Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jl. TerusanArjuna No.6 Kebun Jeruk Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus :
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT HUSADA
Periode 16 November 19 Desember 2015
Nama Mahasiswa

: Edwinda Desy Ratu

NIM

: 11-2014-021

Tanda Tangan :

Dokter Pembimbing : dr. Hendrik Kunta Adji, SpKK


A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. M
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 46 Tahun
Alamat
: Jl. Kartini, Pasar Baru
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status Pernikaha
: Sudah menikah
B. ANAMNESA
Autoanamnesa pada tanggal 25 November 2015
Keluhan Utama
: Bengkak pada daerah mata
Keluhan Tambahan
: Gatal pada daerah wajah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poli Kulit RS Husada dengan keluhan mata bengkak sejak tiga hari
yang lalu, pasien juga mengeluh gatal di sekitar wajah dan kemudian muncul kemerahan
di daerah yang gatal tersebut. Gatal dirasakan sepanjang hari, tanpa rasa nyeri, dan hanya
muncul pada daerah muka dan leher saja. Dua hari sebelumnya pasien mengaku
mengkonsumsi udang. Pasien juga mengaku selama kurang lebih 2 minggu ini sedang
menggunakan produk perawatan muka dari sebuah klinik. Setelah menggunakan produk
tersebut, muka pasien terasa perih dan tampak kemerahan.
1

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

Pasien mengatakan sudah minum obat anti alergi dan menggunakan lotion untuk
mengurangi gatal yang dia beli sendiri di apotik, tetapi belum ada perbaikan. Pasien
mempunyai riwayat alergi bila mengkonsumsi udang, tetapi sudah lama tidak timbul
walaupun pasien mengkonsumsi makanan tersebut. Pasien saat ini juga sedang dalam
pengobatan penyakit kencing manis dan darah tinggi.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
- Pasien belum pernah mengalami hal yang serupa sebelumnya
- Riwayat imunisasi
: lengkap
- Riwayat asma
: disangkal
- Riwayat sakit maag
: disangkal
- Riwayat alergi makanan : alergi udang
- Riwayat alergi obat
: disangkal
- Riwayat alergi lainnya
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga:
-

Riwayat asma
Riwayat alergi

: disangkal
: disangkal

C.

STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda vital
i. Tekanan darah
: 140/100
ii. Nadi
: 86 kali /menit
iii. Pernafasan
: 18 kali / menit
iv. Suhu
: 36,70C
BB
: 62 kg
Kepala
: Normocephal
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Tenggorokan
: Faring tidak hiperemis
Leher
: Pembesaran KGB (-/-)
Thorax
: Dalam batas normal
Abdomen
: Datar, supel. hepar lien tidak ada pembesaran bising usus (+)
Ekstrimitas
: Akral hangat, edema (-/-)

D.

STATUS KELAINAN PASIEN


Regio
: wajah
Distribusi
: diskret
Efloresensi primer : makula
Warna
: eritematosa
Ukuran
: miler
2

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

E.
F.

Jumlah
: multipel
Efloresensi sekunder
: erosi
Konfigurasi
: tidak ada

Gambar 1 dan 2. Daerah wajah pasien


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Percobaan Tzanck
RESUME
Telah diperiksa pasien Ny. M, perempuan, usia 46 tahun, datang dengan keluhan
bengkak pada mata dan gatal di daerah sekitar wajah sejak 3 hari sebelum datang ke
rumah sakit. Gatal dirasakan sepanjang hari, tanpa rasa nyeri. Pasien mengaku
sebelumnya mengkonsumsi udang dan sedang menggunakan produk perawatan kulit.
Pada status dermatologikus, tampak lesi berupa macula eritematosa, berukuran
milier, erosi dengan jumlah multipel terutama pada daerah wajah tersebar diskret dan
generalista. Pada status generalis, tekanan darah: 140/100, lainnya dalam batas normal.

G.

DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis kontak alergi

H.

DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis kontak iritan
Reaksi alergi
3

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

I.

PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa:
1.

Meminta pasien untuk menghentikan penggunaan obat perawatan wajah yang

2.

sedang digunakan
Menjelaskan kepada pasien agar jangan mengaruk daerah yang gatal karena dapat
menimbulkan bekas luka garukan dan infeksi di kulit.

Medikamentosa:
Sistemik:

Prednison tablet 5 mg, tiga kali sehari selama 5 hari


Cetirizine tablet 10 mg, satu kali sehari selama 5 hari

Topikal :

J.

Hidrokortison krim 2,5%, oleskan pada daerah yang gatal

PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam
Ad Kosmetikam

: bonam
: bonam
: bonam
: dubia ad bonam

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah
kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).
Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan
kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia
sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat
pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan.
Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari
genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac.
Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam),
potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid,
etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),

mercaptobenzotiazol (karet), tiuram

(fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro,


2003).
2. Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya
antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
5

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

3) Luas daerah yang terkena


4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null
pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen,
2009).
4) Status higinie dan gizi
Seluruh faktor faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang masing
masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai contoh,

saat

keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus higinienya baik dan
didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari
potensi yang seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat
melakukan perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi
individu yang rendah. Selain hal hal diatas, faktor predisposisi lain yang
menyebabkan kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit
terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).
Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang oleh
suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan seringkali
mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit
dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan
membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang terbentuk
diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir dan limfositlimfosit secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier
yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang
sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung
dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).
6

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi yang
akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan mediator-mediator
inflamasi seperti IL-2, TNF, leukotrien, IFN, dan sebagainya, sebagai respon terhadap
pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan
menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA
ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar
berbulan- bulan bahkan beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan penebalan
kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada
daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau
ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis
yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian
kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).
Skema Patogenesis DKA
Kontak Dengan
Alergen secara
Berulang

Alergen kecil dan


larut dalam lemak
disebut hapten

Menembus lapisan
corneum

Difagosit oleh sel


Langerhans
dengan pinositosis

Sel langerhans
keluarkan sitokin

IL-1, ICAM-1, LFA3,B-7, MHC I dan II

Sitokin akan
memproliferasi sel
T dan menjadi
lebih banyak dan
memiliki sel T
memori

Hapten + HLA-DR
Sitokin akan keluar
dari getah bening
7

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada
Membentuk
antigen
Beredar ke seluruh
tubuh
Dikenalkan ke
limfosit T melalui
CD4

Fase Elitisasi (II)


24-48 jam

Individu
tersensitisasi
Fase Sensitisasi
(I)

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin
inflamasi lebih
kompleks
Respons klinis DKA
Proliferasi dan
ekspansi sel T di
kulit

IFN keratinosit
LFA -1, IL-1, TNF-

Eikosanoid (dari sel


mast dan keratinosit

Dilatasi vaskuler
dan peningkatan
permeabilitas
vaskuler

Faktor kemotaktik,
PGE2 dan OGD2, dan
leukotrien B4 (LTB4) dan
eiksanoid menarik
neutrofil, monosit ke
dermis

Molekul larut
(komplemen dan klinin)
ke epidermis dan
dermis
8

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan
klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal (Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit
berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan
papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau
kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis
juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit
yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya
(Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti
yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat

Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status

pekerjaan

pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,


paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam

Faktor genetik, predisposisi

keluarga
Riwayat penyakit

Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-

sebelumnya

obat yang digunakan, tindakan bedah

Riwayat dermatitis yang

Onset, lokasi, pengobatan

spesifik

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit
seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat
dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam
tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang
cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebabsebab endogen (Sularsito, 2010).
Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).
Lokasi
Tangan

Kemungkinan Penyebab
Pekerjaan yang basah (Wet Work) misalnya memasak
makanan (getah sayuran, pestisida) dan mencuci pakaian

Lengan

menggunakan deterjen.
Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan

Ketiak

tanaman.
Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada di

Wajah

pakaian.
Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di

Bibir
Kelopak mata
Telinga

udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata).


Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep mata.
Anting yang terbuat dari nikel, tangkai kacamata, obat

Leher

topikal, gagang telepon.


Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat warna

Badan

pakaian.
Tekstil, zat warna, kancing logam, karet (elastis, busa),

Genitalia

plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.


Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita,

Paha dan tungkai bawah

alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi.


Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal, sepatu/sandal.

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati beberapa
ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit
dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :
10

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi terhadap
nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak langsung dengan
nikel (lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,
vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien
hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir

c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada
telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu
dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik,
serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada telinga
umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga
mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah
pada dermatitis kontak kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan
sebagian leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik

11

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna kancing
logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada karet dari celananya. Terlihat
adanya eritema yang berbatas tegas sesuai dengan daerah yang terkena alergen.

e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom, pembalut wanita


alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang
terjadi pada daerah vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin,
terlihat eritema

f. Paha dantungkaibawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil,


dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada

12

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

gambar dermatitis kontakalergi yang terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet


pada pelembab.Kaki mengalami skuama, krusta

Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas,
dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau
psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan,
apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara
rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk
uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara
rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus
diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan
dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya
deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu,
atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan
potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi
bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber,
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen
bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan
terkena iritasi (Sularsito, 2010).

13

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien


Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel (Sularsito,
2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat
dapat terjadi reaksi angry back atau excited skin reaksi positif palsu, dapat juga
menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid
sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada
pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid
lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin
sistemik tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua dilakukan
pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi
longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif palsu.
Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga
agar punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan
terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang
mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria type), karena dapat
menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita
semacam ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.

14

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan


pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah
menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)
T.R.U.E. Test
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.
A. Hasil uji positif
terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.
B. Hasil uji positif
terhadap methyl
glucose diolate
(MGD) 10%.
Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya
72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu
membedakan antara respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak
lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh
karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu
minggu setelah aplikasi (Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan
setelah pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih jelas antara
pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe
crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo)
(Sularsito, 2010).
b. Pemeriksaan Histopalogi
15

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:


1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan cara
biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak perlu
diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer yang
belum mengalami garukan atau infeksi sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik biopsi
lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya formalin
10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-Eosin(HE). Ada pula
yang menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal jaringan
kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam
cairan fiksasi
Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi
dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis epidermis.
Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai dengan
penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

16

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

Histopatologik dermatitis kontak alergi


Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal, spongiosis
sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan lewat
infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi
dari papila epidermis(Sularsito, 2010).
3. Gold Standard Diagnosis
Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji
tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk
melakukan uji tempel diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn
Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen
bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran
yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun
jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila
menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhatihati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak diketahui
(Sularsito, 2010).
Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta tidak
menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis
kontak alergi
17

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang


bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris,
pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 34 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali
untuk anak anak untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin
atau eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7
hari
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk, 2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis kontak
alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak ada sabun
e.
f.
g.
h.

bilas dengan air


Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain
Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang berisiko
terhadap paparan alergen

Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis
yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)
(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah
pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan
tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita(Djuanda, 2005).
18

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama
Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa gatal yang
berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit
sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula
menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan
kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).

19

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

Kesimpulan
1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.
2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia
dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia
sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat
pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.
3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel,
vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas.
4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji tempel (patch
test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil positif.
5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta nonmedikamentosa.
Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk mengurangi reaktivitas sistim imun
dengan terapi kortikosteroid, mencegah infeksi sekunder dengan antiseptik dan
terutama untuk mengurangi rasa gatal dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk
nonmedikamentosa adalah dengan menghindari alergen.

DAFTAR PUSTAKA
20

Laporan Kasus Dermatitis Kontak Alergi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RS Husada

1. Baratawijaya, Garna K. Imunologi dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006.


2. Bourke, et al. 2009. Guidelines for the management of contact dermatitis: an update.
Tersedia

dalam:

http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical

%20guidelines/contact%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf.
Diakses pada tanggal 30 November 2015.
3. Djuanda, Suria, Sularsito, Sri. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 4. Jakarta: FK UI,
2005.
4. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta :
EGC, 2005.
5. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2004.
6. Sularsito, Adi S, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6.
Jakarta : FKUI, 2010.
7. Sumantri MA, Febriani HT, Musa ST. Dermatitis kontak. Yogyakarta : Fakultas Farmasi
UGM, 2005.
8. Thyssen, Pontoppidan J. The prevalence and risk factors of contact allergy in the adult
general population. Denmark : National Allergy Research Centre, Departement of
Dermato-Allergology, Genofte Hospital, University of Copenhagen, 2009.
9. Trihapsoro, Iwan. Dermatitis kontak alergik pada pasien rawat jalan di rsup haji adam
malik

medan. Universitas

Sumatra

Utara, Medan. 2003. Tersedia dalam :

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 1 Desember


2015.

21

Anda mungkin juga menyukai