KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus :
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT HUSADA
Periode 16 November 19 Desember 2015
Nama Mahasiswa
NIM
: 11-2014-021
Tanda Tangan :
Pasien mengatakan sudah minum obat anti alergi dan menggunakan lotion untuk
mengurangi gatal yang dia beli sendiri di apotik, tetapi belum ada perbaikan. Pasien
mempunyai riwayat alergi bila mengkonsumsi udang, tetapi sudah lama tidak timbul
walaupun pasien mengkonsumsi makanan tersebut. Pasien saat ini juga sedang dalam
pengobatan penyakit kencing manis dan darah tinggi.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
- Pasien belum pernah mengalami hal yang serupa sebelumnya
- Riwayat imunisasi
: lengkap
- Riwayat asma
: disangkal
- Riwayat sakit maag
: disangkal
- Riwayat alergi makanan : alergi udang
- Riwayat alergi obat
: disangkal
- Riwayat alergi lainnya
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga:
-
Riwayat asma
Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
C.
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda vital
i. Tekanan darah
: 140/100
ii. Nadi
: 86 kali /menit
iii. Pernafasan
: 18 kali / menit
iv. Suhu
: 36,70C
BB
: 62 kg
Kepala
: Normocephal
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Tenggorokan
: Faring tidak hiperemis
Leher
: Pembesaran KGB (-/-)
Thorax
: Dalam batas normal
Abdomen
: Datar, supel. hepar lien tidak ada pembesaran bising usus (+)
Ekstrimitas
: Akral hangat, edema (-/-)
D.
E.
F.
Jumlah
: multipel
Efloresensi sekunder
: erosi
Konfigurasi
: tidak ada
G.
DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis kontak alergi
H.
DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis kontak iritan
Reaksi alergi
3
I.
PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa:
1.
2.
sedang digunakan
Menjelaskan kepada pasien agar jangan mengaruk daerah yang gatal karena dapat
menimbulkan bekas luka garukan dan infeksi di kulit.
Medikamentosa:
Sistemik:
Topikal :
J.
PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam
Ad Kosmetikam
: bonam
: bonam
: bonam
: dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah
kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).
Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan
kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia
sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat
pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan.
Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari
genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac.
Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam),
potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid,
etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
saat
keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus higinienya baik dan
didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari
potensi yang seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat
melakukan perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi
individu yang rendah. Selain hal hal diatas, faktor predisposisi lain yang
menyebabkan kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit
terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).
Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang oleh
suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan seringkali
mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit
dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan
membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang terbentuk
diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir dan limfositlimfosit secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier
yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang
sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung
dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).
6
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi yang
akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan mediator-mediator
inflamasi seperti IL-2, TNF, leukotrien, IFN, dan sebagainya, sebagai respon terhadap
pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan
menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA
ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar
berbulan- bulan bahkan beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan penebalan
kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada
daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau
ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis
yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian
kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).
Skema Patogenesis DKA
Kontak Dengan
Alergen secara
Berulang
Menembus lapisan
corneum
Sel langerhans
keluarkan sitokin
Sitokin akan
memproliferasi sel
T dan menjadi
lebih banyak dan
memiliki sel T
memori
Hapten + HLA-DR
Sitokin akan keluar
dari getah bening
7
Individu
tersensitisasi
Fase Sensitisasi
(I)
Pajanan ulang
Sel T memori
Aktivasi sitokin
inflamasi lebih
kompleks
Respons klinis DKA
Proliferasi dan
ekspansi sel T di
kulit
IFN keratinosit
LFA -1, IL-1, TNF-
Dilatasi vaskuler
dan peningkatan
permeabilitas
vaskuler
Faktor kemotaktik,
PGE2 dan OGD2, dan
leukotrien B4 (LTB4) dan
eiksanoid menarik
neutrofil, monosit ke
dermis
Molekul larut
(komplemen dan klinin)
ke epidermis dan
dermis
8
Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan
klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal (Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit
berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan
papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau
kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis
juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit
yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya
(Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti
yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat
pekerjaan
keluarga
Riwayat penyakit
sebelumnya
spesifik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit
seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat
dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam
tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang
cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebabsebab endogen (Sularsito, 2010).
Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).
Lokasi
Tangan
Kemungkinan Penyebab
Pekerjaan yang basah (Wet Work) misalnya memasak
makanan (getah sayuran, pestisida) dan mencuci pakaian
Lengan
menggunakan deterjen.
Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan
Ketiak
tanaman.
Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada di
Wajah
pakaian.
Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di
Bibir
Kelopak mata
Telinga
Leher
Badan
pakaian.
Tekstil, zat warna, kancing logam, karet (elastis, busa),
Genitalia
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati beberapa
ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit
dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :
10
a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi terhadap
nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak langsung dengan
nikel (lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,
vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.
b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien
hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir
c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada
telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu
dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik,
serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada telinga
umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga
mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah
pada dermatitis kontak kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan
sebagian leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik
11
d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna kancing
logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada karet dari celananya. Terlihat
adanya eritema yang berbatas tegas sesuai dengan daerah yang terkena alergen.
12
Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas,
dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau
psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan,
apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara
rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk
uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara
rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus
diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan
dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya
deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu,
atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan
potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi
bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber,
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen
bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan
terkena iritasi (Sularsito, 2010).
13
14
16
Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis
yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)
(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah
pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan
tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita(Djuanda, 2005).
18
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama
Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa gatal yang
berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit
sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula
menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan
kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).
19
Kesimpulan
1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.
2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia
dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia
sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat
pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.
3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel,
vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas.
4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji tempel (patch
test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil positif.
5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta nonmedikamentosa.
Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk mengurangi reaktivitas sistim imun
dengan terapi kortikosteroid, mencegah infeksi sekunder dengan antiseptik dan
terutama untuk mengurangi rasa gatal dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk
nonmedikamentosa adalah dengan menghindari alergen.
DAFTAR PUSTAKA
20
dalam:
http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical
%20guidelines/contact%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf.
Diakses pada tanggal 30 November 2015.
3. Djuanda, Suria, Sularsito, Sri. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 4. Jakarta: FK UI,
2005.
4. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta :
EGC, 2005.
5. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2004.
6. Sularsito, Adi S, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6.
Jakarta : FKUI, 2010.
7. Sumantri MA, Febriani HT, Musa ST. Dermatitis kontak. Yogyakarta : Fakultas Farmasi
UGM, 2005.
8. Thyssen, Pontoppidan J. The prevalence and risk factors of contact allergy in the adult
general population. Denmark : National Allergy Research Centre, Departement of
Dermato-Allergology, Genofte Hospital, University of Copenhagen, 2009.
9. Trihapsoro, Iwan. Dermatitis kontak alergik pada pasien rawat jalan di rsup haji adam
malik
medan. Universitas
Sumatra
21