderita penyakit ini berlangsung
selama hidup mereka. Di negara-negara industri, prevalensi penyakit ini telah
berkembang di abad ke-19 karena pengembangan alergen di lingkungan. Namun,
saat ini penelitian menunjukkan bahwa penyakit ini telah menurun secara dramatis
di negara-negara dengan prevalensi tinggi sebelumnya seperti di negara Inggris.
Hal ini menunjukkan berkurangnya alergen di lingkungan dari waktu ke waktu.
Namun, penyakit ini masih dianggap sebagai masalah kesehatan terutama di
negara-negara berkembang.1 Sekitar 50% dari orang yang menderita penyakit ini
mengalami awal gejala penyakit pada tahun pertama kehidupan, sementara sekitar
95% mengalaminya pada usia kurang dari lima tahun. 2 Sekitar 70% dari individu,
mengalami kekambuhan penyakit sebelum pubertas, sedangkan 25% individu
mengalami gejala dan kekambuhan penyakit ini bahkan setelah pubertas. Sekitar
60% dari anak-anak dengan onset penyakit pada awal kehidupan biasanya sensitif
terhadap satu atau beberapa alergen, sementara anak-anak yang mengalami onset
penyakit pada usia lanjut sering kurang sensitif. 3 Meskipun banyak pasien yang
sensitif terhadap alergi makanan atau alergen udara, alergen ini jarang
menyebabkan kekambuhan gejala penyakit ini. Kadang-kadang faktor ini
meningkatkan risiko timbulnya penyakit atopik lainnya, seperti asma dan lain-
lain.4

2. Faktor Risiko
Insiden penyakit dermatitis atopik lebih tinggi pada orang yang memiliki
riwayat atopi pada keluarga. Faktor genetik memainkan peran penting dalam
kerentanan pasien untuk menderita dermatitis atopik.5 Di sisi lain, faktor
lingkungan juga memainkan beberapa peranan dalam penyakit ini. Oleh karena
itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyakit ini adalah suatu penyakit genetik
atau penyakit genetik-lingkungan.6,7 Meskipun banyak faktor lingkungan telah
dinyatakan sebagai penyebab penyakit ini, namun hanya beberapa argumen yang
dapat diterima. Sebagai contoh, gaya hidup barat telah dianggap sebagai faktor
risiko penting selama beberapa tahun terakhir.8 Selain itu, terdapat hipotesis lain
yang menyebutkan bahwa kebersihan adalah faktor risiko lain yang

3
mengakibatkan peningkatan insiden dermatitis atopik.9 Hipotesis ini menandakan
bahwa probabilitas kejadian eksim lebih rendah pada individu yang telah
mengalami penyakit menular seperti hepatitis di masa kecil mereka.10,11,12

3. Patofisiologi
Dua hipotesis diperkenalkan untuk menjelaskan terjadinya lesi inflamasi pada
dermatitis atopik. Hipotesis pertama menunjukkan bahwa penyakit ini adalah
akibat ketidakseimbangan sel T terutama jenis sel T helper 1, 2, 17, dan 22 serta
sel T regulator. Pada penyakit ini, terutama dalam keadaan akut, CD4+ sel T
berdiferensiasi menjadi Th2, sehingga meningkatkan produksi interleukin (IL).
Pada tahap pertama, IL-4, IL-5, dan IL-13 meningkat, diikuti oleh peningkatan
kadar IgE. Diferensiasi sel Th1 akan terhambat dalam proses ini. 13,14 Hipotesis
kedua yang telah dikemukakan adalah terkait dengan kerusakan barier kulit.
Hipotesis ini baru saja diajukan dan menyatakan bahwa individu yang mengalami
mutasi gen filaggrin dalam tubuhnya berisiko tinggi untuk menderita penyakit
dermatitis atopik.6 Gen filaggrin mengkodekan protein struktural stratum
korneum. Selain itu, gen ini mengkodekan protein yang terkait dengan stratum
granulosum, yang membantu menghubungkan keratinosit satu sama lain. Semua
faktor ini bergabung satu sama lain dan membentuk suatu barier kulit. Oleh
karena itu, jika gen filaggrin ini mengalami mutasi, maka akan menyebabkan
gangguan dalam pembentukan struktur barier kulit. Hal ini akan mengakibatkan
kulit menjadi kering, permeabilitas terhadap alergen meningkat, dan pada
akhirnya tanda-tanda eksim dapat muncul.15

4. Diagnosis dan Manifestasi Klinis


Morfologi lesi kulit pada dermatitis atopik kira-kira sama dengan penyakit
eksema lainnya. Penyakit ini, dalam bentuk akut, muncul sebagai lesi vesikular
dan eritema. Pada tahap kronis, lesi ini dapat berubah menjadi papul dan nodul.
Selain tanda-tanda ini, diagnosis juga ditegakkan berdasarkan sifat-sifat lainnya
termasuk lokasi distribusi eksim dan riwayat atopi pada keluarga pasien. 16,17
Secara umum, karakteristik khas pasien dermatitis atopik adalah adanya gatal di
lokasi tertentu misalnya pada lipatan tubuh.18,19
Manifestasi klinis dermatitis atopik biasanya disertai dengan perubahan luas
dalam morfologi kulit dan daerah distribusi lesi serta faktor lainnya. Secara
umum, sebagian besar pasien dengan dermatitis atopik memiliki kulit kering

4
dengan kadar air yang sangat rendah. Mereka memiliki kulit pucat tanpa
kemampuan berkeringat. Ketika goresan kecil terjadi, terjadi respon kolinergik
yang ekstrim dimana telapak tangan dan kaki menjadi hyperlineared. Rambut
pasien akan kering dan rapuh. Daerah sekitar mata mereka menjadi gelap karena
hiperpigmentasi setelah terjadi peradangan.
Selain manifestasi khas yang diuraikan di atas, tanda-tanda lain juga
ditemukan pada beberapa pasien. Misalnya pitiriasis alba, di mana kulit kering
dan pucat muncul di wajah dan bagian atas lengan, atau keratosis pilaris yang
muncul dalam bentuk papul kecil keratolitik terutama di bagian lengan atas dan
paha. Banyak pasien sensitif terhadap pakaian wol, sehingga meningkatkan
intensitas garukan. Mandi menggunakan air panas dan mandi dalam waktu lama
juga harus dihindari pada pasien dermatitis atopik. Mayoritas infeksi termasuk
infeksi stafilokokus menjadi penyebab utama yang dapat memperparah penyakit.
Banyak penyakit menyebabkan ruam kulit yang mirip dengan dermatitis atopik.
Lesi kulit pada dermatitis kontak sebagian besar memiliki penampilan mirip
dengan dermatitis atopik. Namun, melalui pemeriksaan lesi kulit secara teliti, serta
memperhatikan distribusi dan lokasi lesi, maka penyakit ini dapat dibedakan dari
penyakit lain dengan gejala yang sama.16,17

5. Komplikasi
Banyak mikroorganisme (bakteri, virus, dan jamur) dapat berkontribusi untuk
eksaserbasi akut dermatitis atopik. Kulit orang yang terkena penyakit ini sering
terkena infeksi sekunder oleh Staphylococcus aureus, terutama ketika eksim
belum terkendali dengan baik. Adanya infeksi sekunder ini bukan indikasi absolut
untuk penggunaan antibiotik. Namun, jika infeksi stafilokokus ini menjadi agresif
(impetigo), penggunaan antibiotik topikal maupun oral sangat dianjurkan.
Penggunaan anti infeksi seperti Chlorhexidine dapat menurunkan jumlah mikroba,
namun dapat mengakibatkan sensitivitas pada kulit.20

6. Pengobatan
Dermatitis atopik dikenal sebagai penyakit kronis dan biasanya tidak dapat
disembuhkan sepenuhnya. Adapun pendekatan terapi untuk pengobatan penyakit
ini dengan mempertimbangkan hal-hal berikut : 1) Mengurangi frekuensi
kambuhnya penyakit. Tujuan ini memang sama dengan pencegahan. 2)
Membatasi durasi dan intensitas saat terjadi eksaserbasi penyakit. Pencegahan

5
penyakit ini biasanya dilakukan dengan cara mengurangi kekeringan yang terjadi
pada kulit dengan pemberian pelembab atau krim emolien. Jika kulit kering
teratasi, maka kemungkinan timbulnya gatal dan terjadinya infeksi dapat
diturunkan. Penggunaan emolien sesudah mandi juga dapat menjaga kelembapan
epidermis, sehingga meningkatkan fungsi barier kulit. Ketika penyakit ini kambuh
serta kuluhan gatal memburuk, maka diperlukan penggunaan obat kortikostreoid
topikal untuk mengurangi keluhan. Selain obat topikal, penggunaan obat-obatan
imunosupresan sistemik serta fototerapi (UV light) juga diperlukan.21,22,23

6.1 Emolien
Zat ini membantu dalam menjaga fungsi barier kulit. Penderita dermatitis
atopik harus menggunakan krim emolien ini beberapa kali sehari, sehingga dapat
menurunkan kebutuhan untuk penggunaan kortikosteroid topikal. Alasan
menggunakan emolien adalah kemampuannya dalam meningkatkan transfer air di
lapisan epidermis kulit. Mekanisme utama emolien ini yaitu mencegah penguapan
air melalui lapisan kulit teratas. Oleh karena itu, emolien tidak memiliki efek
langsung pada penyakit dermatitis atopik itu sendiri. Penggunaan zat ini
menyebabkan kulit tampak lebih lembab dan dapat mengurangi goresan pada
kulit. Beberapa pelembab memiliki cara kerja yang lebih kompleks, di mana
mereka dapat berkontribusi untuk memperbaiki komponen lipid dari struktur kulit
lapisan eksternal. Kelompok lain dari zat ini juga dapat membantu dalam menjaga
kelembaban kulit melalui penyerapan molekul air dari udara ke dalam kulit.
Pelembab yang dipilih berdasarkan karakteristik kulit individu. Pelembab dengan
kandungan lipid tinggi seperti salep direkomendasikan untuk kulit kering
sedangkan pelembab semisolid dengan kadar lipid rendah atau kadar air tinggi
diberikan untuk kasus-kasus ringan. Karena penyerapan yang cepat, maka krim
tersebut harus digunakan beberapa kali sehari. Lebih dianjurkan untuk
menggunakan emolien tanpa bau atau tanpa kandungan alergen lain untuk
mencegah sensitisasi sekunder.22

6.2 Kortikosteroid Topikal


Kortikosteroid topikal adalah pengobatan utama untuk gejala dermatitis
atopik yang sedang sampai berat, baik pada anak-anak maupun orang dewasa.

6
Kelompok obat ini diklasifikasikan menjadi empat kelas (ringan, sedang, kuat,
dan sangat poten) berdasarkan kemampuannya untuk melakukan vasokonstriksi.
Kortikosteroid yang paling ampuh adalah klobetasol dan hidrokortison. Banyak
pasien yang diobati dengan kortikosteroid ringan sampai sedang. Sekelompok
kecil pasien membutuhkan kortikosteroid kuat dalam kasus penyakit yang parah.
Produk yang sangat poten jarang digunakan. Kortikosteroid ringan sampai
moderat biasa digunakan untuk anak-anak, sementara pada orang dewasa biasa
menggunakan kortikostreoid yang lebih kuat. Kortikosteroid ringan sampai
sedang terutama digunakan dalam pengobatan di bagian tubuh dengan kulit tipis
seperti wajah, lipat paha, atau genitalia, sedangkan jenis yang lebih kuat
digunakan untuk bagian lain dari tubuh seperti tangan. Biasanya, pasien dan
dokter cenderung jarang menggunakan obat-obat ini karena efek samping yang
ditimbulkan. Adapun efek samping dari penggunaan kortikosteroid topikal antara
lain kulit menipis dan timbul stretch mark, namun efek samping ini lebih sedikit
muncul apabila kortikostreoid ini digunakan dengan benar dan sesuai anjuran
dokter.24

6.3 Inhibitor Kalsineurin


Bentuk sediaan topikal inhibitor Kalsineurin (Takrolimus, Pimekrolimus)
terutama digunakan dalam terapi pemeliharaan penyakit ini. Pimekrolimus
memiliki potensi setara dengan kortikosteroid ringan, sedangkan Takrolimus
memiliki efek yang hampir sama dengan kortikosteroid moderat sampai poten.
Efek samping yang ditimbulkan oleh kortikosteroid tidak ditemukan dalam
kelompok obat inhibitor Kalsineurin ini, sehingga obat ini dapat digunakan sehari-
hari dalam jangka panjang perawatan.25

6.4 Fototerapi
Lesi kulit yang tersebar luas pada dermatitis atopik biasanya diobati dengan
UV light. Berkas cahaya UVB digunakan dalam pengobatan pada kasus dermatitis
atopik yang resisten pada orang dewasa. Sedangkan UVA dengan berkas cajaya
yang lebih luas atau kombinasi dari UVA dengan obat psoralene light-sensitizer
digunakan dalam pengobatan pada kasus yang lebih parah. Pendekatan terapi ini

7
menyebabkan penuaan kulit dan meningkatkan kerentanan terhadap kanker kulit
dalam terapi jangka panjang.22,23

6.5 Imunosupresan Sistemik


Dalam pengobatan lesi kulit dermatitis atopik yang tersebar luas dan berat,
dianjurkan untuk penggunaan obat kortikosteroid oral dalam waktu singkat.
Kortikosteroid topikal juga tetap digunakan seiring dengan penggunaan
kortikosteroid oral. Jika terdapat infeksi sekunder yang menyebabkan kambuhnya
penyakit atau bahkan menambah keparahan penyakit, perlu dipertimbangkan juga
penggunaan antibiotik oral. Karena efek samping dari kortikosteroid, kelanjutan
penggunaan regimen oral biasanya tidak dianjurkan, dan dengan demikian obat-
obatan ini harus dihentikan secara perlahan (tappering off).26

6.6 Akupuntur
EX-HN3, LI4, LI11, TE5, ST36, SP6 dan LR3 adalah titik akupuntur di
kedua sisi tubuh. Beberapa titik khusus akupunktur juga diidentifikasi untuk terapi
dermatitis atopik (EX-HN3, LI4, LI11, TE5, ST36, SP6 dan LR3 di kedua sisi
tubuh). Jarum akupuntur dimasukkan secara subkutan dan dipertahankan selama
sekitar 15 menit. Selama pengobatan, metode ini harus diterapkan dua kali
sehari.27

6.7 Fitoterapi
Formulasi rebusan tanaman yang berbeda seperti Glycyrrhiza glabra,
Plantago asiatica L., Rehmannia glutinosa, Atractylodes chinensis dan Raphanus
sativus digunakan untuk mengurangi eritema dan gatal yang disebabkan oleh
penyakit ini. Sekitar 0 sampai 20 gram setiap tanaman dicampur dengan air murni.
Ini adalah jumlah dosis harian dari pasien yang harus diminum oleh pasien tiga
kali sehari setiap sesudah makan. Formulasi ini tidak memiliki efek
hepatotoksisitas atau nefrotoksisitas. Sifat antibakteri korteks Phelodenri juga
telah diidentifikasi. Tiga sampai empat lapisan formulasi rebusan tanaman ini

8
dioleskan pada lesi kulit, sekali atau dua kali hari, selama 20 sampai 30 menit,
dapat mengurangi gejala.27

6.8 Terapi Probiotik


Efektivitas probiotik pada penyakit alergi seperti eksim telah disebutkan di
berbagai studi. Para peneliti percaya bahwa hasilnya menjanjikan, tetapi lebih
banyak lagi penelitian diperlukan untuk mengkonfirmasi peran definitif terapi
probiotik ini. Misalnya, Lactobacillus diberikan kepada ibu hamil yang menderita
dermatitis atopik dan untuk bayi mereka sampai usia 6 bulan. Akibatnya,
kemungkinan terjadinya dermatitis atopik pada anak-anak secara dramatis
berkurang pada 2 dan 4 tahun. Terapi probiotik sangat efektif pada anak dengan
kadar IgE tinggi dan anak-anak yang menunjukkan satu atau lebih positif pada tes
kulit. Hasil percobaan klinis menunjukkan bahwa Lactobacillus bisa sangat efektif
pada anak-anak yang secara bersamaan menderita dermatitis atopik dan alergi
terhadap susu sapi.28 Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk efek probiotik,
antara lain mengatur sistem kekebalan tubuh, menunjukkan efek antimikroba,
memblokir peradangan dan menghentikan kematian sel-sel epitel oleh protein
yang disekresikan Lactobacillus dan DNA sebagai produk probiotik.29

7. Kesimpulan
Dermatitis atopik adalah penyakit yang menyerang seorang individu sejak
kecil dan menetap dalam jangka waktu lama. Tidak hanya komplikasi dari
penyakit ini yang mengganggu, tetapi juga kadang-kadang infeksi terkait
mengharuskan penggunaan metode pengobatan yang berbeda. Ulasan ini telah
memaparkan beberapa strategi terapi integratif pada pengobatan dermatitis atopik
untuk memberikan kemungkinan pemilihan pengobatan yang diinginkan
berdasarkan status pasien termasuk usia, jenis kelamin, lokasi lesi dan keamanan
obat.

Pengakuan
Kami ingin mengucapkan terima kasih dari Wakil Konselor Riset Mashhad
University of Medical Sciences, Mashhad, Iran.

9
Konflik Kepentingan
Para penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Asher MI, Montefort S, Bjorksten B, et al. Worldwide time trends in the


prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and eczema in
childhood: ISAAC Phases One and Three repeat multicountry cross-sectional
surveys. Lancet. 2006;368:733-743.

2. Williams HC. Clinical practice. Atopic dermatitis. N Engl J


Med.2005;352:2314-2324.

3. Thomsen SF. Atopic Dermatitis: Natural History, Diagnosis, and Treatment.


ISRN Allergy. 2014; 2014: 354250.

4. Lowe AJ, Carlin JB, Bennett CM, et al. Do boys do the atopic march while
girls dawdle? J Allergy Clin Immunol. 2008; 121:11901195.

5. Thomsen SF, Ulrik CS, Kyvik KO, et al. Importance of genetic factors in the
etiology of atopic dermatitis: a twin study. Allergy Asthma Proc. 2007;28:535-
539.

6. Palmer CN, Irvine AD, Terron-Kwiatkowski A, et al. Common loss-of-


function variants of the epidermal barrier protein filaggrin are a major
predisposing factor for atopic dermatitis. Nat Genet. 2006; 38: 441446.

7. Irvine AD, McLean WHI, Leung DYM. Filaggrin mutations associated with
skin and allergic diseases. N Engl J Med. 2011; 365: 13151327.

8. Douwes J, Pearce N. Asthma and the westernization package. Int J


Epidemiol. 2002; 31: 10981102.

9. Strachan DP. Hay fever, hygiene, and household size. BMJ. 1989;299:1259
1260.

10. Bach JF. The effect of infections on susceptibility to autoimmune and allergic
diseases. N Engl J Med. 2002; 347:911920.

11. Mutius EV. Maternal farm exposure/ingestion of unpasteurized cows milk


and allergic disease. Curr Opin Gastroenterol. 2012; 28: 570576.

12. Hong S, Choi WJ, Kwon HJ, et al. Effect of prolonged breast-feeding on risk
of atopic dermatitis in early childhood. Allergy Asthma Proc. 2014;35:6670.

13. Hammer-Helmich L, Linneberg A, Thomsen SF, et al. Association between


parental socioeconomic position and prevalence of asthma, atopic eczema and
hay fever in children. Scand J Public Health. 2014;42:120-127.

11
14. Eyerich K, Novak N. Immunology of atopic eczema: overcoming the Th1/Th2
paradigm. Allergy. 2013; 68: 974 982.

15. De Benedetto A, Kubo A, Beck LA. Skin barrier disruption: a requirement for
allergen sensitization. J Invest Dermatol.. 2012;132:949963.

16. Hanifin JM, Cooper KD, Ho VC, et al. Guidelines of care for atopic
dermatitis, developed in accordance with the American Academy of
Dermatology (AAD)/American Academy of Dermatology Association
Administrative Regulations for Evidence-Based Clinical Practice Guidelines.
J Am Acad Dermatol. 2004; 50:391404.

17. Williams HC, Burney PGJ, Hay RJ, et al.The U.K. Working partys diagnostic
criteria for atopic dermatitisI. Derivation of a minimum set of
discriminators for atopic dermatitis. Brit Br J Dermatol. 1994; 131:383396.

18. Severity scoring of atopic dermatitis: the SCORAD index. Consensus report
of the European Task Force on Atopic Dermatitis. Dermatology. 1993;186:23
31.

19. Hanifin JM, Thurston M, Omoto M, et al. The eczema area and severity index
(EASI): assessment of reliability in atopic dermatitis. Exp Dermatol.
2001;10:1118.

20. Bath-Hextall FJ, Birnie AJ, Ravenscroft JC, et al. Interventions


to reduce Staphylococcus aureus in the management of atopic eczema: an
updated Cochrane review. Br J Dermatol. 2010;163:1226.

21. Ring J, Alomar A, Bieber T, et al. Guidelines for treatment of atopic eczema
(atopic dermatitis)part I. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2012;26:1045
1060.

22. Simpson EL. Atopic dermatitis: a review of topical treatment options. Curr
Med Res Opin. 2010; 26:633640.

23. Ricci G, Dondi A, Patrizi A. Useful tools for the management of atopic
dermatitis. Am J Clin Dermatol. 2009; 10:287300.

24. Williams HC. Established corticosteroid creams should be applied only once
daily in patients with atopic eczema. BMJ. 2007; 334: 1272.

25. El-Batawy MM, Bosseila MA, Mashaly HM, et al. Topical calcineurin
inhibitors in atopic dermatitis: a systematic review and meta-analysis. J
Dermatol Sci. 2009; 54: 7687.

26. Ricci G, Dondi A, Patrizi A, et al. Systemic therapy of atopic dermatitis in


children. Drugs. 2009;69:297306.

12
27. Yun Y, Lee S, Kim S, et al. Inpatient treatment for severe atopic dermatitis in
a Traditional Korean Medicine hospital: introduction and retrospective chart
review. Complement Ther Med. 2013;21:200-206.

28. Majamaa H, Isolauri E. Probiotics: a novel approach in the management of


food allergy. J Allergy Clin Immunol. 1997;99:179-185.

29. Michail S, Abernathy F. Lactobacillus plantarum inhibits the intestinal


epithelial migration of neutrophils induced by enteropathogenic Escherichia
coli. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2003;36:385-391.

13

Anda mungkin juga menyukai