Anda di halaman 1dari 43

PEDOMAN

Pelayanan Medis :
Kesehatan Anak

ALERGI IMUNOLOGI

1
DERMATITIS ATOPIK

Batasan
Dermatitis atopik (DA) merupakan kelainan kulit yang terjadi pada bayi dan anak,
ditandai oleh rasa gatal, penyakit sering kambuh, dan distribusi lesi yang khas.
Penyebab DA adalah multifaktorial, termasuk di antaranya faktor genetik, emosi
trauma, keringat, dan faktor imunologis.

Manifestasi Klinis
Hampir 50% pasien dengan DA mengalami manifestasi klinis pada usia dibawah
setahun. Pada umumnya DA mulai timbul sekitar usia 2-6 bulan, jarang sebelum usia
8 minggu. Umumnya DA sering mengalami kekambuhan, jarang sembuh 100%.
Sebagian besar DA dapat sembuh dengan bertambahnya umur tetapi dapat juga
menetap sampai usia dewasa. Pada berbagai penelitian didapatkan korelasi kuat
antara muncul dan menetapnya DA, dengan alergi makanan, terutama pada masa
bayi dan awal kanak. Terdapat juga korelasi antara DA dengan munculnya penyakit
atopi respirasi lain pada usia lebih besar.
Terdapat 3 bentuk klinis DA:
• Bentuk infantil, berbentuk akut eksudatif dengan predileksi daerah muka
terutama pipi dan daerah ekstensor ektremitas. Berlangsung sampai usia 2 tahun.
Gatal merupakan gejala yang mencolok.
• Bentuk anak, merupakan kelanjutan dari bentuk infantil. Kulit tampak lebih kering
(xerosis) yang bersifat kronik dan mengenai daerah fleksura antekubiti, poplitea,
tangan kaki dan periorbita.
• Bentuk dewasa

Diagnosis
Gambaran esensial:
• Pruritus
• Eksema pada wajah dan ekstensor pada bayi
• Likenifikasi fleksural pada dewasa
• Dermatitis kronik atau kronik residif

Gambaran yang sering dihubungkan dengan DA:


• Stigmata atopi pada pasien DA atau keluarganya (asma, rinitis alergi, dermatitis
atopik)
• Infeksi kulit
• Dermatitis tidak spesifik pada tangan dan kaki
• Xerosis, fisura periaurikular

2
• IgE reaktif (peningkatan kadar di serum, RAST dan uji kulit positif)
• Awitan pada umur muda

Gambaran lain:
• Iktiosis, hiperlinearitas palmar, keratos pilaris
• Dermatitis di daerah palmo-plantar, kulit kepala, puting susu
• Ptiriasis alba
• White dermographism
• Katarak subkapsular anterior dan keratokonus
• Kemerahan atau pucat di wajah
• Garis Dennie-Morgan, allergic shiner
• Aksentuasi perifolikular

Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis, tetapi diperlukan untuk mencari faktor atopi dengan melakukan uji kulit
alergen atau uji IgE spesifik.

Komplikasi
• Sebagian besar anak dengan DA akan mempunyai alergi saluran napas di
kemudian hari
• Sebagian besar anak dengan DA mudah mendapat infeksi kulit oleh kuman
S.aureus dan H.simplex

Tata Laksana
• Mencegah kekeringan kulit dengan menjaga hidrasi dan pemakaian emolien
• Jangan memakai sabun yang bersifat basa
• Kortikosteroid lokal, pemberian sistemik hanya pada kasus yang berat, harus
diperhatikan efek sampingannya dan diberikan jangka pendek (4 hari)
• Inhibitor calcineurin topikal dapat dipertimbangkan pada kasus DA yang berat.
• Identifikasi faktor pencetus dan menghindarinya, termasuk alergen makanan dan
inhalan
• Antihistamin sedatif diberikan untuk menghilangkan rasa gatal di malam hari,
tetapi bila terdapat gejala saluran napas atau urtikaria konkomitan digunakan
antihistamin non sedatif
• Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi sekunder

3
Daftar Pustaka
1. Jones SM, Burks W. Atopic dermatitis and food hypersensitivity. Dalam: Leung DYM,
Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, penyunting. Pediatric allergy, principles and practices.
Missouri, Mosby, 2003.h.538.
2. Spagnola CC. Atopic dermatitis. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/911574-overview
3. Santoso H. Dalam: Akib AAP, Matondang CM, penyunting. Buku ajar alergi imunologi.
Jakarta: BP-IDAI;1996. h. 161-72.
4. Rasmussen JE, Provost TT. Atopic dermatitis. Dalam: Middleton E, Reed CE, Ellis EF,
Adkinson NF, Yuinginer JW, Busse WW, penyunting. Allergy. Principles and practice. Vol.
2. Edisi ke -4 St. Louis: Mosby Company;1993. h.1581-604.
5. Allen DA, Clark RAF. Atopic dermatitis. Dalam : Bierman SW, Pearlman DS, Shapiro GG,
Busse WW, penyunting. Allergy, asthma, and immunology from infancy to adulthood.
Edisi ke-3. New York: WB Saunders;1996. h. 613-32
6. Leung DYM. Atopic dermatitis. Dalam: Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ,
penyunting. Pediatric allergy, principles and practices. Missouri, Mosby, 2003.h.561-73.

4
URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA

Batasan dan Uraian Umum


Urtikaria adalah erupsi pada kulit yang berbatas tegas dan menimbul (bentol),
berwarna merah, memutih bila ditekan, dandisertai rasa gatal. Urtikaria dapat
berlangsung secara akut, kronik, atau berulang. Urtikaria akut umumnya berlangsung
20 menit sampai 3 jam, menghilang dan mungkin muncul di bagian kulit lain. Satu
episode akut umumnya berlangsung 24-48 jam.
Angioedema dapat muncul berupa pembengkakan jaringan dengan batas yang
tidak jelas seperti daerah sekitar kelopak mata dan bibir. Bengkak juga dapat
ditemukan pada wajah, badan , genitalia dan ekstremitas.
Urtikaria bisa merupakan bagian reaksi anafilaksis.

Patogenesis
Terdapat banyak jenis urtikaria dan proses yang mendasarinya. Yang terbanyak
adalah pelepasan histamine, bradykinin, leukotriene C4, prostaglandin D2, dan
berbagai substansi vasoaktif dari sel mast dan basofil dalam dermis, sehingga terjadi
ekstravasasi cairan kedalam dermis, dan terjadi urtikaria. Rasa gatal disebabkan oleh
histamin, yang berefek akibat ikatan dengan reseptor Histamin 1 dan 2 yang terdapat
pada berbagai sel. Aktivasi reseptor H1 pada sel endotel dan otot polos
mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sedangkan aktivasi
reseptor H2, mengakibatkan vasodilatasi venule dan arteriole.
Proses diatas didahului oleh antigen-mediated IgE immune complex yang
berikatan “cross linked” dengan reseptor Fc pada permukaan sel mas dan basofil,
sehingga terjadi degranulasi, dan pelepasan histamin. Pada reaksi tipe II,
diperantarai Sel T sitotoksik, mengakibatkan deposit imunoglobulin, komplemen,
dan fibrin di sekitar pembuluh darah, mengakibatkan urticarial vasculitis. Tipe III
biasanya didapatkan pada SLE dan autoimmune disease lain.
Urtikaria diperantarai komplemen terdapat pada infeksi virus dan bakteri, serum
sickness dan reaksi transfusi. Reaksi transfusi terjadi saat bahan alergenik dalam
plasma yang didonasikan bereaksi dengan IgE yang sudah ada pada darah penerima.
Obat tertentu, seperti opioids, vecuronium, succinylcholine, vancomycin, dan lain-
lain, juga zat kontras mengakibatkan urtikaria akibat degranulasi sel mast melalui
mekanisme Non IgE. Urtikaria akibat obat antiinflamasi non steroid (AINS) bisa
diperantarai IgE atau degranulasi sel mast . Terdapat reaksi silang bermakna antar
AINS dalam mengakibatkan urtikaria dan anafilaksis.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


• Riwayat keluhan gatal dan merah, riwayat demam
5
• Riwayat atopi dalam keluarga.
• Faktor lingkungan seperti debu rumah, tungau debu rumah, binatang peliharaan,
tanaman, karpet, sengatan binatang serta faktor makanan termasuk zat warna,
zat pengawet dan sebagainya
• Lesi khas yaitu bentol berwarna merah, berbatas tegas, gatal, dan memutih bila di
tekan.

Pemeriksaan Penunjang
• Diperlukan pada urtikaria kronik/berulang, tidak diperlukan pada urtikaria akut.
• Urinalisis, untuk mencari fokal infeksi di saluran kemih, feses rutin untuk mencari
adanya parasit cacing.
• Pemeriksaan darah tepi: LED dapat meningkat bila ada fokal infeksi kronik atau
kelainan sistemik, hitung jenis:eosinofil, basofil
• Pemeriksaan kadar IgE total
• Pemeriksaan uji kulit alergen, dermografisme, uji tempel es atau IgE spesifik
• Kadar komplemen (C3,C4) untuk mencari kelainan sistemik yang mendasari
urtikaria, pada pasien yang memiliki riwayat angioedema pada keluarga

Tata Laksana
• Menghindari pencetus (yang bisa diketahui).
• Pada urtikaria generalisata mula-mula diberikan injeksi larutan adrenalin 1/1000
dengan dosis 0.01 ml/kg intramuskular(maksimum 0.3 ml) dilanjutkan dengan
antihistamin penghambat H11 seperti dipenhidramin untuk pemberian i.m,
dengan dosis 1 mg/kg BB. Pilihan lain hidroksizin Pemberian obat oral, dipakai
untuk mengganti pemberian obat injeksi bila keadaan membaik, misalnya dengan
memberikan Anti histamin 1 generasi 1 : Cetirizine, dosis 0,2 mg/kg, 2 x sehari,
pada anak usia 6 bulan-2 tahun, sedangkan setelah itu, diberikan 1 kali sehari. Bila
gatal sangat hebat, bisa diberikan tambahan CTM malam hari 0.1 mg/kg/kali
pemberian. Antihistamin 2 diberikan untuk meningkatkan efektifitas AH1. Pilihan
bisa Cimetidine, Ranitidine atau Famotidin. AAH1 dan AH2 memiliki efek sinergis,
dan memberikan hasil lebih cepat dan lebih baik. Kortikosteroid misalnya
prednison 1mg/kg/hari dibagi 3 dosis sehari 3 kali, diberikan untuk urtikaria yang
disertai angioedema.

6
Daftar Pustaka
1. Mygind N. Essential allergy. Oxford: Blackwell Scientific Publications; 1986. h. 392-403.
2. Matondang CS. Urtikaria. Dalam: Akib AAP, Matondang CS, penyunting. Buku ajar alergi-
imunologi anak. Jakarta: BP-IDAI;1996. h. 154-60
3. Hoobs KF, Schocket A. Urticaria and angloedema. Dalam: Bierman CW, Pearlman DS,
Shapiro GG, Busse WW, penyunting. Allergy, asthma, and immunology from infancy to
adulthood. Edisi ke-3. Philadelphia: WB-Saunders;1996: h.643-52.
4. Ghosh S, Kanwar AJ, Kaur S. Urticaria in children. Pediatr Dermatol 1993;10:107-10.
5. Grattari CE. The urticaria spectrum: Recognition of clinical patterns can help management.
Clin Exp Dermatol 2004;29:217-21.
6. Greaves MW. Chronic urticaria in childhood. Allergy 2000;55:309-20.
7. Linscott SM. Urticaria diagnosis and treatment. Diunduh dari http://www.emedicine.com/
/article/762917

7
RINITIS ALERGI

Batasan
Rinitis alergi secara klinis merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah
pajanan alergen melalui inflamasi yang diperantarai oleh Imunoglobulin E yang
spesifik terhadap alergen tersebut pada mukosa hidung. Awitan pajanan alergen
terjadi lama dan gejala umumnya ringan, kecuali bila ada komplikasi sinusitis.

Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisis
• Onset pajanan umumnya lama; ditanyakan lama, frekuensi, waktu timbulnya dan
beratnya penyakit
• Hidung berair, hidung tersumbat, post-nasal drip, gatal di hidung dan palatun,
bersin-bersin
• Mata merah, gatal dan berair
• Riwayat atopi dalam keluarga (asma,dermatitis atopi, rhinitis alergi)
• Petanda atopi: allergic shiner, geographic tongue, Dennie Morgan’s line, allergic
salute.
• Sekret hidung bening dan cair, hipertrofi konka, mukosa dan konka hidung pucat.
• Hiperemi dan edema konjungtiva

Pemeriksaan penunjang
• Darah tepi: hitung jenis eosinofil meningkat, hitung total eosinofil meningkat
• Kadar IgE total meningkat
• Sitologi mukosa hidung: persentase eosinofil meningkat
• Uji kulit alergen untuk menentukan alergen penyebab
• Foto sinus paranasalis (usia 4 tahun ke atas) ata CT-scan bila dicurigai komplikasi
sinusitis atau adanya deviasi septum nasi

Klasifikasi
Berdasarkan lama gejala, rinitis alergi dibagi menjadi:
• Intermiten: Gejala <4 hari per minggu dan lamanya <4 minggu
• Persisten: Gejala >4 hari per minggu dan lamanya >4 minggu

Berdasarkan berat gejala, rinitis alergi dibagi menjadi:


• Ringan:
o Tidur normal
o Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal
o Tidak ada keluhan yang mengganggu

8
• Berat: (satu atau lebih gejala)
o Tidur terganggu (tidak normal)
o Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai terganggu
o Gangguan saat bekerja dan sekolah
o Ada keluhan yang mengganggu

Tata Laksana
• Hindari alergen
• Medikamentosa. Pengobatan medikamentosa tergantung dari lama dan berat-
ringannya gejala.
o Rinitis alergi intermiten
- Ringan
 Antihistamin H1 generasi I sangat efektif untuk RA, namun efek
sampingnya sangat banyak. Contoh obat, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari
dibagi 3 dosis. Obat
 Bila terdapat gejala hidung tersumbat dapat ditambah pseudoefedrin 4
mg/kg/hari, diberikan 3 kali sehari
- Berat
 Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin 0,25 mg/kg/kali
diberikansekali sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang dari 2
tahun, atau desloratadine dan fexofenadin pada anak >6 tahun. Bila
tidak ada perbaikan atau bertambah berat dapat diberikan
kortikosteroid misalnya prednison 1 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, paling
lama 7 hari.
o Rinitis alergi persisten
- Ringan
 Antihistamin generasi II (setirizin)jangka lama. Bila gejala tidak membaik
dapat diberikan kortikosteroid intranasal misalnya mometason atau
flutikason
• Immunotherapy.
Efektif pada pemberian jangka panjang. Perbaikan tampak pada 6-12 bulan
pemberian. Pertimbangan risiko dan manfaat.

o Indikasi:pada penyakit berat, tidak membaik dengan obat lain.


o Pemberian: dengan alergen yang telah diketahui, dan tidak mudah dihindari.
o Perhatian pada pemberian hanya oleh orang terlatih, mmperhatikan
kewaspadaan dan dilengkapi dengan peralatan penanganan efek yangtidak
diinginkan. Pembedahan. Pada keadaan terdapat deviasi septum nasi

9
• Edukasi
Rinitis Alergi adalah penyakit kronik yang gejalanya akan hilang timbul.
Komunikasi dengan pasien dan orangtua diperlukan agar pemeriksaan berkala
dilakukan dan pemberian obat dapat disesuaikan dengan fluktuasi gejala. Pada
gejala yang menetap dan berat, diperlukan penilaian menyeluruh dan tata laksana
lanjut, antara lain imunoterapi.

Daftar Pustaka
1. Mygind N. Essential allergy. Oxford: Blackwell Scientific Publications; 1986. h. 279-350.
2. Munasir Z, Rakun MW. Rinitis alergi. Dalam: Akib AAP, Matondang CS, penyunting. Buku
ajar alergi-imunologi anak. Jakarta:BP-IDAI;1996. h.173-8.
3. Andersson M, Greiff L, Svensson C, Persson GA. Allergic and no-allergic rhinitis. Dalam:
Busse WW, Holgate ST, penyunting. Asthma and rhinitis. Edisi ke-2. oxford: Blackwell
Science;2000, h.232-42.
4. Penatalaksanaan rhinitis alergi dan dampaknya pada asthma. Panduan saku 2001.
Berdasarkan laporan lokakarya allergic rhinitis and its impact on asthma. Kerjasama
dengan WHO.
5. Becker JM. Allergic rhinitis. Diunduh dari http://www.emedicine.com/ped/topic2560.htm
tanggal 9 April 2006
6. Sheik J. Allergic rhinitis: treatment and medication. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/134825

10
ARTRITIS IDIOPATIK JUVENIL

Batasan
Artritis reumatoid juvenil (AIJ) merupakan kelompok penyakit yang tidak diketahui
etiologinya dan bermanifestasi sebagai inflamasi sendi kronik. Patogenesisnya
ditandai olehimunoinflamasi yang diduga diaktifkan oleh antigen eksternal. Selain itu
AIJ mempunyai predisposisi genetik.

Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk klasifikasi artritis reumatoid juvenil menurut American
College of Rheumatology (ACR):
• Usia onset kurang dari 16 tahun
• Artiritis pada satu sendi atau lebih yang ditandai oleh bengkak atau efusi sendi,
atau oleh dua dari gejala kelainan sendi berikut: gerakan sendi terbatas, nyeri
atau sakit pada gerakan sendi, dan peningkatan suhu di daerah sendi.
• Lama sakit lebih dari 6 minggu
• Jenis onset penyakit dalam 6 bulan pertama di klasifikasikan sebagai:
o Pausiartikular (oligoartritis): 4 sendi atau kurang
o Poliartritis: 5 sendi atau lebih
o Penyakit sistemik: artritis disertai demam intemiten dan rash
• Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat meliputi:


• Kaku sendi pagi hari. Kadang onset tidak jelas, dan kaku sendi baru dikeluhkan
siang hari.
• Anak dengan AIJ sering absen sekolah dan terbatas aktifitas fisiknya, sehingga
anak dan orangtua cenderung khawatir karena banyak absen sekolah dan
mengistirahatkan anak dari sekolah. Bedakan dengan sindrom nyeri akibat faktor
psikogenik, dimana orangtua cenderung menginginkan anak sekolah.
• Kelemahan tungkai.
• Sakit yang mendahului, meningkatkan kemungkinan pemicu infeksi pada artritis
septik yang self limited.
• Riwayat bepergian ke daerah endemik dengan paparan tick meningkatkan
kemungkinan Lyme disease.
• Gejala saluran cerna, anemia mikrositer dan peningkatan penanda inflamasi
meningkatkan kemungkinan inflammatory bowel disease.
• Nyeri sendi hebat meningkatkan kemungkinan acute rheumatic fever (juga
migratoir , dan bukan aditif disertai demam),keganasan sumsum tulang eg,
neuroblastoma, acute lymphocytic leukemia (nyeri metafise dan bisitopenia atau
pansitopenia) septic arthritis, atau osteomyelitis.
11
• Penurunan Berat badan tanpa diare, bisa terjadi pada AIJ aktif, kadang akibat
anoreksia. Juga terdapat pada keganasan, seperti ALL atau IBD.
• Fotofobia bisa terjadia pada uveitis asimtomatik.
• Orthopnea mungkin disebabkan perikarditis pada systemic juvenile idiophatic
arthritis; diagnosis banding termasuk systemic lupus erythematosus (SLE) dan
viral pericarditis.
• Keluhan sendi mungkin tidak ada, namun terdapat kontractures , keterbatasan
ruang gerak sendi, dibandingkan nyeri.
• Systemic-onset juvenile idiopathic arthritis ditandai demam sangat tinggi dengan
satu atau dua puncak panas dalam sehari pada waktu yang sama dan turun
mencapai normal. Pola demam yang prediktif seperti ini tidak didapatkan pada
infeksi atau penyakit Kawasaki dan keganasan.
• Ruam evanescent (berlangsung beberapa jam), nonpruritik, makular, warna
salmon (bukan merah cerah/ erythematous) pada tungkai dan badan . Kadang
ruam merah dan gatal, dan resistan antihistamin
• Arthralgia dan/atau mialgia
• Tampak sakit
• Nyeri dada atau napas dangkal meruapkan tanda perikarditis dan pleuritis.

Oligoarticular (pauciarticular) artritis pada 4 sendi atau kurang


• Mengenai sendi besar (lutut, pergelangan tangan dan kaki)
• Anak tampak sehat meski ada kelemahan tungkai.
• Artritis Monoartikular pada panggul mengindikasikan; infeksi, keganasan atau
kondisi ortopedik.
• Bila hanya terdapat artritis panggul tanpa gejala lain, pertimbangkan:Legg-Calvé-
Perthes disease; toxic synovitis of the hip; septic arthritis; osteomyelitis; atau pada
anak lebih besar: slipped capital femoral epiphysis atau chondrolysis of the hip.
• Keterlibatan kronik dapat mengakibatkan : atrofi otot ekstensor paha, ligamen
hamstring, kontraktur fleksi lutut. Leg length discrepancies terjadi pada artritis
asimetrik.
• Polyarticular disease artritis pada 5 sendi atau lebih.
• Dapat mengenai sendi besar atau kecil dan sering simetris bilateral.
• Dapat disertai demam ringan.
• Keterbatasan gerak sendi ddapat disertai atrofi dan kelemahan otot.
• Terdapat dua tipe berdasarkan ada/tidaknya faktor rematoid .

Diagnosis Banding
• Lupus eritematosus sistemik
• Keganasan: Limfosistosis, trombositopenia

12
Pemeriksaan Penunjang
 Tidak ada pemeriksaan spesifik
 Pemeriksaan darah tepi:anemia ringan atau sedang dengan kadar Hb 7-10 g/dl,
leukositosis predominan neutrofil. Hitung trombosit dapat meningkat hebat pada
tipe sistemik berat atau poliartritis, sering dipakai sebagai pertanda kekambuhan
atau reaktivasi AIJ.
 Petanda aktivitas penyakit: Peningkatan LED, CRP, kadar IgG dan IgA serum. Kadar
komplemen C3 dan komplemen hemolitik pada AIJ aktif meningkat.
 Faktor reumatoid (FR) jarang terdeteksi pada anak, bila positif dihubungkan
dengan AIJ poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang, atau
penderita yang secara fungsional lebih buruk. FR biasanya ada IgM anti IgG, tapi
pada AIJ dapat berupa IgG anti IgG yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan
biasa yang mendeteksi faktor reumatoid IgM.
 Antibodi antinuklear (ANA) sering positif, lebih sering pad anak wanita muda,
terutama pada tipe oligoartritis dengan komplikasi uveitis.
 Ekokardiografi sebaiknya dilakukan pada yang diduga tipe sistemik dan disertai
demam
 Pencitraan dilakukan untuk mengetahui kerisakan yang terjadi pada keadaan klinis
tertentu. Kelainan radiologik pada sendi:
o Pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi,
osteoporosis, formasi tulang baru periostal
o Pada tingkat lebih lanjut dapat terlihat erosi tulang persendian dan
penyempitan daerah tulang rawan
o Angkilosis terutama di daerah sendi karpal dan tarsal
o Gambaran nekrosis aseptik jarana dijumpai pada AIJ walau dengan pengobatan
steroid dosis tinggi jangka panjang
o Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis terlihat berupa erosi tulang pada
fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, sertga atrofi jeringan lunak
regional sekunder
o Gambaran radiologik yang khas untuk AIJ sistemik menurut Kauffman dan
Lovell adalah: tulang panjang yang memendek, melengkung dan melebar,
metafisis mengembang dan fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit
yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.

Klasifikasi
Klasifikasi menurut International League Against Rheumatism (ILAR) (Klasifikasi
Durban, 1997):
 Sistemik
 Oligoartritis
o persisten
o extended

13
 Poliartritis FR negatif
 Poliartritis FR positif
 Artritis psoriatik
 Artritis yang berhubungan dengan enteritis
 Artritis lain :
o tidak sesuai dengan salah satu kategori
o sesuai dengan lebih dari satu kategori

Tata Laksana
 Bertujuan memperoleh status tumbuh kembang fisis dan psikologis normal agar
dapat menjalani kehidupan seoptimal mungkin.
 Perlu kerja sama berbagai bidang-keahlian yang berhubungan dengan penyakit ini
misalnya dokter anak ahli reumatologi, perawat, fisioterapis, terapis okupasional,
dan petugas sosial.
 Konsultasi dengan ahli bidang terkait misalnya oftalmologi, gigi-mulut, ortopedi,
kardiologi, psikiatri, nefrologi, dermatologi serta sumber lain dalam komunitas.
 Pengobatan medikamentosa berupa:
o Antiinflamasi nonsteroid: naproksen10-15 mg/kg/hari dibagi 2 dosis dengan
dosis maksimal 1 gram per hari atau Iburofen 30-50mg/kgBB/hari dosis
terbagi, tidak melebihi aspirin banyak ditinggalakan karena risiko timbulnya
sindrom Reye.
o Kortikosteroid sistemik sebaiknya dihindari untuk menangani keluhan arthritis.
Indikasi Steroid sistemik adalah pada AIJ sistemik, atau bila ada uveitis kronik .
Pada penanganan artritis, diindikasikan melalui pemberian intraartikular
o Untuk gejala sistemik berat, diberikan high dose iv steroid therapy dengan
methylprednisolone 15-30 mg/kg IV qd diberikan dalam cairan NaCl 50 cc
selama 30-60 min selama 2-3 hari berrturut-turut atau selang sehari sebanyak
3 kali. Diberikan dengan monitor ketat gula darah dan tekanan darah atau
gejala perdarahan. Steroid bisa juga diberikan dengan Prednison 4-
5mg/m2/hari p.o atau 0,25-2 mg/kg/hari dibagi dua dosis, diturunkan dalam 2
minggu bila gejala membaik. Perannya sebagai bridging therapy sebelum
pemberian obat lini kedua, seperti Metotrexate.
o Obat imunosupresif digunakan pada tipe sistemik, yaitu Metotreksat 10-25
mg/m2/minggu per oral (tablet @ 2,5 mg tidak boleh dibuat puyer) dosis
tunggal setiap minggu disertai pemberian asam folat 1-2 mg per oral per hari
atau asam folinat 2,5-5mg per oral setiap minggu.

14
Komplikasi
 Pada tipe sistemik: perikarditis, anemia hemolitik, koagulasi intravaskular
diseminata, sindrom aktivasi makrofag, dan end-arteritis
 Sindrom aktivasi makrofag (Macrophage activation syndrome) ditandai dengan:
menurunnya leukosit, dan trombosit, peningkatan ensim hati, meningkatnya
feritin dan
 Pada tipe pausiartikular: uveitis, kontraktur sendi, perbedaan panjang tungkai
 Pada tipe poliartikular: kelainan spinal, dan tulang-tulang lainnya

Pendidikan/Nasihat
Respon pengobatan AIJ tidak segera terlihat, karenanya diperlukan komunikasi yang
jelas pada orangtua untuk mengawasi pemberian obat, menyertakan anak pada
program rehabilitasi dan membuat modifikasi kegiatan bila anak telah sekolah.

Daftar Pustaka
1. Cassidy JT, Petty RE. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-4. new York: Churchill
Livingstone; 2005.
2. Fye KH, Sack KE. Rheumatic diseases. Dalam: DP Stites, Al Terr, penyunting. Basic and
clinical immunology. Edisi ke-7. Norwalk: Appleton and Lange;1991. h. 438-63
3. Petty RE, Southwood TR, Baum J, Bhettay E, Glass DN, Manners P, dkk. Revision of the
proposed classification criteria for juvenile idiopathic arthritis. J Rheumatol 1998;25:1991-
4
4. Miller M. Juvenile rheumatoid arthritis. Dalam: Myones BL, Windi ML, Lehman TJA, Rauch
D, Ilowite NT, penyunting. Rheumatology. Edisi 4 Januari 2005. Diunduh dari
www.emedicine.com/ped/topic1749.htm
5. Rabinovich CE. Juvenile rheumatoid arthritis update 7 April 2010. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com//article/1007276-overview

15
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Batasan
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit reumatologik sistemik yang
ditandai dengan adanya autoantibody terhadap autoantingen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada
beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya sulit diramalkan bersifat episodik
yang diselingi periode remisi. Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan
perjalanan penyakit yang sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian.
Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak
mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis,
psikosis, dan fatique. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor
dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun. Pada anak perempuan , awitan LES
banyak ditemukan pada umur 9-15 tahun.

Manifestasi Klinis
Gejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, fatique, dan menurunnya berat
badan. Gejala di kulit termasuk ruam malar (butterfly rash), ulkus di kulit dan
mukosa, purpura, alopesia, fenomena raynaud, dan fotosensitifitas. Gejala sendi
sering ditemukan. Bersifat simetris dan tidak menyebabkan deformitas sendi.
Poliserositis mungkin muncul dalam bentuk pleurisi dengan efusi, peritonitis, dan
perikarditis.
Nefritis lupus umumnya belum bergejala pada masa awitan, tetapi sering
berkembang menjadi progresif dan menyebabkan kematian. Gejalanya berupa
edema, hipertensi, gangguan elektrolit, dan gagal ginjal akut. Biopsi ginjal
diindikasikan pada pasien yang tidak responsif pada terapi kortikosteroid atau bila
sulit disapih dari kortikosteroid ketika dosis diubah menjadi dosis selang sehari.
Pengendalian hipertensi sangat penting untuk mempertahankan fungsi ginjal.
Hepatosplenomegali dan limfadenopati mungkin terjadi tetapi termasuk
manifestasi yang jarang. Keluhan yang banyak adalah nyeri perut akibat vaskulitis.
Keterlibatan susunan saraf pusat dapat berupa kejang, koma, hemiplegia, neuropati
fokal, korea, dan gangguan perilaku.

Diagnosis
Kriteria diagnosis SLE menurut ARA (American Rheumatism Association):*
• Eritema malar (butterfly rash)
• Lupus discoid
• Fotosensitivitas
• Ulserasi mukoktaneus oral atau nasal
• Arteritis non erosif
16
• Nefritis **(proteinuria >0,5 g/24 jam dan sel silinder +)
• Ensefalopati **
• Pleuritis atau perikarditis
• Sitopenia
• Imunoserologi**(Antibodi antidouble stranded DNA, Antibodi antinuklear Sm)
• Antibodi antinuklear (ANA)
* Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas; **
Salah satu butir pernyataan cukup

Diagnosis Banding
Harus memikirkan kemungkinan infeksi, keganasan, paparan toksin dan penyakit
multisistem lainnya.

Pemeriksaan Penunjang
• Darah tepi lengkap: Anemia, lekopenia, trombositopenia*
• LED
• Urinalisis
• Sel LE
• ANA*
• Antibodi anti doublestranded-DNA*
• Antibodi antifosfolipid
• Antibodi lain: anti-RO, anti-La, anti RNP
• Faktor rheumatoid
• Titer komplemen C3, C4, dan CH50*
• Titer IgM, IgG, dan IgA
• Uji Coombs
• Kreatinin dan ureum darah*
• Protein urin >0,5 gram/24 jam (Nefritis)*
• Pencitraan: foto Rontgen toraks*, USG ginjal, MRI kepala

Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan laboratorium ini harus ada,
tetapi pemeriksaan awal (diberi tanda*) sebaiknya dilakukan.

Tata Laksana
Penatalaksanaan LES harus mencakup obat, diet, aktivitas yang melibatkan banyak
ahli.

Obat
Alat pemantau pengobatan pasien LES adalah evaluasi klinis dan laboratoris yang
sering untuk menyesuaikan obat dan mengenali serta menangani aktivitas penyakit.

17
Lupus adalah penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan
selamanya.
Banyak obat diginakan untuk mengobati LES. Tujuan pengobatan adalah mengontrol
manifestasi penyakit, sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang baik tanpa
eksaserbasi berat sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat
menyebabkan kematian.

• Antiinflamasi non-steroid
Dimaksudkan untuk pengobatan simptomatik artralgia. Pilihannya adalah naproksen
7,5-20 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 kali pemberian; diklofenak pada anak >12 tahun,
2-3 mg/kg/hari diberikan 2 kali sehari dengan dosis maksimal 200 mg/hari.

• Antimalaria
Diberikan untuk lupus diskoid. Obat yang diberikan hidroksiklorokuin sulfat dosis
awal 6-7 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis selama 2 bulan dan diturunkan 5 mg/kg/hari.
Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan.

• Kortikosteroid
o Dosis rendah
- Prednison dosis <0,5 mg/kg/hari diberikan untuk mengatasi gejala klinis
seperti demam, dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4 minggu
minimal sebelum dilakukan penyapihan.
o Dosis tinggi
- Dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi maksimal 80 mg/hari, bertujuan
untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan anemi hemolitik.
Setelah aktivitas penyakit terkontrol pemberian dijadikan satu kali sehari.
Dosis dipertahankan selama 6-8 minggu untuk kemudian diturunkan
dosisnya.
Pada nefritis lupus
- Untuk klasifikasi WHO kelas I dan II digunakan prednison dosis tinggi
2mg/kg/hari.
- Untuk klasifikasi WHO kelas III-V ditambah siklofosfamid 500-750 mg/m2
intra vena setiap 3-4 minggu.

• Obat imunosupresan/sitostatika
o Imunosupresan diberikan kepada SLE denga keterlibatan SSP, nefritis difus dan
membranosa, anemia hemalitik akut, dan kasus yang resisten terhadap
pemberian kortikosteroid.
o Siklofosfamid intravena 500-750 mg/m2/IV setiap 3-4 minggu.
o Azatioprin oral untuk nefritis kelas I-II 1-3 mg/kg/hari.

18
• Obat antihipertensi
Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif. Dapat digunakan nifedipin
dengan dosis 0.25-0.5 mg/kg/dosis dan dapat diulangi setiap 4-8 jam. Dosis per
kali tidak lebih dari 10 mg. Antihipertensi lain adalah enalapril 2.5-5mg/kg/hari
diberikan dalam dosis tunggal atau dosis terbagi, serta propranolol 0.5-1
mg/kg/hari dibagi dalam 2-4 dosis.

• Kalsium
Semua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi prednison
berisiko untuk mengalami osteopenia, karenanya memerlukan suplementasi
kalsium dengan dosis kalsium elemental : < 6 bulan 360 mg/hari, 6-12 bulan 540
mg/hari, 1-10 tahun 800 mg/hari, dan 11-18 tahun 1200 mg/hari.

Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien
memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang
mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan
berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.

Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien
disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari
harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam.
Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien LES.

Tatalaksana Infeksi
 Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri.
 Setiap kelainan urin harus dipikirkan kemungkinan pielonefritis

19
Daftar Pustaka
1. Cassidy JT, RE Petty. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-2. New york:
Churchill Livingstone; 1990.
2. Fye KH, Sack KE. Rheumatic diseases. Dalam : Stites DP, Terr Al, penyunting. Basic and
clinical immunology. Edisi ke-7. Norwalk: Appleton and Lange, 1991. p.438-63.
3. Akib AAP. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Akib AAP, Matondang CS. Buku ajar
alergi-imunologi anak Jakarta: BP-IDAI;1996.
4. Lehman TJ. A pratical guide to systemic lupus erythematosus. Pediatr Clin North Am
1995;42:1223-38.
5. Wallace DJ, Hahn BH, Dubois. Systemic Lupus Erythematosus. Edisi ke-5. Baltimore:
Williams and Wilkins; 1997

20
INFEKSI HIV

Batasan
Infeksi pada bayi atau anak oleh virus HIV (Human Immunodeficiency). Jalur
penularan terbanyak adalah vertikal, yakni penularan dari ibu ke anak. Infeksi bisa
didapat saat kehamilan, persalinan atau melalui air susu ibu.

Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisis
 Ibu atau ayah memiliki risiko untuk terinfeksi HIV (riwayat narkoba suntik,
promiskuitas, pasangan dari penderita HIV, pernah mengalami operasi atau
prosedur transfuse produk darah)
 Memiliki morbiditas yang khas maupun yang sering ditemukan pada penderita
HIV
 Riwayat kelahiran, ASI, pengobatan ibu dan kondisi neonatal

Morbiditas yang membantu menduga infeksi HIV pada anak, terdiri atas 3 kelompok:
• Tanda-tanda yang mengindikasikan kemungkinan infeksi HIV :
o Infeksi berulang: dalam 12 bulan terakhir didapatkan riwayat 3 atau lebih
infeksi bakteri berat. Termasuk infeksi bakteri berat: Pneumonia, meningitis,
sepsis, selulitis
o Oral thrush: Sangat mungkin kandidiasis yang berhubungan dengan infeksi HIV
bila terjadi stelah masa neonatus, tanpa riwayat pemberian antibiotika, obat
imunosupresan lain dalam jangka lama, meluas hingga ke belakang
lidah/faring, berlangsung lebih dari 30 hari meskipun di obati dengan anti
jamur.
o Parotitis kronik: parotitis lebih dari 2 minggu
o Limfadenopati generalisata: pembesaran kelenjar pada 2 atau lebih ekstra
inguinal tanpa kausa yang jelas.
o Pembesaran hepar tanpa kausa yang jelas.
o Demam lama/ berulang
o Disfungsi neurologis: gangguan neurologis progresif, perkembangan
terhambat, mikrosefali
o Herpes zoster
o Dermatitis HIV: rash papular eritema, termasuk disini: kandidiasis kulit , kuku
dan kulit kepala yang luas dan moluskum kontagiosum yang luas

• Morbiditas yang mungkin ditemukan pada penderita HIV tetapi juga ditemukan
pada anak yang tidak terinfeksi HIV :
o Infeksi berulang atau menetap lebih dari 14 hari
21
o Diare persisten atau berulang
o Malnutrisi sedang atau berat

• Morbiditas yang spesifik untuk HIV:


o PCP (Pneumocystis carinii pneumonia)
o LIP (Lymphoid Interstitial Pneumonitis)
o Kandidiasis esofagus
o Sarkoma Kaposi
o Fistel Rektovaginal didapat

Diagnosis dan Tata Laksana


• Diagnosis HIV: pemeriksaan antibodi anti HIV, sebaiknya dengan ELISA dan
menggunakan 3 reagens yang berbeda. Bila ibu atau ayah sudah diketahui
mengidap HIV maka pada anaknya bila <18 bulan dilakukan pemeriksaan antigen
virus (PCR RNA HIV). Bila anak >18 bulan cukup dengan pemeriksaan antibodi HIV
saja.
• Pemeriksaan lain (laboratorium, pencitraan, dan lain-lain) sesuai morbiditas yang
ada dan konsultasi ke ahli terkait untuk penanganan morbiditas yang ada.,
termasuk disini perbaikan status nutrisi, baik untuk penanganan keadaan sakit
maupun untuk menunjang tumbuh kembang.
• Tentukan stadium klinis HIV
• Tentukan status imunosupresi dengan pemeriksaan hitung CD4+
• Berikan kotrimoksazol profilaksis bila PCP disingkirkan
• Penilaian kelayakan pemberian ARV : Menilai kesiapan pasien dan orangtua/wali,
Menghindari risiko resistensi obat, Memperhitungkan kemungkinan risiko
interaksi obat-obat, Memperhitungkan kemungkinan risiko obat-makanan,
Posologi dan formulari obat untuk anak, Memperhitungkan risiko pemberian obat
pada koinfeksi TB, hepatitis
• Monitor klinis dan imunologis, tumbuh kembang, ketaatan minum obat, efek
samping obat. Follow up pertama setelah pulang dari Rumah sakit dalam
seminggu, kemudian perlahan dilonggarkan menjadi setiap bulan. Follow up CD4
setiap 3 bulan, virologis setiap 6 bulan, bila memungkinkan. Follow up darah tepi
dan fungsi hati setiap 6 bulan atau sesuai klinis.
• Imunisasi, bila ada jadwal yang tertunda. Imunisasi diberikan bila ART sudah 6
bulan, serta klinis dan jumlah CD4 sudah baik. Jenis imunisasi sesuai rekomendasi
imunisasi nasional.

Klasifikasi Klinis

Klasifikasi klinis menurut WHO

22
Tabel 1. Sistem klasifikasi klinis pediatrik berdasarkan WHO.

Untuk anak usia < 13 tahun, yang sudah terkonfirmasi terinfeksi


STADIUM 1
Asimtomatik
Persistent generalized lymphadenopathy (PGL)
STADIUM 2
Hepatosplenomegali
Erupsi papular pruritik
Dermatitis Seboroik
Infeksi jamur pada kuku
Angular cheilitis
Lineal gingival erythema (LGE)
Infeksi human papilloma virus atau moluskum yang luas (>5% luas tubuh)
Ulserasi oral berulang (>2 episode dalam 6 bulan)
Pembesaran parotis
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, sinusitis, >2 dalam 6 bulan)
STADIUM 3
Malnutrisi sedang tanpa kausa yang jelas dan tidak berespon terhadap terapi standar
Diare persisten tanpa kausa yang jelas
Demam persisten tanpa kausa yang jelas (intermiten atau konstan > 1 bulan)
Kandidiasis Oral
Oral hairy leukoplakia
TB paru
Pneumonia bakteriil berat berulang (> 2 episode dalam 6 bulan)
Acute necrotizing ulcerative gingivitis/periodontitis
LIP (lymphoid interstitial pneumonia)
Anemia tanpa kausa yang jelas (<8 gm/dl), neutropenia (<500/mm3) atau trombo-
sitopenia (<30,000/mm3) selama > 1 bulan
STADIUM 4
Wasting atau malnutrisi berat yang tidak berespon terhadap terapi standar
Pneumonia Pneumocystis
Infeksi bakteri berat berulang (> 2 episode dalam 1 tahun, misal: empyema, pyomyositis,
infeksi tulang/sendi, meningitis, tidak termasuk pneumonia )
Infeksi Herpes simpleks kulit atau orolabial kronik (> 1 bulan)
TB disseminata atau ekstrapulmoner
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus
Bayi < 18 bulan HIV seropositif dengan >2 gejala berikut:
oral thrush, +/– pneumonia berat, +/– gagal tumbuh/malnutrisi berat,+/– sepsis berat*
Retinitis CMV
Toksoplasmosis SSP
Mikosis endemik diseminata, termasuk: meningitis kriptokokkus

23
(e.g. kriptokokkosis ektra pulmoner, histoplasmosis, koksidiomikosis,penisillinosis)
Kriptosporidiosis atau isosporiasis (dengan diare >1 bulan)
Infeksi CMV (usia >1 bulan pada organ selain, hepar, lien atau kelenjar)
Penyakit mikobakterioum diseminata selain TB
Kandida pada trakea, bronkus atau paru-paru
Fistel rekto-vesika didapat terkait HIV
Limfoma serebri atau non Hoodgkin sel B
Leukoensefalopati multifokal Progresif
Encefalopati HIV
Kardiomiopati HIV
Nefropati HIV
Diagnosis HIV presumtif stadium 4 pada anak usia < 18 bulan dengan serologis, harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan virologis.

Faktor lain untuk menunjang diagnosis HIV presumtif:


• Ibu baru saja meninggal akibat infeksi HIV atau ibu sakit berat akibat HIV
• CD4 < 25% memerlukan terapi

Klasifikasi supresi imunologi menurut WHO


Tabel 3. Status imunosupresi berdasarkan jumlah dan presentase se T-CD4 menurut
usia (revisi 1994)
Usia
Status < 12 bulan 1-5 tahun 6-12 tahun
Imun Sel T-CD4
/mm3 % /mm3 % /mm3 %
Kategori 1 ≥ 1500 ≥ 25% ≥ 1000 ≥ 25% ≥ 500 ≥ 25%
Tidak ada
supresi

Kategori 2 7500-1499 15-24% 500-999 15-24 200-499 15-24%


Supresi
sedang
Kategori 3 <750 <15% <500 <15% <200 <15%
Supresi
berat

24
Dosis obat

ART
ZDV(AZT) Pediatrik (rentang dosis 180-240 mg/m2 LPB)
(Zidovudine, Retrovir®) Oral: 160mg/ m2LPB tiap 12 jam
Adolesen 3x200 mg/200mg/hari, atau 2x300 mg/hari
3TC Pediatrik 4mg/kg, 2x sehari →dosis terapi
(Lamivudine, Viracept®) Adolesen BB ≤ 50 kg: 2 mg/kg, 2x sehari
BB ≥ 50kg : 2 x 150 mg/hari
NFV Pediatrik 120-200mg/LPT, dengan cara mulai dengan dosis
(Nevirapine, Vi®) 120mg/LPT , 1x/hari dalam 2 minggu pertama
120 mg/LPT, 2x/hari setelah minggu kedua
Selanjutnya 200mg/LPT, 2x/hari
Adolesen 2x1250 mg/hari, atau 3x750 mg/hari
Stavudin (d4T/Stavir®) 1mg/kg/dosis diberikan 2 kali sehari
Efavirenz (Sustiva®) Anak ≥ 3 tahun: 10-< 15 kg = 200 mg; 15- < 20 kg =250 mg;
20-< 25 kg = 300 mg, 25-32.5 kg =350 mg; 32.5-<40kg=400
mg

PCP
TMP/SMX Profilaksis: 6-8 mg TMP/kg, 1x sehari, diberikan hingga
(Kotrimoksazol) terjadi pulih imun selama 6 bulan atau lebih. Bila alergi,
Untuk Pneumocystis carinii ganti dengan Dapsone.
Pengobatan : 8mg/kg/kali , 3x sehari selama 3 minggu. Bila
terjadi reaksi obat berat, ganti dengan Pentamidin.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization-Regional Office for South-East Asia. HIV/AIDS facts and
figures. Diunduh dari http://www.who/searo/HIV-AIDS/FactsandFigure.htm
2. The working group on antiretroviral and medical management of HIV-infected children.
The national resources and services administration, and the national institute of health.
Guidelines for the use of antiretroviral agents in pediatric HIV infection. Diunduh dari
http://www.aidsinfo.org
3. Fischer A, Lejczak C, Lambert C, Servais J, Makombe N, Rusine J, dkk. Simple DNA
extraction method for dried blood spots and comparison of two PCR assays for diagnosis
of vertical human immunodeficiency virus type 1 transmission in Rwanda. J Clin Microbiol
2004; 42:16-20
4. Phutanakit T, Oberdorfer A, Akarathum N, Kanjanavanit S, Wannarit P, Sirisanthana T, dll.
Efficacy of highly active antiretroviral therapy in HIV-infected children participating in
Thailand’s national access to antiretroviral program. Clin Infect Dis 2005;41:100-7
5. Depkes RI , Manual pelatihan CST untuk Anak, Jakarta 2010
6. WHO pocket book of hospital care for children.WHO Geneva, 2005.

25
BAYI LAHIR DARI IBU PENGIDAP HIV

Batasan
Bayi baru lahir dari ibu yang diketahui mengidap HIV selama kehamilannya.
Penatalaksanaan berikut merupakan langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam
Bagian/Prong ke 3 dari Program pencegahan penularan dari ibu ke bayi (PMTCT =
Prevention of Mother to Child Infection).

Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisis
 Sudah dilakukan skrining HIV pada ibu
 Risiko untuk terinfeksi HIV yang dimiliki ibu dan/atau ayah
 Stadium klinis (termasuk mengenali komorbiditas ibu, misalnya TB, Hepatitis) dan
kadar CD4 ibu.
 Obat (ARV dan obat lain) yang digunakan ibu
 Pilihan cara persalinan ( bedah cesar atau per vaginam)
 Pilihan nutrisi (ASI atau pengganti ASI). Pilihan nutrisi harus memenuhi syarat
AFASS (Acceptable, Feasible, Affordable, Sustainable, Safe). Bila belum memenuhi,
diupayakan oleh berbagai pihak agar AFASS terpenuhi.
 Keadaan umum dan pemantauan adanya infeksi oportunistik

Pemeriksaan penunjang
 Darah tepi: (bila ada indikasi)
 PCR RNA-HIV pada usia 4 minggu dan 4-6 bulan, bila biaya memungkinkan.
 Penentuan status terinfeksi sudah bisa dimulai usia 9-12 bulan (70% bayi dari ibu
pengidap HIV, sudah menunjukkan hasil negatif bila tidak terinfeksi), namun hal
ini harus disesuaikan dengan kesiapan mental ibu, bila hasil positif (bisa berarti
dua kemungkinan interpretasi: tidak terinfeksi tapi antibodi ibu masih ada dalam
darah anak, atau terinfeksi) . Hasil pasti, didapatkan pada usia 18 bulan (100%
sudah menunjukkan hasil negatif bila tidak terinfeksi).

Tata Laksana
Sebelum persalinan
Konseling (prinsip 3C: counseling, confidential, consent):
 Pilihan cara persalinan (bekerjasama dengan pihak ObsGyn)
 Pilihan nutrisi: sebut kelebihan dan kekurangan masing-masing pilihan. Dukung
setiap pilihan ibu dan keluarga
 Rencana pemberian ARV profilaksis pada bayi

26
 Rencana pemberian profilaksis Infeksi oportunistik dengan Kotrimoksazol 5 mg
TMP/kg, 1x/hari, dimulai usia 1 bulan hingga terbukti infeksi HIV tidak terjadi atau
hingga usia 6 bulan bila tumbuh kembang dan kesehatan umum baik.
 Rencana imunisasi
 Rencana Pemantaun tumbuh kembang bayi, gejala infeksi HIV/infeksi oportunistik
 Rencana pemeriksaan untuk penentuan status terinfeksi: dengan PCR (bisa mulai
usia 1 bulan, minimal 2 kali, biaya mahal, dan penentuan definitif pada usia 18
bulan dengan memastikan hasil serologis negatif) atau dengan serologis saja
(bisa dimulai usia 9-12 bulan atau pada usia 18 bulan)
 Tentukan anggota keluarga yang akan mendukung perawatan bayi usai persalinan
ibu. Ajarkan cara menyiapkan nutrisi dan hal-hal yang perlu diwaspadai.

Pada saat persalinan


 Pertolongan persalinan menggunakan sesedikit mungkin prosedur invasif
 Penanganan bayi baru lahir sesuai prosedur standar dengan mematuhi
kewaspadaan universal (universal precaution )

Perawatan setelah lahir sebelum pulang dari RS


• Berikan nutrisi
• Berikan terapi profilaksis :
o Zidovudin
- diberikan untuk bayi mulai usia 12 jam dosis 4 mg/ kg/ dosis, 2 kali sehari
untuk bayi cukup bulan selama 4 minggu, bila ibu mendapat ARV kurang
dari 4 minggu atau CD4 rendah. Durasi ZDV bisa hanya 1 minggu bila ibu
mendapat ARV profilaksis lebih dari sebulan. Bayi dengan gestasi kurang
dari 34 minggu mendapat 1,5 mg/ kg/ dosis 2 kali sehari selama 2 minggu
pertama, diikuti dosis yang sama 3 kali sehari selama 2 minggu berikutnya
dan dosis 2 mg/ kg/ hari 4 kali sehari selama 2 minggu terakhir.
- Nevirapin dosis tunggal 2 mg/ kg diberikan saat usia bayi 40-72 jam
• Imunisasi sesuai ketentuan imunisasi nasional. Vaksin hidup tidak boleh diberikan
pada keadaan imunosupresi berat.

Pemantauan setelah pulang


Jadwal kontrol sesuai jadwal bayi sehat, kecuali ada keluhan tersendiri. Penekanan
pada temuan efek samping ZDV, efek samping Kotrimoksazol, infeksi oportunistik.
Monitor tumbuh kembang. Pada usia 9 bulan, ditekankan dan dianjurkan untuk
kembali untuk penentuan status terinfeksi, bisa mulai usia 9-12 bulan atau pada usia
18 bulan, tergantung pilihan ibu.

27
Pendidikan
Infeksi HIV mempengaruhi seluruh keluarga. Kehamilan dan kelahiran bayi akan
menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada orang tua yang mengidap HIV.
Komunikasi terus menerus, kepatuhan pemberian obat profilaksis dapat
meningkatkan kerjasama orang tua dan keluarga. Orang tua juga diharapkan untuk
menjaga kesehatan diri lebih baik dan dianjurkan untuk mempraktikkan pola hidup
sehat.

Daftar Pustaka
1. Sherman GG, Cooper PA, Coovadia AH, Puren AJ, Jones SA, Mokhachane M, dkk.
Polymerase chain reaction for diagnosis of human immunodeficiency virus infection in
infancy in low resource settings. Pediatr Infect Dis J 2005;24:993-7.
2. Capparelli E, Mirochnick M, Dankner WM, dkk. Pharmacokinetics and tolerance of
zidovudine in pretern infants. J Pediatr 2003;142:47-52.
3. Mofenson LM. Overview of perinatal intervention trials. March 2005. Diunduh dari
http://www.womrnchildrenhiv.org.
4. McSherry GD, Shapiro DE. Coombs RW. The Effect of Zidovudine in the subset of infants
infected with human immunodeficiency viru type -1 (Pediatric AIDS clinical trials group
protocol076). J Pediatr 1999;134:717-24.
5. Chalermchokcharoenkit A, Asavapiriyanont S, Teeraratkul A, Vanprapa N,
Chopitaysunondh T, Chaowanachan T, dkk. Combination short-course zidovudine plus 2-
dose nevirapine for prevention of mother-to-child transmission: Safety, tolerance,
th
transmission, and resistance results. 11 retrovirus and opportunistic infection conference
San Fransisco, February 2004 [Abstract]
6. The working group on antiretroviral and medical management of HIV-infected children
convened by the national pediatric and family HIV resources center, the health resouces
and services administration, the national institute of health. Recommendations for use of
antiretroviral drugs in pregnants HIV-infected women for maternal health and
intervention to reduce perinatal HIV-1 transmssion in United States. February 2005.
7. Kumpulan Materi presentasi. Lokakarya Peningkatan Kapasitas SDM fasilitator Program
Pnecegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Bandung, November 2009.

28
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN

Batasan
Purpura Henoch-Schonlein adalah kelainan inflamasi yang ditandai oleh vaskulitis
generalisata pada pembuluh darah kecil di kulit, saluran cerna, ginjal, sendi dan
meskipun jarang dapat di paru dan susunan saraf pusat. Purpura Henoch-Schonlein
merupakan vaskulitis yang paling sering ditemui pada anak-anak/ etiologinya belum
diketahui, diperkirakan beberapa faktor berperan, yaitu genetik, lingkungan dan
diperkirakan reaksi autoimun yang diperantarai Imunoglobulin A. kompleks antigen-
antibodi terdeposit di seluruh tubuh dan menjadi pencetus vaskulitis nekrotikans.
Tanda khas purpura ini adalah makula eritematosa, papul urtikaria, papul pruritik dan
plak. Papul ini mudah diraba. Umumnya muncul di bagian tubuh bawah, seperti
tungkai bawah, pantat dan perut bagian bawah. Pada anak kurang dari 2 tahun lesi
juga dapat ditemukan di ekstremitas atas, kepala dan tubuh. Lesi umumnya
kemudian menjadi berwarna keunguan.

Manifestasi Klinis
• Dapat dimulai dengan gejala prodromal demam, nyeri kepala dan anoreksia
• Kemudian muncul lesi kulit, nyeri perut, edema perifer, muntah, dan atau tanpa
disertai artritis
• Erupsi kulit akan berlangsung selama kira-kira 3 minggu
• Gejala saluran cerna dialami oleh 85% kasus, umumnya berupa nyeri perut kolik
• Artritis ditemukan pada 75% kasus
• Keterlibatan ginjal ditemukan pada 30-50% kasus dan dapat menetap hingga 6
bulan kemudian. Gejala yang muncul adalah hematuria ringan, proteinuri, oliguri
hingga gagal ginjal

Kriteria Diagnosis
• Lesi purpura yang dapat diraba dengan lokasi yang khas di kulit
• Manifestasi kelainan saluran cerna, ginjal dan sendi
• Tidak ada kelainan hematologik

Pemeriksaan Penunjang
• Tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik untuk Purpura Henoch-Schonlein
• Darah tepi lengkap dapat menunjukan leukositosis dengan eosinofilia dan
pergeseran hitung jenis ke kiri
• Trombositosis dijumpai pada 67% pasien
• Laju endap darah tidak selalu meningkat
• Urinalisis menunjukkan hematuria, kadang-kadang dapat dijumpai proteinuria

29
• Pemeriksaan feses menunjukan adanya pendarahan
• Ureum dan kreatin mungkin meningkat, yang menunjukkan menurunnya fungsi
ginjal

Tata Laksana
Pada dasarnya tidak ada pengobatan spesifik. Tindakan suportif diberikan sesuai
dengan kondisi klinis saat itu. Untuk keluhan artritis ringan dan demam dapat
digunakan parasetamol. Edema dapat diatasi dengan elevasi tungkai. Selama ada
keluhan muntah dan nyeri perut, diet diberikan dalam bentuk makanan lunak.
Kortikosteroid dipertimbangkan pada kondisi:
• Sindrom nefrotik persisten
• Badan kresen pada > 50% glomerulus
• Nyeri perut yang hebat
• Perdarahan saluran cerna
• Edema berat
• Keterlibatan sistem saraf pusat atau paru-paru
Lama pemberian kortikosteroid ini berbeda-beda. Faeda memakai metilprednisolon
250-750 mg intravena steroid per hari selama 3-7 hari dikombinasikan dengan
sikofosfamid 100-200 mg/hari untuk fase akut pada PHS yang berat. Dilanjutkan
dengan pemberian kortikosteroid dan siklofosfamid selama 30-75 hari selang sehari;
sebelum akhirnya siklofosfamid dihentikan langsung, dan tappering-off steroid
hingga 6 bulan.

Pencegahan dan Pendidikan


Prognosis umumnya baik, tetapi bila manifestasi awalnya berupa kelainan ginjal yang
berat, maka perlu dilakukan pemantauan fungsi ginjal setiap 6 bulan hingga 2 tahun
pasca-sakit. Kekambuhan terjadi dalam 6 minggu-7tahun sesudah penyakit inisial.
Oleh karena itu, pasien dianjurkan untuk follow-up rutin

Daftar Pustaka
1. Amitai Y, Gillis D, Wasserman D, Kochman RH. Henoch-Schonlein purpura in infants.
Pediatrics 1993;92:865-7.
2. Gardner-medwin JM, Dolezalova P, Cummins C, Southwood TR. Incidence of Henoch-
Schonlein purpura. Kawasaki disease, and rare vasculitides in children of different ethnic
origins. Lancet 2002; 360:1197-202.
3. Szer IS. Henoch Schonlein purpura. Curr Opin Rheumatol 1994;6:25-31.
4. Tizard EJ. Henoch-Schonlein purpura. Arch Dis Child 1999;80:380-3.
5. Cassidy, Petty. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-4. london; Churchill-
Livingstone; 2005.

30
ALERGI SUSU SAPI

Batasan
Alergi susu sapi adalah reaksi imunologis simpang terhadap protein susu sapi. Reaksi
ini dapat diperantai oleh IgE (awitan cepat) atau tidak diperantai IgE (awitan lambat).
Reaksi yang tidak diperantai IgE lebih sulit untuk dikenali
Angka kejadian dilaporkan berkisar antara 2-3%. Hampir 90% anak dengan alergi susu
sapi memiliki riwayat atopi pada keluarga.

Manifestasi Klinis
Etiologi dan patofisiologi alergi susu sapi belum terungkap secara sempurna, namun
diduga merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan yang
menyebabkan hilangnya toleransi oral sehingga terjadi kondisi hiperresponsivitas
sistem imun.
Alergi susu sapi dapat bermanifestasi pada pelbagai organ, seperti kulit, saluran
cerna, atau saluran pernapasan dan dapat pula menimbulkan manifestasi sistemik.
Namun pada tahun pertama kehidupan, manifestasi yang paling sering timbul adalah
gejala saluran cerna (muntah , diare, refluks gastroesofageal, konstipasi)dan
dermatitis atopik.
Pada anamnesis perlu ditanyakan:
 Riwayat konsumsi priduk susu sapi dan hubungannya dengan awitan gejala
 Riwayat atopi pada pasien atau keluarga
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya kelainan kulit berupa kulit kering,
urtikaria, dermatitis atopik. Pada anak dengan manifestasi saluran cerna, dapat
ditemukan tanda dehidrasi, anemia,dan gagal tumbuh. Stigmata alergi seperti allergic
Schiner’s nasal crease, geographic tongue, dan mengi juga dapat ditemukan

Pemeriksaan Penunjang
 IgE CAP RAST susu sapi. Nilai 0,35 IU dinyatakan positif. Pemeriksaan ini dapat
memberikan hasil negatif pada alegi susu sapi yang tidak diperantai oleh IgE
 Tes kulit: skin prick, patch test
 Uji eliminasi-provokasi yang merupakan baku emas diagnostik

Tata Laksana
Tata laksana utama adalah dengan eliminasi produk susu sapi dari diet bayi/anak. Hal
ini dapat dilakukan dengan eliminasi susu sapi dari diet ibu menyusui, pemberian
formula hidrolisat ekstensif atau asam amino. Formula kedelai dapat dicoba sebagai
alternatif untuk pasien yang terbukti tidak memiliki alergi kedelai. Pemberian
makanan padat sebaiknya ditunda sampai usia 6 bulan.

31
Prognosis
Lima puluh persen anak akan menjadi toleran pada usia 1 tahun, 70% pada usia 2
tahun dan 90 % pada usia 5 tahun

Pencegahan
Pemberian ASI eksklusif terbukti dapat mengurangi kejadian alergi. Bila pemberian
ASI tidak memungkinkan , dapat diberikan formula hipoalergenik (hidrolisat parsial)
pada bayi-bayi dengan riwayat atopi pada keluarga

Daftar Pustaka
1. Host A, Halken S, Jacobsein HP. Clinical course of cow’s milk protein allergy/intolerance
and atopic diseases in childhood. Pediatr Allergy Immunol 2002;13:23-8.
2. Iacono G, Cavataio F, Montalto G. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in
children. N Engl J Med 1998;339:1100-4.
3. Leung AK. Food allergy; A clinical approach. Adv Pediatr 1998;45:145-77.
4. Novembre E, Vierucci A: Milk allergy/intolerance and atopic dermatitis in infancy and
childhood. Allergy 2001;56:105-8.
5. Sondheimer JM. Cow’s milk protein intolerance. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ,
Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric diagnosis and teratment. Edisi ke-15. new
York: Mc-Graw hill; 2001. h. 560-1.
6. Sampson HA, Leung DYM. Adverse reactions to food. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting/ nelson textbook of pediatrics. Philadelphia: WB Saunders; 2004.
h.789-792.

32
ALERGI MAKANAN

Batasan
Reaksi simpang terhadap makanan sering ditemukan pada anak, terutama pada 3
tahun pertama kehidupan. Prevalensi alergi makanan ditemukan pada 33 %
penderita dermatitis atopic dan 16% penderita asma. Makanan yang menjadi
allergen yang banyak dilaporkan di Negara maju adalah telur, susu sapi, kacang
tanah, gandum, dan soya. Pada anak besar ikan, kerang, dan kacang-kacangan
merupakan penyebab alergi seumur hidup. Alergi makanan bermanifestasi dengan
menginduksi reaksi hipersensitivitas yang utamanya diperantai oleh IgE. Reaksi ini
harus dibedakan dengan reaksi toksik terhadap makanan ataupun intoleransi karena
defisiensi enzim.

Manifestasi Klinik
Kebanyakan reaksi alergi timbul dalam beberapa menit hingga 2 jam setelah menelan
makanan yang dicurigai. Waktu antara makan dan timbulnya gejala serta lamanya
gejala berlangsung sangat penting dalam prosedur diagnostik alergi makanan.
Pada kelainan kronik seperti urtikaria kronik atau dermatitis atopik lebih sulit
menentukan apakah pencetusnya makanan. Analisis diet dan gejala alergi yang
dipantau selama 7-14 hari dapat menentukan hubungan antara makan makanan
yang dicurigai dengan gejala, juga sebagai data dasar untuk pola ekspresi gejala.
Manifestasi klinik yang sering ditemukan adalah urtikaria, muka merah,
angiodema muka, dan gatal di mulut dan palatum. Pada kasus yang berat terjadi
angiodema pada lidah, uvula, faring, atau saluran napas atas dapat terjadi. Urtikaria
kontak dapat terjadi tanpa disertai gejala sistemik. Gejala saluran cerna meliputi
nyeri perut, mual, muntah, dan diare. Pada anak-anak mungkin ditemukan gejala
rhinitis dan mengi. Reaksi anafilaktoid dapat terjadi setelah makan ikan yang
mengandung tinggi histamin

Pemeriksaan Laboratorium
Baku emas alergi makanan adalah DBPCFC (double blind placebo control food
challenge). Meskipun tanpa pembanding placebo, sebanyak 50% diagnosis alergi
makanan dapat ditegakkan
Uji tusuk kulit berguna untuk menyingkirkan allergen tertentu karena nilai prediksi
negative cukup tinggi bila allergen yang digunakan sangat baik (SPT atau prick to
prick). Nilai prediksi positif paling tinggi hanya 50%. Uji diagnostic in vitro tidak
spesifik dan memiliki nilai prediksi positif rendah, kecuali dengan ELISA CAP (Enzyme-
Linked Immunosorbent Assay tests Polystyrene Cellulose foam Enzyme/absorbance/
Pharmacia) yang sebanding dengan uji kulit tusuk untuk allergen telur, susu sapi,
kacang tanah, dan ikan.
33
Diagnosis Banding
Muntah berulang pada bayi: stenosis pylorus atau refluks gastrosofageal. Gejala
saluran cerna kronik : defisiensi enzim, fibrosis kistik, penyakit seliak, infeksi
intestinal, malformasi gastrointestinal, dan irritable bowel syndrome (IBS ) pada anak
besar.

Tata Laksana
• Eliminasi dan penghindaran jenis makanan yang telah dibuktikan menjadi
penyebab alergi
• Pendidikan pada orangtua atau pasien mengenai hidden food allergens dengan
cara mengajarkan membaca label makanan
• Pendidikan mengenai pengenalan gejala dan cara menanggulanginya
• Konsultasi dengan ahli gizi bila harus dilakukan eliminasi salah satu bahan
makanan

Daftar Pustaka
1. Hill DJ. The Natural history of intolerance to soy and extensivele hydrolised formula in
infants with multiple food protein intolerance. J Pediatr 1999;135:118.
2. Sampson HA, Ho DG. Relationship between food-specific IgE concentration and the risk of
positive food challenges in children and adolescents. J Allery Clin Immunol 1997;139;100-
444.
3. Steinman HA. Hidden allergens in food. J Allergy Clin Immunol 1996;98:241.
4. Zeiger RS, Heller S. the development and prediction of atopy in high-risk children. Follow-
up at age seven years in prospective randomized study of combined maternal and infant
food allergen avoidance. J Allergy Clin Immunol 1995;95:1179.
5. Leung AK. Food allergy: a clinical approach. Adv Pediar 1998;45:145-77.

34
ALERGI OBAT

Batasan
Reaksi terhadap obat mencakupi semua reaksi tubuh terhadap obat, tanpa
memperhitungkan mekanisme dasarnya. Hipersensitifitas terhadap obat diartikan
sebagai respon imun terhadap obat pada orang yang sudah tersensitisasi
sebelumnya. Sedangkan alergi obat adalah reaksi Imunologis dengan gejala klinis
akibat reaksi imun yang dimediasi oleh IgE.
Reaksi terhadap obat dapat diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya mekanisme
imunologik. Mayoritas (75-80%) reaksi obat disebabkan mekanisme non-imunologik
yang dapat diprediksi, yaitu berdasarkan efek samping yang sudah diketahui atau
efek farmakokinetik (Tabel 1). Sisanya (20-25%) adalah reaksi obat akibat mekanisme
imunologik yang kadang tidak dapat diprediksi. Yang berdasarkan reaksi
hipersensitivitas tipe I (IgE terlibat), hanya 5-10% dari seluruh reaksi akibat obat.

Tabel 1. Klasifikasi hipersensitivitas obat menurut Gell dan Coombs

Reaksi Mekanisme Gambaran Klinis Onset Gejala


imunologis
Tipe I (IgE- Kompleks obat-IgE Urtikaria, angiodema, Menit-jam pasca
Mediated) akan berikatan spasme bronkus, paparan
dengan sel mast, pruritus inflamasi,
dengan granulasi muntah, diare, dan
histamin, dan anafilaksis
berbagai mediator
Tipe II Antibodi spesifik IgG Anemia hemolitik, Bervariasi
(sitotoksik) / IgM neutropenia,
trombositopenia
Tipe III Deposisi jaringan Serum sickness, 1-3 minggu sesudah
(komplesimun) kompleks obat- demam, ruam, paparan obat
antibodi diikuti artralgia,
aktiasi komplemen limfadenopati,
dan inflamasi urtikaria,
glomerulonefritis,
vaskulitis
Tipe IV Presentasi MHC yang Dermatitis kontak 2-7 hari sesudah
(delayed, cell- membawa molekul alergik, ruam obat paparan obat kulit
mediated) obat ke sel T makulopapular*
menyebabkan
dikeluarkannya
sitokin dan mediator
pro inflamasi

35
MHC = major histocompatibility complex.
*Diduga reaksi tipe IV, mekanisme belum sepenuhnya dipahami

Tabel 2. Reaksi obat imunologik dan non-imunologik

Tipe Contoh
Imunologik
Reaksi tipe I (IgE-mediated) Anafilaksis terhadap antibiotik b-lactam
Reaksi tipe II (sitotoksik) Anemia hemolitik akibat penisilin
Reaksi tipe III (komples imun) Serum sickness akibat anti-thymocyle
globulin
Reaksi tipe IV (delayed, cell-mediated) Dermatitis kontak akibat antihistamin
topikal
Aktivasi sel-T spesifik Ruam morbiliformis akibat sulfonamid
Fas / Fas ligand-induced apoptosis Sindrom Stevens-Johnson
Toxic epidermal necrolysis
Lain-lain Drug-induced, lupus-like syndrome,
anticonvulsant hypersensitivity syndrome
Non-imunologik
Dapat diperkirakan
Efek samping farmakologis Mulut kering pada pemakaian antihistamin
Efek samping farmakologis sekunder Oral thrush saat meminum antibiotik
Toksisitas obat Hepatotoksisitas metotreksat
Interaksi obat Kejang akibat teofilin saat meminum
eritromisin
Overdosis obat Kejang akibat lidocaine (Xylocaine) yang
berlebihan
Tidak dapat diperkirakan
Pseudoalergik Reaksi anafilaktoid sesudah pemberian
radiocontrast media
Idiosinkrasi Anemia hemolitik pada pasien yang
memiliki defisiensi glucose-6-phosphate
dehydrogenase (G6PD) setelah diterapi
primaquine
Intoleransi Tinnitus setelah minum aspirin, tunggal,
dosis biasa

Manifestasi Klinis
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat harus dipikirkan pada pasien yang datang
dengan gejala alergi yang umum seperti anafilaksis, urtikaria, asma, serum sickness-
like symptoms, ruam kulit, demam, infiltrat paru dengan eosinofilia, hepatitis, nefritis
interstitial akut, dan lupus-like syndromes.

36
Anamnesis
Ditanyakan seluruh obat yang diresepkan maupun obat bebas yang diminum dalam 1
bulan terakhir, termasuk tanggal pemberiam dan dosis, karena hubungan waktu
pemberian obat dan onset gejala klinis adalah penting. Onset gejala jarang yang
kurang dari 1 minggu atau lebih dari 1 bulan, kecuali bila pasien sudah tersensitisasi
sebelumnya. Selain itu ditanyakan kepada pasien, obat yang pernah didapat selama
ini dan reaksi terhadap pengobatan tersebut.

Pemeriksaan Fisik
 Evaluasi tanda dan gejala reaksi tipe cepat, karena reaksi tipe cepat ini merupakan
kondisi yang mengancam jiwa.
 Tanda bahaya yang penting adalah ancaman syok kardiovaskular; termasuk
urtikaria, edema jalan napas atas atau laring, suara napas mengi dan hipotensi
 Tanda yang menunjukan reaksi simpang yang hebat termasuk demam, lesi
membran mukosa, limfadenopati, nyeri dan bengkak sendi, atau pemeriksaan
paru abnormal
 Pemeriksaan kulit yang teliti diperlukan karena kulit adalah organ yang paling
sering terkena efek simpang obat

Tabel 3. Gejala pada kulit

Tipe lesi kulit Mekanisme imun


Erupsi eksantem atau morbiliformis yang Ruam obat klasik; sering terjadi
berawal di bagian tengah badan
Urtikaria Stimulasi langsung terhadap sel mast atau
melalui perantaraan IgE
Purpura Vaskulits atau trombositopenia diinduksi
obat
Lesi makulopapular yang timbul pada jari Serum sickness
tangan dan kaki, serta telapak kaki
Lesi vesikular termasuk di mukosa Sindrom Steven Johnson atau Toxic
Epidermal Necrolysis
Ruam eksematosa pada daerah tubuh yang Reaksi fotoalergik
terbuka
Lesi menimbul eritematosa yang berbatas Fixed drug eruption
tegas, keunguan
Lesi papulovesikular diserati krusta Dermatitis kontak

37
Faktor risiko
• Reaksi simpang obat timbul umumnya pada usia muda dan lanjut usia, lebih
sering pada perempuan.
• Faktor genetik dan predisposisi familial telah dilaporkan (HLA-DQw2 dengan
aspirin, HLAB7DR2, DR3 dengan insulin)
• Infeksi HIV
• Peran riwayat atopi kontroversial (penting pada media radiokontras, tidak
penting pada penisilin)
• Ukuran makromolekular obat, bivalensi, kemampuan menjadi hapten
• Rute pemberian (sering timbul pada pemberian lokal/topikal, jarang pada
parenteral, paling jarang pada oral) Pemberian intravena sering menimbulkan
reaksi hebat
• Pemakaian obat β-blocker dapat menginhibisi kerja adrenalin pada reaksi
anafilaksis
• Asma dapat memperberat reaksi simpang obat

Kriteria Diagnosis
Diagnosis hipersensitivitas obat didasarkan pada penelitian klinis karena uji spesifik
obat konfirmasi sering sulit dilakukan . kriteria reaksi hipersensitivitas obat adalah:
• Gejala pada pasien konsisten dengan reaksi imunologi obat
• Pasien mendapat obat yang diketahui dapat menimbulkan gejala tersebut
• Waktu antara pemberian obat dan munculnya gejala konsisten dengan reaksi
terhadap obat.
• Penyebab lain gambaran klinis ini sudah disingkirkan
• Data laboratorium menunjang mekanisme imunologik yang dapat menimbulkan
reaksi obat (tidak selalu dapat dilakukan)

Pemeriksaan Penunjang
Tujuan uji diagnostik adalah untuk memeriksa petanda biokimiawi atau imunologik
yang dapat memastikan aktivasi jalur imunopatologik tertentu sehingga dapat
menjelaskan efek simpang obat yang dicurigai. Uji laboratorium pemilihannya
berdasarkan mekanisme patologik yang dicurigakan.

Tabel 4. Diagnostik dan terapi untuk hipersensitivitas obat

Reaksi imun Uji laboratorium Kemungkinan terapi


Tipe I (IgE-mediated) Uji kulit Hentikan obat yang
RAST dicurigai. Pertimbangkan
Triptase serum (penelitian) epinefrin, antihistamin,
kortikosteroid sistemik
bronkodilator.

38
Dirawat jika berat
Tipe II (Sitotoksik) Uji Coombs langsung dan Hentikan obat yang
tidak langsung dicurigai. Pertimbangkan
kortikosteroid sistemik.
Transfusi pada kasus yang
berat
Tipe III (kompleks imun) LED, C-reactive protein Hentikan obat yang
(CRP). Komplemen ANA, dicurigai. Pertimbangkan
antibodi antihistone. Biopsi NSAID, antihistamin, atau
jaringan untuk pemeriksaan kortikosteroid sistemik; atau
immunoflupresensi plasmaferesis jikar berat
Tipe IV (delayed, cell- Uji Patch (tempel) Hentikan obat yang
medited) Lymphocyte proferation dicurigai. Pertimbangkan
assay* (penelitian) kortikosteroid topikal,
antihistamin, atau
kortikosteroid sistemik jika
berat.
RAST = radioallergosorbent test; LED=laju endap darah; NSAIDs = nonsteroidal anti-
inflammatory drugs

Tata Laksana
 Penghentian obat yang dicurigai
 Digunakan obat pengganti yang memiliki struktur kimia berbeda
 Terapi suportif dan simptomatik
 Kortikosteroid sistemik masih kontroversial, tetapi pada kasus yang berat dapat
membantu
 Sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis mungkin memerlukan
perawatan di ruang rawat intensif

Pencegahan dan Pendidikan


Setelah diagnosis ditegakkan, pendokumentasian yang akurat di rekam medis
diperlukan untuk mencegah paparan yang tidak perlu. Reaksi non-imun cenderung
tidak berat dan tidak selalu akan berulang. Obat yang dicurigai dapat saja terus
dipakai bila risiko tidak memberi obat akan menyebabkan penyakit makin berat, atau
tidak ada obat lain. Pasien perlu dibekali daftar obat penyebab dan alternatif
penggantinya untuk identitas setiap kali memerlukan obat.

39
Daftar Pustaka
1. Executive summary of disease management of drug hypersensitivity: a practice
parameter. Joint task force on practice parameters, the American academy of allergy,
asthma and immunology, and the joint council of allergy, asthma and immunology. Ann
Allergy Asthma Immunol 1999;83:665-700.
2. DeShazo RD, Kemp SF. Allergic reactions to drugs and biologic agents. JAMA
1997;278:1895-906.
3. Anderson JA, Adkinson NF Jr. Allergic reactions to drugs and biologic agents. JAMA
1987;258:2891-9.
4. Bayard PJ, Berger TG, Jacobson MA. Drug hypersensitivity reactions and human
immunodeficiency virus disease. J Acquir Immune Defic Syndr 1992;5:1237-57.
5. Adkinson NF Jr. Risk factors for drug allergy Clin Immunol 1984;74:567-72.
6. Sogn DD, Evans R, Shepherd GM, Casale TB, Condemi J, Greenberger PA, dkk
Results of the national institute of allergy and infectious disease collaborative clinical trial
to test the predictive value of skin testing with major and minor penicilin derivatives in
hospitalized adults. Arch Intern Med 1992;152:1025-32.
7. Pumphrey RS, Davis S. Under-reporting of antibiotic anaphylaxis may put patients at risk.
Lancet 1999; 353:1157-8.
8. Kelkar PS, Li JT. Cehalosporin allergy. N Engl J Med 2001;345:804-9.

40
ANAFILAKSIS

Batasan
Anafilaksis adalah sindrom klinis yang mengancam jiwa . anafilaksis terjadi akibat
sejumlah besar mediator inflamasi dilepaskan dari sel mast dn basofil sesudah
paparan pada alergen pada individu yang sudah tersensitisasi sebelumnya. Reaksi
anafilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis tetapi tidak diperantarai oleh IgE,
mungkin oleh anafilaktosin seprti C3a dan C5a atau bahan yang mampu menginduksi
degranulasi sel mast tanpa melalui reaksi imunologis
Penyebab reaksi anafilaksis adalah:
• Obat (antibiotik, bahan anestetikum)
• Makanan (kacang tanah, kacang pohon , kerang dan lain-lain)
• Bahan bilogis (latex, insulin, ekstrak alergen, antiserum, produk darah, enzim)
• Gigitan serangga
Penyebab reaksi anafilaktoid:
• Bahan media radiokontras
• Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid lain
• Bahan anestetikum

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Gejala dan tanda bergantung pada organ yang terkena. Awitan umumnya dalam
beberapa menit sesudah paparan, dapat sangat singkat, bertahan lama atau bifasik,
rekurensi terjadi beberapa jam setalahnya meskipun sudah dengan pengobatan
Keluhan pasien adalah gatal seluruh badan atau merasa gelisah
Gejala kulit termasuk eritema, urtikaria, dan angioderma
Gejala saluran napas adalah napas tersumbat, atau sesak, disertai mata berair,
rinore, bersin dan hidung tersumbat. Dapat ditemukan edema uvula, suara parau,
disfonia, stridor, takipneu, dan mengi.
Gejala kardiovaskular termasuk takikardia, aritmia, hipotensi dan pingsan.
Pasien mungkin mengeluh mual, nyeri perut kram, disertai muntah dan diare.
Dapat timbul kejang.
Gambaran yang mengancam jiwa adalah syok, edema jalan napas atas, dan obstruksi
bronkial.

Laboratorium
 Serum triptase meningkat
 Gambaran hemokonsentrasi pada darah tepi
 Bila ada keterlibatan miokardium terdapat peningkatan kadar serum kreatin
kinase, aspartat aminotransferase, dan laktat dehidrogenase
 Analisis gas dara menunjukkan hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis
41
Tata Laksana
• Perawatan umum:
Bila mungkin hentikan paparan, jalan napas harus dijamin terbuka, nadi dan
tekanan darah dipantau. Pasien dibaringkan dengan tungkai ditinggikan. Oksigen
diberikan dengan sungkup atau kanul hidung dengan pemantauan kadar oksigen.
Bila penyebabnya adalah suntikan atau gigitan binatan di ekstremitas, dilakukan
pemasangan torniket proksimal terhadap lokasi, dan torniket dibuka setiap 10-15
menit. Semua perawatan umum harus diberikan secara SIMULTAN dengan
Epinefrin.
• Epinefrin
Epinefrin konsentrasi 1:1000 dengan dosis 0,01 mg/kg BB, intramuskuler, paling
ideal di anterolateral paha, maksimal 0,3 mg per kali disuntikkan . Dosis yang
sama dapat diulangi dengan jarak 15-20 menit sampai 2-3 kali
• Antihistamin
Difenhidramin 1-2 mg/kg maksimal 50 mg dapat disuntikkan intramuskular atau
intravena. Bila diberikan intravena maka harus diberikan secara infus selama 5-10
menit untuk menghindari hipotensi. Bila ada hipotensi, penambahan ranitidin 1
mg/kg maksimal 50 mg intravena memberi efek lebih baik daripada difenhidramin
saja.
• Cairan
Hipotensi persisten perlu diatasi dengan perbaikan cairan intravaskular dengan
infus kristaloid 20-30 ml/kg dalam 1 jam pertama.
• Bronkodilator
Inhalasi β2-agonis seperti salbutamol atau albuterol berguna untuk mengatasi
bronkokonstriksi
• Kortikosteroid
Bila diberikan segera setelah kegawatan teratasi dapat mencegah anafilaksis
bifasik. Metilprednisolon dosis 1-2 mg/kg diberikan secara intravena setiap 4-6
jam
• Vasopresor
Bila hipotensi berlanjut perlu diberikan dopamin atau epinefrin
• Observasi
Pasien yang anafilaksisnya sudah teratasi harus dipantau untuk mengawasi
kemungkinan anafilaksis bifasik.

Pencegahan
 Bahan yang menyebabkan anafilaksis wajib dihindari.
 Bila penyebabnya aktivitas, bila berolahraga harus ada pendamping
 Pasien yang mengalami syok anafilaksis idiopatik lebih baik diterapi dengan
kortikosteroid.

42
Daftar Pustaka
1. Boguniewics M, Leung DYM. Allergic disorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ,
Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric diagnosis and treatment. Edisi ke-15.
Toronto; McGraw-Hill:2001. h. 939-64.

43

Anda mungkin juga menyukai