Anda di halaman 1dari 15

Dermatitis Atopik Roykedona Lisa Triksi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta

Pendahuluan Dermatitis adalah penyakit kulit gatal-gatal, kering, dan kemerahan. Dematitis juga dapat didefinisikan sebagai peradangan pada kulit, baik karena kontak langsung dengan zat kimia yang mengakibatkan iritasi, atau reaksi alergi. Dengan kata lain, dermatitis adalah jenis alergi kulit. Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Pada 70% kasus dermatitis atopik umumnya dimulai saat anak-anak dibawah 5 tahun dan 10% saat remaja / dewasa. Tipe dermatitis yang sering terjadi pada anak-anak yaitu dermatitis atopik yang meruapakan suatu gejala eksim terutama timbul pada masa kanak-kanak. Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya. Sesuai dengan skenario, seorang seorang laki-laki 10 tahun datang ke poliklinik dengan beruntus bersisik kemerahan yang terasa gatal pada badan serta kedua tungkai atas dan bawah sejak 2 minggu lalu, kulit juga terlihat sangat kering dan kelainan sudah timbul sejak bayi. Maka dari itu, untuk mengetahui secara lengkap dan jelas, penulis akan membahas tentang dermatitis mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis dan lain sebagainya.

Alamat korespondensi: Roykedona Lisa Triksi (102011207) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email : roykedona@gmail.com
1

Anamnesis Menanyakan riwayat penyakit disebut Anamnesa. Anamnesa berarti tahu lagi, kenangan. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter, peminta bantuan dan pemberi bantuan. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan yang berkaitan dengan penyakitnya dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis. Mencatat (merekam) riwayat penyakit, sejak gejala pertama dan kemudian perkembangan gejala serta keluhan, sangatlah penting. Perjalanan penyakit hampir selalu khas untuk penyakit bersangkutan.1 Selain itu tujuan melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik adalah mengembangkan pemahaman mengenai masalah medis pasien dan membuat diagnosis banding. Selain itu, proses ini juga memungkinkan dokter untuk mengenal pasiennya, juga sebaliknya, serta memahami masalah medis dalam konteks kepribadian dan latar belakang sosial pasien. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas (mencakup nama, alamat, pekerjaan, keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, kondisi lingkungan tempat tinggalnya, apakah bersih atau kotor, dirumahnya terdapat berapa orang yang tinggal bersamanya, yang memungkinkan dokter untuk mengetahui apakah penyakitnya tersebut merupakan penyakit bawaan atau ia tertular penyakit tersebut. Anamnesis yang dapat dilakukan pada pasien di skenario adalah sebagai berikut: 1. Anamnesa Umum Nama, umur, alamat, pekerjaan (bisa secara alloanamnesis).

2. Keluhan Utama Beruntus bersisik kemerahan yang terasa gatal pada badan serta kedua tungkai atas dan bawah sejak 2 minggu lalu. Pelengkap: Kulit terlihat sangat kering dan kelainan sudah timbul sejak bayi.

3. Riwayat Penyakit Sekarang Apakah sedang mengalami suatu penyakit tertentu atau tidak

4. Riwayat Penyakit Dahulu Sebaiknya, ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama seperti sekarang sudah timbul sejak bayi. 5. Riwayat Penyakit Keluarga Apakah di keluarganya pernah ada yang mengalami hal yang sama

6. Riwayat Pengobatan
2

Sudah mengkonsumsi obat apa saja, atau sudah mendapat pengobatan apa dan apakah keadaan membaik atau tidak.

Pemeriksaan Diagnosis suatu penyakit dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemukan pada pemeriksaan fisik, terutama sekali bagi penyakit yang memiliki gejala klinik spesifik. Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan fisik namun, bagi penyakit yang tidak memiliki gejala klinik khas, untuk menegakkan diagnosisnya kadang-kadang diperlukan pemeriksaan laboratorium (diagnosis laboratorium). 1. Pemeriksaan Fisik Dari pemeriksaan umum dan fisik sering didapat keterangan keterangan yang menuju ke arah tertentu dalam usaha membuat diagnosis. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dermatitis atopik dilakukan pemeriksaan kulit yang dibagi menjadi dua berdasarkan : 1. Lokalisasi: 2 a. Bayi : kedua pipi, kepala, badan, serta ekstremitas terutama bagian ekstensor. b. Anak : tengkuk, lipat siku, lipat lutut, leher, pergelangan tangan serta bagian flexor. c. Dewasa : tengkuk, lipat lutut, lipat siku, leher dan dapat mengenai kelopak mata. 2. Effloresensi dan sifatnya: 2 a. Bayi : eritema berbatas tegas, papupa dan vesikula milier drisertai erosi dan eksudasi serta krusta b. Anak ; papula-paula millier, likenifikasi, sedikit skuama, kulit kering dan tidak eksudatif c. Dewasa : biasanya hiperpigmentasi, kering dan terdapat likenifikasi Pada pemeriksaan fisik pasien didapat adalah terdapat bercak dan beruntus yang terasa gatal pada badan, kedua tungkai atas dan bawah serta kulit tampak bersisik kemerahan dan kering. 2. Pemeriksaan Penunjang
3

Kegunaan dari pemeriksaan penunjang adalah untuk keakuratan diagnosis suatu penyakit. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan : IgE serum IgE serum dapat diperiksa dengan metode ELISA. Ditemukan 80% pada penderita dermatitis atopik menunjukkan peningkatan kadar IgE dalam serum terutama bila disertai gejala atopi ( alergi ). Eosinofil. Kadar serum dapat ditemukan dalam serum penderita dermatitis atopik. Sel T Limfosit T di daerah tepi pada penderita dermatitis atopik mempunyai jumlah absolut yang normal atau berkurang. Dapat diperiksa dengan pemeriksaan imunofluouresensi terlihat aktifitas sel T-helper menyebabkan pelepasan sitokin yang berperan pada patogenesis dermatitis atopik. Dermatografisme Putih Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan 3 respon, yakni : akan tampak garis merah di lokasi penggoresan selama 15 menit, selanjutnya mennyebar ke daerah sekitar, kemudian timbul edema setelah beberapa menit. Namun, pada penderita atopik bereaksi lain, garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi timbul kepucatan dan tidak timbul edema. Percobaan Asetilkolin Suntikan secara intrakutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan hiperemia pada orang normal. Pada orang Dermatitis Atopik. akan timbul vasokontriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam. Percobaan Histamin Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita Dermatitis Atopik. eritema akan berkurang, jika disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit yang normal. Diagnosis Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk menangani suatu penyakit. Proses diagnosa adalah proses yang dilakukan seorang ahli kesehatan untuk menentukan jenis penyakit yang diderita oleh pasien, kemudian menentukan diagnosis

penyakit pasien tersebut sehingga dapat memberi pengobatan yang tepat dengan jenis penyakit (etiologik) maupun gejalanya (simptomatik).3 Diagnosa dilakukan berdasarkan prinsip bahwa suatu penyakit dapat dikenali dengan memperhatikan ciri gejala klinis pada tubuh pasien yang ditimbulkan penyakit tersebut. Keadaan penyakit yang diderita dapat juga di ukur dengan memperhatikan gejala klinis. Semua gejala yang teramati kemudian dibandingkan dengan pengetahuan menenai penyakit dan ciri-cirinya yang dimiliki ahli tersebut, bila terdapat kecocokan maka ahli tersebut dapat menentukan jenis penyakitnya.3 I. Differential Diagnosis Differential diagnosis atau diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang dilakukan dengan membanding-bandingkan tanda klinis suatu penyakit dengan tanda klinis penyakit lain. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami pasien, pasien bias dicurigai menderita beberapa penyakit seperti: a. Dermatitis Kontak Dermatitis kontak adalah respon peradangan kulit akut atau kronik terhadap paparan bahan iritan eksternal yang mengenai kulit.4 Dermatitis kontak terbagi 2 yaitu : i. Dermatitis kontak iritan (mekanisme non imunologik) Dermatitis kontak alergik (mekanisme imunologik spesifik)

Dermatitis Kontak Iritan Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria dan komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik akan membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari komplemen dan system kinin.5 Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator-mediator. Sehingga perbedaan mekanismenya dengan dermatis kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi. Ada dua jenis bahan iritan yaitu:4

1) Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang. 2) Iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan,

gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut. ii. Dermatitis Kontak Alergi Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu : 1) Fase Sensitisasi Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal).5 Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3.

Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk primed memory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.5 2) Fase elisitasi Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular
6

adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.5 Perbedaan Dermatitis kontak iritan dan kontak alergik: No. 1. 2. 3. 4. Penyebab Permulaan Penderita Lesi Dermatitis kontak iritan Iritan primer Pada kontak pertama Semua orang Batas lebih jelas Eritema sangat jelas 5. Uji Tempel Sesudah ditempel 24 jam, bila iritan diangkat reaksi akan segera Dermatitis kontak alergik Alergen kontak S.sensitizer Pada kontak ulang Hanya orang yang alergik Batas tidak begitu jelas Eritema kurang jelas Bila sesudah 24 jam bahan allergen diangkat, reaksi menetap atau meluas berhenti

b. Dermatitis Numularis Dermatitis numularis adalah dermatitis dengan lesi-lesi khas berbentuk bulat nummular (seperti koin), berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah (mandidans). Stafilokokus aureus, stress emosi, trauma local baik fisik/kimiawi, kulit penderita yang cenderung kering diduga berpengaruh munculnya dermatitis numularis. Dermatitis numularis ini biasanya perkembangan / manifestasi dari dermatitis atopik yang terjadi pada bayi dan anak di bawah 10 tahun, namun pada orang dewasa tidak berhubungan dengan gangguan atopi. Gejala klinis secara subyektif sangatlah gatal sedangkan secara obyektif dermatitis sebesar uang logam, terdiri atas eritem, edema, kadang-kadang ada

vesikel, krusta atau papul. Lokasi terkena ialah ekstensor ekstremitas terutama tungkai bawa, bahu dan bokong.

II.

Work Diagnosis Work Diagnosis atau diagnosis kerja merupakan suatu kesimpulan berupa hipotesis tentang kemungkinan penyakit yang ada pada pasien. Setiap diagnosis kerja haruslah diiringi dengan diagnosis banding.6 Berdasarkan gejala-gejala yang timbul dapat diduga kalau pasien anak laki-laki tersebut menderita Dermatitis Atopik. Dermatitis Atopik merupakan keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita.

Etiologi Penyebab DA belum diketahui, terdapat 2 teori yang menjelaskan etiologi DA. Teori pertama menyatakan DA merupakan akibat defisiensi imunologik yang didasarkan pada kadar Imunoglobulin E (Ig E) yang meningkat dan indikasi sel T yang berfungsi kurang baik. Sedangkan teori kedua menyatakan adanya blokade reseptor beta adrenegik pada kulit. Namun, kedua teori tersebut tidak adekuat untuk menjelaskan semua aspek penyakit DA.7 Epidemiologi Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk menginpretasi hasil penelitian epidemiologik harus berhati-hati. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain, pravelensi Dermatitis Atopik pada anak mencapai 10-20%, sedangkan pada dewasa kira-kira 1-3%. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, pravelensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita DA, daripada pria dengan rasio 1,3:1.8 DA cenderung diturunkan. Lebih lagi dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah satu orangtua menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun dan akan meningkat sampai 79% bila kedua orangtua menderita atopi. Resiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila

DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka resiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.8 Patofisiologi Sampai saat ini patologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis DA tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik.8

Multifaktor: DA mempunyai penyebab multi faktorial antara lain faktor genetik,

emosi, trauma, keringat, imunologik.

Respon Imun Sistemik: Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen

yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE.

Imunopatologi Kulit: Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T

ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinocyte diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment.

Respon imun kulit: Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi

dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-

4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil.

Genetik: Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33,

kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Resiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86% Faktor non imunologis: faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal.8 Manifestasi Klinik Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat, jaritangan teraba dingin. Penderita dermatitis atopik cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan. Gejala klinis yang spesifik yaitu rasa gatal yang khas dengan predileksi yang khas, berlangsung kronis dan residif. penderita dermatitis atopik mempunyai tingkat ambang rasa gatal yang rendah, gatal dapat hilang timbulsepanjang hari tetapi umunya lebih hebat pada malam hari serta adanya stigmataatopik pada pasien maupun keluarga yang lain.Tempat predileksi adalah hal yang paling penting untuk diketahui dari pasien dermatitis atopik. Manifestasi klinis dermatitis atopik berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga saat dewasa. Pada setiap anak didapatkan derajat keparahan yang bervariasi, tetapi secara umum merekamengalami pola distribusi lesi yang serupa.9 Dermatitis atopik dikelompokkan dalam 3 fase yaitu:8 Dermatitis atopik infantile ( 2 bulan-2 tahun) Biasanya timbul pada usia 2 bulan sampai usia 2 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada usia 2-3 minggu. Bentuk yang paling sering adalah bentuk basah. Mulamula berupa papula milier kemudian timbul eritem, papulovesikel yang bila pecah
10

akan menimbulkan erosi dan eksudasi. Biasanya terjadi pada muka terutama pipi, dapat meluas ke dahi, kulit kepala, leher, pergelangan tangan, ekstremitas bagian ekstensor dan bokong. Bentuk lain yang jarang terjadi adalah bentuk kering. Kelainan dapat berupa papula kecil, skuama halus, likenifikasi dan erosi. Biasanya terjadi pada anak yang lebih besar. Eksaserbasi bisa terjadi karena tindakan vaksinasi, makanan, bulu binatang atau perubahan suhu. Dermatitis atopik fase anak (3-10 tahun) Kelainan dapat berupa papula, likenifikasi, skuama, erosi dan krusta. Biasanya terjadi pada fossa poplitea, antekubiti, pergelangan tangan, muka dan leher. Eksaserbasi tipe anak lebih sering karena iritasi dan kadang-kadang karena makanan. Stigmata Atopik pada anak : 1. Temperamen, anak tak pernah diam, iritabel dan agresif. 2. Lipatan bawah mata ( tanda Dennie-Morgan ). 3. Penipisan alis bagian lateral ( tanda Hertoghe ). 4. Kulit kering atau xerotik. 5. Pitiriasis alba. 6. Keratosis pilaris. 7. Muka pucat ( paranasal dan periorbita ). 8. Lipatan garis tangan berlebihan. 9. Keratokonus dan katarak juvenile. 10. Mudah terkena infeksi. Dermatitis atopik fase remaja dan dewasa (13-30 tahun) Kelainan yang ditemukan berupa bercak kering dengan likenifikasi, skuama halus dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Biasanya terjadi pada daerah ekstremitas bagian fleksor, leher, dahi dan mata. Eksaserbasi pada DA tipe dewasa sering terjadi karena tekanan mental, iritasi dan makanan.

Kriteria Diagnostik Dermatitis Atopik Kriteria diagnostik DA pada mulanya didasarkan atas fenomena klinis yang menonjol, yaitu gejala gatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis DA tidak dapat dibuat tanpa adanya riwayat gatal. Kemudian pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka membuat kriteria diagnostik DA yang masih sering digunakan hingga saat ini: 8 A. Kriteria Mayor :
11

Pruritus ( gatal ) Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas. Bersifat kronik eksaserbasi. Ada riwayat atopi individu atau keluarga. B. Kriteria Minor : Eczema of the nipple Gatal bila berkeringat Awitan dini Peningkatan Ig E serum Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2) Kemudahan mendapat infeksi

Tanda Dennie-Morgan Keratokonus Konjungtivitis rekuren Katarak subkapsuler anterior Cheilitis pada bibir White dermatographisme Pitiriasis Alba Fissura pre aurikular Dermatitis di lipatan leher anterior Facial pallor Hiperliniar palmaris Keratosis palmaris Papul perifokular hiperkeratosis Xerotic Iktiosis pada kaki

Stafilokokus dan Herpes Simpleks Intoleransi makanan tertentu Intoleransi beberapa jenis bulu binatang Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi Tanda Hertoghe ( kerontokan pada alis bagian lateral). Hiperpigmentasi daerah periorbita

Untuk membuat diagnosis DA berdasarkan kriteria menurut Hanifin dan Rajka diatas dibutuhkan sedikitnya 3 kriteria mayor ditambah 3 atau lebih kriteria minor.8 Komplikasi7 Pada anak penderita dermatitis atopik, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari. Penderita, dermatitis atopik mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia Molluscum contagiosum dan herpes). Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai,
12

biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal.

Penderita dermatitis atopik mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus.

Penatalaksanaan Pengobatan dibagi atas atas medica mentosa (menggunakan obatobat yang di minum) dan juga non-medica mentosa (tidak mengonsumsi obat). a) Medica mentosa Pengobatan DA tidak bersifat menghilangkan penyakit tapi untuk menghilangkan gejala dan mencegah kekambuhan. Secara konvensional pengobatan DA pada umumnya menurut Boguniewicz & Leung tahun 1996 adalah sebagai berikut: 1) Antibiotik : ditujukan pada DA dengan infeksi sekunder 2) Antihistamin : Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan dan banyak digunakan untuk terapi DA. Pengobatan Topikal:8 1. Hidrasi kulit: pada kulit diberikan pelembab misalnya krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% didalamnya. 2. Kortikosteroid topikal: pengobatan yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Pada bayi dapat digunakan salap steroid berpotensi rendah misalnya hidrokortison 12,5%. Pengobatan Sistemik:8 1. Kortikosteroid: hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut dalam jangka pendek dan dosis rendah diberikan berselang seling atau dosis diturunkan secara bertahap, kemudian diganti dengan pemberian kortikosteroid topikal. 2. Antihistamin: untuk mengurangi rasa gatal yang hebat terutama malam hari, sehingga menggangu tidur.

13

3. Anti-infeksi: bagi yang belum resisten dapat diberikan eritromisis, asitromisin, atau klaritromisin, sedang yang telah resisten dapat diberikan dikloksasin,oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin. 4. Interferon: menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2. 5. Siklosporin: untuk DA yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. 6. Terapi sinar: dapat digunakan PUVA untuk DA yang berat dan luas. Terapi UVB atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. b) Non-medica mentosa10 1. Menghindari bahan iritan : bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi karena penderita DA mempunyai nilai ambang rendah dalam merespon berbagai iritan. 2. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti : pemicu kekambuhan yang telah terbukti misal makanan, debu rumah, bulu binatang dan sebagainya harus disingkirkan. 3. Mengurangi stress : stress pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan, bukan sebagai penyebab. 4. Pemberian pelembab kulit dan menghilangkan pengeringan kulit : pemakaian pelembab dapat mempebaiki barier stratum korneum. Prognosis Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja, sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu: DA luas pada anak Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial. Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung Awitan (onset) DA pada usia muda Anak tunggal Kadar IgE serum sangat tinggi.

14

Kesimpulan Berdasarkan gejala-gejala yang timbul pada pasien, dan setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, pasien diduga menderita dermatitis atopik. Namun karena kurangnya hasil-hasil lain yang mendukung, diagnosis tidak dapat ditegakan secara jelas dan pasti. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik menurut Hanifin dan Rajka pada tahun 1980 yang sampai sekarang masih digunakan. Dengan penanganan yang baik dan teratur, penyakit ini dapat segera diatasi.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Jong WD. Kanker, apakah itu? Jakarta: Arcan; 2005.h.104. Alimul A. Diagnosa fisik pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2003.h.713. 3. Juanda HA. Solusi tepat bagi penderita TORCH. Solo: PT Wangsa Jatra Lesatari; 2007.h.19. 4. Isselbacher, Braunwald, Wilson, dkk. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC; 2004.h.316-9. 5. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2000.h.2256-60. 6. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005.h.33. 7. 8. Davey P. Medicine at a glance. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2005.h.401. RED BOOK. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: Gramedia; 2005.h.1386-8,1393-5. 9. 10. Handoko RP. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta; EGC; 2010.h.122-4 Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009.h.111-3.

15

Anda mungkin juga menyukai